Cerpen
Disukai
0
Dilihat
12,428
Gagal Memahami Perasaan Ini Terhadapmu, Akhirnya Penyesalan
Drama

Langit sore itu berwarna jingga, dan angin yang bertiup pelan seolah membawa keheningan pada taman kota. Aku duduk di bangku kayu, memandangi orang-orang berlalu-lalang. Di tanganku ada sebuah kotak kecil berwarna biru, hadiah ulang tahun untuk dia—Rania. Namun, aku tahu, hadiah ini tidak akan pernah sampai kepadanya.

Aku menghela napas, mencoba menenangkan hati yang masih bergejolak. Semua kenangan itu kembali seperti film yang diputar ulang. Pertemuan pertama kami di perpustakaan kampus, caranya tersenyum saat aku salah menjawab pertanyaan dosen, hingga malam-malam panjang penuh tawa saat belajar bersama. Semua terasa begitu jelas, tetapi juga terlalu jauh untuk digapai kembali.

Hari itu, aku tidak pernah mengira pertemuan sederhana di ruang diskusi akan membuatku jatuh sejauh ini. Awalnya, aku hanya menganggapnya teman. Namun, semakin hari, caranya berbicara, matanya yang penuh binar, dan semangatnya yang menular mulai merasuki pikiranku. Sayangnya, aku terlalu lama menyangkal.

“Ini hanya perasaan sementara,” aku sering berkata kepada diriku sendiri. Aku terlalu takut menghadapi kenyataan bahwa aku menyukainya. Takut merusak persahabatan kami yang begitu nyaman.

Namun, semakin aku berusaha mengabaikan perasaanku, semakin dalam aku tenggelam. Aku tidak pernah mengatakan apa pun kepadanya. Bahkan, saat dia bercerita tentang pria yang ia kagumi, aku hanya tersenyum, berpura-pura tidak peduli.

“Rey, menurutmu, aku cocok nggak sama dia?” tanyanya suatu sore.

Pertanyaan itu menghantamku seperti petir. Tapi aku hanya menjawab, “Kalau kamu bahagia, aku juga bahagia.”

Kalimat itu adalah kebohongan terbesar yang pernah keluar dari mulutku.

Beberapa bulan kemudian, Rania resmi berpacaran dengan pria itu. Aku masih ada di sisinya, menjadi pendengar setia untuk semua kisah manis dan pahitnya. Namun, hatiku mulai penuh dengan rasa sesak yang sulit dijelaskan.

Hari terakhir kami bertemu, dia memelukku dengan erat. “Rey, aku bersyukur banget punya teman sepertimu. Kamu selalu ada buat aku.”

Aku hanya tertawa kecil, menyembunyikan luka yang semakin dalam.

Waktu berlalu. Rania dan pacarnya menikah. Aku hanya mengirimkan ucapan selamat lewat pesan singkat, tidak cukup berani untuk menghadiri pernikahannya. Di hari itu, aku duduk sendirian di taman yang sama seperti sore ini, bertanya-tanya apa jadinya jika aku dulu berani berkata jujur.

Dan kini, aku kembali ke tempat ini, membawa kotak kecil yang berisi surat—surat yang seharusnya aku serahkan bertahun-tahun lalu. Surat itu berisi semua perasaanku yang tak pernah terucap.

Aku membuka kotak itu, membaca kembali kalimat terakhir yang kutulis: "Aku mencintaimu, Rania. Tapi aku terlalu takut untuk kehilanganmu."

Air mata mengalir di pipiku. Penyesalan ini begitu dalam, tetapi aku tahu, aku tidak bisa mengubah apa pun. Yang bisa kulakukan hanyalah menerima kenyataan bahwa aku gagal memahami perasaanku sendiri, hingga akhirnya kehilangan kesempatan untuk bersamanya.

Aku berdiri, membawa kotak kecil itu ke sebuah sungai dekat taman. Perlahan, aku melemparkannya ke air, membiarkan arus membawanya pergi.

Selamat tinggal, Rania. Dan selamat tinggal, penyesalan.



Langit sore itu berwarna jingga, dan angin yang bertiup pelan seolah membawa keheningan pada taman kota. Aku duduk di bangku kayu, memandangi orang-orang berlalu-lalang. Di tanganku ada sebuah kotak kecil berwarna biru, hadiah ulang tahun untuk dia—Rania. Namun, aku tahu, hadiah ini tidak akan pernah sampai kepadanya.

Aku menghela napas, mencoba menenangkan hati yang masih bergejolak. Semua kenangan itu kembali seperti film yang diputar ulang. Pertemuan pertama kami di perpustakaan kampus, caranya tersenyum saat aku salah menjawab pertanyaan dosen, hingga malam-malam panjang penuh tawa saat belajar bersama. Semua terasa begitu jelas, tetapi juga terlalu jauh untuk digapai kembali.

Hari itu, aku tidak pernah mengira pertemuan sederhana di ruang diskusi akan membuatku jatuh sejauh ini. Awalnya, aku hanya menganggapnya teman. Namun, semakin hari, caranya berbicara, matanya yang penuh binar, dan semangatnya yang menular mulai merasuki pikiranku. Sayangnya, aku terlalu lama menyangkal.

“Ini hanya perasaan sementara,” aku sering berkata kepada diriku sendiri. Aku terlalu takut menghadapi kenyataan bahwa aku menyukainya. Takut merusak persahabatan kami yang begitu nyaman.

