Masukan nama pengguna
Seorang gadis manis dengan secangkir kopi panas selalu menemani waktuku saat aku mampir di sebuah kafe di tepi jalan raya antar kota. Seperti yang terjadi menjelang siang hari ini, saat sang mentari baru naik sepenggalah.
***
Dia bernama Paramitha, tapi lebih sering dipanggil Mitha. Tiga tahun lebih muda usianya dariku. Itu pengakuannya saat pertama kali aku berkenalan dengannya, dua tahun yang lalu. Dia berambut hitam panjang sebahu serta berlesung pipit. Berkulit bersih coklat sawo matang. Tinggi tubuhnya semampai tapi sedikit lebih pendek dari aku.
Aku baru tahu kalau dia adalah pemilik kafe ini dari salah seorang pramusajinya. Ketika pagi itu salah seorang pramusaji dengan tergopoh-gopoh mendatangi Mitha yang sedang ngobrol denganku. Dia meminta maaf karena belum datang saat aku mampir ke kafe ini.
"Maaf, Mitha, atas keterlambatan saya," kata pramusaji itu.
"Tidak apa-apa! Ini juga masih terlalu pagi. Baru saja aku membuka kafe kita. Dia mampir karena di luar hujan. Hanya ada aku. Akhirnya, aku yang membuatkan kopi untuknya dan ... kita berkenalan," jawab Mitha sambil tersenyum.
"Emm ... Mitha, kalian hanya berdua kerja di kafe ini?" tanyaku sambil memperhatikan mereka berdua. Tapi Mitha hanya diam saja.
"Aku yang kerja pada Mitha bersama tiga temanku lainnya. Sedangkan Mitha ... dia pemilik kafe ini," jawab si pramusaji.
Paramitha adalah gadis muda yang hebat. Dia juga mengaku kalau masih kuliah seperti aku. Tapi bedanya dia sudah bisa mandiri dan mempunyai sebuah kafe yang dia kelola bersama beberapa temannya. Cukup ramai juga pengunjung kafenya. Apalagi di akhir pekan seperti ini.
***
Mitha selalu menemaniku saat aku mampir ke kafenya. Dulu sebulan sekali aku selalu mampir ke kafenya untuk menunggu bus antar kota yang akan datang menjemputku. Aku akan pulang kampung karena uang jatah makan dari orang tuaku sudah habis. Aku memang anak rantau. Dan di Kota Jogja ini aku sedang menuntut ilmu demi masa depanku. Saat ini adalah masa-masa akhir kuliahku.
Tapi setelah perkenalan itu, empat kali dalam sebulan aku selalu datang ke kafenya. Dengan kata lain seminggu sekali. Dan aku melakukannya di setiap akhir pekan, yang berarti pada setiap malam minggu. Malam yang biasa digunakan oleh sepasang anak muda untuk bertemu dan bercengkerama memantapkan hubungan kasih mereka.
Tapi di setiap pertemuan itu aku hanya sekedar ngobrol biasa saja melepas kepenatan setelah berkutat dengan kegiatan di kampusku. Tak lupa secangkir kopi panas selalu menemaniku berkeluh kesah padanya.
Dia dengan sabar mendengarkan dan selalu memberi semangat padaku. Tapi dari bening bola mata itu, aku dapat merasakan sebuah harapan yang tidak pernah dia ungkapkan selama ini. Dan di akhir setiap pertemuanku dengannya, aku selalu memendam tanya. Apakah dia tidak sedang terikat janji dengan seseorang? Sedangkan dia di setiap akhir pekan selalu memberikan semua waktunya untukku.
***
Hari ini, untuk kesekian kalinya sejak dua tahun perkenalan itu, aku masih selalu mampir ke kafenya. Waktu itu mentari sedang naik tinggi saat aku mampir ke kafenya. Sengaja aku datang lebih awal dari biasanya karena aku akan pulang ke kampung untuk menengok kedua orang tuaku. Sampai di sana, aku melihat sudah banyak pengunjung yang datang ke kafenya. Karena memang hari ini adalah hari libur akhir pekan. Meski begitu, Mitha selalu menyediakan waktu untuk menemaniku dengan secangkir kopi panasnya.
