Masukan nama pengguna
Pendekar Cidurian
Air Suci dari Cidurian
Pagi-pagi benar, saat ayam kampung baru setengah niat berkokok dan tukang bubur belum buka lapak, Kang Wira sudah berdiri di pinggir Sungai Cidurian. Pakai kolor ijo tentara, kaus oblong kusam, dan sepatu boot bekas tambang yang kalau diinjak kayak bunyi tut-tut kereta mini di pasar malam.
Di tangan kanannya ada ember cat bekas yang udah dilukis tangan sendiri—gambarnya ikan mas lagi muntah. Di tangan kirinya ada botol kaca bekas sirup Marjan, isinya air sungai yang berwarna abu-abu kecokelatan. Kaya susu basi dicampur oli.
"Ini air berkah," katanya sambil mengangkat botol ke langit, kayak ritual. "Berwarna seperti masa depan. Suram tapi tetap mengalir."
Orang-orang lewat di jembatan beton atasnya cuma bisa geleng-geleng. Ada yang ketawa, ada yang ngelus dada, ada juga yang nyeletuk, "Istrinya ninggalin dia tuh gara-gara sungai, katanya dulu."
Kang Wira cuek. Buat dia, Sungai Cidurian bukan cuma aliran air. Itu mah kata orang awam. Buat dia, Cidurian itu ibu. Ibu yang sedang sekarat. Dan tugas anak yang baik adalah menjaga ibunya. Walau ibunya bau.
Dulu, waktu kecil, Kang Wira sering nyebur di Cidurian bareng temen-temen sekampung. Airnya jernih, ikannya banyak. Kalo berenang, mata melek pun nggak perih. Sekarang? Baru nyelupin jempol, udah gatal seminggu. Pernah ada anak kecil mandi di situ, langsung merah-merah sekujur badan. Disangka diguna-guna. Ternyata bukan. Tapi air sungai yang udah kaya kuah kimia.
Sungai ini, katanya, membelah Kabupaten Serang dan Tangerang. Tapi yang jelas dipotong bukan cuma peta, tapi juga nasib. Di satu sisi, rumah warga padat berdiri. Di sisi lain, pabrik-pabrik menjulang. Cerobongnya lebih gagah dari tiang bendera. Asapnya lebih rutin dari pengibaran merah putih tiap Senin.
"Coba deh dihitung, berapa pabrik yang nyumbang air gratis ke sungai ini," kata Kang Wira suatu kali di warung kopi. Orang-orang ketawa. Bukan karena lucu, tapi karena ngeri.
Kang Wira bukan aktivis dari LSM mana-mana. Dulu dia mahasiswa jurusan lingkungan. Tapi lebih sering demo daripada masuk kelas. Sampai akhirnya di-DO. Bukannya sedih, dia malah makin semangat. Katanya, ilmu lingkungan nggak harus dari kampus. Bisa dari got dan kali.
"Gue belajar dari bau. Dari warna. Dari rasa. Ini air, bro, punya kepribadian. Kaya manusia," katanya ke pemuda magang dari Jakarta yang sempat liput dia untuk konten TikTok. Anak itu manggut-manggut, walau kayaknya lebih fokus ke angle kamera.
Setiap hari, Kang Wira jalan kaki menyusuri sungai. Dia bawa buku catatan, alat pengukur pH yang udah retak layarnya, dan HP jadul buat motret. Kadang dia berdiri di satu titik agak lama, diem, kayak lagi dengerin bisikan air. Kata warga, itu titik paling busuk. Bahkan nyamuk pun enggan lewat.
Suatu siang, datang seorang pegawai kelurahan. Bawa surat.
"Kang Wira, ini ada undangan diskusi lingkungan. Dari kecamatan."
"Diskusi? Di mana?"
"Di hotel. Dikasih makan. Dapat sertifikat."
Wira senyum.
"Diskusi lingkungan, tapi AC-nya 20 derajat dan minumnya air kemasan?"
Pegawai itu bengong.
"Udah, sampaikan aja salam saya. Bilang saya lagi nyuci tangan di air suci."
Hari itu, Wira dapat temuan baru. Warna air berubah lagi. Dulu seminggu warnanya cokelat. Minggu lalu jadi hijau. Sekarang keabu-abuan. Ada buih-buih kecil di pinggir sungai. Wira isi botol Marjan-nya lagi. Dikasih label: Sampel Cinta ke-43.
