Masukan nama pengguna
Sesuatu tak kasat mata itu setiap malam selalu menemani Alice, anak ragilku ketika sedang belajar. Meski aku sendiri tidak bisa melihat wujudnya seperti apa namun tatapan mata dan raut wajah Alice menyiratkan bahwa dia sedang memperhatikan sesuatu yang ada dihadapannya.
***
"Bisa mengerjakan PR-nya?" tanyaku sambil memperhatikan Alice yang baru berumur enam tahun.
Malam itu aku menemani Alice belajar di ruang tamu lagi. Sambil membolak-balik koran sore, aku mencoba menanyakan kesulitannya. Tetapi selalu dijawab dengan menggelengkan kepala.
Alice sebenarnya punya meja belajar sendiri di kamarnya. Namun dalam beberapa malam ini, Alice selalu minta belajar di ruang tamu. Dan duduknya harus menghadap ke pintu samping ruang tamu. Pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan teras samping rumah yang bersebelahan dengan pekarangan kosong milik tetangga.
Kurang lebih setiap pukul tujuh malam, Alice sudah siap duduk di belakang meja belajar kecilnya menghadap ke pintu tersebut. Aku melihat buku dan kotak pensil Alice juga sudah ada di atas meja kecil itu. Tak ketinggalan mainan patung kecil kuda poni yang selalu menemani belajar, dia letakkan di samping kotak pensilnya. Tetapi Alice tidak segera membuka bukunya. Dia duduk termenung untuk beberapa saat lamanya sambil memandangi pintu samping tersebut.
Entah kenapa Alice selalu melakukan hal tersebut sebelum memulai belajar. Terkadang aku harus mengingatkannya untuk segera belajar. Dan selama belajar pun Alice sering kali memandang ke arah pintu. Tapi pandangan matanya seperti tertahan pada sesuatu yang berada di antara dia dan pintu itu. Semua yang dilakukannya selama beberapa malam ini telah membuat aku penasaran.
Suatu malam setelah beberapa lama menulis, aku melihat Alice meletakkan pensilnya kemudian memegang mainan patung kecil kuda poninya. Bagaikan kuda terbang, Alice menggerakkan-gerakkan patung kecil itu di udara. Dan aku juga melihat dia sering tersenyum sendiri sambil melirikkan matanya, menatap sesuatu yang ada di depannya. Tatapan mata itu seperti bukan pada mainannya tetapi pada sesuatu yang begitu dekat di depannya. Sesuatu yang aku sendiri tidak bisa melihatnya dengan indera penglihatanku.
Sebenarnya itu hal yang wajar dilakukan oleh seorang anak kecil ketika sedang memainkan mainannya. Mungkin saja dia sedang berimajinasi. Dan Alice melakukan itu disela-sela waktu belajarnya setiap malam. Namun, aku melihat kejadian yang ganjil terjadi pada malam itu. Alice seperti ingin memberikan mainannya pada sesuatu yang ada di depannya.
Sesaat kemudian aku melihat Alice menjulurkan tangannya ke depan sambil mengangguk dan tersenyum sendiri. Padahal tidak ada siapa-siapa di hadapannya. Malam itu tingkahnya kembali membuat aku penasaran. Aku mencoba berkonsentrasi dan menajamkan penglihatanku. Tetapi mataku tetap tidak bisa melihat ada apa di hadapan Alice.
"Alice! Ayo belajar dulu! Keburu malam," kataku sedikit mengagetkannya.
"Se ... sebentar, Yah," jawab Alice dengan gugup tanpa menoleh ke arahku. Dia kemudian meletakkan mainannya.
Beberapa hari berikutnya Alice masih selalu begitu kalau sedang belajar. Seperti ada sesuatu yang sedang menunggui di depannya. Tatapan matanya memperlihatkan bahwa dia memperhatikan sesuatu yang begitu dekat dengannya. Dan ada interaksi di antara keduanya. Tapi aku tetap tidak bisa melihat apa yang sedang Alice perhatikan.
***
Malam ini, entah malam keberapa aku menemani Alice belajar di ruang tamu lagi. Setelah beberapa saat lamanya, aku melihat Alice menghentikan aktivitas belajarnya. Aku menunggu apakah dia akan memberikan mainannya lagi atau tidak. Ternyata Alice malah membuka kotak pensil dan mengambil salah satu pensil lainnya. Sementara mainan kuda poni yang selalu ada di samping bukunya tidak disentuh. Aku kemudian melihat Alice menyobek sebagian kecil kertas pada halaman belakang bukunya. Perlahan-lahan dia menyodorkan sobekan kertas dan pensil itu ke depan.
