Masukan nama pengguna
Aku bersusah payah mempertahankan kesadaranku agar dapat berpikir logis. Mungkinkah boneka kayu jailangkung itu tertarik dengan kostum kuntilanakku dan ingin ikut denganku ke pesta Halloween? Sementara itu suara mantra-mantra pemanggil arwah terdengar kembali.
***
Mendung tebal bergulung-gulung di langit. Semburat cahaya rembulan menembus mendung melukiskan suasana malam yang mencekam. Tak terdengar bunyi binatang malam saat itu kecuali hanya kepak-kepak sayap burung hantu di antara dahan-dahan pepohonan di pekarangan samping dan belakang rumahku. Angin dingin pun bertiup sepoi-sepoi menggoyangkan dahan dan dedaunan. Suara gemerisiknya membuat suasana malam bertambah mencekam.
Malam semakin larut. Rembulan pun terlelap dibalik hamparan mendung tebal yang masih enggan beranjak pergi. Aku segera masuk ke dalam dan menutup pintu rumah. Sementara jarum jam dinding merambat pelan meninggalkan pukul sepuluh malam. Detak detiknya terdengar menghentak di keheningan malam ini.
Setelah melalui pertimbangan panjang akhirnya aku memberanikan diri untuk mengikuti acara Halloween yang diadakan oleh kelompok teater kampusku. Acara itu untuk umum dan akan berlangsung tepat jam dua belas malam ini di halaman sebuah rumah tua tak berpenghuni di dekat kampus.
Dengan syarat, semua peserta harus berjalan kaki sejauh jarak satu kilometer menuju tempat pesta melalui rute yang telah ditentukan. Kebetulan rute tersebut adalah jalan setapak sepanjang tepi sungai di belakang kampungku.
Aku masuk kamar dan mempersiapkan peralatan serta bahan untuk merubah penampilanku. Tiba-tiba aku terkejut karena seekor tokek berukuran cukup besar jatuh dari langit-langit kamar di atas pintu yang sedikit berlubang. Aku melihat tokek itu mengarahkan mukanya ke arahku sambil membuka mulut. Jantungku sedikit berdesir karenanya. Sesaat kemudian dia lari menuju belakang almari pakaianku di pojok kamar.
Aku mengambil cermin kecil dan segera merias wajah serta rambutku agar tampak seram dan menakutkan. Suasana hening. Detik jarum jam dinding di kamarku terdengar berpacu dengan detak jantungku. Aku sebenarnya tidak siap melihat penampilan wajahku sendiri nantinya. Tanganku pun bergemetaran.
Tok ... tok ... tok ... tokeekkk ...!
Aku terkejut bukan kepalang mendengar suara itu. Berkali-kali suara itu terdengar menggema memecah keheningan malam di dalam kamarku hingga membuat bulu kudukku berdiri. Secara reflek aku menggerakkan tubuhku sendiri hingga mendorong kebelakang kursi yang aku duduki. Aku hampir jatuh ke lantai. Tanganku pun hampir saja melemparkan cermin yang sedang aku pegang.
Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan riasan wajahku. Setelah itu, aku meletakkan cermin itu terbalik di atas meja belajarku. Sungguh aku tidak berani lagi melihat wajahku sendiri di cermin.
Aku kemudian berdiri untuk memakai daster putih pinjaman dari kakakku. Daster itu sengaja aku buat tampak lusuh dengan cara menguceknya dan membaluri dengan tanah yang telah aku persiapkan sejak tadi sore. Setelah itu aku mengenakan wig rambut panjang. Wig itu pun aku pinjam dari teman yang sering main teater beberapa hari yang lalu.
Lengkap sudah riasan wajah dan dandanan pakaianku. Perlahan aku melangkahkan kaki keluar dari kamarku. Aku menuju almari dengan cermin besar di ruang tengah. Lampu utama tidak menyala sehingga suasananya terlihat remang-remang.
Meski aku belum melihat seutuhnya, tapi aku telah tersugesti sendiri dengan penampilanku. Suasana ruang tengah pun berubah menjadi mencekam. Jantungku berdebar semakin kencang. Aku memperhatikan ke sekeliling ruangan dan berharap tidak ada orang rumah yang memergoki aku dengan kostum bagini.
