Cerpen
Disukai
2
Dilihat
2,150
Undangan
Thriller

Tak sulit bagiku mencari tahu soal bajingan itu. Melalui sosial media aku tahu namanya, aku tahu rumahnya, dan aku juga tahu tempat ia bekerja. Yayasan itu selalu menandainya dan beberapa orang -- termasuk Nur -- setiap kali mengunggah sesuatu, dan dari sini aku berkesimpulan kalau ia dan Nur bekerja di tempat yang sama. Jadi, sambil menyusun rencana dan menunggu momen yang pas, aku diam-diam membuntutinya, mengawasi setiap gerak-geriknya.

Mula-mula, untuk memastikan benar kalau ia yang aku cari, aku duduk di kantin kecil milik seorang lansia berwajah ramah, tak jauh dari gerbang masuk yayasan. Kedua tempat ini hanya terpisah oleh jalan setapak yang pecah-pecah. Sewaktu aku duduk, pemilik kantin menyambutku dengan seulas senyum sambil mengangguk-angguk, seolah-olah aku adalah majikan yang setiap hari harus ia layani. Sikapnya ini membuatku merasa bisa menanyakan apa saja kepadanya. Maka, sesudah memastikan tak ada siapa-siapa kecuali kami berdua, aku membuka gawai dan memperlihatkan foto bajingan itu ketika ia meletakkan pesananku.

"Oh," katanya, "ini Ustad Ahmad, Nak. Dia bekerja di yayasan ini. Sudah tujuh tahun."

"Ustad?"

"Semua karyawan yayasan dipanggil ustad. Anak ada urusan dengan beliau?"

Aku menggeleng. "Kalau begitu tentu yang perempuan disebut ustazah."

"Betul sekali. Itu sapaan sehari-hari di sini. Biasanya pada jam-jam ini beliau sudah datang. Anak mau bertemu dengannya?"

"Tidak," kataku, membanting rokok ke atas meja.

Tak lama kemudian, sambil mengangkat telunjuk, ia berkata lagi, "Nah, apa saya bilang. Itu ustad Ahmad."

Mengikuti telunjuknya, aku akhirnya bisa melihat -- secara langsung -- bajian itu. Jantungku berdegub kuat. Ada sensasi aneh yang bergejolak dalam diriku tatkala melihat bajingan itu membuka kaca helem dan melempar senyum kepada pemilik kantin dan sensasi itu baru mereda setelah aku menyulut sebatang rokok. 

"Pagi, Ustad," kata pemilik warung, setengah berteriak. Ia kemudian melambaikan tangan dan mengangguk-angguk kecil meskipun orang itu sudah tak melihatnya lagi.

Aku mengikuti punggung lelaki itu dengan ingatan pada Nur yang, sambil menahan isak, memohon agar ia tidak merekamnya. Ingatan itu membuat jantungku berdegub lebih kuat sehingga meja yang kupegang terasa bergetar. Kalau saja aku tak mampu menahan diri, kalau saja... ya, aku tentu sudah mengejar bajingan itu dan memecahkan kepalanya.

Kemudian, dari arah selatan, aku melihat Nur. Ia memakai gamis berwarna biru gelap dengan jilbab panjang dan tas sandang bertali satu melintang di depan dadanya. Mungkin karena jalan setapak di sini berukuran kecil, pecah-pecah semennya, juga agak berlubang, caranya membawa sepeda motor terlihat hati-hati sekali. Aku berharap ia tak kenapa-kenapa.

"Itu pasti ustazah," kataku.

"Ustazah Nur. Ia baru dua bulan di yayasan."

Mengetahui kalau lelaki itu memang bekerja di tempat ini membuatku merasa puas, dan begitu pemilik kantin meninggalkanku sendiri, aku membandingkan foto bajingan itu dengan ingatan pada wajahnya yang baru saja kulihat. Tidak salah lagi, pikirku. Itu orangnya.

Aku kembali ke kantin ini lagi sebelum azan zuhur dan mendapati lelaki itu berjalan keluar dari gerbang menuju masjid yang bersebelahan dengan yayasan. Ia tak sendirian. Ada puluhan siswa yang berlari-lari kecil di depan dan di belakangnya, beberapa saling berkejaran, dan suara mereka terdengar meriah sekali di bawah terik matahari. Aku agak sedih membayangkan reaksi anak-anak itu ketika nanti mereka mendapat kabar bahwa ustad mereka sudah tak ada lagi.

