Masukan nama pengguna
BULAN MADU KE ITALY
Desakan dari IbuNamaku Ria. Usia dua puluh tujuh. Sudah cukup umur, kata orang-orang. Tapi aku belum siap untuk dinikahkan, apalagi dengan lelaki yang belum pernah kutatap sekalipun. Namanya Hapy—terdengar seperti nama yang dipaksakan agar terdengar ceria. Tapi justru kehadirannya ke dalam hidupku seperti badai yang menghapus semua rencana yang sudah lama kubangun.
Awalnya kupikir Ibu hanya bercanda. Saat beliau menyodorkan foto seorang pria berjas biru gelap dan dasi merah, aku tertawa. "Apa ini audisi presenter TV, Bu?"
Tapi wajah Ibu tak berubah. Serius. Dingin. Tak terbantahkan.
"Namanya Hapy. Dia manajer pemasaran di perusahaan besar di Jakarta. Umurnya tiga puluh dua. Sudah mapan. Orangtuanya juga kenalan lama Bapakmu sebelum beliau meninggal."
Aku menelan ludah. Jantungku seperti meloncat keluar. "Aku nggak kenal dia, Bu."
"Justru itu. Maka kenalilah. Lewat pernikahan."
Pernyataan Ibu membuatku seperti terseret pusaran air. Semalam suntuk aku menatap langit-langit kamar. Bertanya dalam hati: benarkah aku sudah sampai di titik ini? Dijodohkan?
Aku tidak membenci perjodohan. Tapi aku membenci ketergesaan. Aku bahkan belum menyukai siapa pun setelah hubunganku dua tahun lalu kandas. Tapi Ibu berbeda. Sejak aku lulus kuliah dan bekerja di kantor notaris, ia selalu mencari celah untuk mempertemukanku dengan pria-pria pilihan versinya. Dan Hapy adalah "kesempatan terbaik yang tak boleh disia-siakan," katanya.
Maka aku membuat syarat. Bukan sekadar syarat sepele, tapi sebuah syarat yang kurasa cukup mustahil untuk disetujui.
"Kalau memang Ibu ngotot, aku mau. Tapi bulan madunya harus ke Italia. Biar aku kenal dia lebih dalam, di tempat yang jauh, di antara sejarah dan romantisme, bukan di tengah tekanan keluarga."
Ibu terdiam. Mulutnya menganga sebentar. Lalu menyipit curiga. "Ke Italia? Kamu kira ini sinetron?"
Aku tersenyum kecut. "Kalau memang dia serius dan mapan, itu hal kecil, kan?"
Tiga hari kemudian, Ibu kembali ke kamarku. Membawa map berisi itinerary dari agen perjalanan. "Kalian akan ke Rome, Florence, Genoa, Milan, dan Verona. Termasuk Venice juga."
Aku terpaku. "Seriusan?"
"Pesawatmu dua minggu lagi."
Begitulah. Aku—Ria yang belum pernah naik pesawat lebih dari tiga jam—akan menikah dengan lelaki yang belum kukenal, lalu menghabiskan waktu sembilan hari bersamanya di negeri asing, Italia. Dan di sanalah, di salah satu titik perjalanan kami—di kota Verona—aku akan berdiri di balkon rumah Juliet. Tanpa tahu apakah aku Juliet... atau hanya turis biasa yang tersesat di antara cinta dan takdir.
**
Tiba di Roma, Awal yang CanggungPesawat mendarat di Bandara Fiumicino pada sore hari, langit Roma menyambut dengan jingga yang melukis bangunan-bangunan klasik di kejauhan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang sejak tadi tak karuan. Di sebelahku, Hapy masih asyik membalas pesan di ponselnya. Sopan tapi canggung, ia hanya menoleh sesekali untuk menanyakan kabarku—dengan cara yang terlalu formal untuk orang yang baru saja menikah denganku.
Kami menikah empat hari sebelum keberangkatan. Tanpa resepsi mewah, hanya akad sederhana di rumah. Aku memakai kebaya putih, ia datang dengan jas hitam yang terlihat pas di tubuhnya. Tapi meski semua tampak sempurna di luar, aku merasa seperti berdiri dalam naskah film yang belum kukenal alurnya.
"Jet lag?" tanya Hapy saat kami menunggu koper di conveyor belt.
Aku mengangguk. "Sedikit. Tapi lebih ke deg-degan, sih."
Ia tersenyum. "Aku juga. Jujur saja, ini... aneh, ya? Tapi aku senang kamu mau ke Italia."
Aku tak menjawab. Mataku sibuk mencari koper merahku. Dalam hati, aku mengakui satu hal: Hapy bukan tipe pria yang menyebalkan. Ia terlalu tenang, terlalu hati-hati. Mungkin terlalu baik untuk situasi serumit ini.
Mobil sewaan membawa kami ke hotel kecil di kawasan Trastevere, dekat Sungai Tiber. Bangunannya tua, khas Eropa, dengan balkon kecil dan jendela-jendela kayu. Kamarnya hanya satu. Tentu saja. Kami sudah menikah, bukan?
Aku masuk lebih dulu. Meletakkan tas, membuka tirai, dan menghela napas. "Kota ini seperti lukisan yang hidup."
"Kamu suka?" Suaranya lembut dari belakangku.
Aku mengangguk. "Aku suka arsitekturnya. Dan warna-warna temboknya. Kayak... nggak ada yang memaksa tampil. Semuanya jujur."
Kami keluar malam itu, menyusuri jalanan berbatu menuju Piazza Navona. Hapy berjalan di sampingku, menjaga jarak. Tak ada genggaman tangan. Tak ada kecanggungan yang dipecah tawa. Kami seperti dua orang asing yang pura-pura sedang bulan madu.
"Ria, boleh aku tanya sesuatu?" katanya pelan saat kami duduk di bangku menghadap air mancur.
Aku menoleh. "Boleh."
"Kenapa kamu setuju menikah denganku? Maksudku... kamu bahkan belum kenal aku."
Aku menatap langit. Mencari jawaban di antara bintang-bintang yang pelit.
"Karena aku lelah menolak. Dan... karena kamu bukan orang jahat."
Ia tertawa kecil. "Standar yang rendah sekali."
"Bukan. Justru itu standar yang penting. Aku bukan gadis 20 tahun yang cari cowok tinggi putih good looking. Aku hanya ingin merasa tenang. Dan kamu terlihat seperti seseorang yang bisa memberi itu."
Hapy menunduk. Lama.
"Aku nggak sempurna, Ria. Tapi aku mau belajar. Kalau kamu izinkan."
