Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,175
Allena dan Anggur Merah
Misteri

Namaku Allena. Aku tinggal di sebuah rumah kontrakan milik John yang berada di kampung di pinggiran ibu kota bersama tiga temanku. Rumah Atlanta namanya.

John pernah cerita padaku kalau dulunya dia adalah anak seorang pengusaha sukses dan kaya di kampungnya. Setelah orang tuanya meninggal, dia mendapat harta warisan lebih banyak dari saudara satu-satunya, meski mereka laki-laki semua. Harta warisan itu kemudian dipakainya untuk bisnis properti. Salah satu propertinya dikembangkan menjadi rumah kontrakan semi mewah dan diberinya nama Rumah Atlanta ini.

Namun, akibat dari pembagian harta warisan tersebut hubungan antara John dengan saudaranya jadi merenggang. Ada rasa tidak senang, iri, sekaligus kecewa dari saudaranya itu hingga mereka jarang bertegur sapa. Tapi John terus berusaha mendekati saudaranya agar mau membantu bisnisnya dengan sejumlah imbalan tentunya. Karena John sendiri tidak begitu pandai berbisnis. 

Hubungan mereka selanjutnya sedikit membaik karena saudara John mau membantunya meski kata John perasaan tidak senang dari saudaranya itu masih ada. Hal itu dilihat dari pembagian keuntungan yang sering tidak sesuai perjanjian dengan alasan yang tidak jelas.

John juga mempunyai kebiasaan yang buruk, yaitu suka berfoya-foya. Hampir saja dia menghabiskan uangnya hanya untuk menuruti kesenangannya. Termasuk dengan para penghuni rumah kontrakannya. Dan di antara teman-temanku, akulah yang paling menarik perhatian dan paling dekat dengan John. Bisa dibilang John lebih suka padaku. Dari situlah John sering bercerita padaku tentang diri dan keluarganya.

Namun, saudaranya membiarkan saja kelakuan John yang suka berfoya-foya. Toh dia juga mendapat uang dari bisnis itu. Bahkan dia mengambil keuntungan lebih besar dari yang diberikan pada John. Aku tahu hal itu dari cerita John juga. Dia suka mengeluh karena uang yang diberikan oleh saudaranya itu terbilang sedikit. Apalagi jika digunakan untuk menuruti kesenangannya, selalu kurang. 

Rumah kontrakan Atlanta yang aku tempati ini memiliki empat kamar tidur cukup luas dengan kamar mandi masing-masing di dalam. Terdapat dapur yang menyatu dengan ruang makan di pojok ruangan sehingga menambah kesan unik rumah Atlanta tersebut.

Ruang tamu pun didesain mirip sebuah mini bar dengan meja panjang melengkung dan kursi-kursi tinggi sebagai ciri khasnya. Sebuah televisi flat 42 inchi terletak di atas buffet dengan seperangkat alat pemutar musik di dalamnya. Satu set sofa dengan meja kecilnya juga tersedia di ruangan itu untuk kenyamanan orang-orang yang bertamu sambil melihat televisi atau sekedar mendengarkan alunan musik.

Sebuah repro lukisan foto Marlyn Monroe dengan ke dua tangan menahan gaun bagian depan yang sedikit tersingkap tertiup angin dipajang di dinding depan. John pun menggaji seorang pelayan atau pembantu rumah tangga untuk merawat dan membersihkan rumah dan halaman beserta seluruh perabotan yang ada. Paijo namanya. Namun, aku dan teman-teman sering memanggilnya Ijo.

***

Aku bersama ke tiga temanku yang bernama Alexis, Dolly, dan Cindy sudah satu tahun lebih tinggal di Rumah Atlanta. Mereka semuanya pendatang yang berasal dari pelosok kota yang berbeda. Sehingga aku tidak tahu persis latar belakang kehidupan mereka sebelumnya. Sewaktu datang ke Rumah Atlanta penampilan mereka sederhana saja seperti aku juga.

Tapi setelah bekerja pada sebuah perusahaan entertainment terkemuka di ibu kota yang berjarak tempuh kurang lebih 30 menit dari Rumah Atlanta tersebut, warga perkampungan sering mencibir aku dan teman-teman karena busana dan penampilanku yang menurut mereka terlalu norak dan bergaya hidup glamor.

Sedangkan gaji yang aku terima cukup mepet untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membayar sewa rumah kontrakan yang aku tempati sekarang ini. Sehingga menarik perhatian John dengan memanfaatkan sifatnya yang suka berfoya-foya menjadi sesuatu yang wajib bagi aku dan teman-teman agar mendapat uang tambahan dan keringanan diperbolehkan tinggal di Rumah Atlanta. Gayung pun bersambut. Dan aku sejak awal yang mendapat perhatian lebih dari John dibanding teman-temanku.

Sementara itu ada salah satu penggemar yang menjadi tamu tetap di Rumah Atlanta. Nick namanya. Dia selalu menjadi rebutan dan menuruti semua keinginanku dan teman-teman. Namun, aku juga yang menjadi primadona baginya. Seperti John, Nick pun lebih suka padaku. Bukannya sombong, meski postur tubuhku lebih kecil dibanding teman-temanku tapi penampilan dan gestur tubuhku paling menarik.

Tapi kini kegembiraan para penghuni Rumah Atlanta sedang terganggu. Rumah kontrakan ini lagi menjadi sorotan warga kampung karena kasus pembunuhan. Menurut penuturan John, korbannya meninggal di dalam sebuah mobil Ferrari putih yang baru saja keluar dari halaman Rumah Atlanta. Dan yang membuatku terkejut, korbannya adalah Nick, tamu tetap yang selalu menjadi incaran para penghuni Rumah Atlanta. Kini polisi sedang mengusut untuk mencari pembunuhnya.

Padahal malam itu, sebelum dini harinya Nick terbunuh, dia mengajak aku dan teman-teman berpesta kecil-kecilan di Rumah Atlanta karena Nick akan pergi beberapa lama untuk urusan bisnis ke luar negeri.

***

Nick adalah seorang pria playboy paruh baya berduit yang sering datang dan memacari para penghuni Rumah Atlanta. Ada saja kelakuanku dan teman-teman untuk menarik simpati agar mendapatkan sejumlah uang dan barang-barang kebutuhan lainnya dari Nick. Persaingan ini sering menyebabkan aku dan teman-teman saling bertengkar karena berselisih paham dalam memperebutkan Nick.

John yang tinggal di bagian belakang rumah Atlanta dapat mendengarkan dengan jelas semua pertengkaran itu. Sehingga dia selalu datang dan berusaha untuk menengahinya. Namun John yang juga tidak suka dengan Nick dan kerap kali berselisih paham dengannya, kadang kala membiarkan saja pertengkaran ini. Bahkan John sangat berharap Nick tidak datang berkunjung lagi ke rumah kontrakan miliknya itu.

Aku menduga dia tidak mau bersaing dengan Nick yang lebih tajir untuk memperebutkan aku. Tapi alasan yang sering diungkapkan John adalah Nick tidak mau mengikuti aturan bertamu di kampungnya. Suatu ketika terjadi perselisihan lagi di antara para penghuni Rumah Atlanta. Dan kali ini John tidak ikut datang menengahinya. 

"Lebih baik kita bunuh saja Nick, supaya tidak ada seorang pun yang dapat memilikinya!" usul Cindy dengan nada keras.

Sepertinya dia sudah lelah dengan pertengkaran yang sering terjadi. Semua penghuni Rumah Atlanta terdiam setelah mendengar usul Cindy. Suasana rumah Atlanta pun menjadi tegang! Entah apa yang ada dalam pikiran masing-masing temanku itu. Namun, perselisihan itu segera mereda dengan sendirinya karena semua menyadari kalau masih membutuhkan Nick.

Beberapa hari kemudian, sebelum pembunuhan itu terjadi, Nick sang pria playboy itu berjanji akan datang untuk membuat pesta di Rumah Atlanta. Dia berniat untuk mengajak John dan menyuruhku untuk menyampaikannya. Siang itu juga aku menemui John yang sedang berada di belakang rumah untuk menyampaikan pesan Nick. Tapi John tidak setuju. Apalagi pesta itu akan berlangsung sampai pagi hari.

"Tidak ...! Aku tidak mengijinkan pesta itu! Katakan pada Nick, dia tidak perlu datang!" kata John.

"Terus bagaimana kalau Nick datang juga?" tanyaku.

"Aku akan minta bantuan saudaraku untuk menghadapi Nick," jawabnya sambil menjauh dariku dan mengangkat handphone-nya.

Aku perhatikan John hanya berbicara singkat kemudian menutup panggilannya. Aku melihat wajahnya tampak kecewa dan segera meninggalkan aku. Sepertinya dia telah gagal meminta bantuan pada saudaranya itu.