Sejenak pandangan mataku keluar dari jendela kafe. Aku memperhatikan daun-daun kuning yang luruh berguguran ditiup angin. Sang mentari pun tak kenal lelah selalu menghamparkan sinarnya. Dan di bawah pohon-pohon besar terbentuk kanopi-kanopi alami berjajar di penggal ruas jalan raya di depan kafe. Begitu teduh, sehingga membuat betah sekumpulan bocah yang sedang bermain di bawah salah satu kanopinya, tepat di samping kanan kafe ini.
Namun tidak seperti dalam pertemuan-pertemuan yang telah lalu, hari ini aku benar-benar larut dalam canda tawanya. Hilang semua resah di hati. Aku pun seolah tak mau pergi darinya. Hingga aku sengaja melewatkan beberapa kali kedatangan bus antar kota itu berlalu dari pandangan mataku. Entah sejak kapan rasa nyaman itu datang dan tidak mau pergi.
"Telolet ... telolet ...!"
Untuk yang kesekian kalinya aku mendengar suara klakson itu. Bus antar kota telah datang lagi. Sementara waktu begitu cepat berlalu saat bersamanya. Hingga tak terasa hari sudah menjelang sore. Aku menyeruput lagi kopiku yang masih setengah cangkir dan berniat untuk pamit kepada Mitha.
Sejenak aku melempar pandangan mataku ke luar kafe lagi. Aku melihat sekumpulan bocah yang berlarian menyongsong kedatangan bus antar kota itu sambil mengacung-acungkan tangannya. Aku tersenyum saat melihat apa yang mereka genggam.
"Terima kasih untuk waktumu dan kopi panas ini," kataku sambil mengalihkan pandanganku kembali pada Mitha.
Aku merogoh saku celana jins-ku untuk mengambil sejumlah uang dan kuberikan pada Mitha. Tapi tidak seperti waktu-waktu yang telah lalu, kali ini dia menolaknya secara halus.
"Kenapa kamu tolak uang ini? Uangku tidak cukup?" tanyaku keheranan.
"Kali ini tidak cukup, jika itu ... untuk membeli waktuku," jawab Mitha sambil menatapku lembut. Tetapi kali ini tatapan mata itu membuat hatiku menjadi kalang kabut.
"Maaf kalau begitu. Nanti setelah kembali, aku akan melunasi kekurangannya," kataku dengan tak enak hati.
Namun, Mitha terus memandangiku hingga membuatku menjadi salah tingkah di hadapannya. Aku memegang lembut tangannya kemudian aku menggenggamkan uang itu kembali padanya. Sesaat dia hanya diam tetapi aku melihat kegelisahan di raut wajah manisnya.
"Tidak usah!" kata Mitha kemudian. Dia tetap menolaknya.
"Aku senang kamu selalu mampir ke tempatku walau hanya sebentar. Kehadiranmu di kafeku ini sudah lebih dari cukup bagiku untuk kamu membeli waktuku," katanya kemudian.
"Jika kamu menolaknya ...." Aku menghentikan perkataanku karena melihat dia tersenyum manis sambil menatapku dalam-dalam hingga membuat lidahku kelu untuk bicara.
"Jika aku menolaknya ...." Mitha segera menyahut omonganku, "kamu masih tetap akan mampir ke sini," lanjutnya sambil menggenggamkan kembali uang itu pada tanganku.
"Tapi, aku ...."
"Aku tahu kamu selalu ada untuk waktuku." Kembali dia memotong perkataanku sambil mengelus lembut punggung tanganku.