Kata-katanya membuatku menoleh. Mungkin untuk pertama kalinya sejak kami menikah, aku benar-benar menatap matanya. Tak dalam, tapi jujur.
Hari-hari berikutnya kami habiskan dalam jadwal yang padat: Colosseum, Vatican, Trevi Fountain. Tapi yang paling kusuka adalah momen-momen di sela perjalanan: saat kami duduk diam di kafe kecil, berbagi cannoli dan espresso. Atau ketika kami berteduh dari hujan di bawah jembatan, dan ia membuka jasnya untuk melindungiku.
Keintiman kecil mulai tumbuh. Bukan karena gairah, tapi karena kehadiran. Dan kehadiran, bagiku, lebih sulit daripada cinta.
Pada hari kelima, kami sampai di Verona. Kota yang kutunggu-tunggu. Kota yang menjadi syarat dari semuanya. Kami menginap di hotel dekat Casa di Giulietta. Aku bahkan bisa melihat balkon Juliet dari jendela kamar.
Pagi itu, kami turun lebih awal. Jalan masih sepi, toko-toko belum buka. Tapi halaman rumah Juliet sudah ramai turis. Hapy menggenggam tanganku untuk pertama kalinya. Ringan, ragu, tapi hangat.
"Boleh kita naik ke balkon itu?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Kita ke sini karena kamu ingin berdiri di sana, kan?"
Kami ikut tur kecil, menyusuri lorong batu, hingga akhirnya sampai ke balkon terkenal itu. Aku berdiri di sana, mengenakan gaun putih sederhana, melihat ke bawah seakan menanti Romeo berseru.
Hapy berdiri di bawahku, tersenyum, lalu berkata, "Juliet, kalau aku datang malam ini, maukah kau percaya bahwa cinta kadang butuh waktu untuk dikenali?"
Aku tertawa. Bodoh, klise, tapi... manis. Dan entah kenapa, mataku berkaca-kaca.
"Aku bukan Juliet, Hap. Tapi mungkin... mungkin aku bisa belajar percaya."
Dan saat kami turun dari balkon, untuk pertama kalinya, aku menggenggam tangannya lebih erat. Bukan karena aku harus. Tapi karena aku ingin.
**
Surat yang Tak Pernah Kutulis
Sepulang dari balkon Juliet, aku menyimpan selembar tiket masuk kecil di dalam dompetku. Tak berharga bagi orang lain, tapi bagiku itu seperti simpul awal dari sesuatu yang tak bisa kuterangkan. Hari itu, untuk pertama kalinya sejak kami menikah, aku berhenti menghitung hari pulang.
Kami habiskan sisa waktu di Verona dengan santai. Hapy mengajakku menyusuri Sungai Adige, menyewa sepeda keliling kota tua, dan duduk berdua di bangku batu sambil menikmati gelato rasa lemon. Kami tak banyak bicara, tapi diam kami mulai nyaman. Seperti dua orang yang tidak lagi saling menunggu jawaban, tapi mulai menikmati pertanyaan.
Malam harinya, kami makan malam di sebuah trattoria tua di gang sempit dekat Piazza delle Erbe. Lampu-lampu kuning redup tergantung dari dahan zaitun, membiaskan bayangan di wajah Hapy saat ia bercerita tentang masa kecilnya.
"Aku anak tunggal," katanya sambil memutar gelas anggur. "Tapi aku sering merasa sendirian. Papa sibuk di kantor, Mama sibuk di komunitas sosial. Aku tumbuh dengan pengasuh yang gonta-ganti."
Aku mendengarkan. Sungguh. Bahkan lebih dalam dari yang pernah kulakukan pada siapa pun.
"Mungkin itu sebabnya aku belajar untuk tidak merepotkan orang. Aku jadi terlalu mandiri. Nggak pandai minta tolong. Nggak tahu caranya membuka diri."
Aku mengangguk. "Kamu bisa mulai sekarang. Pelan-pelan. Aku nggak buru-buru."
Ia menatapku. Lama. "Kamu orang pertama yang bilang gitu ke aku."
Lalu hening. Tapi bukan hening yang menyesakkan. Justru seperti jeda yang memberi ruang bagi rasa tumbuh diam-diam.
Keesokan harinya kami menuju Milan. Kota mode yang gemerlap. Tapi hatiku masih tertinggal di Verona. Setiap kali kami berganti kereta, kota, hotel—aku makin paham satu hal: pernikahan bukan soal cepat klik, tapi soal bertahan dan bertumbuh.
Satu malam di Milan, aku terbangun lebih awal dari biasanya. Di meja kecil kamar hotel, kutemukan sebuah kertas yang dilipat rapi. Tulisan tangan Hapy.
Ria,Aku tahu kamu bukan gadis yang suka drama. Tapi izinkan aku bilang ini: bersamamu, aku merasa tidak lagi sendirian. Aku takut kamu hanya sabar karena terpaksa. Tapi kalau di hatimu ada sedikit ruang untukku, aku akan menunggu di sana. Seberapa sempit pun, aku akan belajar mengecilkan diriku agar bisa masuk.Maaf kalau aku belum sempurna. Tapi aku ingin jadi seseorang yang bisa kau andalkan, walau kadang diam dan kikuk.Terima kasih sudah tidak menolak aku sepenuhnya.-HapyAku menangis pagi itu. Bukan karena sedih. Tapi karena hatiku—yang selama ini keras dan defensif—akhirnya retak. Dan dari retakan itu, muncul sesuatu yang lembut.
Sepanjang perjalanan dari Milan ke Venice, kami duduk berdampingan. Jari-jariku menyusup ke dalam genggaman Hapy, kali ini tanpa ragu. Ia menoleh padaku dan tersenyum. Tak ada kata-kata, tapi kami tahu: sesuatu sedang tumbuh.
Di Venice, kota kanal dan jembatan, kami naik gondola. Di bawah langit senja, suara gondolier menyanyikan lagu lama yang tidak kukenal. Hapy merangkulku. Aku bersandar. Bukan karena capek. Tapi karena nyaman.
"Ria," katanya pelan. "Kalau nanti kita kembali ke Jakarta, kamu masih mau tinggal satu rumah denganku?"
Aku tertawa kecil. "Itu pertanyaan aneh. Kita sudah menikah, tahu."
"Aku tahu. Tapi selama ini, kamu seperti ingin segera selesai. Seperti tamu sementara. Aku hanya ingin tahu, kamu masih ingin melanjutkan ini atau tidak."
