Masukan nama pengguna
“Kenapa kau ingin sekali menjadi penulis?” tanyamu padaku.
Matamu terus menyelidik seolah-olah hendak memporak porandakan isi otakku. Kau masih berdiri di teras, sedang aku sendiri duduk di kursi plastik berwarna merah muda kebanggaan kosanku.
Sebenarnya aku tak bisa menjelaskan perkara pertanyaanmu itu, kau sedang meradang karena janji semalam yang tak bisa kutepati.
Semalam aku sedang asyik menulis dan melupakan janji untuk menonton teater di kampus denganmu. Aku tak menengok hp androidku , tempat dimana semua pesanmu bersarang. Macam-macam pula isinya, hampir semua abjad dan tanda baca kau gunakan. Baru kubaca pagi ini sebelum kau menemuiku. Kalau aku seorang dosen bahasa akan kuberi kau nilai A tanpa ujian. Bisa kulihat dari ejaan yang kau gunakan tak ada yang salah sama sekali. Hanya kadang-kadang kau boros sekali menggunakan kalimat, pengulangan yang bertubi-tubi membuatku malas membaca semua pesanmu .
Terkadang aku tak sadar kalau waktu memang cepat berlalu. Membuatku melupakan waktu dan hari segera berganti. Aku menulis semalam suntuk bahkan aku belum tidur. Berada di depan layar laptop, menghidupkan seorang tokoh sesuka hatiku. Aku jadi semakin gemar menulis. Keranjingan setiap hari.
Puspa, gadis yang menemuiku itu sebenarnya adalah kekasihku. Sudah 1 tahun lebih hubungan kami. Dia pun tahu, aku tak suka memakai hp, pun rasa-rasanya aku tak seberapa butuh hp hanya saja Bapak pernah sangat marah karena aku tak pernah berkabar, “apa gunanya Bapak belikan Hp bagus dan mahal, kalau berkabar saja kau enggan. Kasihlah kabar nak, biar Bapakmu ini tau, kalau anaknya masih hidup!” semenjak saat itu, aku menjadwalkan kapan aku akan mempergunakan HP ku untuk mengabari keluarga terutama Bapak dan Ibu.
Lain perkara soal Puspa hampir setiap hari kami bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Diskusi buku, film, mata kuliah, agama, politik, seks dan yang lainnya, isu yang sedang hangat. Kami punya hobi yang sama soal diskusi. Tak masalah kalau aku memang tak pernah memberinya pesan atau bertelepon seperti kekasih jaman sekarang yang keranjingan mengahabiskan pulsa yang masih minta orang tua. Kalau pun susah menghubungiku, Puspa dan teman-temanku tau dimana aku berada. Aku pun tahu dimana Puspa berada, soal teman-temanku aku selalu tahu dimana mereka menghabiskan waktu untuk mengobrol tak jelas.
Otakku berkecamuk, seperti mendidih didera pertanyaan Puspa. Apakah perlu suatu hobi punya alasan? Bahkan alasan untuk apa aku dilahirkan didunia pun aku masih mencarinya.
“Jangan diam saja Rob, jawab pertanyaanku!” bentak Puspa
Seorang gadis memang terkenal ketidaksabarannya, maka sebagai lelaki harus siap telak untuk menerima pernyataan yang kadang kurang mengenakkan.
“aku masih memikirkan jawaban untuk pertanyaanmu,” jawabku tenang.
“Rob, kau melupakan dunia nyata untuk berkhayal,” katamu kesal padaku
“aku memang pengkhayal Puspa, bahkan sebelum memilikimu dulu, aku berkhayal lebih dulu. Alangkah bahagianya diriku kalau Puspa Rahayu ini bisa menjadi kekasihku. Kemudian khayalanku menjadi kenyataan.”
“Tapi ini perkara beda Rob, kau melupakan dunia manusia. Kau sekarang suka mengurung diri di kosan hanya untuk menulis. Kau melupakan interaksi dengan sesama manusia!”
Kuakui aku jadi keranjingan menulis enam bulan terakhir ini. aku sangat produktif dalam menulis puisi, cerpen dan novel. Aku sangat suka dunia penokohan. Aku bisa jahat, bisa sangat baik dan sekarang sifat asliku menjadi sangat membosankan.
“Apa sekarang ini kita tidak sedang berinteraksi?” kataku.
“Kau melupakan janjimu semalam!” sahut Puspa kesal.
“Aku minta maaf soal itu,” suaraku memelan, tanda penyesalan.
“Kau juga tak membalas pesan-pesanku atau mengabariku setidaknya untuk bilang bahwa kau tak akan datang ....”
