Masukan nama pengguna
Chat Kosong dan Doa Tanpa Balasan
Pukul dua pagi.
Langit di luar jendela kamar kos Aksa tampak kelabu, meski tidak hujan. Lampu jalan menerobos tirai tipis seperti cahaya yang lelah, dan dari sudut ruangan kecil berukuran 3x3 meter itu, Aksa menatap layar ponselnya yang redup. Jemarinya masih menggenggam ponsel, meski tidak ada pesan baru. Tidak dari grup kelas. Tidak dari Rara. Dan tentu saja—tidak dari Tuhan.
Ia menggeser layar, membuka kembali chat yang sudah lama ia beri nama “Tuhan”.
Bukan karena iseng. Tapi karena Aksa butuh satu ruang, satu kontak, di mana ia bisa menuliskan segala yang tidak bisa ia ucapkan.
Tuhan, kalau Kau dengar... bisakah Kau balas kali ini?
Centang satu. Tak pernah berubah.
Ia tahu itu hanya nomor fiktif. Nomor kosong. Tapi bagi Aksa, menulis di sana terasa lebih jujur daripada berdoa dengan kata-kata lantang yang terdengar dibuat-buat. Ia merasa lebih dekat dengan sesuatu yang sunyi. Ia merasa… didengar, meski tak pernah dibalas.
Hening menyelimuti kamar. Hanya suara kipas angin yang berdetak pelan, seperti detak waktu yang berjalan lambat.
Aksa membenamkan wajahnya di bantal, tapi mata tetap terbuka. Bayangan-bayangan gelap berkelebat dalam benaknya: skripsi yang mandek, beasiswa yang ditolak, dan… ketidakpastian tentang hidup itu sendiri.
Ponselnya menyala sesaat. Bukan pesan. Hanya notifikasi baterai lemah.
Ia kembali mengetik:
Aku capek jadi kuat, Tuhan.
Kenapa dunia gini amat?
Kalau Kau lihat aku, kenapa aku gak bisa lihat Kau?
Ia tidak mengirimkannya. Ia hapus semua, lalu menulis ulang:
Masih di sana?
Lalu, kirim. Centang satu.
Pagi harinya, Aksa baru tertidur satu jam saat suara ketukan di pintu membangunkannya. Dengan enggan, ia membuka.
“Bro, kamu tidur jam berapa sih?” Rara berdiri di ambang pintu, memegang dua gelas kopi instan. “Mata kamu kayak panda gagal diet.”
Aksa menyeringai lelah. “Gak tidur.”
Rara masuk, duduk di pojok kasur tanpa diundang. Ia memandang kamar Aksa yang berantakan dengan buku-buku filsafat terbuka, catatan kecil berserakan, dan mug kopi basi di meja.
“Kamu ngetik-ngetik ke siapa semalem?”
Aksa tak langsung menjawab. Ia menunjuk ponselnya. “Ngobrol aja. Gak harus dibalas.”
Rara mengernyit. Ia tahu tentang kontak “Tuhan” itu. Ia pernah melihatnya sekali saat Aksa tanpa sengaja meninggalkan layar terbuka.
“Kamu gak bisa terus begini, Sa.”
“Begini gimana?”
“Berpura-pura kamu bisa hadapi semuanya sendiri. Padahal jelas kamu nyari tempat buat lari.”
Aksa menarik napas dalam. Ia menatap langit-langit. “Kadang, aku rasa satu-satunya yang benar-benar diam dan gak menghakimi... ya Tuhan.”
Rara terdiam. Ia tahu, tak semua bisa dipecahkan dengan nasihat. Ada luka yang hanya bisa didekati, bukan disembuhkan.
“Kalau kamu gak mau cerita sama manusia, minimal jangan hilangin diri kamu sendiri,” kata Rara lirih.
Aksa menoleh. “Aku cuma pengin didengar. Itu aja.”
Malam harinya, Aksa kembali membuka chat dengan “Tuhan”.
