Masukan nama pengguna
Jujur saja, setelah hari itu berlalu. Rasanya semua yang Aku lalui terasa mengambang. Kadang terasa membingungkan, kadang ceria dan putus asa sesekali. Tidak menentu akan rasa itu yang kerap kali bergantian menerpa ku.
Apa lagi atas skenario alam semesta yang ikut turut andil yang kerap kali memperburuk overthinking ku.
Tanggal 16 Agustus 2016, kejadian di hari itu memang tak bisa sepenuhnya Aku lupakan. Rasanya sulit untuk tidak teringat barang sedikit. Padahal hari itu sudah lama berlalu.
Satu hari yang selalu Aku sesali tetapi juga banyak pelajaran yang cukup berarti. Rasanya wajar jika sampai sekarang Aku masih tidak bisa untuk tidak menangis saat mengingat hari itu.
***
Hari itu, di pengawal hari. Aku sangat senang karena Aku mengikuti jalan sehat yang melibatkan banyak sekolah. Segala tingkatan ada disana, mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah.
Sangat ramai, Aku tidak berhenti merasa senang kala itu karena berkat acara itu Aku bisa bertemu dengan guru-guru ku saat Aku sekolah dasar dulu. Aku sangat mengagumi mereka.
Acaranya berlangsung sampai tengah hari. Lumayan lelah tapi seru sekali.
***
Tapi, saat menjelang sore hari masih di hari yang sama. Aku membuat satu kesalahan yang tak pernah Aku bayangkan. Aku akan menghindar dari musibah itu jika Aku tahu dan tak akan mau kena tipu muslihat. Siapa yang mau dapat musibah? Dan siapa juga yang mau mengalami kerugian.
Hari itu Aku merasa sangat bodoh karena menimpali satu SMS yang merupakan taktik dari sindikat penipuan. Dulu Aku mana tahu kalau orang itu sedang menipu, Aku malah menimpali dan setuju saja saat diminta bertemu.
Bahkan Aku diajak ke sebuah persimpangan sepi tapi masih ada aktifitas warga, Aku ditinggal begitu saja di tempat itu yang anehnya Aku menurut saja tanpa curiga. Aku mana tahu kalau itu adalah siasat. Aku baru sadar saat terdengar suara azan magrib berkumandang. Aku mulai panik dan berusaha mencari bantuan.
Beruntungnya Aku masih tahu lingkungan itu, lokasi Aku ditinggalkan yang jaraknya hanya beda beberapa kampung dari rumah ku. Aku ingat Aku pernah melewati tempat ini beberapa kali walau tak sering.
Sebuah perumahan yang cenderung terasa sepi. Ada gang tanjakan rumah penduduk setempat. Lokasi ku ada di persimpangannya.
***
Aku meminta bantuan seorang ibu-ibu yang baru saja selesai melaksanakan sholat magrib di rumah kontrakannya yang berjarak hanya beberapa langka dari titik Aku ditinggalkan.
Aku meminta untuk ditelponkan orang tua ku dengan berbekal nomor rumah nenek yang Aku ingat. Aku baru saja kehilangan sepeda motor Kakak dan ponsel jadul ku pun juga ikut di ambil si maling.
Jangan tanyakan kondisiku saat itu. Aku dihinggapi dengan rasa takut dan rasa bersalah yang tidak berkesudahan, tak bisa berhenti menangis karena takut dimarahi walaupun Aku pantas dimarahi.
Aku jelas-jelas salah karena tidak mendengarkan larangan untuk pergi saat pamanku melarang secara tidak langsung padahal larangan itu adalah satu isyarat yang tak tertulis dan jika saja saat itu Aku menurut pasti peristiwa ini tak akan menimpa ku kan.
***
Aku menunggu dijemput orang tua ku dengan beberapa orang warga yang tetap menemani ku. Sebagian dari mereka memilih pulang karena hari sudah beranjak malam, mereka melanjutkan aktifitas kembali usai terfokus pada ku.
Sebetulnya ini bukan pertama kali warga menemukan korban penipuan. Terhitung ada dua kasus sebelum Aku dengan jarak waktu yang tak ku ketahui kapan terjadinya.
“Dulu juga ada. Anak muda. Cowo. HPnya ilang mana pakai kolor sama singlet putih doang. Kebingungan.”
“Iya. Akhirnya ditolong. Di kasih pakaian. Terus di telponkan orang rumah biar dijemput. Kasian.”
“Iya. Terus satunya lagi kehilangan motor. Kebingungan.”
Kurang lebih dari warga berkata demikian saat bercerita. Aku menyimak dalam kondisi yang mulai berhenti menangis tapi masih sesenggukan.
***
Aku kembali menangis saat melihat Mama yang ikut menjemput ku tiba. Aku ingin bicara, ingin menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Tapi, rasanya sulit. Jadinya Aku tetap menangis dengan memeluk Mama erat. Mama tak hentinya menenangkan Aku.
