Masukan nama pengguna
Bunda hilang. Hanya itu kesimpulan yang bisa aku tarik.
Siang itu, aku disambut dengan tangisan adikku, Xena, yang masih bayi. Dia menangis keras sambil berdiri memegang tepi meja. Bau tak enak menguar dari bagian belakang tubuhnya. Tak jauh dari situ, Ayah berdiri kebingungan.
"Vin, tolong cariin popok bersih!" perintahnya seraya menoleh sekilas padaku.
Buyar sudah impianku untuk bersantai di kamar. Aku mengaduk lemari Xena untuk mencari benda yang diminta Ayah. Cih, nggak ada. Akhirnya, aku terpaksa membuka lemari pakaian Bunda. Bundaku kadang suka random dan meletakkan barang-barang di tempat aneh.
Benar saja, popok sekali pakai itu ada di lemarinya. Tergeletak berantakan, bersebelahan dengan celengan plastik berbentuk kucing yang terbuka sumbatnya.
Aku mengerutkan kening saat melihatnya. Kupungut benda itu. Ketika hendak menutup sumbatnya di bagian bawah, tanganku terkena noda-noda hitam khas bekas uang logam. Berarti, celengan ini tadinya sudah terisi sebelum dibongkar Bunda?
"Yah, Bunda memangnya ke mana?" tanyaku dengan nada senormal mungkin.
"Nggak tau," jawabnya panik. "Tadi, Bunda buru-buru lari keluar begitu Ayah sampai sambil bilang sesuatu." Ayah berusaha mengganti popok Xena yang masih nangis kejer.
Usaha yang sia-sia, baru saja popok itu terpasang, Xena sudah mengeluarkan bau tak enak.
"Yah, poop lagi itu," tunjukku. "Bunda bilang apa pas pergi tadi?"
Ayahku terduduk lemas di sebelah Xena. "Kata Bunda, 'Titip Xena dan Alvin'. Atau sesuatu tentang apanya Alvin? Entah," jawabnya sedikit linglung.
Aku terdiam terkejut.
***
Hari beranjak sore. Xena tertidur kelelahan di sofa ruang tamu, sementara aku duduk di lantai di sebelahnya. Kelelahan juga.
Sebetulnya, tadi siang Xena tertidur tak lama setelah diganti popoknya. Ayah dengan canggung membuatkannya sebotol susu, yang kuberikan dengan susah payah pada adikku.
Kami lapar. Dengan sudut mataku, aku melihat Ayah mengendap-endap melalui pintu samping. Kucekal lengannya dan bertanya hendak ke mana dia.
"Beli makanan. Memangnya kamu nggak lapar?" Ayah balik bertanya.
"Pakai kurir saja." Aku setengah memohon, setengah mengancam. Bayangan akan Xena yang terbangun saat aku hanya berdua dengannya membuat kepalaku berputar. Aku sudah empat belas, terlalu tua untuk mempunyai adik bayi!
Ayah menyerah dan memesan makanan lewat ponsel, yang kemudian kami sesali. Pasalnya, Bapak Kurir itu berteriak keras sekali dari balik pagar ketika tiba.
"Pak! Ssh, jangan teriak-teriak. Nanti adik saya bangun," desisku, menghampirinya dengan cemas.
"APA? JANGAN SEHAH? TAPI DI SINI KATANYA MINTA LEVEL 10?" Dia malah berteriak makin keras.
"Aduh, bukan itu. Maksud saya pelanin...."
"KAMU BILANG SAYA TERLALU PELAN? SAYA NGGAK BISA NGEBUT, JANG!" Dia melotot dan melompat ke motornya. Kumisnya yang beruban sampai bergetar saking marahnya. Bapak itu melesat pergi meninggalkan raungan motor dan asap knalpot.
Ketika aku kembali ke dalam rumah, kulihat ayahku sudah menari-nari sambil menggendong Xena yang kembali menangis keras.
Tuh, kan, jadi bangun. Aku terduduk lemas. Pantas, Bunda selalu ngamuk kalau kami bersuara keras dan membangunkan Xena.
***
"Lapor polisi, Yah," pintaku, ketika menjelang magrib Bunda belum pulang juga.
"Belum 24 jam," jawabnya lemas.
Kami bergantian menghubungi ponselnya, tapi kemudian berhenti ketika menemukan benda itu tergeletak di bawah tumpukan baju yang belum selesai dilipat.
Tanpa sadar, tanganku mulai memilah-milah gunungan pakaian itu dan melipatnya. Astaga, belum 15 menit aku sudah bersin-bersin. Kok, Bunda kuat ya melipat dan menyetrika segunung pakaian ini? Dulu, aku cukup sering membantunya melipat pakaian dan menyapu rumah, sebelum aku disibukkan dengan kegiatan klub di sekolah.
Aku lapar, tapi kejadian dengan kurir makanan tadi masih membuatku jengkel. Berulang kali mataku melirik ke arah pagar, lalu nyaris melompat keluar jendela ketika melihat sosok mungil membawa hampir selusin tentengan dalam remang senja.
"Bunda!" teriakku.
"Da da da!" Xena meniru dan melambai heboh.
"Ke mana aja?" sambut Ayah gusar. Aku tahu, Ayah pura-pura marah. Sinar cemas di matanya terlihat jelas.
Bunda duduk di lantai, kemudian meraup Xena ke dalam pelukannya. Dia menghirup dalam-dalam aroma rambut Xena.
Bau kecut, pastinya. Xena, kan, belum dimandikan. Aku tahu dia bau kecut, karena aku melakukannya berkali-kali hari ini. Anehnya, bau mirip ragi roti itu terasa menenangkan.
Tatapanku beralih ke kantong-kantong belanja yang ternyata dibawa Bunda.
"Bunda belanja?" tanyaku bingung. Kuraih salah satu kantong kertas yang bernoda minyak dan mengeluarkan aroma harum martabak. Huh, perutku langsung bergemuruh.
"Oh, iya! Bunda sampai lupa mau bilang." Wajah Bunda mendadak sumringah. Dibongkarnya kantong-kantong belanja itu.
"Tadi siang, Bunda dapat pesan dari Bude Win, katanya supermarket dekat rumahnya mau tutup dan menggelar sale besar-besaran. Diskonnya sampai 90%. Bunda tiba-tiba ingat kalau kamu butuh sepatu buat futsal. Nih," ditaruhnya sebuah kotak sepatu di depanku.
Aku melongo dengan mulut penuh martabak. Sepatu baru!
"Terus Ayah, kemarin bilang kaos kakinya pada bolong. Kemeja putih kena noda makanan Xena, kan? Nih, ada juga buat Ayah." Bunda menyorongkan sebuah tas besar ke pelukan Ayah.
"Untuk my baby bala-bala juga ada." Bunda menggelitik Xena dan mengeluarkan kantong besar berisi popok sekali pakai berbonus boneka mirip tuyul. Sudah, itu saja.
Bocah itu langsung ber-da-da-da dengan gembira menyambut hadiahnya.
"Buat Xena cuma popok?" cetusku heran. Kok, Bunda nggak beli pakaian bayi atau mainan? Kukira, ibu-ibu yang punya bayi perempuan semuanya tidak bisa menahan diri untuk membeli pernak-pernik lucu.
Bunda menatapku dengan serius, "Ya, kan, Bunda nggak bisa bikin popok. Jadi, mumpung diskon, Bunda beli banyak. Lagian ada bonusnya tuh." Bunda menunjuk boneka mirip tuyul yang dipegang Xena. "Kalau dress bayi sih mending bikin. Lebih irit. Gampil itu!" Bunda menjentikkan jarinya dengan mulut sedikit mencibir.
