Masukan nama pengguna
Baru saja tiga hari semenjak IPDA Andano dipindahtugaskan—karena naik pangkat—ke Kota Tanjungpinang; sebuah kota kecil yang dia harap tak menghadirkan banyak kasus-kasus rumit. Namun, harapan Andano untuk dapat bekerja lebih santai itu seperti memukul wajahnya dengan keras. Karena hari ini dia menerima laporan tentang suami-istri yang ditemukan tewas di rumahnya sekitar pukul sembilan pagi, dan unitnyalah yang mendapat tugas mengusut kasus itu.
Reserse tiga puluh enam tahun itu tak mengetahui di daerah mana tujuannya berada lantaran enggan menyimak seorang dari unitnya yang sibuk berceloteh sejak awal perjalanan. Yang dia tahu hanyalah mobil yang dia tumpangi berhenti di salah satu blok perumahan berjalan aspal yang tak begitu luas, tetapi pas untuk dilewati dua mobil berlawanan arah.
Rumah tipe 36 di depannya saat ini terlihat begitu muram. Bagian terasnya yang bersemen itu terparkir satu sepeda motor tipe lama yang hampir seluruh bagiannya tertutupi debu tebal. Di sepanjang halaman rumah tanpa pagar itu sudah dibatasi garis polisi dengan dua personel SPKT dan dua lagi dari Sabhara yang tampak berdiri melakukan pengamanan.
Seperti yang dia duga, kelakuan orang-orang di kota ini juga tak berbeda dengan tempatnya dahulu bertugas; suka berkerumun di dekat lokasi kejadian. Namun hal yang dianggap menyebalkan bagi beberapa penyidik itu justru membuatnya bersemangat. Air mukanya yang sejak di perjalanan tadi tampak ogah-ogahan, kini terlihat bercahaya.
Saat memasuki area TKP, yang pertama kali Andano perhatikan adalah kondisi bagian luar rumahnya. Setelah mengamati sekeliling, dari dinding hingga lantai, dia mendekati sepeda motor. Disentuh olehnya mesin motor yang terasa dingin itu, lalu menyimpulkan dalam hati kalau, sepertinya, motor itu belum dihidupkan dari semalam.
Tiga orang reserse yang bersama Andano di mobil tadi tampak heran dengan tindakan kepala unitnya itu, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang berani bertanya.
“Oke,” kata Andano sebelum berbalik badan, “lakukan aja seperti biasanya, jangan pedulikan aku. Nanti kalau ketemu sesuatu, jangan melapor dulu sebelum aku tanya. Kecuali ada hal yang mendesak.” Dia melirik arloji, lalu beralih pada mobil yang baru saja tiba. “Beri tahu juga ke orang-orang Inafis yang tadi aku katakan.”
Setelah memperhatikan satu per satu anggotanya yang tampak mengerti, Andano pun berlalu menuju pintu masuk. Di situ dia mendapati kalau pintu yang setengah terbuka itu terlihat baik-baik saja, tanpa ada indikasi pendobrakan.
Andano melangkahkan kakinya masuk. Tak butuh waktu lama baginya untuk segera tahu kalau kondisi di bagian dalamnya pun juga sama. Sejauh yang dia dapat, belum ada tanda-tanda pencurian barang-barang berharga; setidaknya di ruang depan hingga dapur, karena dia belum memeriksa bagian kamar tidur.
Andano melangkah lebih jauh menuju tubuh si suami—berusia sekitar awal tiga puluhan—yang terbujur di area dapur; sebelah meja makan. Hidung lelaki itu sedikit merah dengan leher yang membengkak. Tak jauh dari tubuhnya tergeletak sebuah sendok makan, juga pecahan gelas dengan genangan air di sekitarnya.
Tak ada alat makan atau yang lainnya di atas meja itu, selain dua mangkuk bubur ayam tanpa kacang dan segelas air putih. Andano berjongkok di dekat korban seraya mengenakan sarung tangan latex. Dengan hati-hati dia mengamati seluruh bagian tubuh itu dan berakhir dengan tak menemukan satu pun bekas tindak kekerasan ataupun perlawanan.