"Nanti kalau saya mati, ini botol bisa jadi artefak. Bukti bahwa kita pernah hidup di antara limbah tapi pura-pura suci."
Orang yang dengar cuma senyum miris. Karena mereka tahu, Kang Wira bukan gila. Dia cuma waras sendirian di tengah masyarakat yang sudah terbiasa hidup dengan air busuk.
Malamnya, Wira duduk di tepi sungai, bawa nasi bungkus. Dia makan pelan-pelan sambil mandang aliran air yang hitam pekat.
"Maaf ya, Bu Cidurian," katanya lirih. "Hari ini belum banyak yang bisa Wira lakukan. Tapi besok kita coba lagi. Kita bikin mereka lihat. Kalau mereka nggak mau lihat, ya kita bikin mereka nyium."
Cahaya bulan memantul di permukaan air, menyinari buih-buih kimia yang seperti tertawa pelan. Wira pun ikut tertawa. Sendirian. Tapi tidak merasa sendiri.
Karena buat dia, menjadi pendekar bukan soal punya pedang atau sabuk hitam. Tapi soal tetap berdiri ketika orang lain duduk, tetap menyuarakan ketika orang lain bungkam, dan tetap mencintai walau dicaci.
Dan di kampung ini, di tepian Sungai Cidurian, cuma ada satu orang yang mau melakukannya.
Namanya Kang Wira. Orang-orang bilang dia gila.
Tapi sejarah, biasanya, ditulis oleh orang-orang gila seperti dia.
Dosa di Hulu
Hari itu langit mendung. Tapi bukan hujan yang bikin gelisah. Melainkan bau yang mengendap di udara. Asap dari cerobong pabrik menyatu dengan angin, bikin udara sekitar berasa kayak kuah panci yang lupa dicuci seminggu.
Kang Wira berjalan menyusuri jalan tanah yang mengarah ke hulu Sungai Cidurian. Tujuannya jelas: cari siapa biang keladi di balik air beraroma obat nyamuk bakar ini. "Kalau mau tahu kenapa sungai sakit, jangan cuma lihat airnya. Lihat siapa yang nyumbangin racun di hulunya," katanya sambil bawa catatan kecil dan handycam tua yang sering ngadat.
Hulu Cidurian nggak jauh-jauh amat dari rumahnya. Tapi selama ini, orang males ke sana. Alasannya sederhana: banyak pagar, banyak satpam, dan banyak tembok tinggi. Di balik tembok-tembok itu, berdirilah pabrik-pabrik besar. Ada yang bikin cat, ada yang produksi sabun, ada juga yang katanya "ramah lingkungan" tapi limbahnya lebih ramah masuk ke sungai.
Pabrik pertama yang ia datangi terlihat bersih. Halamannya luas, aspalnya kinclong, ada tanaman hias dan tulisan besar: "Kami Peduli Lingkungan". Slogan yang menurut Wira lebih cocok jadi password WiFi daripada prinsip hidup.
Dia masuk lewat gerbang depan, tentu aja dicegat satpam.
"Ada perlu apa, Pak?"
"Saya mau ketemu bagian lingkungan. Ini, saya bawa surat permohonan wawancara."
Satpam membaca surat fotokopian yang isinya tulis tangan. Ragu. Tapi akhirnya diizinkan masuk, setelah telepon ke dalam.
Wira dibawa ke ruang tunggu ber-AC. Dikasih teh kotak dan snack. Seorang pria muda berdasi muncul, mengenalkan diri sebagai Roni, staf CSR—Corporate Social Responsibility.
"Kami sangat terbuka, Pak Wira. Kami ini perusahaan yang menjunjung tinggi green industry. Bahkan kami sudah kantongi sertifikasi ISO-apa-itu, yang membuktikan..."
"Maaf, Mas. Saya nggak datang buat denger pidato. Saya cuma mau tahu satu hal. Air limbah pabrik ini dibuang ke mana?"
Roni kaget. Senyumnya menipis.
"Kami punya IPAL, Pak. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Sangat canggih. Bahkan ada kolam ikan di belakangnya."
"Boleh saya lihat?"
Roni diam sebentar. Lalu jawab pelan, "Kami perlu izin direksi."
Setelah tiga jam nunggu, akhirnya Wira diajak ke belakang. Tapi nggak sampai ke IPAL. Hanya ditunjukkan kolam ikan yang airnya jernih dan ikannya berenang santai.
