Masukan nama pengguna
Segaris jalur putih pesawat penumpang mencoret angkasa biru muda, yang secepat kedatangannya seketika meluncur jatuh dan menghempas tanah. Badan pesawat yang terbelah itu meletup-letup menghabisi jiwa yang tersisa, tepat menghadap sebuah pohon apel yang di dahannya sebuah tubuh gantung diri. Tubuh yang masih menggeliat.
Aku mengangkat pena dari buku, lalu alur imajinasiku terhenti di sana. Mataku tengadah menelanjangi kesegaran di depanku, tempat hutan apel melingkari padang rumput hijau muda, memicu timbulnya fantasi pesawat tadi.
Aku butuh ide untuk menuruti adrenalinku yang terpacu dengan kedatangan perlombaan cerpen, maka di sinilah aku. Cerpenis yang telah berhari-hari lalu mengetok pintu imajinasi, tetapi tak kunjung dibukakan.
Kerap kali aku begini. Berat otak dikejar-kejar tenggat, membuatku berlari kepayahan mencari tempat penuh inspirasi, tenggelam dalam imajinasi di duniaku sendiri.
Duniaku sendiri ada di dalam kepalaku. Tapi duniaku belum pernah menyabet juara perlombaan apa pun, penghargaan apa pun, sekeras apa pun aku mencoba.
Terkadang saat aku terlelap, aku bermimpi akan kemenangan. Aku bermimpi orang-orang memasuki duniaku, suka berada di dalamnya, membuat duniaku menjadi dunia nyata.
Tapi begitu aku membuka mata, yang tersisa hanya realitas. Tentang kegagalan, kekecewaan, kesedihan, luka terhadap duniaku sendiri.
Mau sampai kapan aku begini? tanyaku pada diri sendiri. Mau sampai kapan duniaku sekedari dunia imajinasi?
Lalu, di sinilah aku. Percobaan ke ribuan kali, ke ratus ribuan kali, mengusahakan duniaku agar menjadi dunia nyata.
Sekecilnya, aku ingin duniaku jadi dunia nyata.
Maka itu yang perlu aku lakukan.
Iya.
Batuk hebat menyembur dariku. Tubuhku menggeliat-geliat cepat, secepat kakiku menendang-nendang udara. Keringatku mengiris dahi hingga ke pipi. Pekikanku tertahan di ujung tenggorok, tempat kedua tanganku mencakari leher berusaha melepas lilitan tali.
Lalu perlahan, tubuhku melemah, diikuti bola mata menengadah naik menatap biru langit. Di atas sana, sebuah pesawat meluncur, turun ke bawah, lalu menumbuk tanah tepat di hadapanku.
Napasku menghembus perlahan. Aku tahu itu yang terakhir.
Tidak masalah. Walaupun aku harus tergantung, syukurlah akhirnya, duniaku menjadi dunia nyata.