Aku memang sengaja diam, membiarkan Puspa untuk mengeluarkan semua unek-uneknya. Baru kali ini kulihat dia amat protes dan memang ini kali pertama aku tak memenuhi janji. Biasanya aku selalu bilang ya jika aku memang bisa melaksanakannya dan berkata tidak jika aku memang tak bisa.
Tapi semalam entah inspirasi apa yang membuatku menulis seorang tokoh bernama Timur Pengembara.
“Kau selalu menulis bukan enam bulan ini, apakah tulisan-tulisanmu dibaca orang?”
Puspa, kenapa hari ini kau banyak pertanyaan yang sebenarnya kau sudah tahu jawabannya.
“Bukankah kau juga membaca tulisan-tulisanku?”
“ya, itu hanya untuk menyenangkan hatimu, karena kau adalah kekasihku. Menurutmu apa ada yang membaca tulisanmu selain diriku?”
“ ada”
“ siapa?”
“aku”
“ huh ...” kau tersenyum kecut, membuang muka dan merasa menang atas pertanyaanmu.
“Dengar Rob, kau tak bisa terus seperti ini,” kali ini nadamu merendah hendak menasehatiku.
“ Maksudmu?”
“ baiklah, sudah berapa banyak tulisan yang kau hasilkan?”
Lagi, aku didera pertanyaanmu lagi.
“ Entahlah, aku tak pernah menghitung itu.”
“ oke, sudah berapa kali kau mengirim tulisanmu ke berbagai media dan penerbit?”
“ itu juga tak pernah kuhitung.”
“ apakah ada satu tulisanmu yang dimuat di media atau pernahkah kau dihubungi oleh penerbit untuk menerbitkan tulisanmu”
“rasanya belum pernah.”
“ nah, jadi berhentilah menulis Rob dan hiduplah normal. Kau punya aku, punya teman-teman, orang tua dan sahabat!. Jangan mengasingkan diri hanya untuk menulis. Lagi pula tulisanmu tak diminati banyak orang. Hanya aku, satu-satunya orang yang mengapresiasi tulisanmu tak ada yang lain. Bahkan Benny pun beranggapan kalau tulisanmu itu aneh!” bicaramu seperti orang yang tandas akan dendam yang telah lama disimpan.
“ Carilah hobi lain Rob, yang tak menyiksa dirimu dan hubungan kita,” timpalmu lagi.
Aku tak merasa disiksa, sama sekali tidak. Tentang hubungan kita, aku merasa seperti biasanya. Aku tetap meluangkan waktu untukmu dan mengurangi porsi yang tak perlu seperti nongkrong yang tak jelas bersama teman-teman. Kalau nongrongnya teman-temanku pergi ke acara seminar-seminar atau panel diskusi aku pasti langsung bersedia ikut.
“ Apakah jika tulisan-tulisanku dimuat di media atau akan terbit, kau akan bersikap seperti ini?”
“ maksudmu?”
“ ya... aku tahu kalau keberhasilan menulis adalah jika tulisan itu diterbitkan oleh media dan dicetak, lalu dibaca oleh banyak orang, dan berdampak baik seperti menginspirasi bagi pembacanya. Aku menulis karena aku ingin. Aku suka dan tidak karena terpaksa”
“ aku pernah membaca kata mutiara punya Imam Gazhali ‘jika kamu bukan anak raja dan bukan kaya raya maka menulislah’”
Karena itu aku menulis, aku bukan anak raja dan bukan pula kaya raya. Hanya anak raja dan kaya raya yang akan dikenal. Itu sebabnya aku menulis. Aku menulis karena aku masih hidup, masih bernafas, masih bergerak. Panca indraku normal dan semua yanga ada di diriku normal. Barangkali memang bukan sekarang, siapa tahu nanti aku akan dikenang. Ah bukan, bukan untuk dikenang hanya untuk sebuah pengakuan bahwa seorang Robi pernah hidup di dunia.
“ Kau sendiri juga mengikuti kata mutiara itu Puspa”
“ Gila!, jangan samakan aku dengan dirimu Rob!” kau membela diri, merasa tak gila sepertiku dan memang kita tak sama. Aku laki-laki dan kau perempuan.
“ Bukankah kau juga suka menulis?. Lewat status di media sosialmu,” kataku sambil memandangmu tajam.
“ Dari mana kau tahu? Kau tak pernah punya media sosial. Kau kan makhluk anti sosial!” jawabmu hendak menyindirku.