Tadi aku ketemu Rara. Dia masih peduli. Tapi aku takut kalau nanti mereka berhenti peduli. Kayak dunia cuma ngasih batas sabar sampai titik tertentu, terus yaudah... sendirian lagi.
Kalau Kau ada, kenapa semua kayak jauh banget?
Atau ini aku yang nyasar?
Ia menatap layar lama, lalu membuka catatan lama.
Pesan-pesan sebelumnya berderet seperti puisi patah:
“Aku berharap Kau jawab. Tapi mungkin Kau malas sama orang yang selalu ragu.”
“Hari ini aku gak berani berdoa. Aku cuma nulis. Itu cukup?”
“Aku masih di sini. Masih nyoba jadi baik. Meski nggak tahu buat siapa.”
Aksa memandangi kata-kata itu, seperti bercermin pada bagian dirinya yang paling sepi.
Ia tidak menangis. Tapi ada sesuatu yang sesak di dada. Sesuatu yang tak bisa ditunjukkan pada siapa pun.
Suatu siang, Aksa duduk sendirian di taman kampus. Buku di pangkuannya terbuka tapi tak dibaca. Pikiran mengembara.
Seorang dosen mendekat—Pak Tono, pengajar etika dan filsafat.
“Kamu kelihatan kosong, Sa,” katanya sambil duduk di bangku sebelah.
Aksa mengangguk pelan. “Saya lagi mikir... apa Tuhan juga punya waktu baca pesan dari manusia?”
Pak Tono tersenyum. “Mungkin Dia baca, tapi Dia nggak suka balas pakai teks. Dia suka pakai kejadian.”
Aksa mengangguk, pura-pura mengerti.
“Tapi kalau kita nggak bisa nangkep maksud-Nya, gimana?” tanya Aksa.
“Berarti kita harus belajar cara lain buat dengar. Bukan cuma lewat ponsel atau mulut. Tapi lewat hening.”
Hening. Kata itu menggantung di kepala Aksa.
Malam berikutnya, Aksa mencoba satu eksperimen. Ia matikan ponsel. Ia cabut charger. Ia duduk di depan jendela, memandangi langit yang kosong.
Tak ada suara. Tak ada cahaya mencolok. Hanya ia dan pikirannya.
Dan untuk pertama kalinya dalam seminggu, ia tidak merasa ingin mengetik apa-apa.
Ia hanya bertanya dalam hati:
Kalau Kau di sana, bisakah Kau buat aku berhenti mencari?
Tak ada suara menjawab. Tapi tak ada yang perlu dijawab.
Paginya, Aksa membuka ponsel. Masih tak ada notifikasi.
Tapi ia merasa… sedikit lebih ringan.
Bukan karena beban hilang, tapi karena ia tak lagi menggenggamnya terlalu erat.
Di hari berikutnya, saat Rara kembali datang ke kamar kos, Aksa sedang menulis di buku catatan, bukan di ponsel.
“Tumben nulis manual,” kata Rara sambil tersenyum.
Aksa mengangguk. “Kertas ini gak kasih centang. Tapi juga gak bikin aku nunggu.”
Rara tertawa kecil. “Akhirnya.”
Aksa menutup buku, memandangi wajah Rara, lalu berkata pelan, “Aku masih belum tahu apa Tuhan bakal jawab. Tapi aku mulai ngerti... gak semua pertanyaan butuh jawaban langsung.”
Dan dengan itu, malam pun tiba kembali. Sunyi. Tapi tak sepi.
Karena di dalam sunyi itu, Aksa mulai belajar: barangkali, Tuhan tidak perlu online untuk hadir.
**
Dialog dengan Dunia Sekitar: Kilatan Kebijaksanaan
Suatu sore, Aksa duduk sendirian di kantin kampus. Hanya ada beberapa mahasiswa lain yang asyik dengan laptop mereka. Buku filsafat terbuka di hadapannya, tapi pikirannya entah ke mana.
Pak Luhur, dosen filsafat yang dikenal nyentrik, datang membawa kopi hitam. Tanpa banyak bicara, ia duduk di hadapan Aksa.
