Cerpen
Disukai
1
Dilihat
940
Algoritma, Di Mana Tuhan?
Religi

Filter untuk Tuhan

“Arif, konten ini harus di-take down. Kebijakan baru. Kata ‘mati syahid’ sekarang termasuk high risk term,” suara Anya dari bilik sebelah terdengar datar tapi pasti.

Arif menghela napas. Di layarnya, sebuah video pendek sedang diputar ulang — seorang pemuda memakai sorban, berbicara tentang pentingnya berbuat baik dan mengingat mati. Tidak ada ajakan kekerasan. Tidak ada bendera. Hanya pengingat spiritual. Tapi karena satu frasa, video itu harus dihapus.

“Padahal kalimat terakhirnya cuma ‘semoga kita semua wafat dalam husnul khatimah, seperti para syuhada’,” gumam Arif.

“AI-nya deteksi frasa itu 0,78 dalam threat radar. Nggak bisa ditawar,” ujar Anya, sambil menyeruput kopi.

Arif mematikan audio video itu. Tangannya mengklik tombol “Remove”. Video menghilang, seakan tak pernah ada. Hanya jejak dalam database.

Setiap hari, ia menyaksikan ratusan konten seperti itu. Sebagian memuat ujaran kebencian yang jelas-jelas pantas disingkirkan. Tapi sebagian lain? Hanya ungkapan hati orang-orang yang mencoba mendekat kepada Tuhan, tapi tak cocok dengan algoritma keamanan buatan manusia.

Ia merasa, semakin lama, pekerjaannya bukan hanya menapis konten, tapi juga menapis iman.

 

Arif dulu adalah santri. Lima tahun di pesantren kecil di Yogyakarta. Ia lulus dengan hafalan 12 juz dan segudang puisi-puisi sufi dalam buku catatannya. Tapi kehidupan memanggilnya ke arah lain. Ibunya sakit, adiknya kuliah, dan ia butuh penghasilan tetap. Maka ia pindah ke Jakarta dan masuk ke perusahaan teknologi — awalnya sebagai content analyst, lalu naik menjadi moderator senior.

Ironis, pikirnya. Dulu ia menghafal hadis tentang menjaga lisan. Sekarang ia menyortir konten orang lain berdasarkan sensitivitas kata kunci.

Pada layar lain, notifikasi kembali muncul: "Tinjau konten dengan tagar #RamadanTanpaUlama"

Klik.

Seorang remaja perempuan dengan followers 200 ribu sedang berkata: “Ramadan nggak harus identik sama ceramah ustaz. Kadang cukup dengan journaling dan healing. Tuhan nggak serumit yang mereka bikin-bikin.”

Arif termenung. Ia tidak ingin jadi polisi moral. Tapi perutnya mual.

Anya tiba-tiba nyeletuk, “Kadang gue mikir, kalau Tuhan punya media sosial, akunnya divalidasi biru atau nggak, ya?”

Arif menoleh. “Atau malah diblokir karena nuduh algoritma sebagai berhala baru.”

Anya tertawa.

Tapi Arif tidak.

 

Malam itu, sepulang dari kantor, Arif tidak langsung pulang ke kos. Ia mampir ke masjid kecil di sudut Kebon Sirih. Masjid yang dulu ia kunjungi waktu awal-awal bekerja. Dulu, ia rajin ke sini untuk salat Magrib sebelum pulang. Tapi sudah tiga bulan terakhir, jejak kakinya tak lagi menginjak karpet masjid ini.

Ia duduk di sudut, memandangi langit-langit. Imam sedang membaca surah Al-Fajr. Suaranya tua dan bergetar. “Ya ayyatuha an-nafsu al-muthma’innah...”

“Wahai jiwa yang tenang…”

Arif memejamkan mata. Sudah lama ia merasa jiwanya tidak lagi tenang.

 

Di kamarnya malam itu, Arif membuka ponsel. Ia membuka aplikasi pengatur waktu salat. Ada notifikasi yang berbunyi:

“Sudahkah kamu salat Isya malam ini?”

Ia swipe kiri. Dihapus.

Lalu ia membuka Instagram. Explore page-nya penuh dengan motivasi spiritual, video lucu, dan pengingat-pengingat palsu. Ia melihat satu unggahan seorang dai muda yang ia kenal dulu di pesantren. Akunnya centang biru. Followers dua juta. Tapi komentar-komentarnya isinya caci maki karena ceramah terakhirnya dianggap terlalu eksklusif.

Arif hanya menulis satu komentar, lalu menghapusnya lagi. Tidak jadi dikirim.

“Di mana Tuhan ketika semua bertumpu pada algoritma?”

Ia ingin menanyakan itu pada dunia. Tapi siapa yang mau jawab?