Tapi sebenarnya aku hendak membela. Aku bukan makhluk anti sosial seperti yang kau perkirakan, teman-teman serta keluargaku. Aku masih sering menyapa para tetangga. Lek Mi penjual soto, Pak Darul penjual kopi, Mang Asep si tukang Ojek. Bu Ratmi pemilik kosan. Aku masih sering pergi ke warung membeli perlengkapan pribadiku. Aku masih mengobrol sesama manusia bahkan aku juga punya kekasih. Lalu, dari mana mereka menyimpulkan kalau aku makhluk anti sosial. Karena aku tak suka nongkrong dengan teman-temanku menghabiskan uang di cafe-cafe untuk beli kopi mahal dengan label kekinian. Aku tak suka menggosip dan mengurusi urusan orang. Tak ada faedah nya bagiku. Aku lebih suka menulis, menurutku itu lebih berfaedah. Aku bisa menyampaikan pandanganku lewat menulis dan memang aku tak suka berdebat lewat media sosial. Mencari perhatian banyak orang.
“ ya, memang.aku tak punya media sosial seperti kebanyakan orang. Tapi Benny selalu kemari dan menceritakan pesan-pesan bimbangmu di media sosial. Aku punya pacar aneh, tak pernah menelepon, tak pernah memberi pesan, hari ini pacarku membahas pajak, hari ini dia menulis tentang hewan-hewan, hari ini dia ...”
“Robi!” jawabmu berteriak, kau membentakku.
Mungkin aku sudah keterlaluan, tapi ini karena pancinganmu. Aku tak berniat seperti ingin menjatuhkan dirimu.
“ Rob... aku lelah denganmu,” matamu memandangku. Tak usah kau katakan itu, aku sudah tahu hanya dengan melihat matamu. Hari ini aku seperti tak mengenalmu. Kau menjadi Puspa yang berbeda. Puspa yang ingin lebih dariku. Puspa yang banyak menuntut.
“ Aku tak masalah Puspa dengan itu, karena di depanku kau menunjukkan sifat yang amat baik. Kekasih yang selalu seperti merpati. Manis dan selalu menyenangkan. Kau juga sangat mengenalku. Aku tak tahu kalau kau bisa berubah menjadi Puspa lain di media sosial”
“ maksudmu aku punya sifat kepribadian ganda?”
“ aku tak mengatakan itu Puspa”
“ Baiklah Rob, aku tak bisa menjadi kekasih yang seperti merpati lagi untukmu. Manis dan selalu menyenangkan hatimu. Aku Puspa yang punya kepribadian ganda dan punya pacar aneh sepertimu. Untuk itu sebaiknya kita...”
“Puspa, apa tidak sebaiknya kita ....”
“Tidak Rob, aku rasa ini adalah akhir dari hubungan kita,”katamu telak.
Matamu tertunduk, kau bahkan tak berani memandangku. Aku salah, aku bersalah... apa tidak bisa semua ini diperbaiki.
Aku bangkit dari kursi plastik kebanggaan kosanku itu. Aku hendak mendekat mencoba merayunya lagi barangkali. Langkahku terhenti saat kau mundur seolah memang tak ingin aku mendekat. Kau menangis, tapi tak ingin ketahuan.
“ Tak bisakah kita memperbaiki segalanya Puspa?” kataku padamu.
“ Aku tak ingin kehilanganmu, tak masalah pula kalau punya kepribadian ganda. Tapi aku juga tak bisa berhenti menulis Puspa, tolong mengertilah”
Ini hari minggu, kosan sepi jadi pertengkaranku dengan Puspa tak banyak yang akan tahu karena para penghuni kosan memang sedang pulang kampung.
“ Tidak Rob, aku tak bisa lagi denganmu. Kau carilah kekasih yang baru, yang sanggup dengan kekhawatiran setiap saat tanpa kabarmu atau kau buat saja tokoh untuk menjadi kekasihmu. Aku tak bisa lagi memahamimu. Setahun memang kita bersama, tapi itu tak membuatku cukup untuk mempertahankan hubungan aneh ini”
“Puspa...” tanganku hendak meraihnya, barangkali dia akan luluh atau setidaknya meredalah emosinya yang sudah ia tahan selama ini. tapi dia mundur lagi dan lekas berkata..
“ selamat jalan Rob,” ia melangkah pergi, meninggalkankan teras, meninggalkan kosanku dan meninggalkanku yang linglung. Ia datang dengan amarah dan pergi dengan air mata. Kecewa oleh kekasihnya yang aneh, yang tak mau mengalah karena hobinya.
Aku sedih, seperti ada yang hilang dariku. Mengiba dan meratap.Tiba-tiba aku ingin menulis, menulis kisahku atau menuruti apa kata Puspa, menulis tokoh untuk menggantikan posisinya.
Aku ingin segera menulis dan tetap ingin menjadi penulis.