Aku menoleh padanya. "Aku ingin melanjutkan. Tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Bolehkah aku menulis surat yang tak pernah kukirim, dan kau membacanya?"
Ia mengangguk. "Tentu."
Malam itu, aku menulis. Bukan untuk Hapy, tapi untuk diriku sendiri. Surat yang tak pernah kutulis karena terlalu sibuk membentengi hati.
Ria,Jika kau membaca ini, itu artinya kau sudah berani membuka hati. Dulu kau takut mencintai karena cinta pernah meninggalkanmu. Tapi hidup tak bisa hanya dijaga, kadang perlu dilepaskan.Lelaki di sebelahmu mungkin tak sempurna, tapi ia hadir. Ia diam, tapi mendengar. Ia ragu, tapi bertahan.Jangan ukur cinta dengan detak jantung, tapi dengan ketenangan yang ia bawa. Jika kau merasa tenang bersamanya, maka bertahanlah.Aku lipat surat itu dan serahkan pada Hapy saat kami bersiap pulang ke Indonesia. Ia membacanya di pesawat. Matanya berkaca-kaca. Ia mencium keningku tanpa suara. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa pulang.
Bukan ke Jakarta. Tapi ke seseorang.
Seseorang yang dulu asing, kini menjadi rumah.
**
Luka yang Tersamar di VeronaKota Verona berselimut awan tipis saat kami turun dari kereta cepat. Ria mengenakan mantel krem yang hangat, scarf hitam mengelilingi lehernya. Di tangannya, kamera mirrorless tergantung, siap menangkap momen-momen yang kelak mungkin hanya jadi kenangan. Hapy berjalan di sampingnya, seperti biasa, dengan ekspresi sukar ditebak.
Verona adalah kota kecil, tapi menyimpan sejarah cinta paling terkenal: kisah Romeo dan Juliet. Di sinilah ratusan orang saban hari menulis surat kepada Juliet, seolah tokoh fiksi itu bisa menjawab kegelisahan mereka. Ria membaca plakat kecil di dinding rumah Juliet: "Casa di Giulietta". Mereka menembus kerumunan turis.
"Mau ikut naik ke balkon?" tanya Hapy.
Ria tersenyum kecil. "Kamu nggak penasaran mau lihat dari dekat tempat Juliet biasa menanti Romeo?"
"Aku lebih penasaran sama ekspresi kamu dari atas sana," jawab Hapy santai.
Mereka membeli tiket, lalu naik ke lantai atas. Balkon itu tidak besar, hanya cukup untuk satu-dua orang berdiri. Dindingnya penuh coretan nama pasangan dan tempelan kertas cinta. Ria berdiri di tepi balkon, menatap ke bawah. Dalam diam, ia mengingat semua syarat aneh yang ia ajukan sebelum menikah. Semua ini seharusnya hanya formalitas. Tapi hatinya sekarang terasa aneh.
Saat mereka turun, Hapy berkata, "Aku nggak ngerti kamu sebenarnya bahagia atau nggak. Kamu pintar menyembunyikan perasaan."
"Mungkin karena aku sendiri juga nggak tahu," gumam Ria.
Mereka duduk di sebuah kafe dekat Piazza delle Erbe. Cappuccino panas mengepul di cangkir. Musik akordeon sayup terdengar dari ujung gang. Ria menatap Hapy lama.
"Boleh aku jujur?"
Hapy meneguk kopinya. "Bukankah itu yang kita butuhkan?"
"Aku belum yakin dengan kita. Aku tahu kita udah menikah, tapi sejujurnya... aku masih merasa seperti orang asing."
Hapy tidak kaget. Ia malah tersenyum getir. "Kupikir kamu akan bilang itu."
"Kenapa kamu tetap mau menikah? Dengan perempuan yang bahkan nggak yakin mau sama kamu?"
"Karena aku merasa kamu bukan perempuan biasa. Kamu punya luka, tapi kamu nggak memintaku menyembuhkannya. Kamu hanya memintaku menghargainya. Dan aku bisa melakukan itu."
Kalimat itu menusuk Ria. Sejenak, udara Verona seakan berhenti. Ia ingin menangis, tapi entah kenapa tak bisa. Mungkin karena selama ini, yang ia lakukan hanya bertahan, bukan menyembuhkan.
Malam itu mereka berjalan kaki kembali ke hotel. Di Via Mazzini yang masih ramai, mereka melewati toko-toko dengan lampu gemerlap. Ria meraih tangan Hapy, kali ini tanpa ragu. Hapy menoleh, tampak terkejut, tapi tidak berkata apa-apa.
Sesampainya di kamar, Ria menatap dirinya di depan cermin. "Aku ingin mencoba," katanya lirih. "Bukan karena Ibu. Bukan karena kamu baik. Tapi karena aku ingin memberanikan diriku mencintai lagi."
Hapy berdiri di belakangnya. "Kalau itu caramu membuka pintu, maka aku akan di sini. Nggak akan memaksa masuk, tapi nggak akan pergi."
Hari berikutnya, mereka mengunjungi Sungai Adige. Hapy menyewa dua sepeda, dan mereka menyusuri jalur kecil di tepi sungai, melewati jembatan tua dan gereja-gereja kuno. Di tengah perjalanan, hujan tipis turun. Ria tertawa, merentangkan tangan seperti anak kecil.
"Dingin! Tapi seru!"
Hapy mendekat, menutupi kepalanya dengan jaket, lalu berdiri di hadapan Ria. Mereka saling memandang, lalu untuk pertama kalinya sejak menikah, bibir mereka bersentuhan.
Tak lama, matahari kembali menyembul di balik awan. Verona berubah menjadi lukisan pastel yang indah. Ria bersandar di bahu Hapy.
"Terima kasih sudah sabar. Aku tahu aku banyak diam. Tapi semua itu karena aku takut jatuh dan terluka lagi."
"Kita bisa jatuh bersama, kalau itu yang kamu mau," ujar Hapy.
Ria tak menjawab. Tapi hatinya mengiyakan.
Malam terakhir di Verona, mereka kembali ke balkon Juliet. Kali ini tak banyak turis. Langit mulai gelap. Ria berdiri sekali lagi di sana, menatap ke bawah. Kali ini, Hapy ada di bawah, memandangnya seperti Romeo yang menanti kalimat dari Juliet.
Ria berseru, "Aku nggak tahu apakah kita Romeo dan Juliet. Tapi kalau kamu siap mencintaiku dalam hidup yang nyata, bukan dalam kisah tragis, maka aku di sini."
Hapy tersenyum. "Aku nggak pernah suka cerita yang berakhir sedih. Maka kita akan menulis akhir yang bahagia. Bersama."
