Cerpen
Disukai
2
Dilihat
14,464
It's My Life
Drama

"Gina, sudah besar nanti kamu mau jadi apa?"

Pertanyaan itu sudah berkali-kali didengarnya dilontarkan oleh kedua orang tuanya, para kerabat dan tetangga, juga guru-guru di sekolahnya. Gina kecil memberi jawaban otomatis, yang seolah sudah ditanamkan dalam benaknya sejak dia duduk di taman kanak-kanak.

"Mau jadi dokter," begitu jawabnya.

"Kenapa mau jadi dokter?" tanya mereka lagi.

Biasanya Gina hanya mengangkat bahu saja. Bukankah itu jawaban seperti itu yang ingin didengar mereka? Apakah dia benar-benar ingin menjadi dokter? Atau pilot? Atau insinyur? Gina tidak tahu. Yang ingin diberikannya hanyalah jawaban dalam kategori 'aman'.

***

Perlahan, Gina menggoreskan pensil di halaman belakang buku tulis kimianya. Beragam model gaun dan setelan memenuhi lembaran buku itu.

Ini adalah salah satu kebiasaan anehnya, menggambar di tengah-tengah jam pelajaran. Sebetulnya, cara ini membantunya untuk lebih fokus. Hanya saja, resiko untuk ketahuan guru lumayan tinggi.

"Kamu, yang pakai kacamata!" tegur Pak Frankie dari depan kelas.

Gina diam saja. Ada beberapa siswa berkacamata di kelas ini, tidak mungkin dia yang dipanggil.

"Kacamata!"

Joanna yang duduk di sebelah Gina menyepak kakinya seraya berbisik, "Kamu dipanggil!"

Terkejut, Gina menutup bukunya catatannya. Gawat kalau ketahuan dia asyik menggambar!

"Kerjakan reaksi kimia ini." Pak Frankie mengetuk papan tulis dengan spidolnya.

Lega, Gina melangkah ke depan. Semula dia khawatir gurunya itu memergoki dirinya sedang asyik menggambar. Kalau sekadar menjawab soal sih, mudah saja. Sambil tidur pun soal sesulit apapun dapat dikerjakan dengan mudah olehnya.

Beberapa menit kemudian, Gina asyik menyelesaikan soal yang diberikan. Terdengar suara gumam teman-temannya di belakang, tapi dia abaikan. Entah kenapa mereka berisik sekali. Tahu rasa mereka nanti kalau Pak Frankie marah!

Gadis berambut lurus sebahu itu berbalik hendak kembali ke kursinya. Jantungnya seolah melorot ke perut ketika dilihatnya Pak Frankie sedang duduk di kursinya, membolak-balik buku catatan kimianya.

Joanna tampak pucat pasi di sebelah Pak Frankie. Dia merasa kasihan pada Gina, tapi tidak dapat berbuat apa-apa. Memangnya dia bisa apa? Merebut buku Gina dari tangan Pak Frankie? Oho, cari mati itu namanya!

"Ini rancanganmu?" Pak Frankie mengangkat buku Gina, memperlihatkan halaman belakang yang dipenuhi gambar rancangan pakaian.

"I... iya, Pak," jawab Gina. Oke, dia benar-benar berada dalam masalah besar sekarang!

Anehnya, pria paruh baya itu meletakkan buku Gina tanpa berkata apa-apa lagi, lalu beranjak ke depan untuk memeriksa pekerjaan Gina.

Namun, baru saja hendak bernapas lega, Pak Frankie kembali memanggilnya.

"Kacamata! Ada event upcycle untuk acara tujuhbelasan nanti. Kamu bisa bikin gaun-gaun atau apalah dari plastik kemasan, terserah kamu saja. Formulirnya nanti saya berikan. Wajib daftar, kecuali kamu mau kena hukuman karena menggambar di kelas saat pelajaran saya!"

Gina sukses melongo.

***

Merancang gaun dari bahan limbah plastik? Itu mudah saja bagi Gina. Beragam ide berlompatan dalam benaknya, laksana percikan kembang api malam tahun baru. Namun, ada sedikit masalah.

"Dari mana aku bisa mendapatkan bungkus sachet kopi sebanyak ini?" gumam Gina sambil mengamati gambar rancangannya. Menurut perhitungan kilatnya, gaun tersebut akan membutuhkan ratusan bungkus kopi.

"Kamu lupa hobkiku yang aneh itu?" sahut Joanna sambil terkekeh. "Main ke rumahku, yuk. Sudah lama kita nggak curhat-curhatan."

Seulas senyum timbul di wajah Gina. Benar juga, saking paniknya, dia sampai lupa akan hobi unik Joanna.

Malam itu Gina menginap di rumah Joanna. Sahabatnya itu punya hobi aneh. Dia senang mengumpulkan bungkus-bungkus makanan ringan aneka warna yang kemudian dia bersihkan dan simpan. Menurut Joanna, bungkus-bungkus plastik itu warnanya cantik, karena itulah dia menyimpannya. Sebagian kecil sudah dia gunakan untuk membuat pernak-pernik lucu seperti kotak aksesoris, tapi masih tersisa sekardus besar yang belum diolahnya.