Siang itu aku ikut salat berjamaah. Aku masuk lewat pintu samping, menghindari tempat wudhu perempuan, dan mengambil tempat di barisan paling depan, di samping lelaki itu. Siku kami sempat saling menyentuh. Meskipun sedang menghadap Tuhan, berada di sampingnya membuat darahku bergejolak seperti air mendidih. Panas sekali rasanya berada dekat dengan orang aku benci.

Selepas salat, aku sempat bercakap-cakap sebentar dengannya. Momen ini tak berlangsung lama, hanya dari tempat tadi kami berdiri sampai ke teras masjid. Saat itulah aku benar-benar memperhatikannya. Kesan pertama, ia cukup ramah dan teliti. Wajahnya mulus dan giginya bersih. Cambang dan janggutnya juga rapi. Aku berani bertaruh kalau ia suka memanah dan berkuda.

Aku sengaja memancingnya dengan pertanyaan yang membuatnya merasa bahwa akulah yang mengalami permasalahan itu, dan mungkin karena penampilanku yang agak acak-acakan dan badanku yang agak berbau keringat, ia menjawab pertanyaanku secara sungguh-sungguh, seolah-olah aku adalah orang yang jauh dari agama dan perlu diberi petunjuk, perlu dibimbingan, dan perlu diarahkan agar tidak tersesat lebih jauh lagi. Ia bahkan mengajakku mengikuti pengajian setiap Jumat sore agar mendapat pemahaman dan penyelesaian atas semua masalah.

"Di masjid ini," katanya. "Teman-teman kita dari yayasan juga ikut pengajian."

"Mudah-mudahan saya bisa datang, Ustad," jawabku.

Aku juga mengaku tergabung dalam kepengurusan remaja masjid di tempat tinggalku. "Kadang-kadang kami juga melakukan pengajian."

"O ya? Alhamdulillah."

Seperti seorang pendakwah ulung, ia kemudian menjelaskan secara singkat tentang pentingnya saling mengingatkan, pentingnya menjaga diri, dan pentingnya memperkuat ukhuwah islamiah. Selama dia menerangkan ketiga hal itu, aku mengangguk asal mengangguk, dan semakin sering aku mengangguk, aku mendapat kesan kalau penjelasannya akan semakin panjang karena ia kerab mengutip beberapa hadist Nabi dan potongan ayat-ayat Quran selama menjelaskan ketiga hal tadi.

Ketika kami sudah tiba di teras masjid, entah mengapa, ia terkesan masih ingin bercakap-cakap barang sebentar denganku. Agaknya ia khawatir kalau aku tak mengetahui pentingnya ketiga hal tadi. Sekiranya aku tak tahu apa yang ia lakukan pada Nur, aku pasti memandangnya sebagai orang paling baik di Tanjungpinang. 

Sampai di sini, aku yakin ia tak menaruh curiga padaku. Aku bisa memastikan hal ini karena selama kami bercakap-cakap aku benar-benar menunjukkan perhatian dan kesungguhan, dua hal yang membuat seseorang merasa didengar. Pada saat kami akan berpisah, ia menjabat tanganku sambil mengingatkan kembali soal pengajian Jumat sore.

"Saya tunggu," katanya.

Pada hari kedua dan hari ketiga, ketika azan zuhur berkumandang, aku datang lagi tetapi hanya duduk-duduk di kantin. Dari sini, aku memperhatikan gerak-geriknya. Pada hari keempat, ditambah keterangan pemilik kantin, aku berkesimpulan kalau ia pulang dari yayasan pukul empat sore. Dan hari kelima, sebagaimana yang sudah ia katakan, ia mengisi pengajian di masjid selama satu jam dan baru pulang menjelang pukul lima sore.

Aku tahu di mana rumahnya. Ia tinggal sendiri di rumah kontrakan di perumahan Taman Asri, Blok H, Nomor 21. Menjelang magrib, ia keluar untuk salat di masjid, lalu pulang, lalu keluar lagi ketika azan isa berkumandang. Begitulah rutinitasnya selepas pulang dari yayasan. Kadang-kadang, dan ini sangat jarang, ia memenuhi undangan mengisi tausiah di masjid-masjid.