"Tapi kenapa mesti belanja sampai jam segini?" Ayah masih jengkel rupanya.
"Namanya diskon besar, antrinya luar biasa," jawab Bunda seraya menyeruput es kopi dalam kemasan. "Apalagi, rekening Bunda, kan, kosong melompong. Jadi, tadi Bunda bongkar dulu tuh celengan di lemari. Isinya kebanyakan koin, jadi tadi Bunda dimarahi kasir juga karena bikin antrian panjang. Bunda anteng aja, kan, mumpung Ayah sedang cuti," lanjutnya seraya terkikik.
Aku memelototi Ayah. Rekening kosong?! "Memangnya Bunda nggak dikasih uang sama Ayah?" celetukku.
Bunda memutar bola mata. "Sudah! Coba saja dulu sepatumu, muat nggak?" kilahnya menghindar.
Aku pernah mencuri dengar saat Bunda meminta uang pada Ayah, sekali itu. Uang itu untuk membayar seragam futsalku. Ayah menolaknya dan berkata, bahwa itu masih tengah bulan, kenapa minta uang tambahan? Saat hatiku mencelos dan seragam tim seolah terbang melewati pelupuk mataku, Bunda tersenyum dan memberiku sejumlah uang yang kubutuhkan.
Esoknya, kuperhatikan beberapa buku koleksi Bunda lenyap dari rak.
Aku kembali menatap Ayah dengan kesal. Sepatu berkilau itu masih belum kusentuh. Muat ataupun tidak, akan kujejalkan sepatu itu di kakiku. Bunda sudah susah payah membelinya untukku.
"Ahem." Ayah melengos menghindari tatapanku. "Terus, Bunda nggak beli apa-apa buat Bunda sendiri?"
Bunda terdiam. "Eh, iya juga. Bunda nggak inget sama sekali. Ingetnya sepatu Alvin pas lari keluar tadi," ucapnya seraya mengerutkan kening. "Kapan-kapan saja," pungkasnya.
***
Sabtu itu, pulang dari latihan futsal, kujumpai Ayah, Bunda, dan Xena di halaman belakang. Xena tampak asyik membolak-balik buku bayi yang tampak baru. Buku itu mengeluarkan bunyi kicrik-kicrik kala Xena mengguncangnya.
"Alvin! Lihat, tadi Bunda beli hoodie ini. Cocok kayaknya buatmu, coba deh," pintanya, seraya mengangsurkan hoodie berwarna hitam.
Kupakai hoodie itu dan berpose, "Gimana?" Aku menyunggingkan senyum miring yang kuanggap keren.
"Mirip oppa-oppa!" Bunda bertepuk tangan gembira. "Anakku ganteng banget!"
Kadang-kadang, Bunda bertingkah seperti anak kecil saja. Aku berhenti nyengir dan bertanya, "Bunda ngejar sale lagi tadi?" Jaket ber-hoodie ini lumayan mahal harganya.
"Enggak, tadi Ayah ngasih Bunda segepok uang. Terus, Bunda disuruh keluar. Terserah buat apa, katanya. Buat spa, atau nyalon, atau nonton bioskop," jawabnya seraya tersenyum. "Waktu itu, Xena lagi tidur," lanjutnya.
"Tapi bundamu itu malah beli beginian," timpal Ayah seraya bersungut-sungut. "Kirain mau me-time."
"Bunda sudah me-time. Nih, buat Ayah. Yang ini buat Xena." Bunda membagi-bagi bungkusan yang dibawanya.
"Buat Bunda mana?" tanyaku dan Ayah ketika bungkusan terakhir dibagikan.
Bunda menepuk keningnya. "Lupa!"
Aku dan Ayah saling pandang sambil mengeluh. Kurasa, sampai kapan pun, Bunda tetap lebih memikirkan orang-orang yang dicintainya ketimbang dirinya sendiri.
-Tamat-
Tangerang Selatan, 18 Juni 2024