“Ambulans bagaimana?” tanya Andano pada seorang reserse yang sejak tadi mengekornya. Di sebelah reserse itu berdiri seorang dari unit Inafis yang sedang memotret bagian meja makan.
“Dalam perjalanan, Pak.”
Andano mengiyakan. “Urus yang bagian sini.”
“Siap!” Reserse itu mulai memberikan tanda garis pada letak posisi tubuh si suami.
Kemudian, yang diamati Andano adalah tubuh si istri. Perempuan berkisar usia akhir dua puluhan itu tengah terbaring di dalam kamar mandi yang cukup gelap; sumber cahayanya hanya berasal dari ventilasi kecil di sisi atas dinding seberang pintu.
Berada tak jauh dari meja makan, kamar mandi itu memiliki luas sekitar dua kali dua meter. Merasa susah, Andano mencari saklar lampu kamar mandinya, tetapi setelah ditekan, tak kunjung ada perbedaan. Lampunya sudah rusak. Tak terbayang olehnya jika menjadi si empunya rumah yang harus gelap-gelapan saat ingin buang air di malam hari.
Dibantu senter ponselnya, Andano memeriksa dengan lebih hati-hati tubuh si istri dan menemukan bekas kehitaman, seperti lebam, di sisi bawah telapak tangan kanan; tak jauh di bawah kelingking. Dia berdiri, lalu mengamati dengan cermat sekeliling bilik itu. Tanpa adanya bak mandi, di dalam situ hanya ada sebuah kloset jongkok dan satu ember besar sebagai penampung air.
Ditutupnya kembali pintu kamar mandi itu, lalu memejamkan mata sambil berpikir dan menyesuaikan tinggi badannya dengan korban. Tak lama kemudian, Andano melakukan simulasi kecil, menempatkan dirinya berada di posisi korban yang tengah terkunci.
Di sini, pikirnya. Dia lalu meraba dan meneliti dengan cermat bagian sisi pintu yang sesuai dengan simulasinya. Pasti ada bekas gedoran di sekitar sini. Diarahkannya senter ke sekitar bagian yang dia amati. Ini dia, Andano berseru girang sebelum membuka pintu dan buru-buru memanggil personel Inafis terdekat, memberikan instruksi agar melakukan identifikasi yang diperlukan pada temuannya, juga pada korban dan sekitarannya.
Sebelum masuk tadi, Andano tahu dari anggotanya bahwa pintu kamar mandi itu dikunci dari luar. Sambil mengamati kunci yang masih bergantung di gagang pintu bagian luar, Andano bertanya pada personel Inafis yang berada di kamar mandi perihal sudah tidaknya kunci itu diambil jejak jari, lalu mendapat jawaban kalau itu sudah dilakukan.
Sekarang waktunya bagi Andano untuk memeriksa kamar tidur. Setelah agak lama berkeliling di sana, hanya ada satu benda yang menarik perhatian lelaki itu. Ialah sebuah foto berbingkai yang diletak di atas meja rias depan ranjang. Terlihat di situ, si suami dan istrinya yang tengah berswafoto, merayakan momen bahagia mereka atas kelahiran si buah hati yang tampak tertidur di belakang mereka.
Entah kenapa hati Andano saat itu tergerak untuk mengecek bagian belakang fotonya. Dan siapa sangka kalau hal yang dia lakukan itu justru membawa kemajuan dalam penyelidikannya. Ditulis dengan tinta hitam, di belakang fotonya, sebuah kalimat janji yang amat sulit untuk bisa ditepati manusia biasa: “Kita akan selalu bersama, selamanya”.
Membacanya, hati Andano sempat tergugah lantaran pernah mengalami pengalaman yang hampir mirip. Namun, buru-buru logika Andano menepisnya karena, masih ada pekerjaan yang harus segera dia selesaikan. Dia pun bergegas kembali ke tempat tubuh si suami berada. Di situ tampak reserse beralis tebal sedang berjongkok dengan wajah penuh tanya, mengamati leher korban yang membengkak.
“Sepertinya karena alergi.” Andano berucap seraya ikut berjongkok dan mengamati pemandangan yang sama. “Kemungkinan besar alergi kacang.”
“Lho, kok kacang, Pak? Bukannya enggak ada kacang di bubur ayamnya?”
“Justru karena itu. Semakin enggak wajar barang di sini, semakin berharga nilainya. Coba kau cium bubur yang sudah dimakan.”
Reserse itu mengikuti arahan Andano. “Aneh,” kata dia setelahnya, “ada sedikit bau kacang. Kok dia enggak mencium baunya, ya?” Dia beralih pandang ke arah wajah korban, mencondongkan wajahnya lebih dekat lalu bergumam, “Hidungnya merah,” sebelum menatap Andano dan berkata, “Pilek!”
“Betul sekali.”
Karena penasaran, si alis tebal juga melakukan hal yang sama pada bubur satunya, tetapi dia tak mencium unsur kacang sama sekali. Beberapa saat setelahnya, dia mendesah lalu berkata, “Tapi masalahnya, kita belum ketemu barang bukti yang mengarah ke situ.”
Andano tertawa kecil. “Santai, Bro. Pasti ada sesuatu di sekitar sini.”
Inspektur itu bangkit, lalu berjalan menuju deretan laci gantung tempat tersimpannya alat-alat masak; panci dan sebagainya. Di bawah salah satu laci itu terdapat konter yang di atasnya berdiri sebuah kompor, dan beberapa rak berisi alat masak yang lebih kecil.
“Siapa tadi yang memeriksa daerah sini?” Andano bertanya pada si alis tebal.
“Romi, Pak.”
“Sekarang dia di mana?”
“Lagi minta keterangan saksi di depan. Perlu saya panggilkan?”
“Oh, enggak. Enggak perlu.”
Sambil mengamati benda-benda di hadapannya, pikiran Andano sibuk memperkirakan sesuatu yang paling mungkin dan masuk akal untuk campuran bubur ayam agar tak mudah disadari. Dia mengingat lagi, bubur ayam di atas meja itu keduanya tak ada yang mengandung kacang.
Dari fakta yang ada, Andano menarik hipotesis sementara kalau dua orang yang tinggal di sini tidak ada yang menyukai kacang, terutama si suami yang diduga punya alergi. Tapi si pelaku enggak mungkin sebodoh itu sampai meninggalkan bekas di sekitar sini.
Sekonyong-konyong saat Andano hendak meninggalkan daerah dapur, matanya teralihkan pada keranjang sampah kecil di sudut ruangan. Tempat sampahnya begitu tak menonjol, sampai-sampai hampir terlewatkan begitu saja. Andano memang tak berharap banyak saat ingin memeriksa keranjang yang bagian dalamnya dilapisi plastik itu. Namun, sekarang, mungkin Dewi keberuntungan sedang tersenyum padanya.
Tak sampai satu menit setelah dia mengacak-acak isi plastik itu, ditemukan sebuah plastik bening berukuran kecil; ukurannya seperempat telapak tangan Andano, yang berkesan mencurigakan. Plastik bening itu ditemukan di dalam kantong plastik berwarna merah yang berisi dua plastik besar bekas bubur ayam, dua plastik berukuran sedang bekas kuahnya, dan dua lagi yang berukuran kecil bekas sambalnya.
Isi dalam plastik beningnya—setelah diperhatikan lebih cermat—merupakan bekas menampung sejenis minyak goreng. Dan yang makin membuat Andano hampir meloncat kegirangan adalah bau minyaknya yang khas; seperti kacang kedelai.
Setelah meminta reserse beralis tebal mengamankan barang bukti temuannya, Andano menuju anggotanya yang lain untuk bertanya tentang keterangan para saksi mata. Setelah mendengarkan penjelasan-penjelasan itu, dia pun tahu akan identitas kedua korban.