***

Namun sore harinya, ketika aku selesai mandi, pintu kamarku dibuka oleh Ijo alias Paijo. Dia datang bersama seorang laki-laki tampan setinggi John tapi dengan potongan rambut lurus dan berkulit bersih. Mereka terkejut dan tertegun sejenak melihat kondisi tubuhku yang hanya berbalut handuk.

"Ada apa, Jo?" tanyaku dengan santai.

"Ee ... Allena, ini Pak Alex. Sa ... saudara Pak John. Dialah yang mengurusi bisnis Pak John selama ini. Ee ... Pak Alex ini ... ini Allena," jawab Paijo gugup.

"Ee ... Jo, kenapa ... kenapa kamu ... membawaku ke sini. Ke tempat Allena?" tanya Alex tak kalah gugup juga.

"Sudah, sudah, tenang. Tarik napas panjang. Kalian aman di sini," kataku dengan senyum lebar, "sebentar, aku berpakaian dulu."

Sejenak suasana kamarku menjadi hening. Paijo dan Alex masih memperhatikan aku. Aku segera menyahut piyama dan kupakai untuk menutupi tubuhku yang sejak tadi hanya berbalut handuk.

"Ee ... Alex .... Aku tidak terbiasa memanggil pak. Jadi aku panggil Alex saja," kataku memecah keheningan.

"Tidak apa-apa. Terserah kamu saja," sahut Alex yang sudah terlihat tenang.

"Aku Allena. Kamu saudara John? Kenapa datang juga?" tanyaku pada Alex. Alex mengangguk.

Aku kemudian mengulurkan tanganku. Alex pun menyambutnya. Sengaja aku membuat gestur tubuh genit untuk menarik perhatian Alex. Dan sambil tersenyum manja aku meremas lembut tangannya. Sekilas aku melihat Alex menjadi salah tingkah di hadapanku.

"Ee ... waktu itu, aku ... aku memang tidak serta merta menyanggupi permintaan John," jawab Alex kembali gugup sambil melepas genggaman tanganku.

"Aku ... aku datang secara sembunyi-sembunyi ... dengan bantuan Ijo ... ee ... tanpa sepengetahuan John, untuk mengamati keadaan di sini," lanjutnya.

"Kenapa kamu lakukan itu?" tanyaku lagi.

Alex tidak segera menjawab. Dia melirik ke arah Paijo yang berdiri menempel padaku. Dan aku paham maksud Alex.

"Ee ... Jo, tinggalkan aku bersama Alex," kataku pada Paijo. Tapi Paijo tidak segera pergi. Dia menatapku dalam-dalam.

"Kalian mau apa?" tanya Paijo penuh selidik.

"Alex mau ngomong masalah John dan Nick. Kamu tahukan masalah mereka berdua?" jawabku.

"Aku tidak boleh tahu rencana Pak Alex?" tanya Paijo lagi.

"Tidak ada hubungannya denganmu, Jo. Tapi nanti aku akan minta tolong bantuanmu juga," sahut Alex.

Aku memperhatikan Paijo. Dia masih termangu sejenak. Kemudian segera keluar dari kamar. Aku pun beralih pada Alex. Dia sedang memperhatikan aku. Aku menyuruhnya duduk di tempat tidur karena di kamarku memang tidak ada kursi.

"Alex, kalau begitu apa tujuan kamu sebenarnya datang ke sini?" tanyaku sambil ikut duduk di samping Alex dengan merapatkan ke dua pahaku.

Karena ada gerakan, handuk yang melilit tubuhku pun terangkat. Sementara piyama yang aku pakai membuka di bagian bawah sehingga memperlihatkan sebagian pahaku.

"Ee ... Allena, kini aku tahu mengapa John dan Nick saling berseteru," kata Alex.

"O ya? Apa coba?" Aku menatap mata Alex. Kami pun saling bertatap mata. Sejenak kemudian aku melihat bola mata Alex bergerak ke bawah memperhatikan bagian bawah tubuhku. Aku segera mengangkat paha kananku kemudian menumpangkannya di paha kiriku.

"Kamu ... karena kamu. Meski aku belum mengenal penghuni Atlanta lainnya, aku pastikan kamu cewek paling menarik di Rumah Atlanta ini. Bahkan aku berani taruhan kalau Ijo pun tak akan rela jika kamu memilih salah satu di antara mereka," lanjut Alex sambil mengarahkan pandangannya kembali ke mataku.

"O ya? Bagaimana dengan kamu?" Aku tertawa lebar mendengar penjelasan Alex.

Aku pun berkenalan dengan Alex lebih dalam. Dia cowok yang menarik. Masih muda dan tak kalah tampan dari John. Maklumlah merekakan masih saudara jadi ada mirip-miripnya. Cuma Alex kalah tajir aja meski dia yang menjalankan bisnis John.

Pada kesempatan itu juga Alex mengutarakan maksud kedatangan yang sebenarnya ke Rumah Atlanta padaku. Dia bukannya ingin membantu masalah John dengan Nick tetapi ingin menyelesaikan masalahnya sendiri dengan John.

"Masalahmu dengan John? Bukannya kamu selama ini membantu bisnis John?" tanyaku.

"Iya, tapi aku masih sakit hati padanya," jawab Alex. Dia diam sebentar kemudian melanjutkan perkataannya,"Maukah kamu membantuku, Allena? Nanti kamu bisa menikmati semua kekayaan John juga ... bersamaku."

"Semuanya ...? Ee ..., apa yang akan kamu lakukan pada John?" tanyaku. Alex tidak segera menjawab pertanyaanku. Dia hanya menatapku dalam-dalam.

Sore itu Alex memintaku untuk membantunya dengan janji imbalan yang besar. Meski merasa tidak tega karena harus merelakan John, tapi aku menerima tawarannya. Aku pikir Alex boleh juga untuk masa depanku.

"Satu lagi, Allena. Berjanjilah padaku untuk tidak memberitahu masalah ini pada siapapun. Termasuk pada Ijo," kata Alex. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.

Tak terasa hari telah menjelang malam. Ijo kemudian memberitahu kalau Nick telah datang dan telah disambut oleh ke tiga temanku. Aku segera berganti pakaian pesta kemudian keluar kamar meninggalkan Alex dan Ijo untuk menemui Nick.

***

"Allena ...!" teriak Nick ketika melihat aku.

"Mari kita berpesta. Besok aku tidak bisa mengunjungi kalian. Aku akan pergi ke Eropa untuk urusan bisnis," lanjut Nick sambil memberikan beberapa botol wisky, anggur merah, makanan serta satu slop rokok putih kesukaan aku dan teman-teman.

"Ijo ...! Siapkan meja!" teriak ke tiga temanku serentak sambil tertawa riang. 

Tak lama kemudian aku melihat Ijo, tukang kebun merangkap pelayan di Rumah Atlanta itu keluar dari kamarku dan segera menata botol-botol minuman wisky dan anggur merah serta beberapa gelas di meja bar. Dia kemudian meletakkan makanan ringan dan satu slop rokok putih di meja tamu serta menata kursi-kursi sofa. Semua telah siap di tempat pesta. Nick duduk di kursi bar dengan ke dua tangannya merangkul pinggangku dan Alexis yang berdiri di sampingnya.

"Berapa lama kamu akan pergi?" tanya Alexis.

Dari sudut mata aku melihat Alexis bergelayut manja di pundak kiri Nick. Sementara itu Dolly dan Cindy yang duduk di sofa terpisah memperhatikannya dengan tatapan sinis.

"Mungkin satu atau dua minggu, Sayang," jawab Nick sambil melepaskan pelukannya.

Aku memperhatikan Nick yang segera berdiri kemudian berjalan mendatangi Cindy yang masih duduk di sofa. Nick merangkulnya dari belakang. Sebuah kecupan mendarat di pipi Cindy. Melihat itu, Dolly segera beranjak dari kursi sofanya. Dia berjalan mendekati pria playboy paruh baya itu sambil membawa segelas wisky. Diminumkannya wisky itu pada Nick sambil mengelus rambut hitamnya. Nick kemudian merengkuh tubuh Dolly dalam pelukannya.

Sepanjang malam hingga larut dini hari aroma anggur merah, wisky dan sedikit syahwat berpadu dengan hentakan-hentakan musik lawas rock'n roll memenuhi Rumah Atlanta. Rolling Stones dan Beatles memang menjadi kegemaran kami. Semua berpesta dan bergembira ria memperebutkan sang pria playboy tajir setengah baya itu. Hingga tak terasa malam semakin merangkak tinggi. Beberapa menit lagi waktu akan menunjuk pukul dua dini hari. Aku pun mendekati Nick.

"Cukup untuk hari ini, Nick! Sudah hampir pukul dua," kataku pada Nick sambil melirik ke jam dinding. Sementara Nick masih asyik bersama ke tiga temanku.

