Masukan nama pengguna
Karena pekerjaannya, kata Rudi, Nur baru pulang ke kontrakan pada pukul sepuluh malam. Itu artinya dia harus melewati dua gang sempit setelah jalan menurun di simpang tiga, satu area terbuka yang gelap karena tak ada lampu jalan, lalu belok ke kiri dan melewati satu rumah kosong yang hampir semua bagiannya tertutupi pohon-pohon dan semak belukar; sebagian jendelanya sudah jebol dan sebagian atapnya terjuntai seperti daun pisang kering. Setahun yang lalu, ketika pertama kali melewatinya, aku melihat garis polisi melintang di setiap sisi rumah. Tetapi sekarang garis-garis kuning itu sudah tidak ada lagi, berganti tanaman rambat yang terlihat subur. Pada siang hari, rumah itu terkesan sepi dan suram, dan apabila kita melewatinya pada malam hari, kita akan merasa seperti sedang berjalan di dunia lain. Kata orang, pemilik rumah itu mati dibunuh temannya sendiri dan jasadnya dikuburkan di dalam kamar mandi tanpa mengikuti ritual keagamaan apapun. Kontrakan Nur berada sekitar seratus meter dari rumah kosong itu.
Sebenarnya aku tak yakin kalau Nur bekerja di swalayan, tetapi karena aku sendiri ragu dengan keyakinanku, di samping cara Rudi meyakinkanku, mau tidak mau aku perlu membuktikannya; aku datang ke swalayan tempat Nur bekerja sebelum tempat itu tutup. Dia pasti senang melihatku. Kami sudah seminggu tak bertemu.
Ternyata, Nur memang bekerja di sini. Dia baru saja keluar dengan wajah yang terlihat lelah ketika aku tiba.
"Jim?"
"Nur?"
"Apa yang kau lakukan di tempat ini, Jim?"
Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Tiba-tiba saja aku sudah berada di sini."
"O ya?"
"Baru pulang?"
Karena sudah malam, Nur segera berpamitan setelah mengatakan sampai jumpa sambil melambai-lambaikan tangan seperti kanak-kanak. Jari-jarinya terlihat merah. Sebentar kemudian, begitu menyadari kalau aku terus mengikutinya, dia memperlambat langkah, lalu menoleh ke belakang. "Kau mau ke mana, Jim?" tanyanya.
"Mengangarmu pulang," kataku.
"Aku bisa pulang sendiri, Jim. Terima kasih."
"Tidak! Aku akan mengantarmu."
"Tidak! Kau pulang saja, Jim. Aku bisa sendiri."
"Kau mengusirku?"
"Bukan begitu ..., baiklah!"
Maka, kami berjalan berdampingan menyusuri tepian jalan raya yang sesekali dilewati kendaraan sebelum akhirnya berbelok ke kiri di simpang tiga, melewati turunan yang cukup panjang, lalu di dekat lampu jalan dj ujung turunan kami berbelok ke kiri lagi dan tiba di Gang Mawar 1.
"Sampai di sini saja, Jim," kata Nur.
"Rumahmu masih jauh, kan?"
Nur sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tetapi aku segera menambahkan; "Ayo!"
Kami kembali menyusuri jalan gang. Rumah-rumah di tempat ini sudah tertutup rapat, tetapi ada juga beberapa anak remaja yang sedang asik bermain gawai di teras depan. Mereka sama sekali tak menoleh ketika kami lewat. Kucing-kucing yang berbaring atau duduk di teras depan rumah juga tidak menoleh.
"Sudah dekat," kata Nur, ketika kami tiba di ujung gang.
"Masih jauh, Nur." Aku merasa perlu mengatakan jarak gang ini ke gang lain, juga area terbuka dan rumah kosong itu, tetapi Nur lebih tahu dariku.
"Kau berani pulang sendirian?" tanyanya.
Aku mengangguk asal mengangguk.
"Tapi rumahmu jauh dari sini, kan?"
Sekali lagi, aku mengangguk.
"Sudah berapa hari kau bekerja di swalayan itu, Nur?"
"Ini hari kedua."
"Oh," kataku.
Keluar dari ujung gang, kami berbelok ke kiri dan sekarang masuk ke Gang Mawar 2. Gang ini jauh lebih sepi dari yang sebelumnya. Semua pintu rumah sudah tertutup dan tak ada seorangpun yang duduk di depan. Dari balik kaca jendela, sesekali aku bisa melihat TV yang masih menyala.
"Besok kau kuliah, Jim?"
Aku mengangguk. "Apa kau tidak takut pulang malam sendirian, Nur?"
Nur menggeleng.
"Tempat ini sunyi sekali."
Kami sudah melewati Gang Mawar 2 dan sekarang memasuki area terbuka yang gelap. Nur menyalakan lampu flash gawainya. Jalan di tempat ini berupa tanah liat keras dan berbatu. Di kiri kanannya hanya semak-semak tempat suara jangkrik berasal, dan di kejauhan, melewati semak-semak itu, terlihat barisan lampu-lampu rumah berwarna kuning dan putih. Aku menoleh ke atas. Tak ada bulan malam ini. Bintang-bintang terlihat berkelip-kelip. Karena asik melihat ke atas, aku nyaris tersungkur karena tersandung batu.
"Hati-hati, Jim!"
Dari area terbuka, kami belok ke kiri dan aku tak menoleh ke rumah kosong itu. Bulu romaku berdiri. Aku merasa seseorang sedang memerhatikan kami, sedang suara jangkrik terdengar jelas, seolah-olah ia berada tepat di atas bahuku. Nur mengangkat gawainya, menyoroti rumah kosong itu.
"Kenapa?" Kataku. "Jangan disenter, Nur."
"Kau takut, Jim?"
"Tidak."
Beberapa langkah melewati rumah itu, Nur memegang tanganku lalu menoleh ke belakang.
"Kenapa?" Aku menggenggam erat tangannya dan merasakan kelembutan yang sudah lama ingin kusentuh. Rasanya, aku tak ingin melepas genggaman tangannya.
"Sepertinya aku melihat seseorang," katanya.
Aku berhenti, menoleh ke belakang, dan merasakan hawa dingin merambat ke sekujur tubuhku.
"Di mana?"
"Entahlah. Mungkin perasaanku saja. Kau berani pulang sendiri, Jim?"
"Ya!"
Setelah melewati rumah itu, Nur melepaskan genggamannya. Kami berbelok ke kiri dan sekarang tiba di jalan masuk ke Gang Selasih. Tempat ini cukup terang. Rumah-rumah di kiri kanan jalan sudah tertutup.
"Sampai di sini saja, Jim."
"Sedikit lagi," kataku.
"Kau tahu dari siapa aku bekerja di swalayan?"
"Rudi yang memberitahuku."
"Kau berani pulang sendirian, Jim?"
"Ya!"
"Kau boleh menginap di rumahku kalau kau takut."
"Aku segan," kataku.
"Tidak apa-apa. Suamiku juga ada di rumah."
"Suami?"
Aku merasa jantungku melemah.
"Ya! Kau tidak tahu kalau aku sudah menikah?"
"Kapan?"
"Lima hari yang lalu," Nur memperlihatkan sepuluh jarinya yang berwarna merah inai.
Kalau aku tahu, aku tentu tidak mengantarnya pulang.*