"Lihat, Pak. Ini bukti kami nggak buang limbah beracun."
Wira ngangguk, tapi hatinya mencurigai. Karena arah aliran pipa besar yang keluar dari belakang pabrik justru menuju saluran tertutup, bukan ke kolam itu.
"Kalau boleh tahu, saluran yang itu ke mana, Mas?"
"Oh, itu saluran air hujan."
Wira cuma nyengir. "Air hujan kok jam dua pagi ngalir deras ke sungai?"
Roni kelihatan nggak nyaman. Akhirnya pamit. Wira pun pulang dengan kepala penuh kecurigaan.
Malam harinya, dia balik lagi. Diam-diam. Handycam dinyalakan. Dia mengendap di semak dekat pagar pabrik. Benar aja, sekitar pukul 01.30, terdengar bunyi mesin. Pipa besar itu hidup. Mengalirkan cairan pekat ke selokan tertutup, menuju sungai.
"Tangkap basah..." gumam Wira.
Dia rekam semuanya. Walau gelap, suara air dan dentuman mesin terdengar jelas. Tapi belum sempat selesai, tiba-tiba cahaya senter menyilaukan matanya.
"Hei! Siapa di sana?!"
Dua pria berseragam keluar dari gerbang belakang. Wira lari. Tapi tertangkap. Dipukul. Kameranya diambil. Untungnya, satu video sempat dia kirim ke email sendiri sebelum kejadian.
Besoknya, Wira bangun di rumah warga yang nolongin. Bibir pecah, pelipis bengkak.
"Saya cuma mau buktiin, Bu Cidurian... saya belum nyerah."
Dia buka laptop pinjaman. Upload video. Tanpa edit. Tanpa filter. Judulnya: "Malam Hari, Sungai Menangis".
Viral? Belum tentu. Tapi satu dua akun aktivis mulai bagi. Lalu media alternatif angkat berita. Barulah suara pendekar sungai mulai terdengar.
Dan dari hulu yang katanya bersih dan ramah, Kang Wira mencium dosa yang disembunyikan di balik pagar-pagar tinggi dan tembok reputasi.
Karena air memang mengalir dari hulu. Tapi dosa, kadang dibuang diam-diam ke hilir.
Judul Berita: “Aktivis Lingkungan Mengganggu Investasi”
Keesokan harinya, Wira bangun lebih awal. Bekas luka di pelipis masih terasa nyut-nyutan, tapi pikirannya sudah jauh lebih sibuk dari tubuhnya. Ia tahu, video semalam akan menimbulkan reaksi. Tapi bukan reaksi baik. Karena yang ia sentuh bukan cuma air limbah. Tapi juga uang.
Dan di negeri ini, menyentuh uang lebih sensitif dari menyentuh harga diri pejabat.
Benar saja. Sekitar jam sembilan pagi, layar HP-nya penuh notifikasi. Ada puluhan pesan masuk dari teman lama, kenalan aktivis, bahkan orang yang nggak pernah diajak ngobrol sebelumnya.
"Bang Wira, namamu masuk media!"
"Bang, lo trending di Twitter!"
"Abang keren sih, tapi hati-hati ya."
Wira buka salah satu link. Sebuah media nasional menulis: "Aktivis Lingkungan Diduga Memfitnah Industri Ramah Lingkungan". Isinya nggak jauh dari pembelaan pihak pabrik, kutipan pengacara perusahaan, dan satu paragraf kecil tentang "oknum warga lokal" yang menyebarkan "video tidak berdasar".
"Yah, mulai deh," gumam Wira.
Di warung kopi langganan, Wira jadi bahan obrolan.
"Kang Wira ini makin ke sini makin bahaya. Nanti kita-kita yang kena imbasnya."
"Iya bener. Kalau pabrik tutup, banyak yang nganggur."
"Lagian buat apa bela sungai. Orang kita nggak mandi di situ juga."
Wira denger semua. Tapi tetap duduk tenang, nyeruput kopi hitam sambil senyum tipis.
"Saya nggak suruh pabrik tutup, Mas. Saya cuma minta mereka jangan cebok pakai air sungai, terus limbahnya dibuang ke sana."
Suasana diam sejenak. Lalu satu bapak-bapak ketawa, disusul yang lain. Tapi ada rasa was-was yang mengendap di tengah tawa itu. Wira tahu. Mereka takut. Bukan karena dia. Tapi karena sistem yang bikin salah satu dari dua: diam atau disingkirkan.
