Cerpen
Disukai
0
Dilihat
429
ALE
Slice of Life

Ale. Begitulah orang-orang memangilnya. Ia tinggal bersama ayah, dan satu adek laki-lakinya. Kehidupan ale tampak sederhana dan bahagia jika dilihat dari luar. Namun kenyataanya, hidup ale jauh dari kata muda.

“Nak, ayo bangun. Kita harus berangkat.”

Hari itu, ale dan keluarganya akan pindah rumah. Ayahnya hanya seorang pekerja bangunan dengan penghasilanya yang pas-pasan, tetapi harus mencukupi kebutuhan mereka. Perjalanan kali ini cukup jauh. Jalan yang harus mereka lalu belum diaspal, hanya berupa tanah berbatu yang cukup besar.

“aduh, sakit” keluh mario, adik ale, sambil mengelus kakinya yang terbentur

“Nak, tahan ya sebentar lagi kita sampai” jawab ayah sambil tetap fokus menyetir. Kalimat itu sudah sering ale dengar, namun kata “sebentar” dari ayah tak pernah benar-benar sebentar. Perjalanan terasa Panjang, dan tujuan akhir mereka tak kunjung terlihat.

Ale hanya diam mendengarkan keluhan adiknya. Ia memilih menikmati pemandangan laut yang tebentang luas disisi jalan. Airnya tampak tenang, namun dalam dan tak terduga, seolah siap menelan apa pun yang melintas.

“apakah aku bisa melihat ini lagi? Bisa memancing lagi, menyuluh lagi” gumam ale dalam hati. Kerutan di dahinya semakin dalam oleh teriknya matahari. Angin laut menyusup masuk lewat jendela mobil yang terbuka, membuat matanya perlahaan terpejam.

Malam datang dengan langit yang bertabur bintang. Akhirnya, mereka tiba di rumah sewa yang akan ditinggal sementara, sambil menunggu rumah mereka selesai dibangun. Ale begitu lelah, tubuhnya terasa berat, namun ia tetap membantu membereskan barang-barang yang mereka bawa.

Keesokan paginya, ale sudah bangun lebih awal dari siapa pun. Ia menyiapkan sarapan, memanaskan air, dan menata piring di meja makan.pukul enam pagi, ia mulai membangunkan adiknya yang masi terlelap.

“hayo bangun, kamu tidur seperti kerbau,” candanya pada mario yang masi enggan membuka mata.

Suara ayam kampung bersahut-sahutan menjadi alami bagi ale. Ia sudah terbiasa bangun sepagi itu, bahkan sebelum matahari terbit. Bagi ale, kokok ayam adalah tanda bahwa hari baru telah dimulai, dan begitu pula perjuangan barunya.

Kini, ayah dan mario sudah duduk di meja makan. Tak ada pembicaraan panjang. Hanya suara sendok dan piring yang saling beradu. Di balik kesunyian itu, masing-masing menyimpan pikiranya sendiri, termasuk ale.

*

Hari-hari awal dirumah baru terasa canggung bagi ale. Lingkungan yang asing, suara ayam yang berbeda, bahkan udara pagi pun terasa tidak seakrab dulu. Ia sudah mulai masuk sekolah, namun belum ada satu pun teman yang benar-benar mengajaknya berbicara. Ia lebih banyak diam dan menunduk, mencatat pelajar tanpa semangat.

Dirumah, seperti biasa, ale bangun lebih pagi dari siapa pun. Menyiapkan sarapan, memandikan Mario, adiknya, lalu mengepel lantai seadanya. ayah makin jarang bicara. Hanya diam, menata kelender, mencatat sesuatu, lalu menghela napas panjang.

Hari itu, ale lupa membawa buku tugas karena buru-buru. Di sekolah, guru memarahinya di depan kelas. Ale hanya diam, pipinya panas, matanya berkaca-kaca. Ia merasa seperti segalanya salah.

Sesampainya dirumah, belum sempat ia istirahat, Mario menangis karena haus.lalu kompor rusak. Lalu listrik padam sebentar. Lalu, ia dengar ayah bicara di kamar, pelan tapi jelas “ uang bulanan ini nggak cukup, pak RT bilang harus bayar sewa lebih awal”

Ale menutup pintu kamarnya pelan. Ia tidak menangis. Tidak marah. Hanya duduk di kasurnya, menatap dinding kosong. Kenapa semuanya harus selalu begini?

*

Tak terasa sudah 3 bulan ale hidup di rumah barunya, dan hari ini adalah ulang tahunya. Tidak ada yang ingat. Tidak ada ucapakan, apalagi kue, ia hanya menatap matahari sore dari jendela, membayangkan dulu waktu kecil, saat ibu masi ada, Ketika pelukanya hangat.

Namun bayangan itu tak berhenti di pelukan hangat. Ada kenangan lain yang selalu menghantui ale, kenangan yang begitu pahit sehingga ia berharap bisa melupakannya.