Pandangan mataku masih belum beralih darinya. Aku terkejut dan detak jantungku seolah berhenti saat aku melihat Alice melepaskan pensil itu. Astaga ...! Benda kecil panjang itu berdiri sendiri di atas kertas dan perlahan bergoyang seperti ada yang sedang menggerakkannya. Pensil itu seperti sedang menulis sendiri! Berkali-kali aku mengedipkan mata tetapi kejadian yang membuat bulu kudukku berdiri itu tetap terjadi. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang sedang aku lihat.
"A ... Alice. Sudah selesai PR-nya...?" tanyaku gugup.
Dan sekejap kemudian aku melihat pensil itu jatuh tergeletak di meja. Alice pun terkejut dan menoleh ke arahku sambil tersenyum. Aku beranjak dari tempat dudukku dan mendekatinya. Tetapi aku tidak melihat sebuah tulisan pun di kertas itu. Mungkin hanya Alice saja yang bisa melihatnya.
"Sudah, Yah," jawab Alice sambil mengambil pensil dan sobekan kertas itu kemudian memasukkannya ke dalam kotak pensil kembali.
"Kalau begitu sekarang tidur biar besok tidak bangun kesiangan," ajakku sambil menuju pintu utama rumah dan menutupnya.
Setelah itu aku meninggalkan Alice sebentar menuju ke kamarnya. Aku kemudian mengambil seblak kasur dari sapu lidi untuk membersihkan serta merapikan tempat tidur Alice. Sementara dia masih di ruang tamu membereskan buku dan mainannya.
"Alice ... ayo tidur," kataku setelah selesai.
Sejenak aku duduk di tepi tempat tidur Alice sambil memperhatikan seblak kasur sapu lidi yang masih aku pegang. Kejadian barusan mengingatkan aku dengan kejadian-kejadian misteri yang sering di alami oleh Alice sejak dulu.
***
"Anakmu itu ... sepertinya dapat melihat lelembut." Aku teringat kata-kata eyang waktu itu.
"Alice maksud eyang?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya. Eyang mengangguk dan ikut duduk bersamaku. Waktu itu aku sekeluarga sedang santai melihat acara televisi di ruang depan setelah syukuran ulang tahun Alice yang keenam.
"Dia itu anak sungsang. Dalam kepercayaan Jawa, anak sungsang lebih waskito)* dibanding anak yang lahir normal. Jadi kamu harus lebih hati-hati dalam menjaga dan mendidiknya," lanjut Eyang.
Aku kemudian menceritakan kejadian mistis pertama kali yang dialami Alice saat menjelang usia tiga tahun. Waktu itu aku sekeluarga bermalam di rumah saudara di luar kota. Rumah tersebut dikelilingi pekarangan yang cukup luas dengan pohon-pohon besar dan rimbun daunnya. Dan kami tidur di kamar belakang.
Saat itu, tengah malam, aku masih bercengkerama dengan istriku. Tidak lama kemudian aku dan istriku terkejut mendengar suara tangisan Alice yang tiba-tiba terbangun dan berteriak-teriak.
"Darah ... darah! Orang berdarah!" kata Alice.
Aku melihat ekspresi ketakutan di wajah Alice. Dia kemudian menutup wajah dengan kedua tangannya. Dalam ketakutannya, Alice mengatakan ada sesuatu di balik jendela kamar itu. Karena masih balita, dia pun menceritakan apa yang dilihatnya dengan kalimat sepotong-sepotong. Sehingga aku harus merangkainya dan menggambarkan dengan imajinasiku sendiri.
Sesuatu itu mirip seseorang tetapi hanya terlihat separuh badan dan berambut hitam panjang acak-acakan. Sepasang mata putih dengan bintik hitam di tengah terlihat menempel pada wajah seramnya. Kulitnya rusak mengelupas dan darah keluar dari wajah serta tubuhnya.
Sesekali Alice melihat ke arah jendela tapi buru-buru dia menyembunyikan lagi wajahnya. Menurut dia makhluk itu tetap ada di sana untuk beberapa saat lamanya. Aku menghentikan ceritaku sejenak ketika eyang menyela untuk menyampaikan sesuatu.
"Kenapa kamu tidak menggunakan seblak untuk mengusirnya?" tanya Eyang.
"Seblak kasur itu ...?" Aku balik bertanya.
"Iya, seblak itu! Sapu lidi untuk membersihkan seprei kasur. Benda itu dapat digunakan untuk mengusir lelembut!" jawab Eyang.
"Benarkah? Aku malah tidak tahu."
"Tidak tahu ... atau kamu tidak percaya?"
Aku tersenyum sendiri mengingat pertanyaan eyang waktu itu. Menurut penjelasan eyang, seblak sapu lidi yang biasa disebut juga dengan nama sodo gerang itu dalam kepercayaan Jawa dipercaya untuk mengusir lelembut atau makhluk halus. Terutama lelembut yang suka mengganggu anak kecil.
Untunglah kejadian itu tidak berlangsung lama. Aku dapat melihat Alice kembali tenang meskipun aku tidak menggunakan seblak sapu lidi untuk mengusir lelembut itu. Lelembut atau makhluk halus itu pergi dengan sendirinya. Mungkin dia cuma ingin menyapa Alice yang baru pertama kali bermalam di sana. Aku bersyukur Tuhan masih melindungi anakku waktu itu. Setelah itu terlintas lagi dalam ingatanku beberapa kejadian mistis lain yang pernah dialami oleh Alice.
Mungkin benar apa yang dikatakan eyang dulu kalau Alice memang bisa melihat bahkan berkomunikasi dengan lelembut, kataku dalam hati sambil menghela napas panjang. Aku masih asyik dengan lamunanku.
"Yah, sudah diseblaki tempat tidurku?" Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku dan ketika aku menoleh ke arah suara itu, aku melihat Alice telah berdiri di dekatku.
"Sudah. Ayo tidur!" jawabku sambil tersenyum dan mengusap lembut kepalanya.
Sesaat kemudian Alice naik ke tempat tidur tetapi dia tidak segera merebahkan tubuhnya. Dia hanya duduk di sampingku. Matanya memandang ke arah pintu kamar dan sesekali beralih ke seblak kasur sapu lidi yang masih aku pegang.
"Yah, bolehkah Mbak Andung tidur bersamaku?" tanya Alice sambil terus memandangi seblak kasur yang aku pegang.
"Si ... siapa? Mbak Andung? Mbak Andung siapa?" tanyaku gugup.
"Dia temanku, Yah," jawab Alice.
Dia memandangku sebentar, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar. Setelah itu aku melihat Alice mengarahkan jari telunjuknya ke arah sana. Aku pun memperhatikan ke arah pintu kamar tetapi tidak melihat siapa pun di sana. Sesaat kemudian aku merasa merinding karena sudah bisa menduga siapa sebenarnya Mbak Andung itu.
"Ti ... tidak! Dia ... dia tidak boleh tidur di sini! Suruh dia pulang atau ayah akan usir dengan seblak ini!" Aku semakin gugup karena membayangkan seandainya harus berhadapan dengan sesuatu yang aku sendiri tidak bisa melihat wujudnya.
"Jangan, Yah! Mbak Andung sudah pulang," kata Alice sambil menunduk.
Setelah itu aku melihat Alice merebahkan tubuhnya menghadap ke tembok sambil memeluk boneka kesayangannya. Aku pun segera mengusap lembut punggung Alice untuk menenangkannya.
"Katakan pada Mbak Andung jangan sering-sering main ke sini. Tempatnya bukan di sini. Dia punya rumah sendiri di luar sana," pesanku kepada Alice tetapi dia hanya diam saja.
Aku kemudian mendekatkan kepalaku untuk mengucapkan selamat tidur dan akan mencium pipinya. Namun, sebelum itu terjadi tiba-tiba saja Alice menoleh.
Ya Tuhan ...! Aku menjerit dalam hati.
Aku melihat wajah Alice berubah menjadi rata. Kulit wajah mengelupas semua dan terdapat bercak-bercak darah. Matanya tanpa bulatan hitam di tengah. Rambutnya pun menjadi lebih panjang dan kusut. Aku juga mencium bau busuk menyengat hidungku.
