Cerpen
Disukai
1
Dilihat
3,284
Dalam Keputusasaan
Thriller
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Ruangan kecil temaram itu mengesankan rasa muram. Sisi-sisi dinding yang lapisan catnya kusam menambah kesan itu jadi menyedihkan. Bercak-bercak darah di lantai yang sudah mengering tampak tak kalah kelamnya dengan ruang itu.

Di sudutnya, ranjang dari besi karat terdiam. Meja troli kecil di sampingnya menampung alat-alat bedah yang sudah tampak tua. Namun bilah pisaunya masih dapat menembus kulit. Tajam dan siap merajam.

Seorang gadis terbaring di ranjang itu. Tak berdaya. Kedua matanya tak terbuka, juga tak menutup. Embusan napasnya enggan. Pelan dan perlahan akibat darahnya dialiri obat bius. Belum ada yang tahu bagaimana dia berakhir di tempat menyedihkan itu. Namun, hanya ada satu hal yang sudah pasti. Nyawanya sudah tak lama lagi.

Derit pintu dari engsel tua berbunyi. Panjang dan menyeramkan suaranya. Akan tetapi, si gadis tak dapat mendengarnya. Apalagi pada langkah kaki ringan yang menyertainya.

Sosok lelaki bersetelan dokter bedah perlahan tiba di samping ranjang tempat si gadis masih setengah sadar. Wajahnya yang tertutup masker itu menampakkan sorot mata tenang, tanpa ekspresi. Sarung tangan medis sudah bersarang di kedua tangannya saat dia mengambil sebuah gunting bedah.

Lalu, dalam hitungan detik saja, gunting itu sudah merobek pakaian si gadis hingga tampaklah perutnya. Gunting berganti pisau. Di detik-detik berikutnya, dari bekas sayatan di perut itu, darah segar mengalir. Diikuti pandangan si gadis yang perlahan menghitam.

***

Sebuah sedan biru melaju, menyusuri lengangnya jalan lintas Kabupaten. Cakrawala sudah sejak tadi memperlihatkan butir-butir bintang. Tidak ada tanda-tanda akan hujan, tetapi rembulan masih juga sembunyi di balik awan. Entah sampai kapan.

Sambil menatap kosong pepohonan di sepanjang jalan, wajah ceria Renata tampak lelah, juga mengantuk. Namun dia masih berkutat tentang kasus orang hilang yang masih hangat diperbincangkan.

Sehari yang lalu, seorang anonim mengirim amplop berisi tiga foto ke kantor media massa tempat Renata bekerja. Foto-foto itu memperlihatkan gadis yang diberitakan sudah menghilang hampir satu minggu silam. Di belakang salah satu foto tertulis sebuah alamat.

Meski berkesan mencurigakan, tetapi insting jurnalis Renata berkata kalau itu adalah kesempatan emas; tidak boleh dilepas begitu saja. Karena dia yang menulis artikel tentang hilangnya gadis itu, permintaannya untuk membuktikan kebenaran foto-foto itu pun terkabul. Itulah awal mula Renata menempuh perjalanan puluhan kilometer di tengah jadwalnya yang padat.

Demi kebenaran, katanya. Namun kondisi fisik perempuan itu malah berkata sebaliknya. Terlalu banyak aktivitas dalam sehari penuh, selama tiga hari terakhir, membuat tubuh Renata seakan bisa ambruk kapan saja. Perempuan itu menguap. Setelah memijat pangkal hidung sebentar, dia pun memejamkan mata. Tidak ada yang salah dengan tidur barang satu atau dua jam, pikirnya.

“Ta ... Renata.”

Panggilan disertai guncangan kecil di bahu itu membuat Renata terjaga. Dia mengerjap, lalu pandangannya berkeliling.

“Sudah sampai?” ucap Renata pada si pengemudi; lelaki berwajah serius.

Lelaki itu mengiakan seraya membuka pintu mobil. Renata melakukan hal yang sama setengah detik setelahnya. Sesaat setelah turun, perempuan itu meregangkan badannya yang terasa pegal. Sementara itu, si lelaki membuka bagasi mobil, mengambil koper kecil milik Renata.

“Yakin mau langsung pulang? Sudah jam segini, lho.” Renata berkata saat si lelaki menaruh koper itu di dekatnya. Dia merasa tak enak sudah merepotkan teman sejawatnya itu.

Si lelaki melirik arloji: pukul 23.03. “Besok, kan, ada kunjungan Menteri. Kamu lupa?”

“Oh ... iya juga, ya.” Renata menyengir.