Si suami bernama Hamzah Setiawan, berusia 31 tahun. Bekerja sebagai kolektor di salah satu perusahaan finansial. Kemudian si istri, perempuan berumur 29 tahun bernama Yunisa Priyatni; seorang kasir swalayan.
Selang beberapa waktu, tubuh kaku suami-istri itu akhirnya dibawa ke rumah sakit terdekat. Pihak keluarga lain dari kedua korban belum diketahui lantaran menurut pengakuan warga sekitar, mereka adalah warga baru; belum sampai satu bulan tinggal di perumahan ini. Oleh karenanya, Andano memutuskan untuk memberi rekomendasi agar dilakukan saja proses autopsi guna kepentingan penyelidikan.
Inilah kronologis ditemukannya tubuh kedua korban; suami istri, berdasarkan keterangan dari dua saksi mata yang Andano peroleh dari anggota penyidiknya:
Rohaya (Perempuan, 47 tahun. Bertempat tinggal di seberang rumah korban), sekitar pukul 08.50 ingin memberikan lauk kepada korban. Namun, setelah memanggil beberapa kali, korban tak kunjung keluar rumah. Rohaya yang penasaran mendatangi Hamidah (Perempuan, 45 tahun. Bertempat tinggal di sebelah rumah korban) yang sedang menyapu halaman rumahnya. Setelah menceritakan niatnya pada Hamidah, sekitar pukul 08.55 kedua perempuan itu menuju rumah korban.
Pukul 09.00, Hamidah, yang curiga akan terjadinya sesuatu, menekan gagang pintu rumah korban yang ternyata tidak terkunci. Kedua perempuan itu masuk sambil memanggil nama si istri, tetapi tak juga didengar jawabannya. Dan ketika dua orang itu tiba di dapur, mereka menemukan tubuh si suami yang sudah meninggal. Karena takut dan syok, mereka langsung pergi dari TKP tanpa mencari keberadaan si istri, kemudian memberi tahu ketua RT untuk melaporkan kejadian itu ke polisi.
Keterangan lainnya juga didapat dari Samsudin; suami Rohaya. Begini isinya:
Pukul 08:20 ketika Samsudin (Laki-laki, 49 tahun) hendak keluar rumah, dia melihat seorang perempuan datang dan masuk ke rumah korban dengan membawa kantong plastik warna merah; mungkin berisi makanan. Dia tak tahu siapa perempuan itu dan sampai kapan dia berada di sana. Yang dia tahu adalah kalau perempuan itu sering berkunjung ke rumah korban sebelumnya; sekitar dua sampai tiga kali dalam seminggu.
Menanggapi perempuan asing yang dimaksud Samsudin, ditemukan fakta dari Melinda (Perempuan, 28 tahun. Bertempat tinggal di depan rumah Hamidah). Inilah laporannya:
Perempuan itu bernama Wanda. Dia pernah bekerja satu kantor dengan Melinda, tetapi hanya sebentar; sekitar tiga bulan. Melinda tak begitu mengenalnya dan tak mengetahui hubungannya dengan kedua korban. Dan sayangnya, nomor ponsel Wanda sudah tak aktif lagi. Namun, Melinda ingat kalau dahulu sempat beberapa kali berkunjung ke rumah Wanda untuk urusan pekerjaan. Alamatnya di Jalan Pinang Hijau, Nomor 15.
Perempuan bernama Wanda itu telah dinyatakan Andano sebagai saksi kunci dan bisa jadi dialah pelakunya. Dengan hanya mengajak Romi, dia memutuskan untuk menyelidiki dan mewawancarai Wanda seorang diri.
Perjalanan Andano kali ini hanya membutuhkan waktu sekitar tiga belas menit. Ketika sampai di tujuan, Andano mengarahkan Romi agar menunggu saja di mobil.
Dengan menjinjing kantong plastik berisi dua botol teh kemasan dingin yang sempat dibelinya saat perjalanan, dia mengetuk pintu rumah itu seraya berucap, “Permisi,” beberapa kali. Beruntung baginya karena, tak sampai dua menit kemudian, seorang perempuan tampak bergeming heran menatap wajah kusut Andano di ambang pintu.
