Flash
Disukai
1
Dilihat
11,966
Aturan Baku
Drama

Begitu telingaku tercolek ujaran pacar mbak yang baru datang, “Kau adalah nafasku, Rina,” pada mbak, jariku berhenti menggempur tuts laptop.

Bilamana tenggat pekerjaanku kurang dari sepuluh hari, maka aku tak akan seperti ini—bangkit dan memunculkan kepalaku ke ruang depan. Aku tatap pacar mbak dengan alis mengernyit. “Napas, bukan nafas.”

Kedua alis pacar mbak naik, menatapku kelu, lalu dia garuk tengkuk lehernya. Sementara mbak memelotot padaku lebar-lebar, seolah hendak menggelindingkan bola matanya keluar. Maka aku angkat kaki sebelum trompet peperangan bersiul.

Sebetulnya hatiku bicara untuk membiarkannya, tapi bulu telingaku meremang begitu dengar kata tak baku diindahkan.

Menit berikutnya aku sukses mengetik tanpa gangguan, lalu bersandar barang sejenak. Dihitung-hitung, masih dua belas hari lagi tenggat pekerjaan ini. Bagus, bisa kumanfaatkan untuk meneliti, mengecek semua detail, tanpa melewatkan satu kesalahan pun.

Aku kembali mengetik hingga menangkap suara decit pintu. Suaranya dari sebelah—kemungkinan kamar mbak. Tapi aku tak punya kepentingan untuk mengganggu mereka.

Suara mbak merambat tipis ke telingaku, “Maaf, kamarnya obrak-abrik.”

Ralat. Aku punya kepentingan.

Langkahku berdebam menuju kamar mbak. Kubenturkan tubuhku keras pada pintu, hingga pintu itu terbuka kencang, membentur dinding.

“Ubrak-abrik, bukan obrak-abrik!” kataku dengan ludah meluncur ke mereka. “KBBI, baru bicara!”

Mereka melongo. Pacar mbak sampai turun dari atas tubuh mbak, tetapi sebelum mbak bangkit, aku melengos ke mejaku.

Sebetulnya memang bukan masalah bila bicara dengan kata tak baku, tapi bila kau mau begitu, jangan berada satu atap denganku!

Jariku kembali mengetik, menguping pacar mbak pamit pulang—sepertinya tak minat lagi di sini. Syukur, kuhentikan tindakan laknat mereka, takut saja bila rupanya laki-laki itu hidung belang.

Kudengar mbak berbicara, meremangkan bulu kupingku, “Silahkan mampir lagi—“

Sontak saja aku sembur, “Silakaaan!” hingga kudapati diriku sudah menghadap mereka berdua. “Silakan bukan silahhhkan! Tanpa ha!”

Hal terakhir yang aku lihat sebelum semuanya gelap, adalah sepatu hak tinggi mbak melayang tepat di depan mataku.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)