Masukan nama pengguna
Sabtu itu sekitar pukul 11 malam, Purba sedang dalam perjalanan pulang ke Singaraja. Dengan motor matik yang baru saja lunas kreditannya. Setelah seminggu mengais rezeki sebagai pegawai hotel di kawasan Seminyak.
Sudah lebih setahun hal itu dilakukan. Jadi Purba sangat hafal medan jalan yang dilaluinya. Baik itu jumlah tikungan hingga lubang di jalan yang selalu bertambah tiap saat. Begitu juga titik-titik rawan longsor yang semakin berbahaya jika musim penghujan tiba.
Dan ketika Purba memasuki kawasan Bedugul. Kabut tiba-tiba turun. Cukup tebal hingga membatasi jarak pandang hanya dua meter. Bukannya gentar atau menepi sejenak. Purba malah tetap memacu si matik. Walau sedikit memperlambat tarikan gasnya.
Memang tak ada kendala dalam menerobos kabut itu. Apalagi Purba sudah sangat siap menghadapi jika hal seperti ini terjadi. Hal tersebut tampak dari setelan pakaian yang ia kenakan. Semuanya berbahan parasut anti air dan tebal. Jadi rintik air serta udara yang dingin dianggapnya sebagai angin lalu.
Namun, ketika Purba hendak berbelok ke kanan. Tiba-tiba, dari arah depan muncul dua cahaya putih yang sangat dekat serta menyilaukan. Hingga ia secara refleks menutup kedua mata dan membanting setang ke kanan sambil menekan tuas rem. Sehingga matiknya berhenti mendadak.
Beruntungnya tidak ada kendaraan lain yang berada di belakangnya. Jika tidak, kemungkinan besar Purba sudah mengalami kecelakaan saat ini.
"Bangsat! Cahaya apa itu? Terang sekali," kesal Purba sambil menoleh ke belakang.
Herannya ia tidak melihat ada cahaya warna merah atau suara knalpot. Jika cahaya tadi berasal dari kendaraan besar. Tentu hal itu menjadi pertanyaan yang mengganjal di hati, tapi dengan cepat Purba mengabaikannya dan kembali melanjutkan perjalanan. Karena ia harus segera sampai di Singaraja. Apalagi dirinya sudah ada janji untuk bertemu dengan sang belahan jiwa esok pagi.
Baru saja Purba tancap gas, kabut yang menghalangi pandangannya. Perlahan-lahan menghilang. Tentu hal itu membuat dirinya senang dan langsung menaikkan kecepatan si matik. Hingga akhirnya ia telah melewati Danau Bratan.
Namun, begitu melewati tanjakan yang sisi kirinya sering dipenuhi para monyet. Kedua mata Purba terasa berat dan mengantuk. Bertepatan dengan itu, ia melihat di sisi kanan jalan. Tampak sebuah warung kecil berdinding anyaman bambu yang masih buka dan terlihat ramai oleh pengunjung.
Wah, kebetulan sekali. Sebaiknya aku ngopi dulu di sana. Biar kantukku ini hilang, batinnya sambil menuju ke warung itu.
Setelah memarkirkan si matik, Purba segera masuk ke warung dan memesan secangkir kopi hitam. Karena warung ramai oleh pengunjung serta tidak ada tempat duduk. Purba memilih duduk di luar, dekat parkiran. Kebetulan di sana ada kursi panjang yang terbuat dari kayu.
Tak lama setelah Purba duduk, datanglah seorang perempuan berambut panjang sambil membawa nampan berisi kopi dan sebatang rokok filter. Purba pun kaget melihat itu. Karena ia merasa tidak memesan rokok. Apalagi cuma sebatang.
Namun, yang membuat dirinya lebih kaget lagi dan hanya bisa terdiam mematung. Ketika perempuan itu membaca mantra pengulapan sambil meletakkan nampan tadi tepat di depan kakinya.
"Om santi santi santi om."
Mantra penutup sebelum perempuan itu kembali ke warung untuk melayani pelanggan yang baru datang. Dengan keadaan yang sama persis seperti Purba—berlumuran darah.