"Kamu kenapa, Allena? Hari masih sore ..., biarkan Nick berpesta sampai pagi," sahut Dolly dengan tatapan sinis padaku.

"Iya, Allena. Aku akan pergi cukup lama. Aku ingin pesta ini sampai pagi," kata Nick sambil menarik tanganku mendekat ke tubuhnya. Salah satu tangannya kemudian melingkar di pinggangku. Dia mengajakku berdansa. Sejenak aku mengikuti gerakan tubuh Nick.

"Sebentar lagi John pasti datang. Malam ini aku tidak mau kamu ribut lagi dengan John," lanjutku setengah berbisik di telinganya.

Tak berselang lama aku melihat John benar-benar datang. Dia membuka pintu dengan kasar dan langsung menghampiri Nick.

"Nick ...!" panggil John.

"Huuhh! Kau lagi! Kurang kerjaan aja! Nggak tahu kesenangan orang!" gerutu Nick sambil melepaskan aku. Aku melangkah mundur ke belakang sambil memperhatikan mereka berdua.

"Aku tak akan bosan memperingatkanmu! Taati aturan bertamu di kampungku. Sudah pukul dua, pulanglah!" seru John pada Nick.

"Persetan dengan semua aturan di kampungmu ini! Aku bisa saja mengambil alih rumahmu! Bahkan kampung ini! Kamu dan orang-orang kampung angkat kaki dari sini!"

"Kamu mau menyuruh preman untuk mengusirku dan orang-orang dari kampung ini? Aku tidak takut! Dan itu tidak akan mungkin, Nick! Sekarang juga tinggalkan tempat ini!"

"Kamu lihat saja nanti!" ancam Nick.

***

Aku menyaksikan dari dekat perdebatan sengit antara Nick dan John masih terus berlanjut. Mereka saling mengancam. Dan aku khawatir akan menjurus pada tindakan kekerasan. Melihat situasi semakin memanas, aku mencoba untuk menengahi mereka.

"Cukup ... Nick ...! John ...! Aku mohon hentikan pertikaian kalian! Aku tidak ingin ada korban!" teriakku di tengah hingar bingar suara musik.

"Huh ...! Dia yang selalu cari gara-gara!" tuduh Nick.

"Nick, aku bilang sudah! Maukah kamu menuruti kata-kataku? Pulanglah dulu. Setelah kamu kembali dari urusan bisnismu, kita lanjutkan pesta ini berdua saja," bujukku sambil mendekat pada Nick lagi.

Aku merapatkan tubuhku pada tubuh Nick. Kemudian kedua tanganku meraba pelan dadanya yang berbalut t-shirt berwarna hitam. Setelah itu aku mendekatkan wajahku pada wajah Nick sambil tersenyum manja.

"Ayolah, Nick. Jangan buang energimu percuma," bujukku lagi.

"Hmm, baiklah, Allena. Tapi sebelum aku pulang ... ambilkan segelas anggur merah untukku," bisik Nick sambil memegang daguku dan menatap lembut ke dua bola mataku. 

Sebuah ciuman hampir saja mendarat di bibirku jika aku tidak segera menghindarinya. Aku hanya tertawa riang melihat Nick kecewa tidak mendapatkannya. Aku segera beranjak menuju meja bar untuk mengambil segelas anggur merah.

Sementara itu aku melihat John tidak bisa menahan emosi setelah menyaksikan tingkah manjaku pada Nick. Dia segera menuju sound sistem dan mematikan musiknya. Seketika suasana menjadi hening. John kemudian mendekat ke arah Nick.

"Sudah cukup pesta ini! Sekarang keluar, kau, Nick!" bentak John sambil berusaha meraih baju Nick. Tapi Nick dapat menghindarinya dengan mundur beberapa langkah kebelakang. Aku menyaksikan dengan rasa khawatir akan terjadi perkelahian di antara mereka.

"Oke, sabar dulu, John! Aku akan segera pulang. Aku bukannya takut padamu, tapi aku hanya menuruti permintaan Allena. Itu saja!" sahut Nick dengan nada datar. Dia mengambil napas panjang. Sepertinya dia berusaha mengontrol emosinya agar tidak terjadi kontak fisik seperti yang aku khawatirkan.

"Tapi ... sebelum itu maukah kamu menemaniku minum sebentar, John? Besuk aku akan ke luar negeri untuk urusan bisnis. Jadi aku tidak bisa berkunjung ke sini dalam waktu agak lama," lanjut Nick.

John hanya diam dan menatap tajam pada Nick mendapat tawaran itu. Aku yang masih berada di meja bar harap-harap cemas memperhatikan mereka berdua. Sementara Cindy, Dolly, dan Alexis tetap berdiri di belakang Nick. Sejenak perhatianku beralih pada mereka karena aku mendengar mereka sedang membicarakan aku.

"Tumben Nick tidak kasar pada John," kata Cindy.

"Kamu tidak lihat apa yang telah dilakukan Allena tadi pada Nick? Sepertinya dia benar-benar luluh pada Allena," sahut Dolly.

"Iya, itu yang membuatku iri pada Allena dan sakit hati pada Nick! Dia tidak adil pada kita-kita," jawab Cindy.

"Biarkan saja. Mau kasar atau tidak, mau ribut atau tidak, mau adil atau tidak, terserah mereka saja! Yang penting kita masih bisa bersenang-senang," kata Alexis dengan senyum sinisnya.

Tiba-tiba aku melihat Nick menoleh kebelakang dan berkata, "Dolly! Ambilkan anggur merah juga untuk John. Kami mau bersulang sebentar. Hitung-hitung pesta perpisahan sebelum aku ke luar negeri."

Rupanya Nick berinisiatif memberikan minuman pada John karena John tidak segera merespon ajakannya. Dolly pun segera menuju meja bar menyusulku.

Aku dan Dolly bermaksud menuangkan botol anggur merah ke dalam dua gelas. Namun tiba-tiba Ijo, sang pelayan menyodorkan dua gelas lain yang telah berisi wisky kepadaku dan anggur merah kepada Dolly.

"Allena, katakan pada Nick kalau wisky ini untuknya! Dolly, kamu bawa anggur merah ini untuk John!" kata Ijo.

"Tidak, Jo! Nick minta anggur merah semua ...!" protesku.

"Ini perintah Alex. Jangan sampai tertukar!" kata Ijo berbisik di telingaku. Aku diam sebentar teringat rencana Alex kemudian mengangguk.

"Benar, Jo! Kita turuti saja permintaan Nick," sela Dolly.

"Ee, kali ini tidak, Dolly. Mungkin Nick salah ngomong karena pengaruh alkohol," kata Ijo sambil menyodorkan gelas anggur merah pada Dolly.

"Wisky ini minuman kesukaan Nick. Apa kamu telah lupa, Allena? Buat Nick terkesan padamu sebelum dia pergi supaya kamu mendapatkan lebih banyak bagian dari Nick sekembalinya nanti," lanjut Ijo.

Setelah itu Ijo memberikan gelas wisky dan memberi kode padaku. Aku mengerutkan dahi kemudian tersenyum dan mengangguk pada Ijo. Sementara Dolly tersenyum sinis melihat kelakuan Ijo.

Aku menerima gelas yang berisi wisky itu kemudian kubawa ke tempat Nick. Sementara Dolly menerima gelas yang berisi anggur merah dan segera menyusulku. Tapi tanpa kuduga sebelumnya, Dolly tiba-tiba merebut gelas wisky yang aku bawa dan menukarnya dengan gelas yang berisi anggur merah yang dibawanya.

"Aku tidak ingin kamu dapat bagian lebih banyak!" kata Dolly. Dia segera mendekati Nick.

Aku hanya bisa tertegun dan tidak bisa mencegah kelakuan Dolly. Tapi syukurlah, minuman itu tidak tertukar. Wisky itu tetap untuk Nick. Dan anggur merah untuk John. Sesuai rencana Alex. Tapi tunggu dulu! Aku merasakan jantungku berdebar kencang saat melihat gelas yang berisi anggur merah ditanganku.

Sementara itu aku melihat Dolly menyodorkan gelas yang berisi wisky pada Nick. Dia menerimanya tapi sambil menggelengkan kepalanya.

"Tidak! Kali ini aku minta anggur merah, Allena," kata Nick dengan lembut.

"Aku bukan Allena, Nick. Aku Dolly. Ayolah ...! Kamu pasti telah mabuk. Bukankah wisky ini minuman kesukaanmu?" tanya Dolly.

"Hmm, kamu ..., baiklah," jawab Nick tersenyum sambil menerima gelas itu.

"Ee ..., kamu ... berikan gelas itu untuk John," lanjut Nick sambil menunjuk ke arahku.