“Aku duluan.” Si lelaki menepuk kecil lengan Renata, kemudian beranjak menuju pintu pengemudi mobilnya.

Thanks, ya! Hati-hati di jalan!” Renata sedikit berteriak, memastikan si lelaki mendengarnya.

Lelaki yang tengah membuka pintu mobil itu bergeming. Dia menatap Renata, kemudian tersenyum kecil. “Harusnya kamu yang hati-hati di sini. Ingat, kalau rasanya ada yang tidak beres, kabari aku.”

“Siap, laksanakan!” sahut Renata sambil membuat gestur hormat ala militer.

Pintu mobil tertutup. Mesin menyala. Sengir dan lambaian tangan Renata menjadi pemandangan si lelaki sebelum mobilnya melaju meninggalkan tempat itu.

Renata bersedekap sambil tangan kanannya mengusap-usap lengan kiri. Hawa terasa semakin sejuk. Sehabis menjinjing koper, dia berbalik badan. Tampaklah bangunan empat lantai yang kelihatan sudah berumur dan usang. Maklum, cuma ada hotel bintang tiga ke bawah di Kabupaten ini. Dan yang di depannya sekarang, katanya, adalah hotel bintang tiga. Apa benar begitu? Renata tak bisa percaya.

Lobi hotel itu tidak begitu luas, apalagi indah. Keramik di lantainya banyak yang sudah pecah. Cat di dindingnya pun tak mau kalah; kotor, kusam, tak terurus. Ditambah lagi, dari tidak adanya kendaraan yang parkir di depan tadi, bisa dipastikan tidak ada yang menginap di tempat suram ini selain dia.

Seandainya hotel ini bukan satu-satunya yang terdekat dari alamat di foto itu, takkan pernah mau Renata menginap di tempat seperti ini.

Kring ... Kring ....

Bunyi bel yang diketuk Renata itu membuat si resepsionis terperanjat. Hampir-hampir lelaki itu jatuh dari kursinya. Dia pun berdeham seketika, menahan malu.

“Selamat Malam.” Senyum merekah di wajah setengah sadar lelaki itu. Senyuman yang dipaksakan, menurut Renata. “Ada yang bisa saya bantu, Kak?”

“Satu kamar single, untuk ... tiga malam.”

“Baik, Kak. Bisa pinjam KTP-nya?”

Renata segera menyerahkan KTP setelah mengambil kartu itu dari tas selempangnya.

“Mohon ditunggu.” Si resepsionis mengetik sesuatu sambil pandangannya bergantian ke layar monitor dan KTP Renata.

Tidak ada yang bisa Renata lakukan selain menunggu. Untuk itu, dia kembali memperhatikan sekeliling. Lobi ini, selain suram, ternyata juga berkesan seram. Lampu-lampu yang menyala seadanya, lukisan-lukisan tua yang bergelantung enggan hampir jatuh, belum lagi ... tunggu, APA ITU?

Sekonyong-konyong tengkuk Renata meremang. Dia yakin tidak salah lihat. Dia benar-benar yakin. Kalau tadi, dia sempat melihat siluet seseorang di ujung sana; di dekat tangga. Lalu tak sampai sedetik sebelum pandangannya kembali ke titik yang sama, siluet itu sekelabat menghilang. Entah ke mana.

"... Kak?!"

Renata menoleh, terkejut, dan diam. Rupanya itu sudah panggilan yang ketiga.

“Kamar 203 di lantai dua, ya, Kak.” Si resepsionis tersenyum canggung sambil menyerahkan kunci kamar dan KTP Renata. Setelah dua barang itu disambut Renata, lelaki itu berucap, “Terima kasih.” Namun tak dijawab Renata yang buru-buru menuju tangga dengan langkah besar.

Lelah, letih, sangat mengantuk. Itulah yang dirasakan Renata sekarang. Apalagi saat kakinya pertama kali melangkah masuk dan melihat ranjang yang tampak kurang nyaman itu. Ingin sekali dia langsung terjun dan terlelap di sana. Namun, satu tempat dalam pikirannya seakan menolak semua itu.

Renata masih cemas, atau lebih tepatnya, ketakutan setengah mati. Itulah sebabnya dia langsung membanting pintu, menguncinya, lalu tubuhnya memerosot sambil kedua tangan menutup mulut. Renata menahan napas. Air matanya mengucur cukup deras.