 

Esoknya, saat tim moderator berkumpul untuk briefing pagi, manajer mereka, Rinaldi, menyampaikan berita baru.

“Kita dapat kontrak baru dengan platform lokal. Fokusnya spiritual dan budaya. Tapi tetap harus diawasi ketat. No room for hate speech. No room for polarizing figures.”

Arif mengangkat tangan. “Termasuk tokoh-tokoh keagamaan besar yang punya basis massa?”

Rinaldi mengangguk. “Kalau mereka mengucapkan sesuatu yang bisa dianggap provokatif atau terlalu eksklusif, tetap kena redflag.”

“Jadi... ajakan kembali ke agama, bisa dianggap pelanggaran?”

“Kalau bentuknya eksklusi terhadap kelompok lain, ya. Dunia digital nggak punya tempat untuk narasi ‘kami benar, kalian salah’.”

Anya menyenggol Arif, “Gue bilang juga apa. Surga sekarang harus inklusif.”

Arif tersenyum miris. Ia tahu, niatnya bukan menghina. Tapi ia muak dengan dunia tempat algoritma punya logika, tapi manusia kehilangan nurani.

 

Malam berikutnya, Arif menulis status di akun pribadinya. Akun itu kecil. Followers-nya tidak sampai 500. Ia tulis:

 

Tak banyak yang membalas. Tapi seorang santri dari pesantren lamanya mengirim pesan pribadi.

"Kita bisa kehilangan arah, Mas. Tapi selama kiblat masih ada, jangan takut pulang."

Arif membalas:

“Tapi bagaimana kalau kiblatnya disembunyikan oleh keyword blocker?”

Santri itu hanya menjawab:

“Maka menghadaplah dengan hati. Ia tidak pernah diblokir.”

 

 

Notifikasi dari Langit

Tiga hari sejak pesan dari santri itu masuk, Arif belum juga membalas. Ia membacanya ulang berkali-kali, seolah-olah kata-kata itu adalah pesan yang dikirim dari langit—bukan dari akun Instagram bernama @pesantren_insani.

“Maka menghadaplah dengan hati. Ia tidak pernah diblokir.”

Pagi itu, udara Jakarta penuh debu dan notifikasi. Di ruang kerjanya yang dingin oleh AC, Arif menatap daftar konten yang menunggu ditinjau. Salah satunya berasal dari platform baru lokal—kontrak yang sedang jadi prioritas perusahaan. Platform itu mengklaim diri sebagai “alternatif spiritual” dari media sosial yang terlalu hiruk-pikuk.

Tapi kontennya tetap harus disensor.

Video pertama adalah ceramah seorang perempuan muda dengan latar belakang rak buku dan secangkir kopi. Ia bicara tentang zikir sebagai bentuk perlawanan terhadap algoritma. Arif mendengarkan sampai akhir.

 

Arif bergumam lirih, “Ini bagus.”

Tapi di log sistem, AI menandainya sebagai potensi konten provokatif. Alasannya? Frasa ‘perlawanan terhadap algoritma’ terdeteksi sebagai bentuk antagonisme terhadap sistem teknologi.

“Anya, lo bisa bantu cek ini? Masuk redflag. Tapi kayaknya nggak separah itu.”

Anya mendekat. Ia menonton video itu setengah bagian, lalu mengangkat alis.

“Kalau gue sih biarin aja tayang. Tapi kebijakan sekarang ketat banget soal narasi perlawanan sistem.”

“Tapi dia cuma ngajak orang zikir.”

“Justru itu. Kalau dianggap ngajak orang ninggalin platform, bisa dianggap sabotase pasif. Ingat kasus bulan lalu?”

Arif ingat. Seorang pembicara spiritual ditangguhkan akunnya karena berkata, “Matikan ponselmu dan berbicaralah langsung dengan Tuhan.” Viral seminggu, lalu lenyap.

“Kalau kayak gini terus, lama-lama doa juga bakal dilarang,” gumam Arif.

 

Hari itu ia bekerja lebih lambat. Setiap konten ia tonton dua kali. Bukan karena tidak percaya AI, tapi karena ia takut: kalau semua diserahkan pada mesin, maka yang suci pun bisa dibuang, dan yang palsu bisa naik ke puncak trending.

Di sela waktu istirahat, ia membuka akun TikTok-nya. Explore-nya dipenuhi dengan doa-doa cepat, cuplikan ceramah dengan backsound dramatis, dan potongan-potongan ayat yang diedit dengan efek api.

Satu video menarik perhatiannya. Seorang pemuda berbicara sambil duduk di depan cermin.

 

Arif menatap layar itu lama. Ia menekan tombol share dan mengirimkannya ke Anya.