“Kamu kelihatan... kehilangan,” ucapnya sambil menyeruput kopi.
Aksa tersenyum kecut. “Saya cuma lagi cari Tuhan di dunia yang terlalu sibuk main gadget.”
Pak Luhur tertawa pelan. “Saya pernah juga begitu. Bahkan pernah berpikir: kalau Tuhan pakai Instagram, apa yang akan Dia posting?”
Aksa mendongak, penasaran. “Dan jawaban Bapak?”
“Dia nggak perlu posting. Karena semua ciptaan-Nya sudah jadi konten yang hidup. Sayangnya, kita terlalu sibuk scroll layar sampai lupa menatap langit.”
Aksa terdiam. Kalimat itu menggema dalam pikirannya.
Pak Luhur melanjutkan, “Kita sering mencari Tuhan di tempat yang terlalu bising. Padahal Dia mungkin bersemayam di tempat yang paling tenang: kesadaran sendiri.”
Malam harinya, Aksa mampir ke warung bubur langganan. Di depan warung, duduk tukang parkir tua yang ramah dan rajin tersenyum.
Entah kenapa, malam itu Aksa duduk di sebelahnya.
“Pak, boleh tanya sesuatu?”
Tukang parkir itu menoleh, tersenyum. “Tentu, Mas.”
“Pernah merasa Tuhan jauh?”
Tukang parkir itu mengangguk pelan. “Dulu sering. Tapi setelah istri saya meninggal, saya berhenti nanya.”
“Kenapa?”
“Karena kalau Tuhan diam, bukan berarti Dia pergi. Bisa jadi... Dia lagi dengerin lebih dalam.”
Aksa tak berkata apa-apa. Ia menatap lampu jalan yang mulai redup. Dalam kesunyian itu, kata-kata sederhana si bapak terasa seperti jawaban yang ia cari selama ini.
Keesokan harinya, Aksa kembali ke kampus. Di perpustakaan, ia bertemu Farid, teman seangkatannya yang jarang terlihat.
“Mukamu udah gak kayak zombie, Sa,” kata Farid sambil tertawa.
“Gue baru sadar, kayaknya Tuhan tuh gak jauh-jauh amat. Cuma kita yang sering sibuk sendiri.”
Farid mengangguk. “Kadang, kita pikir doa itu harus bentuk kata-kata. Padahal mungkin cukup dengan diam. Dengan hadir.”
Aksa menyimpan kalimat itu dalam hati. Ia mulai melihat bahwa suara Tuhan mungkin bukan suara keras, tapi gema halus yang muncul dari keheningan.
Di sore yang lain, Aksa berjalan sendirian di trotoar. Hujan baru saja reda. Genangan air memantulkan langit yang mulai jingga.
Ia berhenti di depan musala kecil dekat taman. Seorang anak kecil sedang menyapu halaman.
“Kamu sendirian?” tanya Aksa.
Anak itu mengangguk. “Bapak saya lagi kerja. Saya jagain musala.”
“Hebat kamu,” kata Aksa sambil duduk di undakan.
Anak itu tersenyum. “Saya suka di sini. Tenang. Kayak Tuhan bisa dengar apa aja, walau saya gak ngomong.”
Aksa tersenyum. Ia merasa, hari itu, Tuhan tidak membalas lewat centang dua. Tapi membalas lewat orang-orang biasa, di tempat-tempat tak terduga.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Aksa pulang ke kosan tanpa membuka ponsel. Ia pulang membawa kalimat baru dalam dadanya:
Kalau Tuhan tak bicara lewat suara, mungkin Dia bicara lewat diam orang lain.
Dan malam itu, Aksa tidak mengetik apa-apa ke chat “Tuhan”.
Ia menatap langit dari jendela, dan tersenyum.
**
Ruang Konseling dan Ruang Sunyi
Langit sore menggantung rendah di atas kampus, seperti selimut kelabu yang berat. Aksa berjalan lambat menuju gedung fakultas psikologi, dengan langkah yang lebih seperti menyeret daripada melangkah. Di tangannya, ia menggenggam sebuah buku catatan dengan sampul hitam polos—buku yang belakangan ini menjadi tempatnya mencurahkan pikiran-pikiran yang tak muat di kepala.