Oh my God ...! Aku tertegun sejenak. Seharusnya Dolly yang melakukan ini pada John bukan aku. Aku tidak mau ada korban dari tanganku sendiri. Aku takut dan tak tega jika terjadi sesuatu pada John setelah minum anggur merah ini. Tapi bayangan kesenangan akan harta benda membuatku melupakan itu semua. Dengan sedikit gemetar aku segera menyodorkan gelas berisi anggur merah itu pada John. Tapi John juga tidak mau menerimanya.

"John ...! Sekali ini saja! Kita bersulang untuk perpisahan kita sejenak." Aku mendengar Nick pun ikut membujuk John.

"Iy ... iya, John. Ayo, kita bersulang. Ti ... tidak baik bertengkar terus," kataku sedikit gugup.

Aku berusaha melawan perasaanku sendiri. Aku mendekati John dan mengusap lembut wajahnya. John menatap ke dua mataku.

"Tidak! Aku tidak butuh minumanmu, Allena! Yang aku mau, kau Nick, segera tinggalkan tempat ini! Dan jangan pernah kembali lagi!" perintah John sambil mengalihkan pandangannya pada Nick.

"Oh, tidak! Aku pasti akan kembali setelah urusan bisnisku selesai. Aku masih butuh mereka berempat," sahut Nick kemudian berjalan mendekati John.

"Terutama Allena ... jangan harap kau dapat memilikinya!" tambah Nick sambil menarik tanganku agar menjauhi John.

"Huh ...! Kita lihat saja nanti! Tinggalkan tempat ini sekarang juga, Nick!" perintah John lagi. Nick diam sejenak mendengar perintah itu.

"Hmm, baiklah aku akan segera pergi tapi ... turuti juga permintaanku," kata Nick.

Tanpa kuduga, tiba-tiba Nick menyahut gelas dari tanganku kemudian disodorkan pada John. Aku sungguh terkejut, namun sedikit dapat bernapas lega. Karena aku tidak jadi memberikan anggur merah itu pada John.

Aku melihat Nick terhuyung ke depan karena pengaruh alkohol hingga gelas yang berisi anggur merah yang dibawanya ikut terdorong dan menyentuh dagu John. John dengan cepat mundur ke belakang tapi sebagian isi gelas itu tumpah mengenai bajunya. John terkejut dan tidak terima mendapat perlakuan itu hingga marahlah dia pada Nick. 

"Kurang ajar kau, Nick!" teriaknya. Kemudian aku melihat John dengan cepat merebut gelas dari tangan Nick.

"Nih, kau minum sendiri anggur merahmu itu!" lanjut John sambil menyiramkan anggur merah itu ke arah Nick tepat mengenai mulutnya.

Aku terkejut melihat perlakuan John pada Nick. Tapi Nick malah tertawa-tawa sambil menjilati anggur merah yang menempel di bibirnya. John tampak kesal melihat tingkah Nick. Dia meletakkan gelas yang berisi sedikit sisa anggur merah itu di atas meja tamu kemudian segera keluar dari ruangan. Sementara Nick dengan santai menghabiskan segelas wisky pemberian Dolly yang masih berada di tangannya.

***

Aku melihat jarum jam dinding di ruang pesta telah menunjuk lewat pukul dua dini hari. Saat Nick beranjak pergi dari rumah Atlanta meski dengan kondisi tubuh sedikit sempoyongan. Aku memperhatikan Nick ketika sampai di pintu. Dia berhenti sebentar sambil memegangi kepala dan perutnya. Sejenak kemudian dia menoleh kebelakang. Nick masih sempat melambaikan tangannya pada kami.

Perhatianku beralih sejenak pada ke tiga temanku. Rupanya mereka sudah tidak peduli pada Nick. Mereka asyik bersenda gurau tertawa gembira sambil menikmati wisky dan anggur merah. Kepulan asap putih pun keluar dari mulut mereka. Sesaat kemudian aku mendengar alunan musik rock 'n roll memenuhi Rumah Atlanta lagi.

Saat itu aku masih sempat melihat Nick dengan sempoyongan perlahan melangkahkan kakinya keluar dari Rumah Atlanta. Setelah itu aku kemudian bergegas ke ruang belakang menemui Alex.

"Alex, apa kamu melihat semua kejadian tadi?" tanyaku. Alex cuma mengangguk.

"Aku gagal! John tidak mau minum anggur merah itu. Dia malah menyiramkannya ke mulut Nick," lanjutku.

"Semua jadi berantakan dan diluar rencanaku! Kenapa juga Dolly harus merebut minuman yang kamu bawa? Tidak seharusnya begitu! Untuk apa coba?" tanya Alex sambil memandang tajam ke arahku. Aku hanya diam dan tubuhku gemetar melihat kemarahan Alex.

"Allena ...! Kasih alasan padaku, kenapa Dolly bisa berbuat itu!"

"Aku ... aku ... ee ..., mungkin dia iri padaku," jawabku.

"Iri padamu? Kenapa dia harus iri padamu? Apa kamu menceritakan imbalan itu?"

"Tidak, Alex! Aku tidak menceritakan itu pada siapapun!"

"Lantas, apa yang membuat Dolly iri padamu?"

"Ee ..., saat itu Ijo menyuruh aku memberikan wisky pada Nick karena itu minuman kesukaan Nick. Ijo mengatakan aku akan mendapat lebih banyak bagian dari Nick jika aku memberikan wisky itu. Mungkin itu yang membuat Dolly iri padaku dan merebut wisky dari tanganku," jawabku.

"Ah, Paijo! Kenapa dia mengatakan itu? Seharusnya aku tidak perlu minta bantuan Ijo!" kata Alex sambil menghela napas, "dia harus bertanggung jawab!"

"Alex, lupakan dulu Ijo! Kita salah sasaran. Aku khawatir pada Nick. Dia sepertinya tidak dalam kondisi yang baik. Langkahnya sempoyongan. Aku rasa dia lebih dari sekedar mabuk alkohol. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan Nick?" tanyaku lagi.

"Sudah! Kamu tenang saja, Allena. Akan kupikirkan langkah selanjutnya. Sekarang aku akan mengikuti Nick," jawab ALex.

Alex segera keluar dari pintu belakang Rumah Atlanta. Sementara itu, aku segera bergabung dengan teman-temanku untuk melanjutkan pesta wisky dan anggur merah diiringi alunan musik rock'n roll.

***

Namun, kurang lebih selang satu jam kemudian John datang lagi menemui kami.

"Nick tewas setelah pergi dari sini. Apa yang telah kalian lakukan padanya?" tanya John dihadapan aku dan teman-temanku.

"Ya, Tuhan! Nick tewas?" teriakku. Bagai disambar petir disiang bolong aku mendengarnya! Bagaimana seandainya itu terjadi pada John? Seketika gemetaran tubuhku.

Tapi ke tiga temanku cuek saja mendengar berita itu dan tidak seorang pun menjawab pertanyaan John. Sepertinya tidak ada rasa takut dan khawatir di benak mereka. Sementara aku merasa masih gemetar dan gugup. Jantungku berdegup kencang. Aku menjadi gelisah.

"Sekarang tidak ada lagi yang akan memberikan lebih banyak padamu, Allena!" kata Dolly sambil tersenyum sinis padaku.

Beberapa saat kemudian aku melihat Dolly berdiri dari tempat duduknya. Dia berjalan ke arah John dan berdiri tepat dihadapannya.

"Seharusnya kamu bergembira dengan kematian Nick, karena tidak ada saingan untuk mendekati Allena," kata Dolly sambil mengembuskan asap rokok putihnya, "tapi jangan lupakan kami bertiga, John," lanjut Dolly tersenyum manja.

"Bukan begitu. Aku khawatir kalian berempat bisa jadi tersangka dan polisi akan menutup Rumah Atlantaku," sahut John. Suasana menjadi hening sejenak. Dan benar juga apa yang dikatakan John. Akupun merasa khawatir tentang hal itu.

"Kami tidak melakukan apa-apa! Justru kalian tadi yang bertengkar. Seharusnya kami yang tanya padamu. Apa yang kamu lakukan pada Nick setelah dia meninggalkan ruangan ini?" tanya Alexis membuka suara.

"Aku ...? Aku tidak melakukan apa-apa padanya!" bantah John.

"Tidak melakukan apa-apa? Kami tidak bisa melihat apa yang telah kamu lakukan di luar sana, John! Bisa jadi kamulah pelakunya. Jadi jangan asal menuduh kami!" sahut Cindy. 

John hanya bisa diam sambil memperhatikan ekspresi wajah kami yang merasa tidak bersalah atas kematian Nick.

"Kalau begitu tidak ada lagi yang bisa kita ajak bersenang-senang," kata Alexis dengan nada datar.