Tak lama, Anya membalas, “Ini keren. Tapi udah di-shadowban. Dapat peringatan karena visualisasi darah di bagian akhir.”

Arif mengecek lagi. Ya, di detik 59, ada efek darah menetes dari mata si pemuda. Simbolik, tapi dianggap melanggar kebijakan grafis berbahaya.

 

Malamnya, Arif pulang lebih awal. Ia tidak mampir ke masjid. Tapi ia berjanji akan membaca surah Al-Mulk sebelum tidur, seperti dulu di pesantren.

Di kamarnya yang sempit, di antara laptop dan kasur, Arif duduk bersila. Ia mengambil mushaf kecil yang sudah menguning. Di lembar pertama, masih tertulis namanya dan tulisan tinta biru: “Hadiah dari Ustaz Harun – 2011”.

Tapi baru sampai ayat keenam, ponselnya bergetar.

Notifikasi: “Konten baru dilaporkan – cek segera”

Arif menutup mushaf. Berat. Ia membuka laptop.

Kontennya sederhana. Seorang ibu membacakan doa sambil menangis di depan foto anaknya yang meninggal saat kecelakaan. Doanya bukan bentuk radikal. Hanya kalimat sedih: “Tuhan, tolong panggil aku juga jika dunia ini tak memberiku ruang.”

Arif menghela napas panjang. AI menandainya sebagai “potential self-harm content”.

Benar secara sistem. Tapi salah secara hati.

Ia menekan tombol “Request Review”. Ia isi form manual: “Ungkapan duka. Bukan ajakan bunuh diri. Perlu empati, bukan penalti.”

 

Di sela itu, Anya mengirim chat.

 

 

 

Arif tak langsung membalas. Ia menatap layar lama, lalu mengetik:

 

 

Malam itu, ia bermimpi. Ia berada di aula putih yang luas. Semua orang memegang ponsel, tetapi tak satu pun sinyal menyala. Tidak ada internet. Tidak ada jaringan.

Seseorang berseru, “Tuhan akan bicara langsung hari ini.”

Semua orang berdiri. Tapi Arif justru terduduk. Ia merasa malu.

Seseorang mendekat—wajahnya samar, tapi suaranya lembut.

“Kenapa kau diam?”

Arif menjawab, “Aku terbiasa menerima pesan hanya jika ada sinyal. Tapi malam ini tak ada sinyal.”

Orang itu tersenyum. “Tapi hatimu masih hidup, bukan? Maka dengarlah.”

Arif menutup mata.

Dan ia terbangun dengan air mata di pipinya.

 

 

 Swipe untuk Surga

Pagi itu, Arif membuka ponselnya tanpa semangat. Di layar, notifikasi memenuhi bilah atas: update sistem, pengingat moderasi, pesan dari grup kantor, dan satu broadcast dari ustaz yang dulu pernah mengajarinya di pesantren.

 

Broadcast itu tanpa nama pengirim, hanya nomor tak dikenal. Tapi Arif tahu gaya bahasa itu milik Ustaz Harun.

Tangannya bergetar. Ia balas pesan itu dengan satu kalimat:

 

Tidak ada balasan.

Di kantor, Arif mendapati suasana makin sunyi. Anya absen. Di mejanya hanya tertinggal sticky note: “Butuh cuti. Dunia terlalu bising.”

Arif menatap layar kerja. Proyek baru sudah dimulai: “SpiritualReels – Format vertikal berdurasi 60 detik, dikurasi AI dan diperkuat efek sinematik.”

Ia diberi 50 video untuk kurasi pertama. Sebagian besar hanya suara zikir dengan latar sunset, atau potongan ceramah dengan subtitle warna-warni. Tapi satu video membuat Arif terpaku:

 

Judulnya: “Doa yang Tidak Pernah Viral”

Ia klik play ulang. Lagi. Lagi. Lagi.

AI menandainya sebagai low engagement content.

Arif menekan tombol override.

 

 

Siang hari, Arif berjalan keluar kantor. Entah kenapa, langkahnya membawanya ke pesantren tempat ia dulu mondok. Jaraknya satu jam naik ojek online dan bus kecil. Udara lebih tenang di sana. Tidak ada neon iklan. Tidak ada iklan instastory. Hanya tanah dan bunyi kambing.

Di gerbang, seorang santri muda mengenali Arif.

“Mas Arif? Yang dulu pernah di asrama lima?”

Arif mengangguk.

“Ustaz Harun sekarang sudah jarang ngajar. Tapi mungkin lagi di ruang kitab.”

Arif mengikuti santri itu melewati lorong yang dipenuhi sandal jepit. Di ujung lorong, di balik rak-rak kitab, Arif melihat sosok tua dengan sorban kusut dan tangan yang menggurat usia. Ustaz Harun.