Aku merasakan darahku seolah berhenti mengalir dan jantungku seolah meloncat entah kemana ketika aku berdiri di depan cermin besar serta melihat sendiri hasil dari dandananku. Aku telah berubah menjadi sesosok kuntilanak meskipun hanya dengan masker bengkoang putih yang terlihat retak-retak dan daster putih lusuh pinjaman dari kakakku. Rambut hitam panjang acak-acakan dan warna gelap disekitar ke dua bola mataku menambah kesan menakutkannya kostum kuntilanak yang aku kenakan pada malam ini.
Aku kembali ke kamar dan mengambil ponsel.
"Aku sudah siap, aku tunggu di pos jalan setapak di belakang kampung." Aku mengetik sebuah kalimat dan mengirimkannya ke WA temanku.
"Oke, aku segera ke sana." Kalimat itu muncul di layar ponselku.
Aku segera keluar dari rumah menuju pos jalan setapak. Pos itu hanya dijaga oleh seorang panitia dengan kostum vampire. Dia menyambut lalu menempelkan tanda peserta di lenganku.
"Anda adalah salah satu dari dua peserta terakhir. Silahkan melalui rute yang telah ditentukan. Masih cukup waktu untuk sampai di tempat pesta," katanya.
"Ee ... boleh aku menunggu peserta terakhir? Dia teman kuliahku. Kami telah sepakat untuk berangkat bersama."
"Boleh, tapi harap dipertimbangkan waktunya."
Setelah beberapa saat lamanya, temanku tak kunjung datang. Aku kembali mengambil ponselku. Terlihat jam sudah lewat pukul sebelas malam.
"Cepat ke sini. Aku sudah menunggumu." Aku mengirim pesan WA lagi.
"Oke, aku segera ke sana." Kalimat jawaban yang sama muncul lagi di layar ponselku.
Aku menunggu temanku beberapa saat lagi. Tetapi dia tidak kunjung datang juga. Akhirnya aku memutuskan untuk berangkat duluan karena jam di ponselku sudah menunjuk angka setengah dua belas malam. Aku tidak ingin terlambat mengikuti acara Halloween ini.
"Mungkin temanku tidak jadi datang. Aku akan berangkat sekarang," kataku pada si Vampire. Dia hanya mengangguk.
Namun masih ada rasa ragu saat aku memutuskan sendirian melewati rute jalan setapak ini. Rasa takut pun dengan cepat merayap dan mencengkeram sebagian hatiku ketika aku melihat di sekitarku hanya gelap dan rimbunnya rumpun pepohonan bambu. Bunyi gemeretak dahan pohon bambu yang saling bergesekan tertiup angin mengiringi sepanjang langkahku dan menambah mencekamnya suasana malam ini. Meski begitu aku tetap berjalan menuju tempat tujuanku.
Namun perlahan nyaliku mulai rontok saat sayup-sayup aku mendengar suara mantra-mantra pemanggil arwah yang biasa diucapkan oleh anak-anak kampung ketika bermain jailangkung di bawah rimbunnya pohon bambu beberapa meter di depanku.
Rasa takut ini semakin mencengkeram hatiku hingga memaksaku untuk menghentikan langkah sejenak. Aku masih sempat berpikir, dari mana datangnya suara-suara itu. Namun tubuhku mulai gemetar saat menyadari bahwa aku hanya sendirian di tempat yang sepi dan gelap ini. Aku tidak melihat seorangpun di sana kecuali sebuah boneka jailangkung tanpa kaki yang bersandar di bawah rerumpunan pohon bambu.
Tiba-tiba boneka jailangkung itu berdiri tegak, meloncat-loncat, dan bergoyang sendiri. Seketika merinding seluruh tubuhku. Sesaat kemudian dia diam seiring hilangnya suara mantra-mantra pemanggil arwah. Setelah itu boneka jailangkung memutar tubuhnya menghadap ke arahku. Kepala dari batok kelapanya terlihat menyeramkan saat beradu muka denganku. Tubuh kayunya terbalut kain mori usang. Kemudian dia bergoyang lagi sambil melambaikan kain morinya seperti ingin ikut denganku.