Pagi itu, ketika usianya baru empat tahun, ale mendengar suara pertengkaran dari ruang depan, suara ayah dan ibunya bersahut sahutan, lebih keras daripada suara ayam yang biasanya membangunkan mereka.

“KAMU MEMANG TIDAK PUNYA HATI! ANAK-ANAK KITA MASI KECIL, DAN KAMU TEGA MELAKUKAN ITU. KAMU SEORANG IBU, TIDAK PANTAS BERBUAT BEGITU!” sahut ayah menggema.

“kamu tidak mengerti perasaan aku. Aku bosan hidup serba kekurangan. Bosan dengan janji kosongmu! Katanya cinta bisa membuat segalanya baik-baik saja, tapi kenyataanya kita melarat! aku tidak sanggup lagi” balas ibunya dengan suara bergetar.

Ale kecil menempelkan telinganya ke pintu kamar. Ia tidak mengerti semua kata-kata itu, tapi ia tahu ada sesuatu yang pecah dalam keluarganya.

Ayahnya kemudian berkata lirih, penuh luka, “aku minta maaf. Aku memang suami yang buruk untukmu, tapi aku bukan ayah yang buruk bagi anak-anak. Dan kamu…..kamu bukan ibu yang baik, aku berharap anak-anak tidak akan mewarisi sifatmu”.

Air mata ibuhnya jatuh, namun suaranya terdengar jelas, “AKU SELINGKUH DEMI ANAK-ANAK. DEMI MEREKA BISA MAKAN LEBIH BAIK, DEMI MEREKA PUNYA SEPEDA.”

“OMONG KOSONG! Bentak ayah “LEBIH BAIK ANAK-ANAK MAKAN UBI DARIPADA AYAM YANG DIBELI DARI HASIL KOTOR. AKU JIJIK MENDENGARNYA”.

Setelah itu, ale mendengar suara tamparan keras, lalu isak tangis yang kian melemah. Hingga akhirnya, pintu depan terbuka. Dari celah, ale melihat ibunya berjalan pergi, lalu masuk ke mobil seorang laki-laki paruh baya.

“jaga anak-anak...aku akan selalu merinduhkan mereka” ucap ibunya sebelum mobil itu melaju.

Bagi ale kecil, kalimat itu terdengar asing. Bagaimana mungkin seorang ibu merindukan anaknya, tapi tetap meninggalkan mereka. Suasan pagi yang seharusnya di penuhi dengan tangisan mario kecil, suara kayu yang dibelah ayah di delakang rumah, ibu dengan tungku apinya kini hilang ditelan bumi, pagi itu begitu mencengkam.

Ale hanya bisa Kembali ke kamar, melihat adenya mario masi tertidu lelap, ale menangis dalam dalam diam, takut terdengar oleh ayahnya. Namun dalam hati ale bertekat bahwa ia tidak akan sama seperti ibunya, pepatah buah tak akan jauh dari pohonya akan ale patahkan, itulah tekadnya, ia ingin kuat, ia ingin bertahan, meski hidupnya penuh keterbatasan.

flashback

keesokan harinya.

Di meja, ada secarik kertas kusut. Gambaran tangan anak kecil, wajahnya bulat, tersenyum. Di bawahnya tertulis dengan huruf jelak “kak ale hebat, Selamat ulang tahun kak, maaf mario telat ngucapinya, mario sayang kakak” dengan emot tertawa di akir kalimat yang ditulis mario.

Ale terdiam lama. Air matanya turun pelan. Bukan karena sedih, tetapi karena hati kecilnya terasa disentuh.

Tak lama kemudian, ayah duduk di sampingnya. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengelus kepala Ale. Lalu berkata pelan, “maafkan ayah nak, kadang ayah terlalu sibuk mikir, sampai lupa liat kamu, kamu anak yang luar biasa. Kalau ayah bisa, ayah pengen kamu nggak perlu capek kaya gini selamat ulah tahun nak, maaf terlambat mengucapkanya nak, ayah tidak punya apa-apa buat kamu, ayah ingin hidup kamu lebih baik dari ayah, bahagia selalu nak”

Ale memeluk ayahnya. Pelan, tapi erat. Tidak ada kata-kata lagi. Hanya keheningan yang terasa hangat.

*

Hari hari ale dilalui dengan semangat, pagi itu, ayam berkokok seperti biasa. Ale membuka mata perlahan. Udara masi dingin, tetapi hatinya terasa berbeda.

Ia bangun, menyalakan kompor, memandikan adiknya yang tertawa-tawa kerena airnya dingin, saat duduk di meja makan, ia tersenyum.

“Mungkin aku belum bisa memilih hidupku,”, bisiknya dalam hati, tapi aku bisa memilih untuk tetap jadi cahaya.”

 

 

 

Semuanya akan baik-baik saja, yakinlah Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luat batas kemampuanmu.

Aelan s.

 



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)