Ia tidak pernah berniat masuk ke ruang konseling. Tapi sejak beberapa waktu lalu, seorang dosen merekomendasikan sesi dengan Bu Tati, psikolog kampus yang katanya punya telinga paling sabar dan mata paling jernih di antara dosen-dosen lainnya. Awalnya Aksa menolak. Tapi setelah malam-malam yang penuh doa kosong, pesan-pesan tanpa balasan, dan langit-langit kamar yang terasa makin sempit, ia memutuskan mencoba.
Ruang konseling di lantai dua tampak tenang. Hening. Terlalu hening.
“Silakan duduk,” kata Bu Tati dengan senyum hangat. Perempuan paruh baya itu mengenakan cardigan abu-abu dan celana panjang hitam. Rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya menyiratkan kedewasaan yang tidak menghakimi.
Aksa duduk, memeluk bukunya.
“Aksa, kamu ingin mulai dari mana?”
Aksa mengangkat bahu. “Gak tahu, Bu. Mungkin dari pertanyaan yang gak pernah saya dapat jawabnya.”
“Contohnya?”
Aksa membuka bukunya. Di halaman pertama, tertulis kalimat:
Tuhan kayak sinyal Wi-Fi. Ada, tapi kadang gak bisa konek. Apa salah saya?
Bu Tati membaca pelan-pelan, lalu mengangguk. “Itu pertanyaan yang jujur.”
Aksa tertawa hambar. “Tapi kayaknya bukan pertanyaan yang bisa dijawab dalam sesi 45 menit.”
“Kadang bukan jawabannya yang penting. Tapi keberanianmu untuk bertanya itu sendiri.”
Aksa menatap lantai. “Saya percaya Tuhan ada, Bu. Tapi makin lama, makin ngerasa kayak... Dia gak peduli.”
“Apa karena Kau merasa tidak mendapat jawaban?”
“Ya. Saya nulis banyak hal di catatan. Di chat kosong. Di kontak bernama 'Tuhan'. Tapi ya gitu-gitu aja. Diam. Hampa.”
Bu Tati mengangguk. “Menurutmu, kenapa Tuhan diam?”
Aksa terdiam lama. Ia menggumam, “Menguji? Atau membiarkan saya jatuh? Atau... mungkin saya memang gak cukup layak didengar.”
“Semua itu mungkin. Tapi ada satu kemungkinan lagi: mungkin Tuhan sedang membentuk kamu dalam proses sunyi.”
Aksa mendongak. Matanya menyorot rasa tak percaya dan rasa penasaran sekaligus.
“Proses sunyi?”
“Ya. Karena suara hati yang paling jernih biasanya muncul ketika dunia berhenti bicara. Ketika semua notifikasi mati. Ketika kamu diam dalam, bukan cuma di luar.”
Aksa duduk lebih tegak. “Tapi saya juga manusia, Bu. Saya pengen tahu. Saya butuh rasa disapa.”
“Tentu. Dan itu manusiawi. Tapi kadang, Tuhan tidak menyapa dengan suara. Dia menyapa dengan perubahan.”
“Perubahan?”
“Perubahan cara pandangmu. Perubahan caramu melihat dunia. Cara kamu memperlakukan dirimu sendiri dan orang lain.”
Aksa terdiam. Ia ingat kata-kata tukang parkir, kata-kata Pak Luhur, dan anak kecil penjaga musala. Semuanya tidak muncul dalam bentuk wahyu. Tapi... kenapa rasanya seperti petunjuk?
“Jadi saya harus berhenti nulis ke kontak itu?”
Bu Tati tersenyum. “Terserah kamu. Tapi mungkin sekarang, kamu bisa mulai dengar keheningan, bukan hanya menunggu centang dua.”
Sore itu, Aksa tidak langsung pulang. Ia duduk di taman kampus, membuka kembali buku catatannya.