Aku merasakan aliran darahku seperti berhenti mendadak. Tubuhku menjadi dingin membeku seolah-olah terbungkus bongkahan salju di Puncak Jayawijaya ketika aku melihat sekelebat bayangan keluar dari tubuh kayu jailangkung menuju ke arahku. Dan ... boneka jailangkung itu roboh ke tanah.
Sesaat kemudian bayangan itu berubah bentuknya menjadi sesosok nenek bongkok dan telah berdiri di depanku. Aku melihat kulit wajahnya sangat keriput dan mata besarnya melotot. Aku juga mencium bau busuk saat nenek bongkok itu berjalan lebih mendekat ke arahku. Langkahnya tertatih-tatih dengan ditopang sebatang tongkat kayu. Tangan satunya menjulur ingin menyentuhku seolah memberi isyarat akan ikut denganku.
Aku tidak tahan dengan keadaan fisik nenek bongkok. Serta merta aku memalingkan wajah dan memutar tubuhku. Dengan gemetaran aku bersiap mengambil langkah seribu. Tetapi ke dua kakiku seperti terpaku dan menghunjam ke dalam tanah. Aku tidak bisa bergerak! Aku benar-benar panik! Keringat dingin membasahi tubuh dan wajahku. Dan tanpa sadar aku mengusap-usap wajahku.
Kamu pasti bisa membayangkan bagaimana rupa wajahku ketika itu. Masker bengkoangku menjadi luntur dan bercelemotan tak karuan. Namun aku sudah tidak peduli lagi dengan penampilanku! Aku ingin segera pergi dari tempat ini tetapi tidak bisa! Beberapa saat kemudian aku merasa tubuhku limbung ketika sebuah tangan menepuk pundakku dari belakang.
"Kenapa berhenti? Takut ya lewat jalan ini sendirian?" Aku mendengar suara berat di telingaku. Suara itu memaksaku untuk memutar kembali tubuhku dan melihat ke arahnya.
Ya Tuhan ... ada makhluk lain lagi! Aku menjerit dalam hati.
Sesosok tubuh besar berwarna hijau gelap dengan bulatan mata hitam telah berdiri tepat di hadapanku. Itu Buto Ijo! Pandangan matanya nanar ke arahku. Tetapi sekejap kemudian si Buto Ijo malah tersenyum padaku. Senyuman itu menyadarkan aku pada seorang teman yang telah berjanji bertemu denganku di tempat ini. Ternyata dia telah datang dengan kostum buto ijonya. Aku merasa lega. Aku kemudian menunjuk ke arah rumpun bambu tadi dan bertanya padanya.
"Kamu melihat hantu nenek bongkok di sana?"
"Tidak! Tidak ada siapa-siapa! Yang kulihat hanya boneka jailangkung. Itu pun tergeletak di tanah, di depan rumpun bambu itu," jawab si Buto Ijo.
"Tergeletak di tanah?" tanyaku keheranan.
"Iya, benar. Lihat saja sendiri!"
"Hmm, benar juga! Boneka jailangkung itu tergeletak di tanah. Berarti kejadian yang aku alami benar-benar nyata terjadi! Dan hantu nenek bongkok itu benar-benar ada."
"Tidak mungkin! Karena semenjak aku sampai di sini, aku hanya melihat kamu seorang diri di sini!" sanggah si Buto Ijo.
"Kalau tidak nyata, seharusnya boneka jailangkung itu berada di tempat semula. Bersandar pada rumpun pohon bambu itu, seperti yang kulihat saat pertama kali aku sampai di tempat," kataku dengan serius memberi alasan.
Aku dan Buto Ijo hanya bisa saling pandang. Karena semua bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing. Tiba-tiba angin dingin bertiup kencang dan sayup-sayup aku mendengar lagi suara mantra-mantra pemanggil arwah yang membuat bulu kudukku berdiri semua.
"Suara-suara itu muncul lagi. Apa kamu mendengarnya juga?" tanyaku pada Buto Ijo.
"Suara ...? Suara apa? Aku tidak mendengarnya!"
"Suara mantra-mantra pemanggil arwah. Ayo kita pergi dari sini, sebelum hantu nenek bongkok muncul kembali!" ajakku pada si Buto Ijo.
Aku bermaksud melanjutkan perjalanan. Tapi entah kenapa aku merasa tubuhku menjadi berat saat kaki mau melangkah. Aku seperti membawa beban berat di punggungku.
