Flash
Disukai
0
Dilihat
4,201
Jaga Malam
Horor

Banyak mahasiswa Kedokteran Gigi mengatakan bahwa menjadi koas di bagian Bedah Mulut itu paling seru, tegang, bikin deh-degan, sekaligus paling 'menenangkan'.

"Nggak salah, tuh? Bukannya bagian bedah itu paling horor? Sudahlah ada acara jaga malam, pasiennya pun sudah pasti kasusnya paling ngeri," komentar Nida sambil mengamati sahabatnya yang sedang sibuk mengepak perlengkapan untuk giliran jaga malamnya di rumah sakit.

"Enak, tauk," sanggah Arisa. "Meskipun lo begadang semalaman, tapi ya udah, kerjaan lo nggak dibawa pulang. Kelar saat giliran jaga lo selesai. Lo bandingin sama bagian lain, tuh lihat kerjaan Ortho gue di meja." Arisa menunjuk model studi dan kawat-kawat gigi beserta tang yang berserakan di mejanya.

Nida meringis. "Iya deh, iya. Nanti lo ceritain ke gue ya. Dua bulan lagi gue masuk ke Bedah Mulut."

"Siip. Gue pergi dulu. Titip kamar. Mudah-mudahan aja bisa santai malam ini. Btw, kalau lo gabut, bantuin gue kek, bikin labial bow. Buatan gue kribo gitu sih kawatnya," keluh Arisa.

"Enak aja. Wani piro?" cibir Nida. "Dah, sana pergi! Eh, iya, Arisaa?!" panggilnya.

Arisa berbalik di depan pintu. "Apaan?"

"Jangan ngomong jorok," ucap Nida dengan nada memperingatkan.

Sambil geleng-geleng kepala, Arisa keluar dari kamar. Jangan ngomong jorok? Pesan macam apa itu. Memangnya dia barusan ngomong apa? Ada-ada saja.

***

Matahari masih mengintip malu ketika gadis belia itu menjejakkan kaki di pelataran rumah sakit pendidikan milik pemerintah itu. Udara terasa sejuk, suasana rumah sakit pun tampak lengang.

Sambil bersenandung, Arisa berjalan menuju tangga di gedung lama. Klinik Bedah Mulut berlokasi di lantai tiga. Sebetulnya ada lift di samping tangga, tetapi lift tersebut diperuntukan bagi pasien. Dan dokter, tentu saja.

Lagipula, siapa yang ingin masuk ke dalam lift tersebut? Arisa bergidik saat melewati benda itu. Hawanya suram, juga tercium bau karat. Apalagi, gadis mungil itu memang kurang suka berada di dalam ruang kecil dan rapat.

Suasana tangga juga tak kalah seram. Sambil menguatkan hati, Arisa menaiki tangga dengan cepat, nyaris berlari.

"Pagi, Dek. Ngapain kamu lari-lari di tangga?" sapa Dokter Rino ketika Arisa tiba di depan klinik.

"O-olah raga Dok!" jawab Arisa sambil terengah. Tangga gelap dan sunyi, entah seperti apa nanti suasananya di malam hari.

Dokter Rino memutar bola mata mendengar jawabannya, lalu pergi ke ruangan residen tanpa berkata apa-apa lagi.

"Dokter Rino residen jaganya?" tanya Arisa pada sekelompok temannya yang sedang menikmati sarapan di meja koas.

"Iya," jawab Nina. "Gosipnya, dia tuh aura emergency-nya kuat," bisik Nina.

"Wah, gawat," keluh Maura seraya menelungkupkan wajah di meja. "Kalo tau bakal jaga sama dia, tadi malam gue nggak akan begadang."

Arisa menghempaskan diri di salah satu bangku panjang. "Ah, mitos itu. Nggak ada aura aneh-aneh gitu," cibirnya. "Palingan juga nanti sepi--"

"Jangan ngomong jorok!" teriak Maura.

Sementara itu, Nina yang duduk di seberang Arisa buru-buru menekap mulut gadis itu. "Jangan sembarangan ngom--"

Ucapannya terputus oleh suara pintu ruang residen yang menjeblak terbuka. Dokter Rina berbicara cepat melalui ponsel, disusul dering telepon ruangan yang memekakkan telinga.

Semua terjadi begitu cepat. Nina berlari menuju telepon dan menyambarnya, sementara Maura dan Arisa melompat berdiri menunggu perintah.

"Koas, satu ikut saya ke ruangan. Satu bawa perlengkapan interdental wiring ke IGD, satu jaga di klinik. Dua teman kalian dan Dokter Yudha sudah langsung menuju IGD," perintahnya.

Ketiga gadis itu segera bergerak sesuai perintah. Ketika berpapasan dengan Arisa, Maura menggeram jengkel. "Sudah gue bilang, jangan ngomong sembarangan!"

***

Pasien dalam kondisi beragam mengalir tanpa henti dari pagi hingga malam, hingga pagi berikutnya. Kelompok jaga malam bagian bedah mulut yang hanya terdiri dari lima orang koas dan dua orang residen itu bekerja pontang-panting.

"Sumpah, belum pernah gue ngalamin yang kayak gini. Seandainya saja ada tambahan koas," keluh Arisa seraya terhuyung menaiki tangga untuk ke sekian kalinya. "Nina, alat dasar sudah steril?" tanya Arisa begitu mencapai ruang poli Bedah Mulut.

"Sudah. Antar ke ruang mana?" sahut Nina tanpa menoleh.

"IGD. Eh, sini gue aja yang..."

Belum selesai Arisa berbicara, Nina sudah berjalan cepat keluar ruangan. Matanya menatap lurus ke depan, sementara wajahnya pucat. Gerakannya cepat sekali, nyaris seperti meluncur.

"Lo mau ke mana? Kenapa jadi gue yang jaga di poli?" protes Arisa.

Ya, dia memang lelah karena mondar-mandir mengantarkan berbagai peralatan ke IGD dan ruang rawat inap, tapi itu lebih baik daripada harus duduk diam sendirian di dalam poli yang sepi.

"Risa," sapa sebuah suara.

Arisa menoleh dan mendapati Nina berjalan santai ke arahnya. "Cepet banget, Na? Lo lari atau terbang?"

"Maksud lo?" tanya Nina bingung. "Lo, kok, sudah balik ke sini? Kirain banyak pasien di IGD. Btw, itu kenapa alat sterilan mati? Baru aja gue nyalain tadi sebelum ke toilet!"

Tiba-tiba Arisa merasa ketakutan. "Lo abis dari toilet? Bukannya lo tadi yang lari ke IGD setelah menyiapkan alat dasar? Lo sendiri tadi yang matiin sterilan," sergah Arisa.

Nina membeku dengan tatapan ngeri. "Gue abis dari toilet, wey! Itu bukan gue!"

"Siapa dong?" rengek Arisa.

"Gue nggak ta--"

"Girls."

Perdebatan mereka terpotong. Keduanya menatap ke arah suara dengan mata terbelalak.

"Girls, Dokter Reno minta alat dasar dibawa ke RC 3," ucap seorang gadis berkucir kuda. Gadis dengan wajah serupa Arisa, dan mengenakan name tag bertuliskan 'Arisa Widyaputri'.

Nina menatap kedua Arisa dengan wajah pucat pasi. Ketika melirik ke bawah, tanpa berkata apa-apa lagi Nina menyambar satu kotak berisi peralatan dan berlari tunggang langgang menuju lantai satu.

Barusan dilihatnya kedua Arisa tidak menapak lantai.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)