Masukan nama pengguna
SMA Cahaya Harapan dikenal dengan siswa-siswanya yang penuh talenta. Di antara mereka, ada Y, siswa kelas 11 yang selalu menjadi pusat perhatian. Bukan karena ketampanan ala drama Korea atau kehebohan gaya hidupnya, melainkan karena ia membawa kehangatan yang sulit dijelaskan. Cara ia berbicara, tertawa, dan menghadapi masalah membuat semua orang di sekitarnya merasa dihargai dan diterima.
Di sisi lain, ada X. Gadis pendiam yang lebih nyaman di sudut kelas, menggambar di buku sketsa daripada terlibat dalam kegaduhan. X bukan tidak ingin bersosialisasi, hanya saja ia merasa dunia terasa lebih aman dalam keheningan. Tidak pernah terlintas di benaknya bahwa Y, pemimpin kelompok diskusi yang karismatik, akan memperhatikannya.
Hari itu, kelas dipenuhi dengan keramaian. Guru membagi siswa ke dalam kelompok diskusi. Y ditunjuk menjadi ketua kelompok, sementara X berharap dirinya tetap tak terlihat. Namun, suara Y membuatnya terkejut.
"X, kamu bisa bantu aku mencatat poin diskusi ini?" tanyanya sambil tersenyum hangat.
X mengerjap, bingung. "Aku? Bukannya kamu lebih pandai?"
Y terkekeh kecil. "Aku memang pintar ngomong, tapi kalau soal tulisan? Tulisan tanganku mirip hieroglif. Kamu jauh lebih cocok."
Meski ragu, X mengangguk pelan. Sejak saat itu, interaksi mereka tak lagi terbatas pada sapaan basa-basi. X mulai memperhatikan Y lebih sering—bukan karena ia ingin, tetapi karena Y memiliki sesuatu yang menarik hatinya, sesuatu yang membuatnya sulit berpaling.
Ketika Y berbicara di depan kelas, ada semangat yang memancar dari tiap katanya. Ketika ia tersenyum pada teman-temannya, ada ketulusan yang membuat siapa pun merasa berharga. X, yang terbiasa menutup diri, mendapati dirinya perlahan membuka celah kecil untuk kehangatan yang Y bawa.
Namun, perasaan ini apa? Kekaguman? Atau sesuatu yang lebih mendalam?
Sore itu, hujan deras mengguyur kota. X memilih tetap berada di perpustakaan, menggambar untuk mengisi waktu. Suara langkah kaki memecah keheningan. Y muncul dengan payung basah di tangannya, terlihat sedikit berantakan tapi tetap tersenyum cerah.
"Kamu belum pulang, X? Aku pikir cuma aku yang masih di sekolah," ujarnya, duduk di hadapan X.
X menunduk, menyembunyikan kegugupannya. "Masih hujan," jawabnya singkat.
Mata Y jatuh pada buku gambar di meja. "Kamu yang gambar ini? Luar biasa, X. Ini bukan sekadar hobi. Ini bakat."
X tersipu. "Cuma untuk bersenang-senang."
"Bersenang-senang dengan hasil sehebat ini? Kalau aku jadi kamu, aku bakal pamer di pameran seni," kata Y dengan penuh keyakinan.
Percakapan mereka terus mengalir, seperti hujan yang turun tanpa henti. Dalam kehangatan dialog itu, X menemukan sisi lain dirinya—sisi yang tak lagi takut berbagi dunia kecilnya yang penuh warna dan imajinasi. Y bercerita tentang mimpinya menjadi penulis yang menginspirasi banyak orang, sementara X perlahan membuka diri tentang dunianya yang sederhana tapi bermakna.
Hari demi hari berlalu, dan kehadiran Y mulai membingungkan hati X. Ketika Y tertawa, ia merasa jantungnya berdebar. Ketika Y menatapnya, ia merasa hidupnya lebih terang. Tapi, bagaimana dengan Y? Apakah ia hanya menganggap X sebagai teman? Ataukah ada sesuatu yang lebih dari itu?
Di suatu siang yang cerah, mereka duduk di taman sekolah. Y menatap langit biru, lalu menoleh pada X dengan ekspresi serius.
"X, pernahkah kamu merasa bahwa beberapa orang hadir dalam hidup kita karena alasan tertentu?" tanyanya.
X mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?"
Y tersenyum tipis. "Seperti kamu. Aku merasa bersyukur mengenalmu. Kamu membuat aku melihat dunia dengan cara yang berbeda—sederhana, tapi indah."
Kata-kata itu membuat jantung X berdebar kencang. Ia ingin merespons, tetapi lidahnya kelu. Hanya tatapannya yang berbicara, mencari kebenaran dalam mata Y.
“Hari ini,” lanjut Y, “aku mau bilang terima kasih. Karena kamu, aku belajar bahwa keindahan tidak selalu ditemukan dalam keramaian. Kadang, ia ada dalam kesunyian yang tulus.”