"Kamu kenapa lagi? Masih trauma dengan kejadian tadi?" tanya Buto Ijo sambil memperhatikan aku.
"Ee, iya. Aku ... aku khawatir hantu itu akan mengikutiku sampai di tempat pesta," jawabku dengan sedikit gemetar.
"Ah, mana mungkin! Itu cuma halusinasimu saja. Ayo berangkat! Ntar kita ketinggalan acaranya," ajak Buto Ijo.
Meski dengan tertatih-tatih aku berjalan di belakang mengikuti Buto Ijo menyusuri jalan setapak menuju tempat pesta Halloween. Keringatku bercucuran meski aku merasakan udara malam ini sangat dingin.
Sampai di halaman rumah tua, para hantu Halloween yang lain menyambut kedatanganku dan Buto Ijo. Tetapi mereka hanya berkerumun di sana dan tidak ada seorang pun masuk ke dalam rumah tua tersebut.
"Sebentar lagi pukul dua belas malam. Kenapa kalian tidak masuk ke dalam dan hanya berkerumun di sini? Bukankah acara segera dimulai?" tanya Buto Ijo pada mereka.
"Baru saja terjadi insiden dan semua peserta berhamburan keluar dari tempat pesta," jawab salah seorang panitia menceritakan kejadian di sana.
Beberapa saat sebelum aku dan Buto Ijo sampai di tempat acara, tiba-tiba genset mati. Aliran listrik di sana pun terputus. Suasana ruang pesta menjadi gelap dan membuat panik para peserta. Kemudian mereka mendengar benda berat jatuh menimpa meja besar tempat hidangan dan minuman. Semua jadi berantakan. Para peserta bertambah panik. Tetapi untunglah, panitia acara bisa menguasai keadaan dan menenangkan mereka. Mereka kemudian menepi sambil memperhatikan ke arah meja besar tersebut.
Dalam keremangan ruang pesta, mereka melihat benda yang jatuh dari langit-langit rumah tersebut bergerak-gerak. Ruangan yang semula terasa segar pun mendadak berubah menjadi berbau busuk menyengat. Mereka kemudian mendengar suara seorang nenek tertawa terkekeh-kekeh. Para peserta pun merasa ketakutan dan tidak tahan dengan bau busuk tersebut. Suasana menjadi tak terkendali kembali. Mereka semua berhamburan lari ke luar rumah.
"Setelah itu tidak ada seorang pun yang berani menengok ke dalam," lanjut panitia tadi.
"Tawa seorang nenek? Terus benda apakah itu?" tanyaku.
"Aku tidak tahu. Coba lihat sendiri benda apa yang jatuh di sana," jawabnya.
Dengan rasa penasaran, aku dan Buto Ijo segera melangkah menuju pintu untuk melihat ke dalam. Beberapa peserta lain pun ikut serta. Benar juga, aku mencium bau busuk saat masuk ke dalam ruangan.
Dengan hati berdebar, semua mata memandang ke tengah tempat meja besar berada. Di keremangan cahaya, aku dan peserta lain melihat sosok nenek bongkok duduk bersimpuh sambil memegang tongkat kayunya.
"Ne ... nenek ... nenek bongkok?" tanya salah seorang peserta dengan nada gemetar.
"Iy ... iya, benar. Itu ... itu nenek bongkok. Hantu penunggu kali. Biasanya dia hanya terlihat di rerumpunan bambu sepanjang sungai itu," jawabku tak kalah gemetar karena teringat kembali dengan kejadian yang baru saja aku alami di dekat rerumpunan bambu tadi. Dan aku juga baru menyadari kalau beban berat di punggungku telah hilang.
"Benarkah nenek bongkok adalah hantu penunggu kali itu? Kenapa dia sekarang bisa ada di sini? Dia ... dia datang diantar siapa?" tanya peserta yang lain dengan nada ketakutan.
Sementara temanku, si Buto Ijo menoleh kearahku dan memandang dengan penuh curiga.
"Benarkah ...?" bisiknya.
Aku hanya bisa mengangguk pelan dan merasakan ke dua lututku gemetar. Sesaat terlintas di benakku, bagaimana jika nenek bongkok itu memintaku lagi untuk diantar pulang ...?
***
Solo, 23.12.2022
[Bomowica]