Aku terhipnotis dengan kata-kata Mitha dan terdiam kembali. Aku merasa dia berusaha memutar balik logikaku dan membenamkan kata-kata itu ke alam bawah sadarku.
'Mungkinkah ...
Kitakan slalu bersama ...
Walau terbentang jarak antara kita ...'
Pada saat itu aku mendengar alunan suara sebuah lagu milik grup band Stinky dari sound sistem kafenya yang seolah-olah membangun imajinasiku dengannya. Sejenak kami saling diam sambil bertatap mata.
Telolet ... telolet ...!
Tiba-tiba suara klakson bus antar kota yang disahut tawa riang gembira sekumpulan bocah itu membuyarkan imajinasiku.
"Aku akan selalu menunggumu kembali ke sini," lanjut Mitha dengan nada pelan.
Aku kembali melihat senyum manis tersungging di bibir tipisnya. Dia kemudian meraih kedua tanganku. Perasaanku menjadi tidak karuan saat aku merasakan tangan Mitha menggenggam lembut tanganku. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Aku segera mengalihkan pandangan mataku pada sekelompok bocah yang masih berkerumun di depan bus sambil terus mengacung-acungkan tangannya. Sejenak polah tingkah bocah-bocah itu dapat menghapus senyum manis Mitha, gadis pemilik kafe ini yang sedang mencoba menggapai palung hatiku.
***
Aku duduk di bangku depan bus. Aku mempertahankan pandangan mataku agar tidak menengok ke arah Mitha. Tak lama kemudian terlintas bayangan seorang gadis adik kelasku dulu yang sedang berdiri menungguku terpisah jarak ruang beberapa ratus kilometer di sana. Aku sudah terikat janji dengannya walau belum sampai mengikat jari manisku. Bus antar kota segera melaju cepat mengantarkan aku padanya.
Dytta, aku dalam perjalanan. Kalimat itu tertulis dalam chat WA pribadiku dengannya.
Aku duduk sendiri di samping jendela. Kembali bayangan Mitha muncul dalam kesendirianku. Dia seakan berusaha melonggarkan ikatan janji hatiku pada Dytta. Dan imajinasiku dengan Mitha bertebaran tanpa bisa aku bendung lagi.
Pandangan mataku pun menerawang jauh keluar dari jendela bus. Aku melihat sekumpulan awan saling berpautan membentuk sebuah hamparan kelabu yang semakin lama semakin gelap. Segelap imajinasiku yang sedang aku urai untuk menemukan batas-batas kebenaran sebuah janji.
***
Aku akan pulang sebulan sekali, begitu janjiku dulu pada Dytta, di sebuah halte bus antar kota tiga tahun yang lalu. Aku pergi untuk meraih sebuah impian bagi masa depanku. Aku harus menuntut ilmu untuk mewujudkan angan dan cita-citaku. Perjalanan panjang ini menjadikan jarak antara aku dan dia.
Dytta menatapku sendu. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca. Dan bibir merahnya sedikit bergetar menahan rasa. Seolah tebersit tanya di dalam hatinya, apakah aku akan tetap menjadi miliknya saat aku kembali nanti.
Sedangkan perkenalanku dengan Mitha terjadi satu tahun setelah itu ketika aku harus berteduh dan singgah di kafenya untuk menunggu kedatangan bus antar kota. Saat itu langit mendung diikuti rintik hujan yang semakin deras. Aku dan beberapa orang yang semula berada di halte di samping depan kafenya segera berlari menuju ke kafe karena halte terlalu sempit untuk berteduh. Tetapi mereka hanya berdiri di luar, tidak seperti aku yang menyempatkan diri untuk masuk dan duduk di dalam kafe. Meski hari itu masih terlalu pagi, secangkir kopi panas mengawali perkenalanku dengan Mitha, gadis pemilik kafe itu.