"Kamu bisa pakai ini, cukup untuk satu gaun kayaknya," ucap Joanna seraya menepuk kardus berisi plastik kopi itu.

"Duh, tapi aku masih nggak yakin. Gimana kalau aku gagal? Aku belum pernah membuat baju, hanya menggambarnya saja. Lagipula, apak kata orang tuaku nanti?" Gina mengelak.

Dia sangat tertarik mencoba, tapi takut orang tuanya tidak mengizinkan. Entah apa kata mereka nanti kalau melihatnya asyik menjahit gaun, dari plastik sampah pula, alih-alih mempersiapkan diri untuk masuk universitas?

"Ikut aja kenapa sih, nggak ada ruginya. Kamu punya bakat tapi kok diumpetin gini," keluh Joanna.

Gina termenung. Dia tidak takut kalah, tapi bagaimana kalau dia menang? Karya pemenangnya akan diikutkan dalam acara Save Our Planet di sebuah hotel bintang lima di kota ini. Dia tidak siap mental. Sifat pemalu sekaligus introvert-nya membuat Gina selalu menghindari keramaian. Lagipula, setahu Gina, salah satu jurinya terkenal lumayan galak.

Dia mengemukakan kegelisahannya pada Joanna. "...dan pemenangnya nanti nggak cukup mengumpulkan satu karya. Minimal harus memeragakan lima karya," lanjut Gina.

Joanna terbahak-bahak hingga air matanya bercucuran. "Gina! Daftar aja belum, udah khawatir menang," tawanya.

"Ayolah Gina, do you wanna be just a face in the crowd? Buatlah plastik-plastik ini berguna," desak Joanna.

Gina menghempaskan badannya ke kasur Joanna, menatap langit-langit kamar yang dipenuhi stiker berbentuk bintang. Berani taruhan, stiker-stiker itu pasti akan menyala dalam gelap.

"Sudahlah, kamu bingung aja sendiri sana. Aku mau nerusin tugas harianku." Joanna beranjak ke laptop seraya melambaikan tangannya dengan tidak sabar.

"Tugas harian apa?" tanya Gina, penasaran.

"Menulis," jawabnya singkat. Tangannya sibuk mengetik.

"Kamu jadi ikutan? Tapi kamu bilang mentornya galak?" pekik Gina.

Joanna memutar bola matanya dengan sebal. Dia menghentikan kegiatannya dan berbalik, "Heh, kamu itu ya. Kalo takut-takut terus, kapan majunya. Aku sih nggak peduli mau diomelin atau apa, yang penting dapat ilmu. Lagian, segalak-galaknya juga dia nggak akan mukul aku."

Meski terkejut mendengar omelan Joanna, tapi dalam hati Gina membenarkannya. Apa sih hal terburuk yang bakal terjadi?

***

Pagi itu Gina menyeret Joanna menuju ruang guru sebelum bel masuk berbunyi.

"Apaan sih?" protes sahabatnya.

"Temenin ke Pak Frankie. Mau ngumpulin formulir pendaftaran," pinta Gina.

Joanna tersenyum lebar. "Cuss lah! Ini dia, calon perancang busana terkenal dari SMU Negeri tu... hmmpf!"

"Berisik!" gerutu Gina, menekap mulut Joanna untuk mencegahnya bertingkah memalukan.

***

Joanna menatap gunungan bungkus kopi di kamar Gina dengan tidak berdaya. Ini semua yang harus disortir?

Sesuai prediksi Joanna dan Pak Frankie, karya upcycle Gina memenangkan lomba di sekolah. Setelah ini, Gina akan maju ke lomba antar sekolah. Lawannya banyak yang berasal dari sekolah kejuruan, tentunya dengan bekal ilmu yang lebih munpuni. Namun, Gina tidak lagi gentar.

Tentu saja, Gina diminta untuk membuat lebih banyak gaun. Gadis introvert itu sampai memberanikan diri meminta bungkus kopi ke warung-warung kopi dekat rumah mereka.

Syukurlah, orang tua Gina tidak melarangnya untuk mengikuti lomba tersebut, dengan syarat Gina harus mempertahankan prestasinya di sekolah.

Bagi Gina, hal tersebut tidak masalah. Apalagi, para guru pun memberinya dukungan penuh karena dirinya akan membawa nama baik sekolah.

"Kamu berhasil dapat sebanyak ini?" tanya Joanna kagum.

"Yep." Gina nyengir, puas. "Sekarang kamu bantu aku bersihkan ini ya, lalu keringkan. Awas jangan salah gunting," perintahnya, mendadak berlagak seperti bos.

"Baik, Nona Besar. Jangan lupa traktirannya," ucap Joanna seraya mengenakan celemek dan bersiap kerja keras hari itu.


-Tamat-


Tangerang Selatan, 13 September 2023 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (4)