Aku gak bisa berhenti menangis rasanya tadi air mataku sudah mengering tapi setelah melihat Wajah kedua orang tua ku yang terlihat cemas, air mataku tak mau berhenti.
Mama sempat bilang, “Tidak apa-apa Nis. Mama gak marah kok. Yang penting Anis selamat. Motor kan bisa dibeli lagi. Tapi nyawa gak ada yang jual. Udah cup cup.”
Aku masih merasa bersalah bahkan sampai sekarang.
***
Esok hari adalah hari kemerdekaan tapi Aku masih diselimuti rasa bersalah dan sedih yang tak berkesudahan. Anak-anak dan remaja di sekitar rumahku sibuk berlomba, Aku malah sibuk menenangkan diri yang sesekali masih menangis di kamar.
Saat itu yang Aku pikirkan hanyalah kemelut di kepala ku. Banyak pikiran yang menghantam, jangan tanya separah apa overthinking ku saat itu.
Meskipun kakakku bilang gak apa-apa dengan nada yang serupa seperti Mama. Aku tetap merasa bersalah kepada Kakak. Aku teringat saat-saat Kakak berkerja untuk membayar cicilan sepeda motornya dan sekarang sepeda motor Kakak, Aku hilangkan.
***
Esok harinya usai tanggal merah sekolah kembali berlangsung. Aku pergi sekolah seperti biasa seperti tidak terjadi apa-apa meskipun Aku jadi lebih pendiam.
Baru juga ingin masuk kelas. Sudah ada teman sekelas ku yang menyapa dan bertanya akan sebuah pesan SMS yang ia kirimkan kepada ku tetapi tidak Aku balas. Kawanku itu berkata dengan tersenyum seperti biasa, ramah. Tapi rasanya Aku ingin menangis saja karena baru saja teringat peristiwa itu lagi.
“Iya. Gak tau. Udah ganti nomer soalnya,” jawabku kepada temanku itu. Setidaknya jawaban itulah yang terlintas di kepala ku.
***
Selang beberapa hari mungkin satu Minggu dari hari itu. Aku melaporkan kehilangan ke Polsek bersama Mama, Ayah dan pamanku. Di sana Aku menceritakan lagi peristiwa apa yang Aku alami seingat ku. Aku ingat detailnya. Aku kembali merasa tak nyaman, lebih tepatnya takut. Ada beberapa pertanyaan yang bisa Aku jawab tapi ada juga yang membuat Aku disalahkan.
Yang paling Aku ingat adalah Mengenai umur diperbolehkan mengemudi dan memiliki SIM dimana saat itu usia ku kurang 1 tahun untuk mendapatkannya. Belum lagi banyak berkas yang harus Aku tanda tangani.
Efeknya masih terasa sampai sekarang. Karena saat di minta tanda tangan Aku langsung teringat hari itu dan Aku juga jadi lupa tanda tangan Aku seperti apa. Aku perlu melihat tanda tangan ku di KTP sebelum memberikan tanda tangan.
Sebenarnya masih ada pengalaman yang kurang berkenan saat pelaporan kehilangan, Aku pikir lebih baik tidak diceritakan disini. Cukup keluarga saja yang tahu.
***
Satu hari itu membuat Aku mengenal dan mengerti arti kata ‘trauma’ rasanya sangat berat tetapi harus dilawan. Apalagi bukan hanya peristiwa itu yang harus Aku lewati.
Entah siapa yang menyebarkan fitnah berbarengan dengan kabar peristiwa yang Aku alami.
Orang itu bilang kalau Aku itu pacaran terus padahal boro-boro punya pacar. Saat itu Aku cuma disibukkan dengan kegiatan ekskul sekolah tapi malah dikatakan pacaran. Sungguh maha tahu sekali anda.
Tahu tidak. Kalau fitnah itu sungguh membuat Aku muak. Tapi percuma Aku teriak, Aku sudah cape duluan. Aku sibuk menyembuhkan trauma dan berdamai dengan diri sendiri. Karena itu juga Aku sempat berandai-andai.
“Andai saja Aku juga ikut menghilang dari dunia ini. Kenapa itu maling hanya mengambil sepeda motor aja serta ponselku. Kenapa Aku gak sekalian dihilangkan saja nyawanya. Agar Aku tidak mendengar kabar-kabar yang tidak-tidak akan Aku.”
Jujur itu adalah kata-kata yang terlintas di kepala ku tetapi Aku juga tidak berani untuk mengakhiri hidup. Dengan segera Aku berfikir, kalau demikian maka kasihan sekali orang tua ku. Aku masih beruntung masih selamat. Aku tidak bisa membayangkan kalau semisal Aku ikut tiada.
Masa depan ku masih panjang. Masih banyak hal yang harus Aku lakukan. Masih banyak impian yang belum tercapai. Lantas omongan orang yang tak punya akal seharusnya bukanlah halangan untuk Aku bangkit dari kenangan kelam.
***