Ketika pada suatu siang kami bertemu lagi di masjid, aku berkata kalau ketua remaja masjid di kampung kami sedang mencari ustad untuk mengisi pengajian. "Kami akan senang sekali apabila Ustad bersedia memenuhi undangan kami," kataku.

"Insyaallah."

Aku menjelaskan lebih detail tentang kapan dan di mana pengajian itu akan dilaksanakan. Aku juga berkata kalau aku bersedia menjemputnya.

"Tidak perlu repot-repot," katanya. "Saya bisa pergi sendiri."

"Ustad pasti tidak tahu di mana masjid kami," kataku.

"Abang tinggal di mana tadi?"

"Sungai Tiga."

"Sungai Tiga..."

"Saya tidak berkeberatan menjemput ustad ke rumah."

"Tidak usah. Jarak dari rumah saya ke kampung Abang lumayan jauh, dan saya tidak mau merepotkan Abang. Dengan izin Allah, saya pasti sampai ke sana."

"Ustad, ini amanah dari pengurus remaja masjid," kataku, sedikit mendesak. "Mereka meminta saya menjemput ustad."

"Maksudnya?"

Aku cepat-cepat mencari pembenaran dengan mengatakan kalau sebelumnya kami sudah bermusyawarah soal pengajian itu dan aku juga sudah berjanji kepada mereka untuk mengundang Ustad Ahmad.

"Masyaallah," serunya. "Saya tidak bisa berjanji," katanya.

"Saya juga sudah bilang kepada mereka kalau Ustad setuju."

Bajingan itu seperti ingin mengatakan sesuatu, mungkin ia berkeberatan dengan pernyataanku, dan aku cepat-cepat mengalihkan pembicaraan; "Teman saya juga bekerja di yayasan itu," kataku.

Ia sepertinya tak yakin. 

"Siapa?"

"Nur, Ustad."

"Nur? Ada tiga orang bernama Nur di yayasan. Kalau saya boleh tahu, siapa nama lengkapnya?"

"Coba Ustad sebutkan nama-nama mereka."

"Ustazah Nur Husnaini, Ustazah Nur Aini, dan Ustazah Nuri." 

Caranya menyebut ketiga orang itu biasa saja, seolah tak ada apa-apa di balik nama itu.

"Ustazah Nuri. Ya! Ustazah Nuri," kataku.

Lelaki itu mengangguk-angguk.

"Dan siapa nama Abang?"

Aku menyebut nama kecilku. Kalau ia bertemu Nur dan membicarakan tentang pertemuan kami, Nur tentu tahu bahwa aku yang ia maksud. 

Mungkin karena kami sedang berada di masjid, yang berarti aku tidak berbohong, atau mungkin karena aku menyebut nama Nur, ia akhinya menyanggupi permintaanku. Aku berterima kasih dan berjanji akan menjemputnya di tempat yang sudah kami sepakati.

"Dua hari lagi," katanya. "Insyaallah."

"Selepas magrib saya jemput," kataku.

Selama dua hari itu aku berharap ia menyelesaikan apa yang memang harus ia selesaikan, melakukan apa yang ia senangi, memakan makanan yang ia sukai, menemui orang-orang yang dekat dengannya, mengatakan hal-hal baik kepada mereka, bahwa kita saling mendoakan dan saling menasehati, menjauhi iri dan dengki... ada banyak hal yang kuharap ia lakukan dalam dua hari ini, tetapi yang paling penting ia tidak berubah pikiran.

Pada hari yang sudah disepakati, selepas salat magrib, aku menenjemputnya di rumah. Kami berkendara dengan sepeda motor. Sepanjang jalan, aku mencium aroma khas Zahratul Khalij pada pakaiannya. Baunya cukup kuat.

"Tidak usah buru-buru," katanya, ketika kami melewati kawasan yang agak sepi. Karena deru angin dan suara sepeda motor, suaranya tidak begitu jelas terdengar.

"Saya senang sekali ustad mau datang," kataku, setengah berteriak.

"Abang sudah lama kenal dengan Nur?" tanyanya.