Dua hari kemudian, Wira dapat surat panggilan dari kecamatan. Isinya ajakan mediasi.
"Kami ingin semua tenang, Pak Wira. Tidak usah menyebarkan hal-hal yang bisa mengganggu investasi."
Kepala kecamatan bicara dengan nada sopan, tapi wajahnya tegang. Di sampingnya, ada dua orang dari dinas lingkungan. Satunya ngangguk-ngangguk, satunya sibuk main HP.
"Jadi menurut Bapak, video saya itu mengganggu investasi?"
"Bukan begitu... Tapi caranya harus elegan. Ada jalurnya."
"Saya sudah pakai jalur. Udah lapor. Udah kirim surat. Nggak ada yang ditanggapi. Jadi sekarang saya pakai kamera. Salah?"
Mereka diam.
"Saya ini bukan anti industri, Pak. Saya cuma anti orang yang pura-pura bersih sambil nyuntik racun ke tanah tempat kita hidup."
Mediasi selesai tanpa hasil. Tapi malam itu, media lokal bikin judul menarik:
“Aktivis Sungai Menolak Mediasi Demi Kepentingan Pribadi”
Besoknya, rumah Wira dilempari batu. Pagar depan dicoret: “Penghianat Warga”.
Tetangga mulai jaga jarak. Warung langganan tutup saat dia datang. Bahkan ibu RT bilang, "Kang, saya ngerti maksud baiknya. Tapi bisa nggak, jangan terlalu keras?"
Wira tertawa kecil. "Bu, kalau racunnya udah keras, saya harus lebih keras, kan?"
Satu-satunya yang tetap setia adalah Bu Aminah, janda tua yang tinggal dua rumah dari Wira.
"Dulu bapak saya juga aktivis. Waktu jaman orde lama. Suka dituduh macam-macam. Tapi beliau bilang, kalau diam itu emas, maka bersuara adalah kemerdekaan."
Wira mengangguk. Kalimat itu seperti balsem buat batinnya.
Suatu sore, ada mobil mewah berhenti di depan rumah. Turunlah seorang pria muda berdasi dengan wajah tenang dan senyum diplomatis.
"Saya Dimas. Dari pihak perusahaan."
"Silakan duduk. Tapi maaf, nggak ada teh botol. Adanya air isi ulang."
Dimas tertawa, basa-basi.
"Saya ingin bicara baik-baik. Kami sadar, Bapak sangat peduli pada lingkungan. Tapi kadang niat baik perlu dikawal dengan strategi yang halus."
"Kalau sungainya udah halus, saya janji akan halus juga."
Dimas menghela napas. Lalu mengeluarkan satu amplop.
"Kami bersedia bantu aktivitas sosial Bapak. Beli alat ukur baru. Kamera baru. Asal... jangan terlalu vokal."
Wira tersenyum. Mengambil amplop itu. Membuka. Isinya uang. Lalu ia ambil botol Marjan bekas sampel air sungai, membuka tutupnya, dan menuangkan sebagian isi amplop ke dalam.
Uang kertas basah, lalu mengerut.
"Mas Dimas tahu pH air ini?"
Dimas kaget. Berdiri. "Baiklah, saya pamit."
"Salam buat direksi. Bilang, air ini belum selesai bicara."
Malam itu, Wira kirim video baru ke YouTube:
“Amplop & Air Sungai: Kisah Pendekar yang Ditawar Diam”
Video itu meledak. Ditonton ratusan ribu. Diunduh ulang. Dibahas di podcast. Disindir di acara stand-up. Bahkan ada selebgram yang bikin versi parodinya.
Tapi bukan hanya itu.
Besoknya, ia dapat surat panggilan. Bukan dari kecamatan. Tapi dari kantor polisi.
Wira datang dengan tenang. Didampingi dua mahasiswa hukum dari komunitas lingkungan. Diinterogasi soal pencemaran nama baik, penyebaran hoaks, dan gangguan ketertiban umum.
"Pak, saya bukan bikin hoaks. Saya cuma rekam apa yang saya lihat."
"Tapi tanpa izin."
"Saya juga minum air sumur tanpa izin pemerintah. Apa saya ditangkap juga?"