Halaman demi halaman dipenuhi kalimat-kalimat seperti:
Aku benci sunyi.
Tapi lebih benci kalau ramai hanya bikin makin sepi.
Mungkin aku memang sendirian. Tapi setidaknya aku masih jujur.
Ia berhenti menulis. Untuk pertama kalinya, ia menatap langit senja tanpa berharap pesan balasan dari langit.
Dan saat angin sore berhembus melewati wajahnya, Aksa merasa... hampa itu sedikit berkurang.
Beberapa hari kemudian, Aksa menghadiri sesi kedua dengan Bu Tati. Kali ini, ia datang lebih tenang. Lebih siap.
“Kamu terlihat lebih ringan,” komentar Bu Tati.
“Saya masih bingung. Tapi setidaknya sekarang saya tahu... mungkin saya gak perlu terus nunggu jawaban eksplisit.”
“Lalu apa yang kamu lakukan?”
“Saya mulai nulis, tapi bukan ke chat kosong lagi. Saya tulis untuk saya. Dan... saya mulai mendengarkan.”
“Mendengarkan apa?”
“Diri sendiri. Orang lain. Alam. Momen-momen kecil. Diam.”
Bu Tati tersenyum. “Mungkin itulah awal jawaban yang selama ini kamu cari. Tuhan tidak hilang. Dia hanya menunggu kamu hening cukup lama untuk menyadari keberadaan-Nya.”
Malam itu, Aksa uninstall WhatsApp. Ia hapus semua aplikasi sosial. Ia matikan ponsel dan letakkan di meja. Lalu ia keluar. Tanpa tujuan.
Langkahnya membawanya ke masjid kecil dekat terminal. Sepi. Hanya ada suara kipas angin tua dan tikus lari.
Ia masuk. Duduk. Tak berdoa. Tak membaca apa-apa. Hanya diam.
Beberapa menit kemudian, air matanya mengalir. Bukan karena sedih. Tapi karena... sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Seperti ada jawaban tanpa kata.
Seperti suara hati yang berkata:
"Aku di sini, bahkan saat kamu berhenti mencari."
Dan malam itu, Aksa tersenyum. Tidak karena semuanya selesai. Tapi karena akhirnya ia tahu:
Tuhan tak pernah offline.
**
Tuhan Tak Pernah Online, Tapi Tak Pernah Mati
Beberapa minggu telah berlalu sejak Aksa menutup ruang chat bernama “Tuhan” untuk terakhir kalinya. Kini, ia lebih sering menulis di buku catatan kecil berwarna hitam yang selalu ia bawa kemanapun. Isinya bukan lagi jeritan kosong, tapi fragmen pikiran, pengamatan tentang dunia, dan perasaan yang tak bisa ia ucapkan ke siapa pun.
Perubahan itu tidak datang dengan gegap gempita. Tidak ada cahaya dari langit. Tidak ada suara petir atau wahyu. Hanya keheningan—yang semakin lama, terasa menenangkan, bukan lagi menghantui.
Rara adalah orang pertama yang menyadari perubahan itu.
“Kamu sekarang... beda,” katanya suatu sore saat mereka duduk di pelataran kampus, menatap matahari tenggelam di antara gedung-gedung fakultas.
Aksa tersenyum. “Aku berhenti nunggu balasan.”
“Maksudnya?”
“Aku dulu sibuk nulis ke nomor kosong, berharap Tuhan ngebales. Tapi ternyata... Tuhan gak perlu bales. Karena jawaban-Nya mungkin bukan dalam kata-kata, tapi dalam perubahan hati.”
Rara diam sesaat, lalu menatap Aksa dengan mata teduh. “Terus sekarang kamu udah gak nulis lagi ke Tuhan?”
“Aku masih bicara sama Dia. Tapi lewat hal-hal lain. Lewat matahari. Lewat senyum orang asing. Lewat udara yang nggak kelihatan tapi bikin aku bisa hidup.”