Dan untuk pertama kalinya, Ria percaya.
**
Matahari mulai naik perlahan di ufuk kota Florence ketika Ria dan Hapy berdiri di depan pintu masuk Galeri Uffizi. Suara burung camar terdengar samar di antara deretan bangunan tua dan lukisan sejarah yang menanti untuk diceritakan. Hari itu, mereka tidak lagi sekadar menjadi wisatawan. Hari itu, mereka adalah dua insan yang mulai menapaki perjalanan bukan sebagai dua orang asing yang dijodohkan, melainkan dua pribadi yang mencoba saling memahami dunia satu sama lain.
“Ini karya Botticelli,” ujar Hapy sambil menunjuk lukisan The Birth of Venus. “Katanya, cinta itu bisa tumbuh seperti dewi Venus—lahir dari ombak, mekar tanpa dipaksa.”
Ria tertawa kecil. “Kalau cinta kita? Lahir dari tiket ke Eropa dan perjodohan yang dibubuhi surat pengantar Ayah.”
“Tapi bisa jadi mekar juga,” balas Hapy. “Asal kita siram dengan waktu, dan... keberanian.”
Perbincangan ringan itu terasa seperti langkah kecil dalam hubungan mereka. Ria masih canggung menggenggam tangan Hapy di depan umum, tetapi untuk pertama kalinya, ia tidak menarik tangannya ketika tangan Hapy menyentuh jemarinya.
Di luar galeri, mereka menyusuri jalan menuju Ponte Vecchio, jembatan tua yang menjadi ikon kota Florence. Di situ, Ria dan Hapy berhenti sejenak, menatap arus sungai Arno yang tenang namun membawa riak-riak kecil seperti hati mereka.
“Aku ingin kita jadi seperti sungai ini,” ucap Ria. “Panjang, mungkin berliku, tapi tetap mengalir.”
Hapy menatapnya. “Berarti kita butuh jembatan. Supaya tetap terhubung, meskipun dua sisi berbeda.”
Malamnya, mereka duduk di balkon hotel kecil dengan lampu temaram. Ria membuka buku catatannya dan mulai menulis. Hapy diam-diam membaca lewat bahunya:
“Cinta bukan hanya soal tempat. Tapi keberanian menetap dalam perasaan yang terus kita bangun.”
Hapy menarik napas dalam. “Apa itu tentang aku?”
Ria tersenyum. “Itu tentang kita.”
Dan malam itu, bukan hanya Florence yang menyaksikan dua jiwa saling menaut. Tapi juga langit, bintang, dan semua keraguan yang perlahan-lahan mencair di antara napas dan kejujuran.
**
Kereta pagi dari Florence menuju Venezia melaju dengan tenang, menyusuri hamparan perbukitan yang masih diselimuti kabut. Di dalam gerbong kelas dua, Ria dan Hapy duduk bersebelahan, saling bersandar, sesekali tertawa, sesekali tenggelam dalam obrolan hangat yang terasa ringan sekaligus dalam. Mereka baru saja melewati malam penuh kejujuran—malam di mana luka masa lalu dan keraguan masa kini dikupas tanpa kedok.
"Waktu kecil," kata Ria sambil menatap jendela, "aku suka sekali menggambar peta imajiner. Ada kerajaan salju, gurun ungu, dan danau yang airnya bisa mengabulkan permintaan."
"Serius?" Hapy menoleh. "Aku malah pengin jadi penemu. Tapi bukan penemu seperti Thomas Edison. Aku pengin nemuin ulang cara orang saling sayang. Biar nggak banyak patah hati."
Ria tersenyum. "Jadi kamu itu penemu cinta yang gagal?"
"Bisa jadi," Hapy terkekeh. "Tapi sekarang aku lagi mencoba versi beta-nya. Bersama kamu."
Kereta menembus terowongan gelap. Seketika kabin dipenuhi bayangan, tapi tangan mereka tetap saling menggenggam. Saat cahaya kembali hadir, jendela memperlihatkan pemandangan laguna biru keperakan. Venezia semakin dekat.
Begitu tiba di Stasiun Santa Lucia, kota air itu menyambut mereka dengan suasana lembab dan langit kelabu. Hujan rintik jatuh pelan, seperti doa-doa kecil yang disampaikan tanpa suara. Mereka menaiki vaporetto, semacam bus air, menuju hotel kecil yang terletak di Cannaregio.
Kanal-kanal berliku, jembatan batu lengkung, dan dinding-dinding bangunan tua yang tampak seperti memeluk masa lalu menjadi latar perjalanannya. Kota ini tampak seperti melodi yang tak habis dinyanyikan.
Usai check-in dan meletakkan koper, mereka berjalan kaki menuju dermaga. Seorang gondolier tua menyapa, dan mereka segera naik ke atas gondola yang dicat hitam dengan hiasan emas.
Gondola meluncur perlahan di atas kanal. Ria memegang payung merah kecil, sementara Hapy hanya menengadahkan wajah ke langit.
"Kamu nggak takut kehujanan?" tanya Ria.
"Nggak. Hujan ini kayak lagu latar, romantis banget," jawab Hapy. "Kapan lagi bisa naik gondola bareng istri sendiri di kota paling melankolis di dunia?"
Ria terkikik. "Iya juga, ya."
Mereka melewati rumah-rumah batu dengan jendela berdaun hijau, balkon sempit dengan pot bunga mekar. Seorang perempuan tua melambai dari jendela, dan Ria membalasnya dengan senyum.
Tepat sebelum senja, mereka masuk ke sebuah toko topeng karnaval. Toko itu kecil, tapi penuh warna dan keajaiban. Di dinding tergantung topeng-topeng aneh dan indah—ada yang menyeramkan, ada yang anggun, ada pula yang terlihat seperti wajah tertawa dalam kesedihan.
Ria memegang topeng putih polos dengan hiasan emas di pinggir mata. Ia menutup wajahnya.
"Kalau aku pakai ini, kamu masih bisa ngenalin aku nggak?" tanyanya.
Hapy mengambil topeng hitam dengan ukiran perak. Ia juga memakainya.
"Justru di balik topeng ini aku lebih bisa lihat kamu. Karena kita udah buka semua yang tak terlihat. Nggak butuh wajah. Yang penting isi kepala dan hati."
"Kamu bisa jadi penulis puisi kalau nggak jadi suami aku," Ria tersenyum.
"Aku cuma jatuh cinta lagi setiap hari, dan puisi itu cuma efek sampingnya."