Aku memperlambat sepeda motor.

"Kami sudah berteman sejak SMA," kataku. "Sekarang dia semakin cantik saja."

"Abang menyukainya?"

Aku mengangguk, tak mampu berkata-kata. Dia perempuan baik-baik. Namun, aku tak pernah berterus terang soal perasaanku -- sebaliknya, merasa mencintainya sudah membuatku senang. Sesekali, dan ini sangat jarang, kami bertemu di warung pinggir jalan. Pada pertemuan kami yang terakhir, Nur mengeluh soal gawainya yang agak lelet.

"Pasti karena penuh," kataku. "Kau harus menghapus file-file atau aplikasi yang tidak kau pakai. Coba periksa folder tempat sampah."

Meskipun lulusan S1 Ekonomi, Nur tak begitu mengerti soal gawai. Ia menyodorkan benda itu dan memintaku membersihkan file-file sampah. "Sampai ke akar-akarnya," katanya.

Alih-alih membersihkan file sampah, aku malah membuka folder google foto dan, saat itulah, aku menemukan video Nur dan si bajingan. Setelah mengirimnya ke emailku, aku menunjukkan kepada Nur folder tersebut dan ia cepat-cepat mengambil gawainya dari tanganku.

"Mengapa ada banyak foto di sini?" tanyanya.

"Itu semacam tempat penyimpanan eksternal. Selain di folder galery, biasanya foto-foto akan tersimpan secara otomatis di situ. Biar aku bersihkan," kataku.

"Tidak. Tidak usah."

Malam itu juga, setelah pertemuan dengan Nur, aku membuka email dan mengunduh video tersebut. Selama menonton video mesum itu, hatiku terasa remuk, hancur, berhamburan, seperti dipukul seribu kali oleh kehampaan yang berkepanjangan. Aku yakin itu bukan yang pertama kali.

Dan sekarang, aktor pria dalam video itu, yang berperan secara agresif dan agak ganas, duduk di belakangku. Ia tentu tidak tahu kalau getaran pada sepeda motor lebih karena degub jantungku ketimbang mesin atau gesekan ban pada permukaan jalan.

"Nur tidak bilang kalau kalian pernah satu sekolah," kudengar bajingan itu berkata.

"Sepertinya ustad cukup dekat dengannya," kataku.

"Tidak juga. Dia baru dua bulan di yayasan. Kalau pun kami dekat, itu karena dia pembantu saya di keuangan."

"Saya baru tahu soal ini. Nur tidak pernah cerita."

Berbelok dari ruas jalan utama, sekarang kami memasuki kawasan yang sepi penduduk. Jalan di tempat ini merupakan tanah keras berkerikil. Sesekali sepeda motor terhentak ketika menabrak lubang-lubang kecil, dan hentakan itu memaksaku membetulkan posisi duduk lantaran pisau yang kuselipkan di pinggang sedikit bergeser.

"Saya belum pernah ke tempat ini," katanya, "seperti mau ke kebun saja. Apa kita masih jauh?"

Aku diam saja. Rimbun pepohonan yang berdiri di sepanjang jalan dan ketiadaan bulan membuat suasana terasa lebih dingin.

"Aku rasa sebentar lagi azan isa berkumandang. Apa kita tidak tersesat, Bang?"

"Tidak. Ini benar jalannya."

Aku sudah datang ke tempat ini beberapa kali selama dua hari terakhir. Di depan sana, di sisi kiri jalan, ada tebing setinggi sepuluh meter. Kita bisa mendengar suara arus sungai kalau melewati jalan itu. Aku sudah menyiapkan semuanya di sana, termasuk lubang selebar satu meter. Setibanya di tempat itu, aku pura-pura akan kencing untuk berpindah dari depan ke belakangnya. Alih-alih membuka resleting, aku mengeluarkan pisau dan langsung berbalik menikam punggungnya sekuat tenaga. Ia menjerit kesakitan, menggeliat dalam bias cahaya lampu sepeda motor, dan terjatuh. Tikaman kedua dan ketiga menyusul lebih cepat dari yang ia duga.

Setelah tikaman keempat, tepat di pangkal paha sebelah kiri, aku berkata, "Itu untuk Nur."*



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)