***
Udara dingin AC di dalam bus antar kota pun semakin dingin seiring turunnya air hujan dari langit. Hujan pertama yang telah lama dinantikan oleh tanah. Hujan sebagai curahan rasa rindu mendung kepada tanah. Sementara itu bus antar kota terus melaju cepat menggerus jarak antara aku dengan Dytta di sana. Tetapi bayangan Mitha samar-samar masih menyelinap di rongga kepalaku.
Aku hanya bisa menggigit jari membayangkan kesetiaan tanah pada hujan. Sebuah kesetiaan akan tanpa arti bila tidak ada yang menjadi pengujinya, begitu pikirku. Hujan pun turun semakin deras diiringi tiupan angin yang semakin kencang. Angin datang sebagai penguji bagi tanah. Butiran air hujan berhamburan, daun-daun gugur beterbangan dan dahan-dahan patah diterjang angin kencang.
Bus pun telah tiba di pinggiran kota. Sementara suasana sudah porak-poranda. Tetapi bus antar kota ini terus melaju menuju halte tempat Dytta biasa menjemputku. Sesaat kemudian aku melihat sebuah pohon besar tumbang dan baliho baja roboh di jalan menuju halte itu. Jalanan pun menjadi macet. Aku gelisah membayangkan Dytta berada di sana dengan suasana seperti ini. Kegelisahanku semakin bertambah ketika Pak Sopir berusaha membelokkan arah busnya dan terus melaju pelan menghindari kemacetan.
"Aku turun di halte depan itu," kataku pada kondektur.
"Macet! Tidak bisa mendekat. Harus belok arah. Kamu bisa turun di sini kalau mau. Atau ikut memutar, turun di jalan tembus setelah halte itu," kata Pak Sopir sambil menekan pedal remnya.
Sesaat bus berhenti. Aku melihat beberapa penumpang pun turun. Tapi aku ragu hingga melewatkan kesempatan itu. Pak Sopir pun segera menekan kembali pedal gasnya. Pelan tapi pasti bus meninggalkan tempat itu diiringi tatapan mataku pada halte yang semakin menjauh.
Tak lama kemudian chat WA-ku bergetar, kamu sampai di mana?
Aku masih di dalam bus. Tidak jauh dari haltemu, jawabku di chat WA.
Jalan macet. Sepertinya tidak bisa lewat sini. Kamu turun di mana?
Harus putar arah ..., belum selesai aku mengetikkan jawaban itu, tiba-tiba batere ponselku mati. Chat kemudian tak berbalas.
Apakah Dytta masih menungguku di sana? Aku merasa gelisah dan berada di persimpangan. Anganku tak tentu arah, antara Mitha yang selalu menemaniku di kafe atau Dytta yang selalu menjemputku di halte itu. Kesetiaan memang harus diuji. Dan tanah telah membuktikan kesetiaannya pada hujan meskipun jadi porak-poranda tempatnya.
Aku pun segera turun dari bus meski telah cukup jauh jaraknya dari halte itu. Aku berusaha menepis keraguanku pada Dytta dan tidak ingin dia terlalu lama menungguku. Aku kemudian berlari tanpa menghiraukan tiupan angin kencang dan rintik hujan yang menerpa serta membasahi sekujur tubuhku. Tapi sampai di sana aku melihat halte itu telah kosong. Berat perjalananku dan sia-sia sudah perjuanganku.
Anganku kembali melayang pada Mitha. Seandainya saja aku masih di sana dengan secangkir kopi panasnya. Pikiranku kembali melayang tak karuan. Saat itu aku hanya bisa berdiri mematung di depan halte yang telah terkoyak atapnya dan bertanya dalam hati, apakah Dytta akan tergantikan?
Aku mengangkat wajah dan menatap langit yang masih menyisakan mendung. Dapatkah aku seperti hujan yang akan menuntaskan rindunya pada tanah? Aku melihat butir-butir air hujan kembali menetes dari langit dan beterbangan ditiup angin. Basah dan terasa dingin ketika menerpa wajahku. Sedingin hatiku yang masih merindukan sapaan lembut dari Dytta.