Malam menjelang. Mereka menghadiri pertunjukan musik klasik di sebuah aula tua dekat San Marco. Aula itu memiliki langit-langit tinggi, lampu kristal menggantung, dan bangku kayu berderet dalam keheningan penuh khidmat.
Orkestra memainkan Vivaldi. Suara biola melengking lembut, seperti menyapu luka-luka lama dengan sutra.
Ria memejamkan mata. Ia tak butuh kata-kata. Musik malam itu adalah bahasa baru yang mereka berdua mengerti.
Hapy menatap wajah istrinya dalam senyap. Dalam sorot lampu yang temaram, ia merasa waktu melambat. Ia sadar, cinta tak selalu datang dengan petir dan guntur. Kadang ia datang seperti alunan senar, mengalir pelan, tapi merasuk hingga ke inti.
Setelah konser, mereka berjalan pelan ke arah kanal. Langit masih menggantungkan sisa awan basah. Lampu-lampu jalan memantul di permukaan air, menciptakan tarian cahaya yang menenangkan.
Mereka berhenti di sebuah dermaga kecil, jauh dari hiruk-pikuk turis.
"Apa kamu bahagia?" tanya Ria.
"Lebih dari bahagia," Hapy menjawab. "Karena ini bukan cuma perjalanan. Ini transformasi. Dulu kita datang sebagai dua orang asing yang dijodohkan. Sekarang..."
"Sekarang kita saling memilih," lanjut Ria.
Mereka berpegangan tangan. Tak ada ciuman. Tak ada pelukan. Hanya genggaman jari yang lebih dalam dari pelukan mana pun.
Cahaya kuning dari lampu jalan memantul di mata Ria. Di belakang mereka, gondola-gondola tertambat diam, seperti saksi bisu dari cinta yang perlahan tumbuh, mengakar, dan mekar.
Malam itu, Venezia bukan hanya kota air, tapi kota pengakuan. Kota tempat dua hati saling percaya, saling menyentuh tanpa harus menyentuh. Dan di atas kanal yang hening, cinta mereka berlayar menuju bab berikutnya.
**
Kereta cepat Frecciarossa melesat membelah lanskap Italia utara, meninggalkan kanal-kanal tenang Venezia menuju kota metropolitan Milan. Ria bersandar di jendela, wajahnya menangkap pantulan sinar pagi yang lembut. Hapy duduk di sampingnya, membuka peta digital di ponsel. Tapi pagi itu, lebih dari sekadar pemandangan atau itinerary, mereka mulai membicarakan sesuatu yang lebih jauh: masa depan.
"Kalau kita balik ke Jakarta nanti, kamu pengin tinggal di mana?" tanya Ria, matanya masih memandangi hamparan kebun anggur yang sesekali muncul di balik jendela.
Hapy mengangkat bahu sambil tersenyum. "Tergantung kamu. Aku bisa kerja dari mana aja sekarang. Tapi kalau kamu pengin menetap di Jakarta... atau Yogyakarta... atau bahkan pindah ke luar negeri, aku ikut."
"Kamu nggak keberatan kalau kita pindah ke tempat yang kamu nggak familiar?"
"Selama ada kamu di situ," jawabnya ringan. Tapi tatapannya dalam. Serius.
Ria diam sejenak. Lalu mengangguk pelan.
Mereka tiba di Milan siang hari. Suasana kota langsung terasa berbeda dari kota-kota sebelumnya: sibuk, dinamis, modern, tapi tetap menyimpan sisi elegan klasik. Setelah menaruh koper di hotel dekat Piazza del Duomo, mereka segera berjalan kaki ke arah Katedral Milan yang megah.
Katedral itu seperti dongeng dalam bentuk nyata. Pilar-pilar runcing menjulang, patung-patung malaikat dan orang suci menghiasi setiap sisi, dan cahaya menembus lewat jendela kaca patri warna-warni. Mereka naik ke atap Duomo dan berdiri di antara puncak-puncaknya yang anggun. Dari sana, cakrawala Milan terbentang luas.
"Bayangin kalau tiap Minggu pagi kita duduk di sini. Ngopi, baca buku, sambil lihat kota," bisik Ria.
"Kayaknya aku bakal suka tinggal di kota yang punya balkon katedral seperti ini," balas Hapy.
Setelah makan siang di trattoria kecil, mereka menuju Galleria Vittorio Emanuele II. Tempat itu seperti museum belanja: atap kaca yang indah, lantai mozaik, toko-toko mewah. Tapi mereka tak datang untuk belanja barang mahal. Ria menemukan toko kulit lokal dan membeli buku catatan kulit dengan ukiran tangan.
"Buat apa?" tanya Hapy.
"Buat nulis kenangan selama bulan madu. Biar nanti bisa dibaca anak-anak kita," jawab Ria sambil tersenyum jahil.
Hapy tak kalah sentimentil. Ia membeli pulpen antik di kios kecil yang menjual barang-barang vintage.
"Kalau kamu nulis, aku juga pengin nulis. Tapi aku pakai ini," katanya sambil menunjuk pulpen barunya.
Malam itu, mereka berdandan rapi. Ria mengenakan gaun sederhana warna merah marun, dan Hapy mengenakan jas abu-abu tua. Mereka berjalan menuju Teatro alla Scala, salah satu gedung opera paling ikonik di dunia. Bangunan itu menyimpan nuansa sejarah dan kemewahan.
Opera malam itu membawakan kisah klasik tentang cinta yang tak sampai. Selama pertunjukan, mereka tak banyak bicara. Tapi tatapan mereka saling memahami. Ria menggenggam tangan Hapy erat, terutama ketika adegan sang tokoh utama memilih meninggalkan kekasihnya demi harga diri keluarga.
"Kadang cinta itu bukan soal siapa yang kau pilih... tapi bagaimana kamu memperjuangkannya," bisik Hapy di sela jeda.
Ria mengangguk. Air matanya jatuh diam-diam. Tapi bukan karena sedih. Karena bahagia.
Setelah pertunjukan usai, mereka kembali ke hotel dan duduk di balkon kamar mereka yang menghadap lampu-lampu kota. Suasana malam itu tenang, tak banyak lalu lintas, hanya suara musik klasik samar dari kafe bawah.
"Kamu pernah bayangin kalau kita punya anak?" tanya Ria pelan.
Hapy terdiam. Lalu menoleh, tersenyum.
"Pernah. Bahkan aku udah bayangin anak kita ikut kita traveling kayak gini. Dikenalin budaya, bahasa, makanan."
"Kamu pengin berapa anak?"
"Dua cukup. Yang penting mereka punya ruang buat tumbuh jadi diri sendiri. Nggak perlu jadi bayangan kita."
Ria memandang langit. Malam itu bersih. Bintang-bintang muncul malu-malu.
"Kadang aku mikir, cinta tuh bukan lagi deg-degan kayak awal pacaran. Tapi kayak... perasaan tenang pas kamu tahu ada seseorang yang nggak akan ninggalin kamu walau dunia berubah."
"Itu kamu maksudnya?" goda Hapy.
"Mungkin bukan Verona yang membuatku jatuh cinta... tapi kamu yang membuat semua kota ini terasa seperti rumah," bisik Ria.
Mereka saling menatap. Tak perlu ciuman. Tak perlu pelukan. Kadang, keheningan adalah bentuk cinta paling jujur.
Dan malam itu, Milan menjadi saksi bahwa cinta yang dewasa adalah cinta yang bersedia berjalan jauh. Melewati keraguan, membangun harapan, dan memilih bersama, setiap hari.
Keesokan harinya mereka akan berangkat ke Florence. Tapi malam ini ditutup dengan tawa kecil, teh hangat, dan satu pelukan lama.
Bulan madu ini bukan pelarian dari dunia nyata. Tapi latihan kecil menjalani dunia yang akan mereka bangun berdua.
Milan. Opera. Balkon hotel. Dan dua hati yang perlahan menyatu bukan karena euforia, tapi karena keyakinan.
**
Setelah melewati Milan yang gemerlap dan penuh gairah urban, Ria dan Hapy melanjutkan perjalanan bulan madu mereka ke Florence, kota seni dan sejarah yang seperti berhenti di masa lalu. Mereka tiba di stasiun Firenze Santa Maria Novella menjelang siang, dan dijemput oleh sopir hotel butik yang telah mereka pesan jauh hari. Hotel itu, sebuah bangunan abad ke-18 yang telah direnovasi, berdiri anggun di tepi Sungai Arno. Dari jendela kamar mereka di lantai dua, terlihat pemandangan Ponte Vecchio yang memesona.
“Ini kota tempat seni dan cinta berpadu,” kata Ria sambil membuka jendela dan membiarkan angin sore menyibakkan rambutnya. Hapy mendekat, memeluk istrinya dari belakang.
Hari pertama mereka habiskan dengan berjalan kaki menyusuri lorong-lorong berbatu, mampir ke toko-toko kecil yang menjual lukisan, kain sutra, dan kerajinan kulit khas Firenze. Mereka memasuki Uffizi Gallery, tempat maha karya Botticelli, Michelangelo, dan Leonardo da Vinci bersaing memikat mata. Ria terpaku cukup lama di depan lukisan The Birth of Venus, sementara Hapy terdiam di depan Annunciation karya Leonardo.
“Lihat caranya menggambarkan cahaya. Seolah Tuhan benar-benar hadir di kanvas itu,” gumam Hapy.
“Dan perempuan di lukisan ini,” Ria menunjuk Venus, “seolah lahir bukan dari lautan, tapi dari harapan dan luka.”
Mereka makan siang di sebuah restoran kecil dekat Piazza della Signoria. Di bawah naungan payung merah dan alunan biola dari pengamen jalanan, mereka menikmati ravioli ricotta dan segelas chianti. Hari itu seolah memperlambat denyutnya untuk memberi ruang pada keintiman yang hening namun dalam.
Menjelang sore, mereka menaiki ratusan anak tangga menuju Piazzale Michelangelo. Napas mereka terengah, tapi mata mereka dimanjakan oleh pemandangan seluruh kota Florence yang tersiram cahaya matahari senja. Duomo tampak megah, menjulang di tengah kota bagai mahkota dari abad pertengahan.
Di atas bangku taman, Hapy duduk diam. Ria menggenggam tangannya, merasa ada yang ingin dikatakan.
“Aku pernah takut menikah,” ujar Hapy akhirnya.
Ria menoleh. “Kenapa?”
“Takut nggak bisa jadi suami yang baik. Takut gagal seperti orang tuaku. Dulu aku kira cinta cukup. Tapi ternyata cinta harus disertai keberanian. Dan kamu... kamu mengajariku itu.”
Ria menghela napas, lalu berkata lirih, “Aku juga punya ketakutan. Dulu aku takut ditinggal. Ayahku pergi tanpa pernah menjelaskan apa pun ke Ibu. Aku tumbuh dengan pertanyaan yang tak pernah terjawab. Tapi sejak bersamamu, aku merasa pulang.”
Mereka berpelukan lama. Orang-orang di sekitar sibuk mengambil swafoto, namun bagi mereka waktu seolah berhenti.
Malam itu, di balkon kamar hotel, mereka duduk berdampingan dengan secangkir teh hangat. Ria mengeluarkan dua lembar kertas dan dua amplop. “Aku punya ide,” katanya.
Mereka menulis surat untuk diri mereka masing-masing, lima tahun ke depan. Surat yang akan dibuka di ulang tahun pernikahan kelima. Hapy menuliskan tentang janji menjaga semangat, terus menyegarkan cinta dengan rasa ingin tahu, dan menjadi rumah bagi Ria, dalam suka dan duka. Ria menuliskan tentang harapan sederhana: tetap bisa tertawa bersama, saling merawat ketika sakit, dan tak lupa berterima kasih setiap pagi.
Setelah selesai, mereka saling bertukar surat lalu memasukkannya ke dalam kotak kecil yang mereka bawa dari Jakarta. Ria menyimpannya dalam koper, di antara baju musim panas dan syal tipis.
“Kita punya lukisan cinta sendiri sekarang,” bisik Ria. “Kalau cinta bisa jadi lukisan, aku ingin setiap guratnya adalah perjalanan kita di Italia ini.”
Hapy tersenyum. “Kalau begitu, kita harus pastikan warnanya terus hidup.”
Keesokan paginya, mereka menyewa sepeda dan menyusuri Via dei Calzaiuoli. Mereka melewati deretan toko, gereja tua, dan suara lonceng dari menara Giotto. Ria sempat berhenti di toko buku antik dan membeli sebuah novel klasik berbahasa Italia: La Vita è Bella.
Di siang yang cerah itu, mereka menyeberangi Ponte Vecchio, jembatan tua yang dipenuhi toko-toko perhiasan dan barang mewah. Di sana, Hapy membeli liontin kecil berbentuk hati yang diukir dengan inisial "R&H".
“Untuk pengingat bahwa kita pernah di sini,” ujarnya sambil mengalungkan liontin itu ke leher Ria.
