Masukan nama pengguna
Aku melihatnya di pinggir jalan dan dia terlihat lebih cantik dari terakhir kali kami bertemu dan sekarang dia berjilbab. Dia memakai baju gamis berwarna cerah dan jilbab coklatnya panjang sekali, hampir menutupi sebagian tubuhnya. Aku jadi ragu bahkan untuk sekadar menyapa. Aku pura-pura membetulkan tali sepatu ketika jarak kami semakin dekat. Namun, sebelumnya kami sempat saling memandang.
"Jim?" katanya.
Aku mendongak, mendapati sebuah senyum dari bibir tipis yang dulu akrab di mataku.
"Jim?"
"Nur?"
Sewaktu berdiri, hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah mengulurkan tangan dan menjabat tangannya erat-erat. Tetapi melihat pakaiannya, kaos kakinya, selain karena dia tak menunjukkan tanda-tanda mau mengulurkan tangan, aku merasa malu sendiri kalau aku melakukannya.
"Apa kabar?" katanya, lalu menyatukan kedua tapak tangaannya di depan dada dan membuatku melihat cincin di jari manisnya. "Lama kita tak bertemu. Kamu tinggal di mana sekarang?"
"Masih di tempat lama," jawabku, lalu melakukan gerakan yang sama seperti yang baru saja dia lakukan.
"Masih di kontrakan itu?"
Aku mengangguk. Aku tak pernah pindah dari kontrakan itu sejak awal kuliah dan tetap di situ selama menjadi pengangguran dan masih di situ setelah mendapat pekerjaan. Dulu, pada awal-awal kuliah, aku dan Nur tinggal di gang yang sama. Kami sering sama-sama menunggu bus, dan aku selalu senang kalau pada malam hari dia memintaku menemaninya ke warung atau ke tempat-tempat mana saja yang dia mau. Setelah dia pindah, aku selalu merasa ada yang kurang setiap kali pergi ke warung -- terutama pada malam hari.
"Sepertinya kau baik-baik saja," kataku.
Dia mengangguk-angguk kecil sambil membetulkan jilbabnya seolah-olah ada bagian yang tak rapi.
"Setelah lama tak bertemu, kau banyak berubah, Nur," kataku.
"Tidak juga."
"Kau tinggal di mana?"
Aku tak menyangka akan bertemu dia lagi dan aku senang sekali. Setelah pindah dari Gang Mekar Sari, dia hanya dua kali kulihat menunggu bus. Aku menemui kawan-kawannya dan menanyakan kalau-kalau mereka tahu di mana dia sekarang: Ada yang bilang kalau dia pulang kampung; ada yang bilang kalau dia pindah ke Batu 9; ada yang bilang kalau dia berhenti kuliah karena orang tuanya meninggal; ada pula yang bilang kalau dia tidak kuliah karena cuti melahirkan. Untuk yang terakhir aku tak percaya. Aku nyaris menghajar Rudi ketika dia mengatakan itu.
"Kau dari mana, Jim?" tanyanya. "Lari-lari sore?"
"Begitulah! Kau sendiri dari mana, Nur?"
Dilihat dari pakaiannya, dia seperti baru pulang dari pengajian. Aku setengah berharap kalau tebakanku tak meleset.
"Aku dari rumah teman," katanya, menunjuk ke gang kecil di seberang jalan.
"Dan sekarang kau mau ke mana?"
"Pulang."
"Ke mana?"
"Ke rumah suamiku."
"Suami?"
"Ya, suamiku. Aku sudah bilang kalau aku menunggunya di sini."
"Oh," kataku, hampir tak percaya. "Dan siapa suamimu?"
"Rudi."
"Dan kapan kalian menikah?"
"Em," katanya, "waktu aku kuliah semester tiga, Jim."
Aku jadi agak menyesal karena waktu itu tak mematahkan leher Rudi.***