Ustaz menoleh pelan, matanya memicing.

“Arif... anak yang dulu suka tidur pas ngaji surah Al-An’am.”

Arif tersenyum malu. “Saya kerja di dunia yang jauh dari Al-An’am, Ustaz.”

“Justru karena jauh, kau ke sini?”

Arif duduk. Lama mereka diam.

Akhirnya ia berkata, “Dulu saya kira, kerja saya akan membantu menyebarkan dakwah. Tapi sekarang... saya tak tahu, apakah saya sedang menyucikan layar atau justru menghapus doa yang tidak sesuai format.”

Ustaz Harun menatapnya dalam-dalam.

“Kau tahu kenapa doa bisa naik ke langit?”

Arif menggeleng.

“Karena ia tidak sibuk menunggu likes.”

 

Sore itu, Arif duduk di tepi kolam pesantren. Ia tak buka ponsel. Ia hanya melihat langit. Perlahan, seperti menonton layar tak kasat mata, ia merasa hatinya memutar ulang masa lalu—saat ia masih mengaji bukan untuk dijadikan konten, saat sujud bukan sekadar bahan sorotan kamera.

Ia ingat saat pertama kali menghafal surah Al-Mulk, saat malam-malam gelap hanya diterangi lentera minyak. Tak ada perekam suara, tak ada algoritma.

Malam itu, saat kembali ke kos, Arif membuat video pendek. Hanya dirinya duduk, tanpa kata, memandang langit dari jendela sempit.

Caption-nya:

 

Ia upload ke akun pribadi. Bukan di akun kantor. Bukan untuk proyek.

Ia tak peduli jumlah penonton.

Esoknya, video itu hanya dapat 12 views. Tapi satu komentar muncul dari akun bernama @sunyidandoaku.

 

Arif mengetik balasan:

 

Ia tutup aplikasi.

Untuk pertama kalinya dalam sekian bulan, Arif tidur tanpa headset. Tanpa notifikasi. Tanpa rasa bersalah.

 

 

 

Dan Tuhan pun Membaca Chat

Arif tidak membuka aplikasi apa pun pagi itu. Tidak Instagram. Tidak YouTube Shorts. Tidak juga dashboard moderasi kantor. Ia hanya membuka satu hal: catatan kecil di buku harian tuanya yang telah lama tak disentuh.

Di halaman pertama, tertulis dengan tinta biru:

 

Tulisannya sendiri, tiga tahun lalu. Sebelum ia terseret dunia peran digital, sebelum ia jadi filter antara "konten yang layak" dan "doa yang membosankan".

 

Di kantor, Arif menyerahkan surat resign. Manager-nya bingung.

“Kenapa? Padahal kamu baru dapat promosi.”

Arif tersenyum, tenang.

“Saya tidak ingin lagi menyeleksi mana doa yang boleh muncul di layar dan mana yang tidak. Itu bukan tugas saya. Itu... di luar kompetensi manusia.”

“Apa kamu mau jadi da’i?” ejek salah satu rekan.

“Bukan. Saya hanya ingin kembali jadi manusia.”

 

Seminggu kemudian, Arif tidak lagi bangun dengan dering notifikasi. Ia pindah ke rumah kontrakan kecil di pinggiran kota. Pekerjaan barunya sederhana: membantu mendesain ulang situs untuk rumah tahfidz anak-anak. Bayarannya kecil. Tapi setiap hari ia mendengar suara anak-anak mengaji, bukan iklan sound effect.

Malam itu, ia duduk di beranda. Di tangannya secangkir teh hangat. Di langit, bintang-bintang bersinar tak butuh viewers.

Ia membuka laptop. Tidak untuk membuka sosial media. Tapi untuk menulis sesuatu.

Judul: Doa Terakhir Sebelum Swipe

Ia menulis:

 

Ia unggah tulisan itu ke blog yang telah lama mati. Bukan dengan harapan dibaca banyak orang. Tapi cukup, satu. Tuhan.

 

Seminggu kemudian, ada pesan masuk ke email lama Arif:

 

Arif menatap layar, meneteskan air mata yang hening. Ia tak tahu siapa pengirimnya. Tak ada nama. Tak ada foto profil.

Tapi ia tahu, kadang Tuhan hadir lewat jalur tak terduga.

 

Malam itu, Arif memutuskan menuliskan satu banner, bukan untuk iklan, bukan untuk publikasi proyek, tapi untuk ditempel di dinding kamarnya.

Tulisannya sederhana:

 

Ia menutup laptop. Menutup lampu. Lalu berdoa.

Tanpa suara.

Tanpa caption.

Tanpa swipe.

Dan sunyi pun menjelma pengantar yang paling jujur.

 

TAMAT

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)