Namun, semakin aku berusaha mengabaikan perasaanku, semakin dalam aku tenggelam. Aku tidak pernah mengatakan apa pun kepadanya. Bahkan, saat dia bercerita tentang pria yang ia kagumi, aku hanya tersenyum, berpura-pura tidak peduli.

“Rey, menurutmu, aku cocok nggak sama dia?” tanyanya suatu sore.

Pertanyaan itu menghantamku seperti petir. Tapi aku hanya menjawab, “Kalau kamu bahagia, aku juga bahagia.”

Kalimat itu adalah kebohongan terbesar yang pernah keluar dari mulutku.

Beberapa bulan kemudian, Rania resmi berpacaran dengan pria itu. Aku masih ada di sisinya, menjadi pendengar setia untuk semua kisah manis dan pahitnya. Namun, hatiku mulai penuh dengan rasa sesak yang sulit dijelaskan.

Hari terakhir kami bertemu, dia memelukku dengan erat. “Rey, aku bersyukur banget punya teman sepertimu. Kamu selalu ada buat aku.”

Aku hanya tertawa kecil, menyembunyikan luka yang semakin dalam.


Waktu berlalu. Dunia tak lagi sama. Perang meletus di negeri kami, memaksa semua pria muda, termasuk aku, untuk mengangkat senjata. Hidup yang damai tiba-tiba berubah menjadi medan penuh darah dan jeritan. Aku bergabung dengan pasukan sukarelawan, meninggalkan kota dan segala kenangan di dalamnya.

Di tengah medan perang, aku belajar banyak hal. Tentang kehilangan, tentang keberanian, dan tentang bagaimana menghadapi rasa takut. Namun, satu hal yang tetap membebaniku adalah kenangan akan Rania. Ketika malam tiba dan suara tembakan mereda, aku sering termenung di tenda, memandangi kotak biru yang selalu kubawa. Di dalamnya, masih tersimpan surat yang tak pernah kuberikan.

Suatu malam, seorang rekan bernama Ardi bertanya, “Kotak itu penting banget, ya, Rey? Aku lihat kamu selalu menjaganya.”

Aku tersenyum pahit. “Ini isinya penyesalan,” jawabku singkat.

Ardi tertawa kecil. “Kalau penyesalan, kenapa nggak kau buang saja?”

Aku tidak menjawab. Bagiku, kotak itu bukan sekadar benda. Itu adalah simbol dari semua yang pernah kurasakan, semua yang tidak pernah kuungkapkan.


Hari itu tiba. Sebuah pertempuran besar pecah di lembah sempit dekat perbatasan. Pasukan kami terjebak, terkurung antara tebing tinggi dan musuh yang jumlahnya lebih banyak. Aku merasakan napas berat di dadaku saat suara peluru bersahutan di udara. Di tengah kekacauan, aku melihat Ardi tergeletak, terluka parah.

“Rey...” dia memanggil dengan suara lemah.

Aku merangkak mendekatinya, mencoba menahan darah yang mengalir dari lukanya. Namun, aku tahu, peluangnya untuk bertahan sangat kecil.

“Jangan bawa penyesalan,” katanya sambil tersenyum tipis. “Kalau kau punya sesuatu yang ingin kau ungkapkan... lakukan sebelum terlambat.”

Itu adalah kata-kata terakhirnya sebelum dia pergi. Aku terdiam, air mataku jatuh bercampur dengan debu dan darah. Kata-katanya seperti menghidupkan sesuatu dalam diriku. Aku sadar, aku tidak ingin membawa kotak itu selamanya. Aku harus menemukan cara untuk berdamai dengan diriku sendiri.


Perang usai beberapa bulan kemudian. Aku kembali ke kota, tetapi segalanya telah berubah. Banyak tempat yang hancur, dan orang-orang yang kukenal telah pergi entah ke mana. Aku mencoba mencari tahu kabar Rania, tetapi tak ada yang bisa memberiku jawaban pasti. Beberapa mengatakan dia telah pindah ke kota lain bersama keluarganya, yang lain mengatakan dia mungkin masih tinggal di sini.

Dengan langkah berat, aku berjalan ke taman kota. Tempat itu terlihat suram, kehilangan keceriaan yang dulu sering kulihat. Aku duduk di bangku yang sama, memandangi kotak biru di tanganku. Untuk pertama kalinya, aku membuka surat itu dan membaca isinya keras-keras, meski tak ada siapa pun yang mendengarkan.

“Rania, aku mencintaimu. Tapi aku terlalu takut untuk kehilanganmu. Maafkan aku karena tidak pernah memberitahumu.”

Air mataku mengalir deras. Namun, kali ini, aku merasa sedikit lebih ringan. Aku berdiri, membawa kotak itu ke sebuah sungai yang mengalir di dekat taman. Perlahan, aku melemparkannya ke air, membiarkan arus membawanya pergi.

“Selamat tinggal, Rania. Dan selamat tinggal, penyesalan,” bisikku pelan.

Aku tidak tahu ke mana hidup akan membawaku setelah ini. Namun, aku sadar, aku telah belajar satu hal penting: keberanian untuk menghadapi perasaan kita sendiri adalah langkah pertama untuk menemukan kedamaian.


Ketika malam tiba, aku melihat langit yang penuh bintang, seolah memberi harapan baru. Meski jalanku penuh luka dan penyesalan, aku tahu aku telah membuat satu keputusan yang benar. Hidup adalah tentang terus berjalan, dan aku siap melangkah maju.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi