Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,755
Pemuda Khilaf
Komedi

Pelajaran dia siang hari memang terasa sangat membosankan. Barangkali pelajaran pendidikan agama Islam untuk anak sekolah yang diletakkan sebelum jam istirahat solat dhuhur adalah bentuk kontrol agar para murid solat berjamaah sekalian.

Namun siang itu tampak berbeda. Uapan dari mulut-mulut yang rutin tanpa terjadwal itu kini tergantikan oleh ledakan tawa di kelas. Adalah kelas sebelas. Dari sekolah kejuruan Yayasan sebuah pondok pesantren. Pelajaran agama siang itu. Pecutan bagi sang guru karena merasa gagal untuk mendidik para siswa sesuai standar silabus yang dirancang tiap tahun. Terlebih di kalangan pesantren, menahan malu baginya adalah siksaan dunia.

Tercerita bahwa sang guru menjelaskan tentang sebuah pelajaran akhlak. Seperti yang sudah-sudah. Dari SD pun perkenalannya sama saja. Hanya akhlakul karimah dan akhlaqul mazmumah. Tak lupa rentetan ayat suci dan hadis Ia selipkan untuk melengkapi pelajaran siang itu.

Di siang itu. Siang yang membuat perut kelaparan dan dahaga lebih, mendadak mendapatkan sengatan baru. Sebuah hujan membasahi gurun yang panasnya membuat unta ingin mati saja karena tak pernah ada dalam prediksi cuaca.

Seorang murid bernama Anshori menunjuk jari tengahnya ke atas. Katanya, “ Bu, saya mau bertanya?’’

Tentu pertanyaan itu hanya ditujukan kepada sang guru agama kesayangan kelas tersebut. Sang guru merasa sangat senang, karena itu artinya kelasnya berjalan aktif. Sebuah lekuk garis lengkung tersirat di bibirnya.

“Tanya apa le , silahkan!” jawabnya bangga.

“kalau mencuri secara tidak disengaja dosa nggak bu?”

Sang guru tersebut terdiam sejenak. Ia mengamati pertanyaan murid flamboyan kelas tersebut. Mirip seperti seorang detektif yang mendapatkan kasus pertamanya. Ia mungkin akan terlihat seperti penceramah yang menerangkan pikiran umat yang dilanda nestapa.

“ Mencuri secara tak sengaja itu yang bagaimana maksutnya le? Coba kalau ada contohnya di contohi dulu?” kata sang guru.

Mungkin sang guru ingin terlihat bijaksana kalau mengetahui kasus macam apa yang terjadi. Sedetail mungkin ia akan menginvestigasi muridnya tersebut.

“Jadi gini bu,” kata Mujib, teman sebangku Anshori. Kali ini wajahnya memandang Ansori dan Karim.

Mencurigakan! Pikir sang guru.

“ Waktu itu......” kata Mujib mengawali, ia menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan ceritanya.

“Sebentar... ini apa hubungannya, yang nunjuk tangan Ansori, yang mau tanya Ansori lah, lah kok Mujib yang mau jelasin?”

Sang Guru merasa penasaran akan keanehan dua muridnya tersebut, berusaha mencerna situasi yang terjadi.

Kali ini Ansori dan Mujib saling berpandangan, keduanya seperti bertelepati bahwa mungkin ini sudah saatnya.

Mujib menghela nafas, seolah hendak mengeluarkan segala beban yang pernah ia pikul.

“Biarkan saya yang jadi juru bicaranya bu,” kata Mujib. Matanya gusar, ekspresinya kali ini sangat diperhatikan seisi kelas bak selebriti tertangkap sorot kamera.

“Saya dan Karim tengah bertandang ke rumah Anshori bu. Bapak dan ibunya lagi pergi kondangan di Kabupaten sebelah bu.”

“terus apa hubungan sama pertanyaan Anshori jib?” Sahut sang guru menyelidik.

Problematika ibu-ibu. Gemar sekali menyahut pembicaraan. Sulit!

Mujib terdiam, lalu memandang sang guru. Barangkali ekspresinya itu ingin mengatakan makanya! Jangan potong dulu!

“Kami kelaparan Bu. Dan ternyata orang tua Anshori sudah 2 hari nggak pulang. Tak meninggalkan uang juga beras. Apa daya orang udik tak beruang ini hendak makan. Sudah coba kami tahan bu. Tapi perut kami berkata lain. Kasihan cacing-cacing di perut saya ini barangkali mereka berulah dengan demontrasi menuntut minta makan bu.“

Teman mujib tertawa terkekeh. Kalau saja ada orang puskes yang dengar, pastilah mereka langsung diberinya obat cacing.