“Maaf, ada apa, ya?”
“Apa benar ini dengan Mbak Wanda?” Andano bertanya dengan nada sopan.
“Betul, saya sendiri. Ada apa ya, Mas?”
“Boleh saya masuk?”
Meski awalnya Wanda terlihat ragu, senyuman dari wajah berewok tipis Andano-lah yang membuat perempuan itu akhirnya mempersilakan si reserse masuk tanpa bertanya lebih jauh. Setelah masing-masing duduk, Andano menyodorkan kantong plastik yang dia bawa kepada Wanda.
“Diminum dulu, Mbak,” kata Andano kemudian. Senyuman ramah bersarang lagi di wajahnya.
Air muka Wanda terlihat bingung sesaat, sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan, “Iya, Mas. Terima kasih.” Diambilnya salah satu botol dalam kantong plastik.
Andano pun mengambil sebotol sisanya, lalu membuka dan meneguknya. Setelah meletakkan botol ke atas meja kopi, dia berkata, “Saya Andano, dari kepolisian,” sambil menatap lekat lawan bicaranya.
Wanda sedikit terperangah, terlihat dari matanya yang sedikit melebar. “Eh, iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Perempuan itu gelagapan.
“Tenang, Mbak. Saya ke sini cuma mau bertanya beberapa hal aja.” Setelah bertanya seputar informasi personal, wajah Andano yang awalnya santai kini berubah serius.
“Mbak Wanda,” katanya, “saya ingin kamu menjawab dengan jujur dan jelas, tanpa bertele-tele.”
Wanda mengangguk paham, lalu mendengarkan dengan serius.
“Sekitar jam 08.30 pagi tadi, kamu berada di mana?”
“Saya di rumah abang saya.” Suara Wanda penuh keyakinan.
“Hamzah Setiawan. Dia saudara kamu? Abang kandung?”
“Iya. Dia abang kandung saya.” Kali ini suaranya terdengar goyah. Meski ragu, dia pun memberanikan diri bertanya, “Apa terjadi sesuatu dengan Bang Hamzah, Pak?”
“Maaf. Dengan berat hati saya mengatakan kalau abang kamu dan istrinya ditemukan meninggal dunia sekitar jam sembilan pagi tadi.”
Tak dapat ditahan oleh Wanda air mata yang dengan deras bercucur. Kedua tangan perempuan itu menutup wajah dalam tangis. Melihat itu, Andano mengeluarkan sapu tangan dari saku kemeja lengan pendeknya, lalu memberinya pada Wanda. Perempuan berwajah oval itu mengambil sapu tangan Andano dan dengan lembut mengusap air matanya.
Setelah Wanda sudah mulai tenang, Andano melanjutkan lagi pertanyaanya. “Tujuan kamu ke sana untuk mengantar bubur ayam, benar?” Pertanyaan itu lebih terdengar seperti pernyataan.
Wanda mengangguk. “Bisa Bapak ceritakan bagaimana Bang Hamzah dan Kak Yunisa meninggal?
“Hamzah ditemukan meninggal setelah menyantap bubur ayam yang kamu antar. Dan Yunisa meninggal setelah terkurung di kamar mandi.” Setelah tak mendengar jawaban dari Wanda, Andano berkata lagi, “Apa benar kalau Hamzah punya alergi kacang?”
“Iya. Bang Hamzah memang alergi dengan kacang. Semua jenis kacang.”
“Ada pengalaman seperti bengkak di leher atau yang lain sebelumnya?”
“Terakhir kali dia kayak begitu tiga tahun yang lalu. Dan setelah itu, Kak Yuni juga berhenti makan kacang-kacangan.”
“Kalau Yunisa, apa punya semacam alergi atau penyakit sejenis?”
Perempuan itu belum menjawab setelah cukup lama berpikir. “Kalau penyakit enggak ada, setahu saya. Tapi Kak Yuni itu dari kecil punya fobia dengan tempat sempit.”