Berita makin liar. Media nasional kini makin rajin menggoreng:
“Aktivis Cidurian Mencemarkan Nama Baik Dunia Usaha”
“Masyarakat Butuh Pabrik, Bukan Pahlawan Sungai”
“Limbah Masih Diteliti, Tapi Aktivis Sudah Menghakimi”
Tapi dari semua itu, satu berita yang bikin Wira duduk termenung:
“Pendekar Sungai Dianggap Ancam Iklim Investasi”
Judul itu muncul di media bisnis terbesar negeri ini. Komentarnya brutal. Banyak akun anonim mencaci. Tapi Wira cuma senyum. Karena ia tahu: saat suara orang kecil bikin pengusaha besar kepanasan, berarti ada yang benar dari langkahnya.
Hari-hari berikutnya, Wira jadi simbol. Simbol yang dicintai dan dibenci. Simbol harapan dan kegaduhan. Tapi ia tetap turun ke sungai. Tetap catat data. Tetap botolin air busuk yang dia sebut "sampel cinta".
"Mereka boleh bilang saya ganggu investasi. Tapi saya cuma jaga investasi jangka panjang. Namanya: masa depan."
Karena buat Wira, lebih baik dimusuhi sekarang, daripada minta maaf ke anak cucu nanti.
Dan Sungai Cidurian, yang masih mengalir pelan, tahu persis siapa yang benar-benar menjaganya. Bukan yang pasang baliho, tapi yang tiap hari berdiri—tanpa bayaran.
Surat dari Anak SD dan Surat Panggilan dari Polisi
Pagi itu, Kang Wira sedang menyapu halaman rumah. Banjir sudah surut dua hari lalu, tapi sisa-sisanya masih menempel di mana-mana: di tembok yang berlumut, di aroma amis yang belum mau hilang, dan di perasaan warga yang mulai terbuka matanya, meski pelan-pelan.
Dari ujung gang, seorang anak kecil datang menghampiri. Baju seragam SD-nya masih agak kebesaran, tasnya miring, dan sepatu masih belepotan lumpur. Anak itu berhenti di depan Kang Wira, menyerahkan secarik amplop kertas lipat.
"Buat Kang Wira," katanya malu-malu. Lalu lari.
Wira membuka amplop itu perlahan. Di dalamnya, selembar kertas bergaris dari buku tulis, bertuliskan tangan mungil:
"Kang Wira, terima kasih udah jaga sungai. Aku dulu suka main perahu kertas di situ. Sekarang airnya bau. Tapi aku lihat di video, Kang Wira berani lawan pabrik. Aku pengen jadi kayak Kang Wira. Salam dari Arga, kelas 4 SD."
Wira membaca berulang-ulang. Lalu tersenyum. Matanya basah, bukan karena bau lumpur, tapi karena surat itu lebih murni dari semua gelar yang pernah diajukan pejabat.
Sorenya, surat lain datang. Tapi bukan dari anak SD. Surat resmi, cap basah, amplop tebal. Isinya:
Surat Panggilan Resmi dari Polres Kabupaten.
Perihal: Pemeriksaan tambahan atas dugaan pelanggaran UU ITE, ketertiban umum, dan pencemaran nama baik.
Tanggal: Besok pagi.
Wira diam. Matanya berpindah dari surat panggilan ke surat Arga.
“Negeri ini emang lucu,” gumamnya. “Yang jaga sungai dipanggil polisi. Yang buang racun dikawal pengamanan.”
Malam itu, warga berdatangan ke rumah Wira. Bukan untuk demo. Tapi buat nyemangatin.
"Kang, kalau perlu kita antar bareng."
"Kang, kami siap jadi saksi."
"Kang, saya bikin banner, biar rame."
Wira tertawa. "Tenang, saya bukan ke penjara. Baru ke ruang interogasi."
Meski bercanda, semua tahu, langkah-langkah kecil seperti ini adalah bagian dari permainan besar: melelahkan aktivis sampai menyerah, melemahkan suara sampai bisu.
Tapi malam itu, suara-suara kecil di rumah Wira justru makin nyaring. Dan pagi harinya, saat Wira datang ke Polres, ia tidak sendirian. Puluhan warga ikut mengantar. Beberapa pakai batik. Beberapa bawa spanduk. Beberapa bawa termos kopi.
Pemeriksaan berlangsung lama. Tiga jam. Wira duduk di ruangan dingin, ditanya hal-hal teknis tentang unggahan video, motivasi gerakan, hingga sumber dana.