"Hai, ganteng! Apa kamu mencariku?" Tiba-tiba aku mendengar suara yang tak asing lagi bagiku menyapa dari belakangku. Belum sempat aku menoleh dan menjawabnya, sebuah tangan lembut tapi dingin menyentuh dan menarik lenganku.
"Di luar gerimis semakin deras, kita mampir dulu ke kafe di seberang jalan itu," ajaknya kemudian.
Aku menoleh dan melihat Dytta dengan senyum manisnya. Aku kemudian mengangguk menyetujui usulnya. Segera kaki ini melangkah mengiringi langkah kaki Dytta menuju sebuah kafe di seberang jalan. Dia menuntunku menuju meja di pojok ruang.
Percakapanku dengan Dytta hanya terjadi sepatah dua patah kata. Aku seperti terbuai oleh suara derai rintik hujan yang menghanyutkan semua anganku dengannya. Tiba-tiba Dytta beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri salah seorang pramusaji.
Aku melihat dia seperti bercakap-cakap sebentar kemudian berjalan mengikuti pramusaji itu masuk melewati pintu khusus karyawan. Tak lama kemudian Dytta keluar lagi sambil membawa baki kecil dengan satu cangkir di atasnya menuju ke tempatku.
"Kamu hanya pesan satu cangkir?" tanyaku saat dia sampai di dekat meja.
"Iya, ini khusus buatmu ... kesukaanmu. Aku buat sendiri," jawab Dytta sambil tersenyum.
"Kopi panas dengan sedikit gula. Karena kamu telah rela berbasah kuyup untuk menemuiku," lanjutnya kemudian meletakkan cangkir itu tepat di hadapanku di atas meja.
"Terimakasih," kataku. Dia hanya mengangguk.
Dytta kembali duduk kemudian menatapku dalam-dalam. Dari telaga bening kedua bola mata itu, aku seolah menangkap kembali sebuah harapan dan juga keraguan yang dulu pernah tersimpan dalam hatinya.
"Akhir-akhir ini kamu jarang mengirim kabar. Aku tahu kamu sibuk karena ini masa-masa akhir kuliahmu. Jika kamu kembali nanti ... masih adakah waktu untukku?"
"Dytta maafkan aku. Aku ...," kataku lirih sambil menggenggam tangannya.
Telolet ... telolet ...!
Tiba-tiba aku mendengar suara klakson bus antar kota. Bersamaan dengan itu juga aku merasakan Dytta berusaha menarik tangannya untuk melepaskan genggaman tanganku.
Aku benar-benar terkejut dengan kejadian itu hingga membuyarkan semua angan-anganku. Aku lebih terkejut lagi saat mataku beradu pandangan dengan telaga bening kedua bola mata Mitha yang duduk di hadapanku.
"Ee, Mitha ...?" tanyaku.
"Iya ...! Kamu telah melewatkan beberapa bus. Sekarang pulanglah. Sepertinya dia telah menunggumu," kata Mitha.
Aku tersadar kembali atas apa yang telah terjadi. Dan aku tidak bisa berkata apa-apa lagi saat itu.
"Hati-hati di jalan." Untuk kesekian kalinya kalimat singkat itu meluncur dari bibir tipisnya. Aku hanya tersenyum dan perlahan bangkit dari tempat dudukku.
"Seandainya bukan aku, secangkir kopi panas ini akan tetap selalu menunggumu kembali ke sini," lanjut Mitha dengan nada pelan sambil menatapku dalam-dalam. Aku segera melemparkan langkahku meninggalkan Mitha sebelum hati ini jauh mendua.
Dan secangkir kopi panas ini akan terus menjadi penguji long distance-ku dengan Dytta. Dapatkah aku bertahan untuknya?
Solo.17.01.2023
[Bomowica]
*****