X tersenyum kecil. Mungkin tidak semua perasaan harus segera diberi nama. Kadang, waktu adalah jawaban terbaik. Baginya, mengenal Y sudah lebih dari cukup untuk membuat dunia menjadi lebih berwarna.
Malam itu, di bawah langit bertabur bintang, X menutup buku gambarnya. Di tengah halaman terakhir, ia menggambar bintang besar, menerangi hamparan gelap.
"Bintang itu adalah Y," gumamnya pelan. "Terang, hangat, dan selalu bersinar, bahkan saat aku sendiri."
Ia tahu, suatu hari nanti, ketika hatinya siap, ia akan mengungkapkan perasaan itu. Tapi untuk saat ini, menikmati cahaya Y dari kejauhan sudah cukup baginya. Hari-hari berlalu, dan hubungan antara X dan Y semakin dekat, meski tanpa label yang pasti. Mereka sering berbicara, berbagi cerita kecil yang hanya mereka pahami. X mulai menemukan keberanian untuk mengekspresikan dirinya lebih banyak. Ia tak lagi sekadar gadis pendiam di sudut kelas, terutama saat bersama Y.
Namun, kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Ada bisik-bisik di antara teman-teman sekelas mereka. Beberapa mengatakan X terlalu berharap pada Y. Ada juga yang menganggap Y hanya bersikap baik karena sifat alaminya, bukan karena ia memiliki perasaan yang sama.
X berusaha mengabaikan semuanya, tetapi kata-kata itu perlahan menyusup ke pikirannya.
"Bagaimana kalau aku salah? Bagaimana kalau Y hanya bersikap sopan? Aku hanya seorang gadis biasa, tidak ada yang istimewa," pikir X saat menggambar di rumah suatu malam.
Namun, ingatan akan cara Y memandangnya, menyemangatinya, dan mendengarkannya membuat ia sulit untuk menyerah pada keraguan.
Suatu sore, setelah bel sekolah berbunyi, Y mendekati X yang sedang membereskan tasnya.
"X, mau ikut ke festival seni akhir pekan ini?" tanya Y dengan nada riang.
X terkejut. "Festival seni?"
"Ya, aku dengar ada pameran seni dari seniman muda. Kupikir kamu pasti suka."
X ragu sejenak. "Kamu benar-benar mau aku ikut?"
"Tentu saja. Aku juga penasaran, mungkin kamu bisa kasih pendapatmu tentang karya mereka. Kamu kan ahli dalam hal ini," ujar Y sambil tersenyum lebar.
Akhir pekan itu, mereka pergi bersama ke festival seni. Pameran itu penuh warna dan energi, dengan karya-karya yang luar biasa menghiasi dinding galeri. X merasa terinspirasi, tetapi kehadiran Y di sisinya membuat segalanya terasa lebih bermakna.
Saat mereka berdiri di depan sebuah lukisan abstrak, Y memecah keheningan.
"X, tahu tidak, aku selalu berpikir seni seperti ini mirip sama kamu."
X mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
"Awalnya aku tidak paham. Tapi kalau aku melihat lebih dalam, ada keindahan yang hanya bisa kurasakan, bukan hanya kulihat," kata Y dengan nada lembut.
X terdiam. Kata-kata Y menyentuh bagian terdalam hatinya.
Sepulang dari festival, mereka berjalan beriringan di bawah langit senja. Matahari yang hampir tenggelam menyinari wajah mereka, menciptakan suasana yang tenang namun penuh makna.
"X," Y memanggil perlahan.
"Hm?" X menoleh.
"Aku tidak tahu apakah aku harus bilang ini, tapi aku akan menyesal kalau tidak mencoba," kata Y sambil menarik napas dalam. "Aku senang kamu ada di hidupku. Kamu berbeda dari siapa pun yang pernah kukenal. Dan aku... aku ingin lebih mengenalmu, jika kamu tidak keberatan."
X merasa dunia berhenti berputar. Perasaan yang selama ini ia pendam, kini terasa begitu nyata. Ia tidak perlu bertanya lagi apakah Y merasakan hal yang sama. Jawabannya ada di depan matanya.
Dengan senyum kecil yang jarang terlihat, X menjawab, "Aku tidak keberatan."
Hari itu, langit tampak lebih indah dari biasanya. Dua hati yang semula hanya bertemu dalam kebetulan kini mulai menemukan keindahan dalam kebersamaan. Perasaan X akhirnya mendapat jawaban, dan bintang yang ia lukis dalam imajinasinya kini menyala lebih terang di hatinya.
Terkadang, jawaban atas rasa takut dan ragu hanya memerlukan keberanian untuk jujur. Dan bagi X, kisahnya dengan Y baru saja dimulai—kisah tentang kekaguman yang perlahan berubah menjadi cinta.