"Iy ... iya dan aku ... aku akan merasa kesepian," sahutku masih gugup .

"Tenang, masih banyak kok orang-orang berduit yang mau sama kita-kita ini," kata Dolly menanggapi sambil menuangkan anggur merah dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya masih memegangi rokok putihnya.

"Iya, sih. Tapi ... hanya Nick yang paling royal dan paling mengerti aku," sahutku lagi sambil mencoba tersenyum genit. Sementara ke tiga temanku menatap dengan pandangan sinis.

"Nick memang tidak pernah adil pada kita-kita. Selama ini hanya kamu, Allena, yang lebih disukai Nick," kata Alexis memandang tajam padaku.

"Iya dan aku tidak suka sikapnya itu! Lebih baik dia mati saja," sahut Cindy sambil memasukkan sepotong permen karet kesukaannya ke mulutnya.

"Cindy! Kamu sepertinya sudah tidak menyukai Nick. Apa yang telah kamu lakukan pada Nick?" tanya John. Sepertinya dia mencurigai Cindy. Tapi aku dengar Cindy langsung membantahnya.

"Hmm ... kamu jangan sembarangan ngomong. Aku tidak sebodoh itu!" bantahnya.

"Bagaimana matinya dan di mana mayatnya sekarang?" tanya Dolly sambil meneguk anggur merah.

"Nick mati dengan mulut berbusa. Dia masih di dalam mobilnya di ujung jalan dengan arah keluar dari perkampungan ini. Sebentar lagi polisi akan datang untuk mengevakuasi mayatnya," jawab John.

"Dan kamu datang ke sini menuduh kami atau salah satu di antara kami sebagai pelakunya? Bisa saja dia dirampok terus dibunuh," kata Dolly.

"Tidak ada yang merampoknya! Seorang warga datang kepadaku. Dia melihat mobil itu keluar dari rumah kontrakan ini," sahut John dengan nada keras.

"Beberapa warga lain melihat mobil itu berjalan sedikit oleng. Kemudian menabrak dinding trotoar di ujung jalan. Mereka mendekati mobil itu dan melihat seorang pria di dalam mobil itu kejang-kejang dan mulutnya berbusa sebelum akhirnya mati di tempat duduknya. Aku pun datang dan memastikan dia adalah Nick!" lanjut John.

"Mungkin Nick keracunan. Dan kita sebagai tertuduh karena telah bersama dia sebelumnya," kata Alexis sambil melempar pandangan mata pada yang lain, "apakah kalian teringat sesuatu?" lanjutnya.

Tiba-tiba aku melihat Alexis mengarahkan pandangan matanya pada Cindy kemudian mengarahkan jari telunjuknya padanya, "Kamu pelakunya!" seru Alexis.

"Aku ...? Kamu jangan bercanda! Aku tidak suka!" bantah Cindy nada datar.

"Alexis tidak bercanda! Kamu tidak bisa mengelak dari tuduhan ini! Barusan kamu mengutarakan niatmu itu. Bahkan beberapa waktu yang lalu kamu juga pernah mengusulkan untuk membunuh Nick, bukan?" tanya Dolly.

"Memang benar! Tapi aku tidak pernah serius dengan ucapanku waktu itu. Aku hanya menggertak kalian saja!" bantah Cindy dengan tenang. Aku lihat dia masih mengunyah permen karet dan berusaha untuk menggelembungkan nya.

Teman-temanku saling melempar tuduhan dengan argumen masing-masing. Sementara aku melihat John tampak kebingungan karena tidak ada yang mengaku sebagai pembunuhnya. Beberapa saat kemudian aku sempat melihat John menoleh ke arah Ijo yang berdiri di balik pintu ruang belakang. 

"Sudah cukup! Hentikan ocehan kalian! Aku tidak ingin masalah ini berbuntut panjang," kata John. Dia kemudian berjalan menghampiri Ijo yang masih berdiri di balik pintu.

"Paijo ...! Apa kamu mengetahui sesuatu sebelum Nick pergi dari rumah ini?" tanya John.

"Ee ... tidak! Aku ... aku tidak tahu apa-apa!" jawab Ijo dengan gugup.

"Hmm, tidak ada yang mau mengaku. Aku juga tidak ingin polisi menutup Rumah Atlantaku ini. Kalau begitu aku akan minta bantuan saudaraku untuk menyelesaikan masalah ini secepatnya sebelum polisi bertindak lebih jauh," kata John.

"Saudaramu? Apa yang bisa dia lakukan?" tanya Alexis.

"Dulu dia bekerja di kantor pengacara. Jadi lebih mengerti tentang hukum!" kata John.

"O ya ...? Apakah dia semacam detektif, gitu?" tanya Cindy dengan sinis. Sementara John cuma mengangguk.

Aku kemudian melihat John mengambil handphone dari saku celananya dan melakukan panggilan pada seseorang. Aku berusaha mendengar omongan John.

"Hallo, Alex. Ini penting! Aku butuh bantuanmu sekarang. Kali ini datanglah ke tempatku, ke Rumah Atlanta," kata John. John diam sebentar kemudian melanjutkan perkataannya.

"Kamu tahu Nick kan? Beberapa warga mendapati dia mati di dalam mobilnya, beberapa saat setelah keluar dari Rumah Atlanta. Aku menduga salah satu dari ke empat penghuni rumah pelakunya. Tapi tidak ada yang mau mengaku. Bantu aku menyelesaikan kasus ini secepatnya. Aku tidak mau kasus ini mempengaruhi bisnisku," kata John panjang lebar. Sesaat dia diam sebentar lagi. Setelah itu dia melanjutkan perkataannya kembali.

"Dari mulutnya keluar busa. Mungkin dia keracunan."

Beberapa saat kemudian John menyudahi panggilan handphone-nya. Setelah itu aku melihat John keluar dari tempat ini. Sepertinya dia akan menunggu Alex di luar.

Apakah Alex mau datang ke sini lagi? Apa dia tidak takut kalau polisi mengetahui rencananya? Semua itu berkecamuk di rongga kepalaku.

***

Tak lama kemudian John masuk ke dalam bersama Alex. Aroma anggur merah dan wisky yang menusuk hidung serta hentakan musik rock'n roll menyambut kedatangan Alex.

"Ayo masuk! Mereka berempat sudah menunggu untuk kamu interogasi,"kata John ketika Alex berhenti melangkah setelah melewati pintu.

Saat itu aku melihat gestur tubuh Alex yang menunjukkan dia merasa tidak nyaman dengan keadaan di sini. Apalagi ke tiga temanku pun menyambutnya dan menggoda dengan sapaan genit. Maklumlah mereka tidak bisa diam melihat barang bagus di depan mata. Begitu juga dengan aku, meski aku sudah mengenal Alex lebih dulu.

Alex benar-benar dibuat canggung oleh ke tiga temanku. Pose dan pakaian yang mereka kenakan membuat Alex tak bisa berkedip meski sesekali aku melihat dia mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Sehingga tampak sekali kalau Alex salah tingkah di depan mereka. Aku jadi teringat perkataan Alex sore tadi kalau kelemahan dia ada saat di hadapan seorang wanita. Apalagi ini ada empat wanita, mulus dan seksi lagi. Dalam hati aku hanya bisa tertawa melihat kejadian itu.

Andai aku bisa mendengar suara jantung dan napas Alex, pastilah berdegup dengan keras dengan napas memburu. Andai aku juga bisa melihat angannya, pastilah sudah travelling hingga menembus batas tujuh lapis atmosfer bumi. Dan andai aku bisa merasakan panasnya darah muda itu, pastilah bergejolak saat satu per satu teman-temanku menyebutkan nama. Aku pun jadi ragu apakah Alex bisa menginterogasi kami untuk merampungkan rencananya. Aku segera mematikan musik agar perhatian Alex dapat fokus untuk mengatasi masalah ini.

"John ... ee ... tidak bisa sekarang! Aku ... aku butuh waktu lagi untuk observasi keadaan di sini. Aku ... aku akan kembali lagi nanti sebelum tengah hari. Sekarang aku butuh kamar untuk istirahat." Aku mendengar perkataan Alex pada John.

"Wadhuh! Bagaimana ini? Kalau tidak segera diketahui pembunuhnya, Rumah Atlanta ini pasti akan di beri pita kuning oleh polisi dan ke empat gadisku ini bisa di tahan sementara," gerutu John.

Benar juga dugaanku. Alex telah gagal fokus dengan teman-temanku dan akan pergi meninggalkan Rumah Atlanta.

"Kenapa kamu pergi lagi? Apa rencanamu selanjutnya?" tanyaku pada Alex saat dia melangkah pergi melewatiku.

"Aku harus berpikir keras untuk melawan kelemahanku sendiri agar dapat mencapai tujuanku. Nanti aku akan kembali lagi," jawab Alex setengah berbisik padaku.

***

Sebelum tengah hari aku mendapati Alex bersama John kembali lagi ke Rumah Atlanta sesuai dengan janjinya. Melihat sikap Alex, aku yakin dia sudah siap untuk rencana berikutnya. Dan menginterogasi aku dan teman-temanku menjadi bagian dari rencananya. Tetapi apa yang terjadi? Ke tiga temanku menyambut kedatangan Alex dengan lebih hebat lagi. Sehingga benar apa kata orang jika penghuni neraka kebanyakan adalah kaum hawa.

Aku memperhatikan Alex yang sedang mencoba menenangkan dirinya sendiri. Alex kemudian menyuruh aku dan ke tiga temanku untuk duduk di sofa berhadapan dengannya. Dia mengeluarkan secarik kertas dan pensil. Aku tersenyum saja melihatnya saat Alex melirik sebentar ke arahku.

Sepertinya Alex telah membuat banyak pertanyaan untuk melakukan interogasi ini. Tapi sekali lagi desah suara dan gerakan tubuh teman-temanku yang bercampur dengan aroma minuman beralkohol itu membuyarkan konsentrasi Alex. Buktinya, dia terdiam cukup lama dan hanya satu saja pertanyaan yang meluncur dari mulutnya. 

"Si ... siapa diantara kalian berempat yang membunuh pria itu?" tanya Alek gugup.

Ke tiga temanku diam dan hanya tersenyum sinis sambil memandang sebelah mata pada Alex. Suasana menjadi hening dan tegang. Tiba-tiba salah satu temanku, Dolly, si seksi berambut ikal dan berkulit agak gelap merespon pertama kali pertanyaan Alex sambil menghisap rokok putihnya.

"Detektif ...? Kamu detektifkan? Apa tidak ada pertanyaan lain selain itu? Bagaimana kamu bisa mengungkap tabir misteri pembunuhan dengan cara seperti ini?" Asap tipis pun keluar dari bibir merahnya mengiringi pertanyaannya itu.

"Ee ... untuk sementara ini ... tidak ada! Kalian ... jawab saja pertanyaanku tadi," jawab Alex.

Aku melihat Alex berkali-kali dia mengusap keningnya. Apakah Alex akan berhasil mencapai tujuannya? Dia semakin gugup. Apalagi saat Alex melihat ke arah Dolly. Pandangan mataku pun segera beralih pada Dolly yang saat itu sedang mengangkat kaki kanannya dan menumpangkan pada paha kirinya. Sementara tubuh Dolly sedikit condong ke kiri sambil menoleh ke arah Alexis.

"Menurutku ... Alexislah pembunuhnya! Dia yang telah membunuh Nick!" kata Dolly pelan sambil menghembuskan kembali asap rokoknya. 

Aku kemudian melihat Dolly memainkan batang rokok itu di jari-jemari tangan kanannya. Setelah itu aku menoleh pada Alexis, gadis berambut coklat dan berkulit bersih itu tampak terkejut mendapat tuduhan dari Dolly. Sesaat kemudian Alexis merapatkan kedua kaki dan menegakkan tubuhnya sambil menatap ke arah Dolly sejenak. Lalu dia berpaling kearah Alex sambil meneguk anggur merah dari tangan kirinya.

"Bukan aku! Tapi Cindylah pembunuhnya!" bantah Alexis dengan tegas.

Sebenarnya Alex sudah tahu kalau mereka bukanlah pembunuhnya tapi rencana dia harus tetap berjalan. Sebentar kemudian aku merasakan suasana Rumah Atlanta menjadi hening kembali. Aku segera melempar pandangan ke arah Cindy. Dia hanya diam dan terlihat tenang saja. Aku menunggu beberapa saat, tapi dia belum juga memberikan reaksi apapun atas tuduhan itu. Aku akui, Cindy adalah cewek paling cuek di antara kami. 

Sementara itu, aku juga harus memberikan jawaban atas pertanyaan Alex tadi supaya ke tiga temanku tidak curiga. Aku adalah gadis seksi paling kecil dan paling cantik di antara mereka. Sembari duduk, aku mendorongkan tubuhku sendiri ke depan. Kakiku jinjit sedikit terbuka tetapi paha tetap merapat. Aku kemudian mengangkat kedua tangan dengan telapak terbuka ke atas dan berkata dengan tenang, "Alex, kamu pasti tahu kalau aku tidak membunuhnya." Tapi Alex tidak mengiyakan perkataanku.

"Bagaimana kamu tahu dia bernama Alex? Aku tidak mau menuduhmu telah bersekongkol dengannya." Dolly segera menyahut perkataanku. Dia menatap dengan pandangan mata penuh curiga padaku.

"Aku ... aku tadi sempat mendengar John menyebut nama itu saat menelpon seseorang," jawabku sedikit gugup. Aku tidak menyangka mendapat pertanyaan itu.

"Dan kamu yang disuruh Nick untuk mengambil minuman untuknya. Bisa jadi itu sudah kamu beri racun," sahut Alexis ikut memojokkan aku.

"Tidak ...! Bukan aku yang membuatnya. Ijo yang memberikan itu padaku." Aku membantahnya dengan tenang.

"Tapi bukankah kamu yang benci pada Nick, Cindy? Kamu juga kan yang mengatakan akan membunuhnya?" lanjutku membela diri sambil menoleh ke arah Cindy.

Aku memperhatikan Cindy. Dia yang sejak awal telah dituduh sebagai pembunuhnya, masih saja cuek dan duduk santai sambil mengunyah permen karetnya.

Tetapi sesaat kemudian, Cindy pun tak mau kalah dengan Dolly dan Alexis. Gadis bertubuh paling montok itu pun turut menggoda Alex. Dia menyilangkan kaki kiri di atas paha kanannya. Aku melihat kedua tangannya memainkan ujung rambut yang dia julurkan ke depan menutupi belahan dadanya. Pandangan matanya menatap tajam pada Alex. Dia kemudian tersenyum sinis sambil berkata, "Percayalah padaku, Detektif Alex. Alexis telah berbohong padamu!"

Kembali suasana menjadi hening. Aku dan ke tiga temanku telah membuka suara dan saling melempar tuduhan. Semua mata kemudian tertuju pada Alex yang pada saat itu sedang menulis sesuatu. Setelah itu Alex memperhatikan kami satu per satu. Kami masih diam dan menantikan pertanyaan lanjutan dari Alex.

"Aku ingin tahu kronologi peristiwa itu. Siapa diantara kalian yang bisa menceritakan padaku?" tanya Alex.

"Kalau itu, Dolly dan Allena lebih tahu karena mereka yang disuruh Nick untuk ambil minuman itu," jawab Alexis.

Aku dan Dolly menceritakan kronoligi peristiwa itu ...

"Ada pertanyaan lain, Detektif Alex?" tanya Cindy kemudian.

"Ee ..., tidak! Hari telah menjelang malam. Cukup untuk hari ini," jawab Alex sambil menghela napas panjang.

Aku menduga Alex telah mendapatkan korbannya untuk menyelesaikan masalah ini. Namun, tiba-tiba aku melihat dia berdiri dan memilih beranjak pergi.

"Kamu mau ke mana?" tanya John pada Alex. Dia yang sejak tadi ikut menyimak, aku lihat ikut berdiri kemudian mendekati Alex untuk mencegahnya pergi.

"Kita lanjutkan besok. Aku akan pulang dulu," jawab Alex. Sejenak dia menoleh ke arahku.

"Terus ... penyelidikan ini?" tanya John lagi. Aku lihat Alex menghela napas panjang.

"Aku tidak mengira mereka seperti ini. Mereka begitu liar! Aku tidak bisa berpikir jernih. Nanti aku hubungi kamu lagi," jawab Alex sambil beranjak pergi meninggalkan John.

"Huh ...! Bagaimana ini? Tidak mungkin kamu bisa membantuku dengan cara seperti ini!" kata John dengan kesal.

"Sudahlah, John. Ikuti saja caraku ini. Kalau tidak mau, biarlah polisi yang akan menyelesaikannya," jawab Alex dengan santai sambil melangkah keluar.

***

Keesokan harinya, ketika aku keluar dari kamar, aku mendapati John sudah berada di ruang tamu. 

"Pagi, John. Sudah ada kabar dari Alex?" tanyaku padanya.

"Belum. Seharusnya dia sudah sampai di sini untuk melanjutkan interogasinya," jawab John.

Namun, hingga mentari naik lebih dari sepenggalah, Alex belum juga kelihatan batang hidungnya. Aku perhatikan John tampak gelisah. Dia berjalan mondar-mandir di depan pintu. Tak lama kemudian dia mengangkat handphone-nya. Aku berusaha mencuri dengar percakapannya.

"Hallo Alex! Polisi segera datang dan akan membawa ke empat gadisku untuk dimintai keterangan. Cepatlah selesaikan tugasmu!" perintah John pada Alex. John kemudian diam sebentar.

"Tidak! Aku tidak ingin kehilangan semuanya!" sahut John dengan nada tinggi kemudian menutup teleponnya.

Kamu memang akan kehilangan semuanya, John, kataku dalam hati.

Suara John menarik perhatian ke tiga temanku. Satu per satu mereka keluar dari kamar menuju ruang tamu.

"Bagaimana, Allena. Detektif itu belum datang juga?" tanya Alexis. Aku hanya menggeleng.

Tak lama kemudian aku melihat beberapa polisi datang lebih dulu. John segera menemuinya. Melihat ekspresi muka John, aku bisa memastikan mereka terlibat pembicaraan serius.

John bersama para polisi kemudian mendatangi kami dan menyampaikan apa yang menjadi tugasnya. Ketika para polisi bersiap untuk membawa pergi aku dan teman-temanku untuk diinterogasi di kantor polisi, Alex datang.

"Untuk apa kamu datang? Apakah kamu akan mengatakan pada polisi kalau aku pembunuhnya, Detektif Amatiran?" kata Cindy menyambut sambil menatap tajam pada Alex.

"Tidak! Aku akan menyelesaikan masalah ini!" jawab Alex. Dia segera menemui salah seorang polisi.

"Kami akan membawa ke empat gadis ke kantor polisi untuk kami interogasi. Dugaan sementara pria itu mati karena racun. Dan sebelum pergi dia telah minum wisky pemberian Dolly," kata salah seorang polisi pada Alex.

"Tunggu sebentar! Lihat ini!" seru Alex. Aku kemudian melihat Alex merogoh saku bajunya. Dia mengeluarkan selembar kertas dan menyodorkannya pada polisi itu.

"Apa ini?" tanya polisi itu.

"Catatan hasil interogasiku. Tentang pernyataan dari ke empat gadis penghuni Rumah Atlanta ini," jawab Alex.

Aku kemudian mendengar polisi itu membacakan catatan interogasi Alex di depan semua yang ada di sini. 

Dolly : Alexis pembunuh pria itu.

Alexis : Cindylah pembunuhnya.

Allena : Aku tidak membunuhnya.

Cindy : Alexis telah berbohong.

"Bagaimana mungkin ini bisa menjelaskan semuanya?" tanya polisi itu sambil tertawa mengejeknya.

"Kita buktikan saja, Pak Polisi!" jawab Alex. Dia kemudian menjelaskan hasil interogasinya.

"Aku misalkan perkataan Dolly benar maka perkataan dari ketiga temannya adalah negasinya atau kebalikannya. Sehingga ada dua fakta saling bertentangan, yaitu Alexis dan Allena sebagai pembunuhnya. Dan ini tidak mungkin terjadi!" Semua mendengar penjelasan Alex dengan seksama.

"Seandainya perkataan Alexis atau Allena yang benar maka dengan cara yang sama akan dihasilkan fakta-fakta yang saling bertentangan juga. Sehingga kesimpulanku hanya Cindy yang berkata benar. Dengan demikian dari negasi ketiga perkataan teman yang lain tidak ada fakta yang bertentangan. Dengan kata lain kebohongan mereka tidak akan saling berbenturan. Jadi Allena pembunuhnya berdasarkan teori ini!" lanjut Alex. Semua pun terkejut dan mengarahkan pandangan matanya pada Allena.

"Huh ...! Dasar kau detektif amatiran. Polisi telah mengatakan kalau Nick minum wisky pemberian Dolly. Bagaimana bisa kau mengatakan Allena pembunuhnya? Teori macam apa itu?" sahut Cindy dengan nada kesal.

"Fakta awalnya adalah Allena yang membawa wisky itu sebelum direbut oleh Dolly dan diganti dengan anggur merah. Beberapa saat kemudian Nick mati setelah meminum wisky. Ada alibi kalau Allena memberi racun dan berniat membunuh Nick dengan wisky tersebut!" jelas Alex.

"Alex ... kamu ...? Kenapa kamu mengatakan itu? Tugasku hanya membawa dan memberikan wisky itu untuk Nick. Ada racun atau tidak dalam minuman itu kamu pasti lebih tahu. Jangan korbankan aku sendirian, aku tidak membunuh Nick!" Aku membantah perkataan Alex.

"Alex tahu kalau minuman itu ada racunnya dan akan mengorbankan kamu sendirian? Apa maksudmu, Allena? Pak polisi, sepertinya mereka berdua telah bersekongkol. Tangkap dulu mereka!" kata Alexis sambil menunjuk ke arahku dan Alex.

"Allena, jangan paksa aku sekali lagi untuk menuduhmu bersekongkol dengan Alex! Sebelum ini, kamu juga lebih dulu tahu nama Alex. Jangan-jangan kalian memang sudah pernah bertemu sebelumnya dan merencanakan semua ini!" sahut Cindy.

"Allena pembunuhnya ...? Kesimpulan macam apa ini? Allena tidak mungkin membunuhnya! Dolly telah merebut minuman itu dari tangan Allena dan memberikan pada Nick. Berarti Dolly yang telah membunuh Nick. Bukan Allena!" sahut John juga. Sepertinya John ingin membelaku. Tapi aku yakin ini semua sudah menjadi bagian dari rencana Alex.

"Tenang dulu ...! Aku belum selesai dengan penjelasanku. Ada penyimpangan teori dari kasus ini. Dolly maupun Allena bukan pembunuh yang sebenarnya. Mereka hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk membunuh!" jelas Alex kemudian menghentikan sebentar perkataannya.

Suasana Rumah Atlanta kembali hening dan semua yang hadir hanya bisa saling pandang. Aku memperhatikan ke tiga temanku. Tidak ada desah suara dan gerakan-gerakan erotis lagi saat di depan Alex. Aku lihat wajah mereka tampak tegang menunggu penjelasan Alex selanjutnya. Sejenak aku juga beradu pandang dengan John. Dia mencoba bersikap tenang.

"Alex, kamu kuundang untuk membantuku menyelesaikan masalah ini. Jangan sampai kamu menunjuk orang yang salah!" kata John membuka suara.

"Begini. Dengar penjelasanku! Dolly memang memberikan wisky itu untuk Nick dan Nick meminumnya. Tapi kalian semua melupakan anggur merah," Alex berhenti sebentar.

"Anggur merah?" tanya ke tiga temanku hampir bersamaan. Kembali mereka saling pandang.

"Anggur merah yang dibawa Allena untuk John?" tanya Dolly sambil melirik kearahku.

"Iya, anggur merah itu! Mengapa John tidak mau minum anggur merah yang diberikan Allena? Malah dia siramkan ke mulut Nick! Ada apa dengan anggur merah itu? John sebenarnya tahu kalau anggur merah itulah yang berisi racun, bukan pada wisky. Dengan begitu tanpa disadari oleh Nick, dia telah meminum racun dari anggur merah," jawab Alex panjang lebar.

"Kamu telah merencanakan semua ini untuk membunuh Nick. Kamulah pembunuh yang sebenarnya, John!" tuduh Alex sambil menunjuk pada John.

***

Terjadi perdebatan sengit antara Alex dengan John. Aku dan ke tiga temanku mendengarkan dengan seksama bagaimana Alex menuduh John tapi segera dibantah oleh John kembali.

"Kamu telah merencanakan semua ini untuk membunuh Nick. Kamulah pembunuh yang sebenarnya, John!" tuduh Alex sambil menunjuk pada John.

"Kamu ... kamu telah menuduhku? Saudara macam apa kamu ini?" tanya John dengan nada tinggi. Aku melihat perubahan ekspresi wajah John menjadi marah.

"Kita memang saudara! Tapi bukan untuk masalah seperti ini!" jawab Alex tak kalah tegas.

"Oh, Tuhan! Ternyata John dan Alex masih bersaudara," kata Dolly tidak percaya.

"Tapi aku tidak pernah ada niat untuk membunuh Nick dan tidak ada bukti untuk itu!" bantah John.

"Kita tunggu uji laboratorium, pasti anggur merah itu yang mengandung racun," kata Alex.

"Tidak ...! Itu fitnah! Nick bahkan lebih banyak minum wisky yang dibawa Dolly. Bagaimana kamu bisa memastikan kalau hanya anggur merah yang mengandung racun?" tanya John pada Alex.

"Karena kamu tidak mau meminumnya!" jawab Alex, "Anggur merah itu telah kamu beri racun dan memang kamu buat khusus untuk Nick. Benar begitu, John?" lanjut Alex.

"Tidak! Aku tidak mau meminumnya karena Nick tidak pernah menghargai aku. Dan dia juga menumpahkan sebagian anggur merah itu di bajuku. Itu membuatku semakin marah padanya. Hingga aku tidak mau meminumnya!" bantah John.