Sesaat kemudian aku mendengar suara serak dan berat keluar dari mulut Alice, "Andung senang di sini."
Aku terkejut dan seketika bergemetaran ketakutan menghadapinya. Jantungku seperti meloncat dan hilang entah ke mana sehingga tidak bisa lagi merasakan detakannya. Darahku pun seolah berhenti mengalir hingga membuat tubuhku diam bagai terbelenggu di tempat tidur.
Aku berusaha memberontak sekuat tenaga. Dan setelah beberapa saat lamanya aku berhasil meloncat turun dari tempat tidur. Aku segera mengayun-ayunkan seblak kasur yang masih aku pegang ke arah tubuh Alice. Namun aku seperti memukul tempat kosong. Aku seolah tidak percaya saat melihat seblak kasur yang aku ayunkan berkali-kali itu menembus tubuh Alice. Hingga beberapa saat kemudian aku harus menghentikan tindakanku tersebut karena mendengar suara lembut dari arah belakangku.
"Yah, sudah diseblaki tempat tidurku?" Aku menoleh dan melihat Alice lagi sudah berdiri di belakangku seperti tadi.
"Alice ...? Bukankah kamu tadi sudah tidur di sana?" tanyaku keheranan sambil menoleh ke tempat tidurnya. Tapi aku tidak melihat siapa-siapa di sana.
"Ayah, aku dari tadi masih di ruang tamu, sedang belajar ...." jawab Alice.
"Sama Andung?" Aku memotong perkataannya dengan pertanyaan penasaranku.
"Iya, Yah. Kok Ayah tahu Mbak Andung?" Alice balik bertanya. Dia merasa keheranan karena selama ini tidak pernah cerita tentang temannya itu padaku.
"Sekarang di mana Mbak Andungmu?" tanyaku masih dengan tubuh sedikit gemetar.
"Dia sudah pergi. Katanya takut dengan seblak kasur," jawab Alice.
Aku kemudian melihat Alice naik ke tempat tidur dan mengambil boneka kesayangannya. Dia merebahkan tubuhnya menghadap ke tembok. Aku sebenarnya ingin mencium pipi dan mengelus punggunggnya lagi sebelum tidur. Namun aku mengurungkan niatku. Karena aku takut Alice kecilku akan berubah menjadi sesosok gadis bermuka rata kembali.
Aku kemudian menarik selimut untuk melindungi tubuhnya dari hawa dingin malam ini. Setelah itu aku segera pergi meninggalkan kamar Alice dengan masih menggenggam seblak sapu lidi di tanganku. Aku kembali ke ruang tamu menuju meja belajar kecil milik Alice. Perlahan aku membuka tempat pensilnya. Aku pun terkejut ketika melihat sebuah tulisan di sobekan kertas itu.
Andung ...!
Terjawab sudah rasa penasaranku selama ini. Siapa sebenarnya sesuatu tak kasat mata yang selalu menunggui Alice belajar. Sesaat kemudian aku merasakan angin dingin berembus pelan seperti meniup belakang leherku. Seketika merinding lagi bulu kudukku. Aku pun bersiap mengayunkan seblak sapu lidi dalam genggamanku seandainya saja Andung muncul lagi di hadapanku.
Tiba-tiba aku mendengar suara menggema berkali-kali diiringi ketawa seorang anak perempuan di ruang tamu, "Aku menyukai Alice! Aku menyukai Alice!"
Aku terkejut dan dengan cepat aku mengayun-ayunkan seblak sapu lidi ke segala arah. Tak lama kemudian suara dan ketawa itu menjauh dan menghilang ditelan keheningan serta dinginnya udara malam.
Benarkah lelembut takut dengan seblak sapu lidi ini? aku bertanya dalam hati.
Aku kembali ke kamar Alice bermaksud mengembalikan seblak sapu lidi itu. Namun, saat aku membuka pintu kamar Alice, ternyata aku melihat sesosok gadis kecil berambut panjang tidur sambil memeluk tubuh Alice. Tiba-tiba gadis itu menoleh menampakkan muka ratanya. Aku pun terkejut.
"Andung! Pergi kau dari kamar ini!" teriakku.
Serta merta aku melemparkan seblak sapu lidi yang masih aku pegang ke arahnya ....
Solo.01.01.2023
[Bomowica]
note :
waskito = mempunyai kemampuan lebih dalam hal supranatural.