Sore harinya, mereka mengikuti kelas memasak yang diadakan di rumah warga lokal. Bersama beberapa pasangan lain dari berbagai negara, mereka belajar membuat pasta secara manual, mencampur telur dan tepung, menggulungnya, memotong, dan merebus hingga siap saji. Ria tertawa lepas ketika adonan Hapy terlalu lengket.
“Jangan-jangan karena kamu terlalu manis,” goda Ria.
Instruktur mereka, seorang ibu paruh baya bernama Signora Lucia, tersenyum dan berkata, “Kalau kalian bisa memasak bersama dan tetap tertawa, itu pertanda cinta kalian kuat.”
Malam terakhir di Florence dihabiskan di sebuah trattoria kecil di daerah Oltrarno. Mereka duduk di luar, di bawah lampu-lampu gantung dan bau lavender dari taman kecil di dekat situ. Di meja mereka, ada lilin kecil yang nyalanya menari pelan. Mereka menikmati bistecca alla fiorentina dan tiramisu, sambil mendengarkan lagu-lagu klasik Italia dari musisi jalanan yang bermain akordeon.
“Kalau kamu bisa memilih satu kota untuk ditinggali seumur hidup, di mana?” tanya Ria sambil menyeruput anggur putih.
“Di manapun kamu berada,” jawab Hapy, tanpa ragu.
Ria tersenyum, menggenggam tangan suaminya. Matanya berkaca-kaca. “Janji ya, kalau suatu hari kita lelah, kita ingat malam ini.”
“Janji,” jawab Hapy.
Mereka berjalan kembali ke hotel lewat jalan berbatu, di bawah langit yang mulai dihiasi bintang. Tak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Keheningan itu lebih nyaring dari segala puisi.
Malam itu, sebelum tidur, Ria menulis satu kalimat di buku catatannya:
Florence tidak hanya menyimpan seni, tapi juga menyimpan rahasia tentang mencintai dengan sabar.
Dan di sisi lain ranjang, Hapy membisikkan doa dalam hati, agar malam seperti ini tak pernah menjadi kenangan, melainkan kebiasaan. Sebuah ritus cinta yang terus mereka ulang, di mana pun mereka berada.
Besok mereka akan menuju Roma. Kota terakhir dalam perjalanan bulan madu mereka. Kota yang akan menjadi saksi terakhir dari perjalanan awal pernikahan mereka yang penuh warna.
Namun malam itu, di Florence, segalanya terasa sempurna. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, tak ada rasa ingin pulang. Karena mereka telah menemukan rumah satu sama lain.
**
Petualangan Ria dan Hapy berlanjut ke kota kecil Cinque Terre, wilayah pesisir Liguria yang terkenal akan lima desa menawan yang bertengger di tebing menghadap Laut Liguria. Mereka memilih Vernazza sebagai tempat menginap—desa mungil dengan pelabuhan kecil yang dipenuhi kapal-kapal nelayan dan bangunan warna-warni yang menjulang rapat.
Pagi itu, udara masih segar, dan aroma garam laut bercampur dengan wangi kopi dari kafe-kafe yang baru membuka tirai. Ria dan Hapy berjalan bergandengan tangan melewati gang-gang batu sempit. Mereka membeli focaccia hangat dari toko roti lokal—roti khas Italia dengan minyak zaitun dan rosemary yang gurih. Mereka tertawa kecil ketika mencoba berbicara dalam bahasa Italia dengan pemilik toko, seorang perempuan tua yang menyambut mereka dengan pelukan hangat dan pipi yang dicium dua kali.
Usai sarapan, mereka menaiki perahu kecil menuju desa Manarola. Sepanjang perjalanan, angin laut meniup rambut Ria yang tergerai, dan Hapy tak bisa berhenti mengabadikan wajah istrinya dengan kamera. Setiap klik shutter terasa seperti menangkap keabadian: tawa Ria, matanya yang menyipit karena matahari, dan senyum yang seolah memancar lebih terang dari cahaya pagi. "Kamu seperti lukisan di museum paling sunyi," gumam Hapy.
Sampai di Manarola, mereka mendaki kebun anggur yang membentang di lereng. Di atas sana, pemandangan laut membentang seperti kanvas biru yang tak berujung. Mereka duduk di atas batu besar yang menghadap langsung ke samudra, kaki mereka menyentuh rumput hangat. Di momen sunyi itulah, Hapy merogoh sakunya dan mengeluarkan kotak beludru kecil.
"Apa ini?" tanya Ria, suaranya nyaris berbisik.
"Bukan cincin. Kamu sudah punya itu. Tapi ini, untuk hari-hari kita selanjutnya," ujar Hapy sembari membuka kotak itu. Di dalamnya, tergeletak sebuah liontin berbentuk bintang, kecil namun berkilau. Di punggungnya terukir tanggal pernikahan mereka.
"Karena kamu cahaya yang selalu menunjukkan arah, bahkan saat malam paling gelap sekalipun," lanjutnya.
Ria menatap liontin itu lama, lalu menatap Hapy. Air matanya tak tertahan. Ia memeluk suaminya erat dan berbisik, "Kita tak butuh peta, asal kita saling pegang tangan."
Hari itu berlanjut dengan mereka menyusuri Lover’s Lane—jalur kecil yang menghubungkan Manarola dan Riomaggiore. Mereka mengikat gembok cinta di pagar besi yang menghadap laut, lalu melempar kuncinya bersama-sama, bersamaan dengan teriakan, "Per amore eterno!"
Malam hari, mereka kembali ke Vernazza. Makan malam mereka habiskan di teras kecil yang menghadap pelabuhan. Lampu-lampu menggantung berkerlip lembut, cahaya lilin bergetar terkena angin laut. Mereka menyantap pasta pesto, anggur putih lokal, dan tiramisu untuk pencuci mulut.
"Pernikahan ini belum genap dua minggu, tapi aku merasa sudah seumur hidup bersamamu," kata Ria sambil menyandarkan kepala ke bahu Hapy.
"Karena hidupku memang dimulai dari saat kamu bilang 'aku bersedia'," jawab Hapy.
Malam itu mereka berjalan kembali ke penginapan sambil bernyanyi pelan, suara mereka bercampur dengan desir ombak. Dalam hening, keduanya tahu: perjalanan bulan madu ini bukan hanya soal tempat-tempat yang mereka datangi, tapi tentang tempat yang mereka bangun di antara dua hati. Rumah kecil bernama cinta.