"Saya nggak didanai siapa-siapa, Pak. Saya cuma didorong rasa jijik."
"Jijik terhadap apa?"
"Terhadap pura-pura bersih di negeri yang kenyataannya bau."
Di luar kantor polisi, warga menunggu. Beberapa jurnalis lokal ikut meliput. Salah satu ibu membawa botol plastik berisi air banjir:
"Pak Polisi, kalau mau bukti, ini dia. Silakan dicium."
Berita ini viral. Video ibu-ibu dan warga menyambut Wira keluar dari kantor polisi jadi headline media alternatif:
“Pendekar Cidurian Kembali – Dibela Warga, Diperiksa Negara”
Dari sana, dukungan mulai datang. Komunitas lingkungan nasional menghubungi Wira. Beberapa advokat muda menawarkan bantuan hukum. Bahkan seorang dosen meneliti pola polusi Sungai Cidurian dan menyimpulkan bahwa:
“Industri di sekitar aliran hulu berperan besar dalam percepatan kerusakan sungai.”
Tapi tentu, tak semua senang.
Beberapa akun anonim menyerang. Ada yang menyebut Wira pencari sensasi. Ada yang bilang dia dibayar LSM asing. Bahkan ada yang menyebarkan hoaks bahwa dia pernah mencuri di kampus dulu.
Wira tidak membalas.
“Kalau semua kotoran saya tanggapi, saya nggak sempat nyuci sungai,” katanya.
Beberapa hari kemudian, seorang pria tua datang ke rumah Wira. Baju safari, sepatu mengilap, senyum politis.
"Saya anggota dewan. Saya dengar gerakan Bapak luar biasa. Saya ingin undang Bapak bicara di forum kami."
"Bicara soal apa?"
"Soal partisipasi warga dan lingkungan hidup. Kami akan gelar acara di hotel bintang lima. Ada makan siang. Ada media."
Wira diam sebentar.
"Pak, kalau saya bicara di forum itu, siapa yang bicara sama sungai hari itu?"
Hari-hari berlalu. Wira dan tim mudanya terus mengukur, mencatat, menyuarakan. Sekolah-sekolah mulai undang mereka. Anak-anak belajar tentang sungai bukan dari buku teks, tapi dari air yang mereka bawa sendiri.
Sampai akhirnya, pabrik yang dulu menolak membuka IPAL-nya, didatangi inspeksi mendadak dari kementerian. Diduga kuat membuang limbah secara ilegal.
“Ini hasil pengaduan warga,” kata petugas.
Wira diam. Tapi senyumnya muncul. Tak selebar dulu, tapi lebih dalam.
Sore itu, surat ketiga datang.
Amplop cokelat. Tulisan tangan. Di dalamnya bukan surat, tapi gambar.
Gambar seorang laki-laki berdiri di samping sungai, mengenakan kaus oblong dan sepatu boot, dengan tangan mengangkat botol kaca berisi air kotor ke langit.
Di bawahnya tertulis:
“Kalau nanti aku besar, aku mau jadi Pendekar Sungai kayak Kang Wira.”
Wira tak tahu siapa pengirimnya. Tapi ia tahu, perjuangannya tidak sia-sia.
Karena selama masih ada yang peduli, sungai ini belum mati. Dan sungai yang belum mati, akan terus mengalirkan kebenaran.
Air Mata Terakhir dan Warisan Sungai
Pagi itu, langit tampak biru bersih. Aneh rasanya setelah berminggu-minggu mendung, hujan, dan lumpur. Udara masih membawa aroma sisa banjir, tapi ada sesuatu yang berbeda hari itu. Seperti ada jeda antara perjuangan dan perubahan.
Di tepi Sungai Cidurian, Kang Wira berdiri seperti biasa. Kaos oblong, sepatu boot, dan ember cat yang sekarang sudah penyok di dua sisi. Botol Marjan di tangan kirinya masih setia menemani, meski labelnya sudah nyaris pudar.
"Hari ini airnya bening sedikit," gumamnya. "Atau mataku yang sudah capek melihat keruh terus."
Wira tidak banyak bicara akhir-akhir ini. Sejak hasil investigasi kementerian diumumkan—dan terbukti ada tiga pabrik yang secara rutin membuang limbah berbahaya ke aliran sungai—semua jadi ramai. Media heboh. Politisi rebutan tampil. Pejabat bikin konferensi pers. Dan beberapa pabrik dihentikan sementara.