Klaustrofobia? Masuk akal. Perlahan dia mendapatkan titik terang. “Ceritakan tentang hubungan mereka,” katanya dengan hati-hati, “apa baru-baru ini mereka enggak akur atau punya masalah?”
Kedua mata Wanda melotot, seakan tak percaya dengan perkataan Andano yang seperti tahu semuanya. “Bapak, tahu dari mana?”
Hampir saja Andano tak bisa menahan rasa senang akan kebenaran asumsinya. “Ceritakan semua yang kamu tahu.”
Wanda memantapkan hatinya terlebih dahulu sebelum mulai bercerita. “Sebenarnya mereka bukan enggak akur,” katanya. “Tapi semenjak anak mereka satu-satunya meninggal setahun yang lalu, bang Hamzah dan kak Yuni selalu terlihat muram dan sedih. Dan semenjak itu, ada aja selisih pendapat di antara mereka.”
Wanda mengusap air matanya yang kembali menetes. “Karena cuma saya keluarga mereka yang dekat, saya selalu jadi tempat curhat.”
“Curhat seperti apa? Coba ceritakan.” Melihat reaksi Wanda yang ragu-ragu, Andano buru-buru menjelaskan, “Saya perlu tahu sedetail mungkin cerita ini. Demi kemajuan penyidikan.”
Setelah mendesah pelan, Wanda akhirnya setuju untuk bercerita lagi. “Selama dua hari—enggak berurutan, bang Hamzah dan kak Yuni ketemu dengan saya sendiri-sendiri. Biarpun kata-katanya beda, tapi mereka sama-sama bilang tentang keinginan bertemu lagi dengan Bima, anak mereka.”
“Bertemu lagi? Maksud kamu di alam sana?”
Wanda mengangguk. “Tapi mereka sama-sama enggak mau meninggal dengan bunuh diri. Takut nantinya enggak bisa ketemu Bima di sana.”
Sedu sedan Wanda semakin tak dapat ditahan. Dan karenanya, Andano tahu kalau perempuan itu takkan sanggup bercerita lebih jauh.
“Dengar,” kata Andano, “Kamu enggak perlu menjawab yang akan saya katakan ini. Kalau memang betul, cukup mengangguk aja.”
Wanda sedikit mengangguk sambil masih menutup wajahnya dengan sapu tangan.
“Mungkinkah kalau mereka berdua saling membunuh?”
Semakin menjadi-jadilah tangisan Wanda ketika mendengar ucapan Andano. Tanpa perempuan itu mengangguk pun, sudah jelas terlihat kalau asumsi Andano itu benar adanya.
Tak lama setelah itu, Andano pun pamit pergi. Tak lupa diambilnya lagi botol teh manis yang diminum Wanda tanpa secara langsung menyentuhnya dengan tangan; menggunakan kantong plastik. Setelah tiba di mobil, dia menyerahkan kantong berisi botol itu pada Romi seraya berkata, “Ambil jejak jari di botol itu untuk dicocokkan dengan yang ada di TKP,” meski dia yakin kalau bukan Wanda-lah pelakunya.
***
Seminggu telah berlalu sejak tragedi itu. Diketahui bahwa pihak forensik menemukan kecocokan sidik jari Hamzah di kunci kamar mandi. Sedangkan yang ada di plastik bening, ditemukan kecocokan dengan sidik jari Yunisa.
“… dan begitulah,” ucap Andano sambil pandangan menuju sebuah bingkai berisi foto dua orang yang saling merangkul mesra, “cerita tentang suami-istri yang saling membunuh demi harapan untuk bertemu lagi dengan si buah hati.” Diletakkan kembali bingkai foto yang dipegangnya di meja samping ranjang, lalu berucap, “Selamat tidur, Sayang.”
Dua orang di foto itu adalah sosok Andano lima tahun yang lalu bersama sang istri yang telah pergi untuk selamanya, juga di lima tahun yang lalu.[]