Esok paginya, mereka akan melanjutkan ke Florence, tapi malam ini, mereka memilih untuk tinggal lebih lama di balkon penginapan, menatap bintang, dan membiarkan waktu berjalan pelan. Karena sesungguhnya, mereka tak sedang liburan—mereka sedang menulis bab-bab awal dari kisah cinta yang tak ingin lekas selesai.
**
Cinta yang Diikat Waktu
Senja di Bandara Marco Polo, Venezia, menebar warna jingga yang menghangatkan. Langit terlihat seperti lukisan—gradasi merah dan oranye yang mencair perlahan ke dalam biru tua. Di ruang tunggu keberangkatan, Ria menyandarkan kepala ke bahu Hapy, matanya menerawang jendela besar yang menghadap ke landasan. Di luar, pesawat-pesawat silih berganti lepas landas dan mendarat, seolah menjadi metafora perjalanan mereka: datang, bertumbuh, lalu pulang membawa kisah.
"Besok kita sudah di Jakarta," bisik Ria pelan, suara yang nyaris tidak terdengar tapi terasa dalam.
"Iya. Tapi hati kita masih tertinggal di Verona," jawab Hapy sambil mengecup kening istrinya.
Perjalanan selama tujuh hari ke Italia—bulan madu impian yang semula hanya syarat lucu dari Ria saat dijodohkan—telah menjadi sebuah lompatan emosional dalam hubungan mereka. Dari orang asing yang dinikahkan, kini mereka menjadi dua jiwa yang saling memahami, saling mencintai, dan saling percaya.
Kembali ke Asal: JakartaSaat pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta menyambut dengan panas yang langsung menampar pipi. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Wajah Ria dan Hapy tak lagi menegang seperti saat pertama bertemu. Kini, tangan mereka saling menggenggam erat. Tatapan mereka menyimpan dunia kecil yang tak bisa dimengerti oleh siapa pun, kecuali mereka berdua.
Di rumah, keluarga menyambut mereka dengan suka cita. Tentu saja pertanyaan-pertanyaan khas menyambut: “Gimana perjalanannya? Jadi pengantin baru makin lengket dong?” Semua itu ditanggapi Ria dan Hapy dengan senyum penuh makna. Mereka tidak perlu bercerita terlalu banyak. Senyum mereka cukup jadi jawaban.
Namun di balik tawa, ada kerinduan.
Kerinduan akan suara gondola di kanal-kanal Venezia, riuh pasar di Florence, hangatnya senyum penduduk lokal di Cinque Terre, dan tentu saja… balkon kecil di Verona yang menjadi saksi mereka belajar mencintai.
Rencana Baru: Hidup BersamaHari-hari pasca Italia menjadi masa transisi. Hapy kembali ke kantor arsitek tempat ia bekerja. Ria mulai mengurus pendaftaran S2-nya. Mereka kini satu atap, satu tempat tidur, dan satu ritme hidup.
Namun, kehidupan tak selalu indah seperti langit Italia. Ada hari-hari ketika mereka berdebat soal cucian belum dilipat, soal siapa yang lupa beli gas, atau siapa yang menghabiskan sisa es krim di freezer tanpa izin. Tapi, setelah semua itu, selalu ada pelukan yang memulihkan. Karena mereka pernah melalui fase saling tak mengenal, dan kini sadar: mencintai berarti memilih satu sama lain setiap hari.
Ria kadang membuka album foto digital mereka. Di satu malam, ia menunjukkan pada Hapy potret mereka saat mencium di bawah balkon Juliet. Wajah mereka tampak malu-malu, tapi bahagia.
"Kamu tahu," kata Ria, "aku sempat takut... takut kamu gak beneran sayang aku. Kan kita dijodohkan."
Hapy menatapnya, lalu menjawab tenang, "Dulu iya. Tapi di Italia, aku belajar bahwa cinta bukan tentang bagaimana kita bertemu, tapi apa yang kita pilih setelahnya."
Ria memeluknya erat. Mereka diam dalam keheningan malam, sambil menyadari bahwa Verona tak benar-benar jauh. Ia hidup di hati mereka, dalam memori, dan dalam cara mereka saling mencintai.
Surat untuk JulietDua bulan setelah mereka pulang, Ria mendapat email dari tim Juliet Club di Verona. Rupanya surat yang ia titipkan di dinding batu rumah Juliet saat itu dibaca dan dibalas.
Surat balasan itu ditulis dalam bahasa Inggris, dengan sapaan lembut dan bijaksana:
"Dear Ria,
Love does not ask where you came from or how it began. Love only asks: Will you stay? And from your story, dear one, it sounds like you have answered yes."
Ria membaca surat itu sambil menitikkan air mata. Hapy memeluknya dari belakang. "Kalau nanti kita ke Italia lagi," bisiknya, "aku mau ajak kamu ke sana, ke balkon Juliet. Kali ini bukan karena permintaanmu. Tapi karena aku sendiri yang ingin."
Kenangan yang AbadiTahun berganti. Mereka tak lagi pasangan pengantin baru. Tapi setiap kali mereka mendengar kata “Italia” atau “Verona”, ada senyum kecil yang muncul di wajah mereka. Sesuatu yang hanya mereka berdua pahami.
Ria mulai menulis kisah mereka. Di malam-malam sepi, ia mengetik bab demi bab. Kisah dua orang asing yang dijodohkan, syarat bulan madu ke Italia, dan bagaimana perjalanan itu bukan hanya soal destinasi, tapi transformasi. Dari keterpaksaan menjadi ketulusan. Dari formalitas menjadi cinta sejati.
Saat naskah itu selesai, Hapy adalah orang pertama yang membacanya. Di akhir cerita, Ria menulis satu kalimat:
"Romeo dan Juliet mati untuk cinta. Tapi kami hidup untuknya."
Hapy menatap Ria. "Ini kisah kita?"
"Ini cinta kita," jawab Ria.
Epilog: Kembali ke VeronaLima tahun kemudian, mereka kembali ke Italia. Kali ini tak lagi sebagai pengantin baru, tapi sebagai pasangan yang sudah menempuh liku-liku hidup bersama. Mereka membawa serta anak kecil berumur tiga tahun, bernama Livia—nama yang terinspirasi dari Giulietta versi Latin.
Di balkon rumah Juliet, mereka berfoto lagi. Livia duduk di pundak Hapy, tertawa melihat burung-burung di langit Verona.
Ria menatap ke atas. Balkon itu masih sama. Tapi kini, bukan sekadar saksi sejarah cinta klasik yang tragis, melainkan simbol cinta modern yang bertahan.
Ria berbisik pelan, seperti menyapa tembok tua itu, “Terima kasih, Verona.”
TAMAT