Tapi Wira memilih diam. Tidak ikut muncul di TV. Tidak ikut wawancara. Ia tetap datang ke sungai. Tetap mencatat. Tetap bicara pada air.
“Biar mereka ribut di atas. Aku tetap jaga aliran ini dari bawah,” katanya pada seorang wartawan yang nekat mengejarnya ke bantaran.
Suatu malam, tubuh Wira mendadak demam. Panas tinggi. Batuk tak henti. Mual. Ia tetap menolak ke rumah sakit.
"Saya cuma masuk angin sungai," katanya.
Tapi tiga hari kemudian, kondisinya melemah. Warga akhirnya memaksa. Ia dibawa ke puskesmas, lalu dirujuk ke RS kabupaten. Diagnosa: infeksi paru-paru akut. Kemungkinan besar akibat paparan zat kimia jangka panjang.
Para dokter terkejut, karena paru-parunya hitam seperti perokok berat, padahal Wira tak pernah merokok seumur hidupnya.
"Saya nggak merokok. Tapi saya menghirup limbah tiap hari," katanya pelan.
Kabar sakitnya Wira menyebar cepat. Warga kampung berduyun-duyun menjenguk. Pemuda-pemuda yang dulu ikut mendokumentasi datang. Beberapa wartawan mengirim karangan bunga. Bahkan pejabat daerah datang, membawa bingkisan dan kamera.
"Kami sangat prihatin. Beliau adalah pejuang lingkungan yang luar biasa. Kami sudah siapkan penghargaan khusus..."
Tapi Wira tidak lagi sadar penuh. Dalam tidurnya, ia terus mengigau:
"Sungainya masih bisa diselamatkan... jangan dibuang lagi... air ini hidup... hidup..."
Empat hari kemudian, saat langit kembali mendung, Kang Wira meninggal dunia. Sunyi. Tidak ada pengumuman resmi. Tapi kabarnya tersebar secepat air di jalan becek.
Pemakamannya sederhana. Tapi dihadiri ratusan orang. Warga kampung. Aktivis. Mahasiswa. Jurnalis. Anak-anak sekolah. Bahkan beberapa satpam pabrik datang diam-diam. Tak berani buka suara, tapi ikut berdiri hening.
Di liang kuburnya, seorang anak kecil meletakkan selembar gambar: sungai, matahari, dan sosok berkumis dengan botol Marjan di tangan.
“Selamat jalan, Pendekar Sungai.”
Beberapa minggu setelahnya, warga mendirikan tugu kecil di tepi sungai. Bukan mewah. Hanya beton setinggi dada, dengan tulisan:
TUGU PENDONGENG AIR
"Di sinilah ia berdiri, bicara pada air yang kita abaikan, dan mendengarkan bau yang tak pernah kita hiraukan."
Kang Wira (1978–2025)
Di sekeliling tugu itu, anak-anak sekolah mulai datang tiap Jumat pagi. Mereka belajar mencatat air, mengenal pH, dan menggambar sungai. Para pemuda mengatur jadwal piket kebersihan. Warga membuat pos pantau limbah mandiri.
Dan di dinding warung, poster Kang Wira dipasang. Bukan untuk dikultuskan. Tapi untuk diingatkan:
Bahwa perjuangan itu bukan soal menang. Tapi soal bertahan.
Suatu hari, anak SD bernama Arga—yang dulu mengirim surat—duduk di samping tugu. Ia membawa buku tulis dan pena.
Ia menulis:
"Hari ini airnya lebih jernih dari kemarin. Aku lihat ikan kecil lewat. Terima kasih, Kang Wira. Sungai ini belum sempurna, tapi aku akan jaga. Aku janji."
Dan begitulah akhir dari kisah seorang gila yang dianggap mengganggu investasi. Ia mati tanpa selempang, tanpa plakat, tanpa pengawal.
Tapi namanya hidup di setiap aliran air yang mulai dibersihkan. Di setiap anak yang belajar mencintai lingkungan. Dan di setiap warga yang mulai bicara—tanpa takut, tanpa malu.
Karena sungai yang jernih lahir dari suara-suara kecil yang tak lelah mencintai.
Dan Kang Wira, sang Pendekar Cidurian, telah menyiramkan benih itu sebelum tubuhnya kembali ke tanah.
(TAMAT)