“Terus..ayam tetangga Anshori lewat Bu,” Mujib terdiam sejenak.

Mujib membayangkan betapa seekor ayam jantan melenggak-lenggok dengan gagahnya. Euforia upin-ipin yang tergila-gila dengan ayam goreng pun melintas dipikiran Mujib. Kalap, kalau kata orang jawa. Ide briliannya pun muncul.

Seluruh isi kelas menyimak, tak ada yang menguap menandakan lelah atau mengantuk, siswa perempuan yang berjilbab melebarkan daun telinga untuk menunggu kelanjutan cerita yang sempat bersambung karena penghayatan Mujib.Untung bahan jilbab sekolah tersebut anti budek, ya... “ anti budek” sangat penting dalam memilih bahan jilbab.

Seluruh isi kelas dibuat penasaran. Bahkan sepertinya gambar Jokowi dan Ma’ruf Amin tersebut rupanya juga ikut mendengarkan.

“Jadinya kami maling ayam tetangga Ansori buat kami makan bu,”

Seluruh kelas bergeming. Karena endingnya sudah bisa ditebak. Inilah akhir cerita siang itu. Beberapa merasa iba karena derita lapar ketiga bujang tersebut. beberapa serasa ingin menghujat bahwa ketiga pemuda tersebut telah mencuri seekor ayam kampung milik tetangga.

“ Jadi kalian bertiga maling ayam secara tidak disengaja maksutnya?”

“ bukan bu,” sahut Karim

“saya tak berani maling Bu!” sambungnya lagi

“ apalagi saya bu, bapak saya guru ngaji bu di kampung. Bisa kena damprat kalau saya maling bu,” bela Anshrori

“huuuuuu................” jawaban satu kelas kompak. Kali ini Mujib dikhianati. Begitu pikir kawan sekelasnya.

“ Hais... sudah-sudah, jangan menghakimi”

“iya Bu saya yang maling,” tukas Mujib menyelamatkan 2 rekannya.

“Anshori cuma memberikan umpan saja Bu, saya diberi jagung tua yang di simpan di langit-langit dapur . Saya lempar jagung tua itu bu, begitu ayam mendekat. Saya lempar sarung Ansori ke ayam biar dia nggak bisa lihat bu. Terus saya tangkep.”

“ terus ayamnya kalian apain?” tanya sang guru pensaran

“ disembelih bu,”

“ siapa yang nyembellih jib?”

“ saya bu.”

“ gimana cara nyembelih ayam kamu jib?”

“ meskipun ayam tersebut hasil maling. Tapi kami sembelih dengan tata cara islam kok bu. Menghadap kiblat”

“Tapi Mujib itu goblok bu! Dia nyembelihnya bukan pake basmallah, tapi baca ALLAHUAKBAR!” kata Karim .

“Iya, saya udah takut ketahuan tetangga bu, Jadi saya lupa baca basmallah. Tapi saya baca allahu akbar kok bu?” sahut Mujib menjelaskan keadaannya. Tak sama persis pasti layaknya Budi Utomo yang membakar pejuang surabaya dengan kalimat tersebut. Tapi 3 pemuda tersebut hanya berjuang melawan nafsu yang egois nan ngilu.

Dan benar saja, apakah ini adegan lucu yang membuat perut tertawa. Atau pecutan bagi orang tua, guru dan lingkungan. Adalah dosa bagi lingkungann tersebut membiarkan 3 pemuda yang kelaparan ini akhirnya berbuat maksiat.

Sang guru takjub, 3 muridnya yang kelewat lincah . dan satu anggotanya dijadikan tumbal. 3 pemuda yang jujur dan punya nyali untuk mengungkapkan aibnya.

“Teeeeeeeeeeett….. teeeeeetttt….” Bel bunyi istirahat kedua. Menandakan waktunya jam istirahat kedua. Juga jam beribahasa solat duhur.

Azan berkumandang, 3 pemuda yang malang mencoba untuk mengakui kesalahannya dan barangkali mereka bisa menemukan solusi dari sang Guru untuk menebus dosa.

Mereka adalah pemud yang jujur dan dihakimi teman sekelasnya. Cerita pilu tapi juga jenaka.

Pelajaran agama siang itu menjadi cambukam untuk semuanya bahwa jika terpepet, khilaf bisa melanda.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)