Flash
Disukai
4
Dilihat
3,633
Tamu?
Komedi

Pintu kamar kontrakan Jim diketuk tiga kali.

"Siapa?"

"Buka pintunya!" kata seseorang di luar pintu.

"Siapa?"

"Buka pintunya!'

"Siapa di luar?"

Lampu di kamar Jim sudah dipadamkan dan dia tengah berbaring telentang sambil memikirkan kunjungan ke pantai yang akan dia lakukan esok hari ketika pintu kamarnya diketuk. Pada ketukan yang pertama, Jim hanya memiringkan wajahnya sambil meyakinkan dirinya bahwa dia mendengar suara pintu diketuk. Beberapa saat kemudian, begitu mendengar pintu diketuk untuk kedua kalinya, dia bangkit berdiri dan berjalan ke dinding tempat kontak lampu berada, menyalakannya, kamar menjadi terang, tapi dia masih ragu untuk mendekati pintu. Dia menunggu sampai pintu diketuk lagi.

Sebentar kemudian, begitu mendengar ketukan itu lagi, ini yang ketiga kalinya dan lebih keras dari sebelumnya, dia menyesal karena sudah menyalakan lampu. "Seharusnya aku tidak menyalakan lampu," batinnya. Dia menoleh ke bagian bawah pintu. Cahaya lampu yang keluar lewat celah panjang itu membuat orang di luar sadar kalau dia ada di dalam kamar -- belum tidur.

"Siapa di luar?"

"Buka pintunya!" Kata orang itu. Kali ini dia mengetuk sedikit lebih kuat sehingga pintu bergetar hebat.

"Kalau kau tak memberitahu siapa namamu," kata Jim, menyandarkan tubuhnya pada pintu, "aku tak akan membukakan pintu untukmu."

"Buka pintunya! Cepat!"

Merasa terancam, Jim segera mengambil telpon di atas tempat tidur dan kembali bersandar pada pintu sebelum menghubungi tetangganya. Sesaat kemudian, ini yang membuatnya merasa aneh, dia mendengar nada dering telpon di luar pintu.

"Kau menghubungi tetanggamu?" tanya orang itu.

"Halo," kata Jim. "Kau di mana, Rudi?"

"Buka pintu! Kau dengar? Bu-ka pin-tu!"

Jim nyaris tak percaya kalau yang mengangkat panggilan telponnya berada di luar pintu kamarnya -- dia tahu kalau itu bukan Rudi. Dia kenal suara Rudi. Selain itu, Rudi selalu memberi kabar sebelum datang berkunjung.

"Buka pintunya!"

"Aku tidak akan membukakan pintu sebelum kau memberitaku siapa namamu!"

"Buka pintunya!"

"Siapa di luar?"

"Aku hitung sampai tiga," kata orang itu. "Satu!"

"Oh, apa yang harus kulakukan," kata Jim kepada diri sendiri. "Aku baru saja pindah ke kamar ini tadi sore, dan sekarang aku perlu beristirahat." Dia menoleh ke sekeliling kamar, mencari sesuatu yang bisa dia gunakan untuk melindungi dirinya kalau-kalau orang itu bermaksud jahat. Tapi, tidak ada benda yang bisa dia gunakan. Di dinding kamar hanya ada jam, lukisan, dan foto Nur, perempuan yang diam-diam dia sayangi, yang sekarang dia pandangi dengan lutut gemetar. Di lantai hanya ada kasur tidur, selimut, dan bantal, lalu galon air di sudut ruangan, bersebelahan dengan buku-buku fiksi, dan, ya! Itu dia; penyapu.

"Dua!"

Jim bergegas mengambil penyapu lalu kembali bersandar ke pintu.

"Buka pintunya, Fatur!"

"Fatur?" Pikir Jim. "Aku bukan Fatur!"

"Persetan kau siapa," hardik orang itu. "Cepat buka pintunya atau kudobrak."

"Dobrak saja," kata Jim, yang sudah tidak tahu harus berkata apa. Tetapi, dia sepenuhnya sadar bahwa tidak melakukan apa-apa adalah sebuah kesalahan. Maka, dia mundur beberapa langkah, mengambil jarak yang pas sambil memegang penyapu dengan pose siap memukul.

"Tiga!"

Pintu pun didobrak. Lelaki yang sedari tadi berdiri di depan kamarnya sekarang menatap Jim dengan wajah bingung. Dia berbadan tegap dan memakai topi hitam.

"Kau siapa?" tanyanya. "Di mana Fatur?"

"Aku tidak kenal Fatur," kata Jim. Tangannya masih memegang penyapu.

"Maaf," kata orang itu. "Sepertinya aku salah kamar."

"Sepertinya malam ini aku tidur dengan pintu terbuka," kata Jim.*

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)