Aksa kembali menjalani hari-hari kampusnya dengan lebih ringan. Ia tetap sibuk dengan tugas dan skripsi. Tapi kali ini, ia tidak melarikan diri ke layar ponsel setiap kali merasa lelah. Ia belajar duduk diam. Menatap langit. Mendengar burung. Bahkan kadang tersenyum sendiri saat hujan turun tiba-tiba.
Ia pernah berpikir bahwa butuh notifikasi dari langit agar bisa merasa diperhatikan. Tapi sekarang, ia tahu: perhatian itu bukan selalu berupa pesan. Kadang justru hadir dalam ketenangan yang datang tanpa sebab.
Di suatu malam yang tenang, ia kembali mengunjungi masjid kecil dekat terminal. Tempat itu kini jadi salah satu tempat favoritnya. Bukan karena keajaiban tertentu. Tapi karena di sana, ia bisa benar-benar mendengar dirinya sendiri.
Ia duduk di sudut ruangan, memejamkan mata.
“Ya Tuhan… aku gak minta jawaban. Aku cuma ingin tetap kuat. Dan kalau bisa, biarkan aku tetap merasa Kau ada… meski tanpa suara.”
Di kampus, Aksa mulai aktif di komunitas literasi. Ia membimbing adik-adik angkatan menulis esai dan puisi. Ia tak lagi berbicara tentang keresahan pribadi dengan wajah kusut. Ia justru memantik diskusi tentang makna diam, makna doa, dan bagaimana manusia bisa berdamai dengan ketidaktahuan.
Dalam satu diskusi, seorang mahasiswa bertanya:
“Mas, kenapa sih Tuhan suka diam?”
Aksa menjawab dengan tenang, “Mungkin karena kita belum selesai bicara dengan diri sendiri. Dan Tuhan mau kita belajar mendengarkan dulu... sebelum berharap didengarkan.”
Waktu terus berjalan. Aksa lulus dari kampusnya. Pada hari wisuda, Rara memberinya sebuah hadiah kecil: sebuah pena dan buku catatan baru.
“Buat terus nulis hal-hal yang gak bisa dibicarakan,” kata Rara.
Aksa tertawa. “Tapi sekarang aku lebih sering diam.”
“Justru karena kamu diam, kamu bisa nulis lebih jernih.”
Mereka saling tersenyum. Dalam diam itu, ada persetujuan. Bahwa hidup memang tidak selalu jelas, tapi bukan berarti tanpa arah.
Beberapa bulan setelah wisuda, Aksa menulis sebuah esai yang ia kirim ke sebuah media daring. Judulnya: “Tuhan Tidak Online, Tapi Tidak Pernah Offline.”
Isinya bukan dakwah. Bukan juga curhat. Tapi catatan reflektif tentang bagaimana manusia kadang memaksa langit menjawab, padahal langit sedang menunggu manusia belajar diam.
Esai itu dibaca banyak orang. Beberapa mengirim pesan terima kasih. Beberapa bahkan mengaku menangis setelah membacanya. Tapi bagi Aksa, yang terpenting bukan respons orang lain. Melainkan kesadaran bahwa tulisannya lahir bukan dari kegelapan, tapi dari proses menyisir cahaya dalam keheningan.
Di akhir esainya, Aksa menulis:
“Jika kamu sedang menunggu Tuhan membalas pesanmu, percayalah—kadang, Ia sedang menulis jawabannya dalam dirimu. Dan saat kamu berhenti mengetik, mungkin saat itulah kamu mulai bisa membaca.”
Cerita ini tidak diakhiri dengan mukjizat. Tidak ada centang dua yang tiba-tiba aktif. Tapi Aksa akhirnya mengerti:
Tuhan tidak perlu ‘online’ untuk hadir.
Tidak perlu ‘read’ untuk peduli.
Karena jawaban terbesar Tuhan mungkin tidak datang dari layar...
...melainkan dari perubahan dalam hati.
Dan sekarang, Aksa tahu satu hal yang pasti:
Tuhan tak pernah online. Tapi Ia juga tak pernah mati. Ia… selalu ada.
--- TAMAT ---