"Selain itu, kamu juga tidak suka sama Nick karena merasa tersaingi dalam mendekati Allena, bukan? Sementara Allena lebih memilih Nick dari pada kamu, John. Sehingga kamu merasa perlu menyingkirkan Nick, benar begitu?" lanjut Alex. Aku mendapat angin segar ketika Alex mengatakan itu. Aku merasa Alex telah menolongku.

"Tidak ...! Itu hanya dugaanmu saja! Aku tidak sejahat perkiraanmu!" kata John dengan keras.

"Apa yang dikatakan Alex memang benar. John tidak suka kalau aku dekat dengan Nick. Aku bahkan disuruh untuk menjauhinya," sahutku sambil menatap tajam pada John. Sejenak kemudian aku mengalihkan pandangan mataku pada Alex sambil tersenyum.

"Allena ...! Apa kamu bilang? Aku berusaha membantumu tapi kamu malah menusukku dari belakang! Itu semua tidak benar!" bantah John.

"Masih ada bukti lain. Di mana Paijo, pembantu rumahmu, John? Kamu pecat dan kamu usir dia atau malah kamu bunuh juga dan kamu sembunyikan mayatnya? Dia yang telah menaruh racun pada minuman anggur merah atas perintahmu," kata Alex.

"Fitnah macam apa lagi ini?" bantah John lagi.

"Sebelum Paijo menghilang dia sempat menemuiku dan bercerita semuanya," jawab Alex.

Semua terdiam mendengar penjelasan Alex. Tapi tiba-tiba aku melihat John mengepalkan ke dua tangannya. Aku menduga emosi John memuncak dan tidak terima mendapat tuduhan itu. Dia kemudian bergerak maju ke arah Alex. Beruntung Pak polisi cepat tanggap dan dapat mencegahnya. John kemudian dibawa pergi meninggalkan Rumah Atlanta. Aku sebenarnya merasa kasihan juga pada John karena telah difitnah atas tuduhan tindak pembunuhan yang tidak pernah dia lakukan.

"Bagaimana kamu bisa melakukan ini semua?" tanyaku pada Alex, "aku pikir rencanamu telah gagal ketika Nick yang terbunuh bukan John, saudaramu itu," lanjutku dengan senyum menggoda dan tatapan mata yang dapat mencabik-cabik naluri lelaki Alex.

***

Dua gelas anggur merah menemani aku dan Alex di dalam kamar. Siang itu di Rumah Atlanta hanya ada aku dan Alex.

"O ya, Lex. Kenapa kamu begitu tega pada John? Bukannya dia itu saudaramu sendiri?" tanyaku pada Alex.

"John hanya saudara tiri. Ibuku menikah dengan ayah John setelah ibunya John meninggal," jawab Alex.

"Dan itu sebabnya kamu memperoleh harta warisan lebih sedikit dari John?" tanyaku lagi padanya. Dia hanya mengangguk.

Setelah ngobrol beberapa saat, aku merasa haus dan bermaksud meminum anggur merah yang ada di meja. Tapi Alex mencegahku. Alex yang semula hanya mengajakku ngobrol, tiba-tiba memegang pundakku dan tatapan matanya menjadi liar. Bola matanya bergerak ke sana ke mari seolah menelusuri setiap inchi tubuhku. Aku juga mendengar lirih dengus napas beratnya tak beraturan. Dunia kerjaku yang tak jauh dari aroma syahwat dan alkohol pun paham apa yang diinginkannya. Dan aku pun hanyut dalam permainan Alex. 

"Masih ingatkan janjimu dulu padaku, Lex?" tanyaku sesaat setelah Alex melepas semua ketegangan tubuhya pada tubuhku. Tapi dia hanya menatapku tanpa bicara sedikitpun.

"Ada apa, Lex? Apa yang sedang kamu pikirkan?"

"Polisi terus mendalami kasus ini dan masih harus mendengarkan saksi-saksi lainnya. Mereka mencurigai keterlibatan kita. Kamu dan Dolly akan menjadi saksi kunci bagi mereka. Karena kamu dan dia yang membawa ke dua minuman itu," jawab Alex. Aku memperhatikan wajah Alex yang tampak tegang dan gelisah padahal aku baru saja memberikan kenikmatan.

"Maafkan aku, Lex. Karena tidak berhasil membuat John minum anggur merah itu. John malah melemparnya ke mulut Nick dan mungkin tak sengaja tertelan hingga menyebabkan kematiannya."

"Aku harus membuat alibi baru dengan cara memfitnah John sebagai pembunuh Nick. Tapi pihak polisi tidak sepenuhnya mempercayai omonganku. Ini menjadi masalah besar bagiku," jelas Alex.

"O ya?" tanyaku sambil tersenyum manja, "tapi aku yakin kalau kamu pasti sudah punya cara lain untuk menyelesaikannya," lanjutku sambil mengusap lembut wajah Alex. 

"Iya, aku sudah punya rencana itu," jawab Alex sambil mengangguk pelan. Aku pun tersenyum senang mendengarnya.

Aku hanya berharap mendapat apa yang pernah dijanjikan Alex setelah menyingkirkan John dan menguasai hartanya. Alex kemudian menyudahi permainannya dan menyodorkan anggur merah yang ada di meja itu padaku.

Aku baru meminumnya hingga tersisa seperempat gelas saat Alex berpamitan untuk pulang dan bergegas meninggalkanku. Saat itu aku merasa tidak mau jauh lagi dari Alex. Aku pun tidak menghiraukan keadaan tubuhku yang tiba-tiba terasa berat dan kepala pusing ketika berjalan mengikuti Alex masuk ke dalam mobil.

Waktu itu hari sudah berganti sore ketika aku pergi bersama Alex menggunakan mobil milik John. Selama perjalanan itu aku merasa senang dan berpikir akan mendapat apa yang telah dijanjikan oleh Alex. Hingga hilang rasa sakit kepalaku dan tubuhku terasa ringan kembali.

Tapi ada yang aneh dengan sikap Alex. Dia menjadi cuek dan tidak memperhatikan aku selama di dalam mobil. Mungkin dia menganggap aku telah mengacaukan rencananya dan dapat menjadi batu sandungan untuk memiliki harta John hingga bersikap demikian.

Aku mengalihkan perhatianku sendiri dengan memperhatikan jalan yang sedang aku lalui. Ternyata Alex hanya berputar-putar saja tanpa tujuan kemudian kembali lagi ke Rumah Atlanta. Tapi mobil tidak masuk ke halaman dan hanya berhenti di depan pintu gerbang saja.

"Alex, kamu tidak mengantarku masuk?" Aku menoleh dan bertanya pada Alex.

Tapi Alex tetap saja cuek dan tidak menjawab pertanyaanku. Aku melihat ketegangan dan kegelisahan masih menyelimuti wajahnya. Sementara pandangan mata Alex terus saja tertuju ke Rumah Atlanta. Aku sendiri terkejut saat melihat ke sana. Banyak warga tetangga sekitar berkerumun di sana.

"Alex, sepertinya telah terjadi sesuatu di Rumah Atlanta," kataku.

Alex masih diam. Semua omongan dan tingkahku di dalam mobil tidak diacuhkannya. Begitu beratkah beban pikirannya? Aku bergegas membuka pintu dan keluar dari mobil. Setelah itu mobil malah tancap gas meninggalkan aku di depan Rumah Atlanta.

"Alex ... tunggu! Jangan tinggalkan aku!" Berkali-kali aku berteriak memanggil Alex tapi mobil itu terus melaju.

Dengan rasa kesal aku segera menuju rumah kontrakanku. Tapi anehnya lagi tak satu orang pun menyapaku saat aku melewati mereka. Padahal aku bisa mendengar mereka membicarakan aku. Apakah mereka tidak bisa melihatku dengan pakaian seperti ini?

Aku terus masuk ke dalam rumah. Kemudian aku mendapati Dolly, Cindy, dan Alexis sedang berkerumun di depan pintu kamarku yang terbuka. Mereka bertingkah laku aneh dan tidak melihatku juga saat aku mendekati mereka.

"Aku jadi merinding, ada apa ini?" tanya Dolly sambil mengusap-usap ke dua lengannya.

"Iya, aku juga. Udara juga bertambah dingin," sahut Cindy.

"Mungkin arwah Allena sedang mendekati kita," kata Alexis.

Sial ...! Aku baru ingat kalau aku sudah mati saat aku menengok ke dalam kamarku. Aku melihat tubuhku sendiri tergeletak di atas tempat tidur. Setelah menikmati tubuhku, Alex memberi minum anggur merah padaku. Aku sungguh tak menyangka Alex dapat berbuat sekejam itu ....

*****


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)