Dia begitu bukan karena melihat siluet di ujung dekat tangga tadi. Bukan, bukan itu. Namun sesuatu yang lebih ngeri daripada itu. Ada seseorang yang membuntutinya sejak dia tiba di ujung tangga tadi. Renata tak bisa memastikan dengan jelas orang itu. Yang dia tahu, lelaki itu berbadan tinggi besar, bersetelan serba hitam, bertopi, dan wajahnya tertutup masker.

Suasana mendadak begitu hening. Sampai-sampai jam dinding yang digantung cukup jauh dari tempat Renata bergeming terdengar jelas sekali. Dengan tubuh bergetar, perempuan itu mencoba bangkit. Pelan. Sebisa mungkin tak menimbulkan suara. Dia mengintip perlahan lewat lubang pintu.

DEG.

Jantung Renata memang berdetak kencang, tetapi apa yang dia takutkan sebenarnya tak terlihat. Sosok lelaki misterius itu tidak ada di depan kamarnya. Tubuhnya pun kembali memerosot. Namun kali ini dengan perasaan yang cukup lega. Setidaknya untuk sekarang, dia bisa mencoba istirahat. Walau tidak dengan tenang.

Renata berbaring telentang, menatap langit-langit. Dia tak bisa tidur. Sekeras apa pun dia mencoba memejamkan mata, di tengah tubuhnya yang sangat lelah pun, tetap saja dia tidak bisa terlelap. Ketakutan itu membuatnya kalut.

Bagaimana kalau saat tertidur, orang itu tiba-tiba datang? Bagaimana kalau saat tertidur, tiba-tiba saja tak bisa bangun lagi? Bagaimana kalau ... pandangan Renata tak sengaja menangkap jam dinding di hadapannya. Pukul 3.00 dini hari. Dia membelalak.

Suara langkah kaki terdengar. Pelan dan perlahan, seperti ada semacam ritme. Semakin lama, semakin terdengar jelas suara itu. Langkah kakinya semakin dekat. Lebih dekat lagi. Sunyi.

Tok ... tok ... tok ....

Renata mengerjap. Jantungnya seakan melompat keluar melalui mulut yang menganga lebar. Seketika dia bangkit, lalu bergerak cepat. Namun bukan ke arah pintu. Insting bertahan hidup Renata menuntunnya menjauh dari sana. Dia berjalan mundur. Punggungnya kini menyentuh jendela yang tertutup.

Ketukan berubah jadi gedoran. Nyaring bunyinya. Cepat intervalnya.

Panik. Renata melirik jendela di belakangnya dan pintu di ujung depan sana bergantian. Cepat, cepat, cepat. Dia merasa harus berpikir dengan cepat. Demi menyelamatkan diri.

Handel pintu ditekan dengan cepat berkali-kali. Gedoran itu masih berlanjut. Kali ini diselingi gebrakan.

Di antara lirikannya pada pintu dan jendela, Renata menangkap keberadaan ponsel di atas nakas. Sekelabat dia teringat pesan dari teman sejawatnya. Oh! Dengan tubuh masih bergetar hebat, sigap dia mengambil ponsel itu. Terburu-buru dia mencari nomor ponsel temannya itu. Ikon memanggil diketuk.

“Ayolah ... angkat, angkat teleponnya!” Renata bergumam resah.

Sementara gebrakan pada pintu itu semakin menjadi-jadi, suara operator selular seakan menohok keras jantungnya. Renata mencoba lagi. Kali kedua, ketiga, keempat, masih tak tersambung. Lalu ... pintu terbuka lebar.

Ponsel itu meluncur deras ke lantai. Mata terbelalak itu kembali menyaksikan pemandangan ngeri. Begitu jelas kali ini. Lelaki tinggi besar itu, setelan serba hitam itu, topi dan masker itu. Langkahnya mendekat. Masih pelan dan perlahan, penuh akan ritme.

Renata bergeming. Cemas, resah, takut. Semuanya berkecamuk jadi satu. Otaknya tak dapat lagi berpikir logis. Dia harus segera mengambil keputusan. Cepat. Apa pun itu. Karena setiap detik yang berjalan saat ini akan menentukan nasibnya kelak. Dan keputusan yang akhirnya dia ambil adalah: JENDELA.

Perempuan itu tak memperhatikan langkah si lelaki yang terhenti saat tangannya sibuk membuka jendela yang terkunci. Tanpa menoleh ke belakang, Renata terjun bebas. Dalam hatinya, dia berharap tubuhnya cukup kuat untuk menahan empasan, sehingga bisa kabur dari sini walau terpincang-pincang.

Namun, harapan itu hanya sekadar sugesti. Nyatanya, saat tubuh Renata mencium bumi, perempuan itu terkulai lemas dan tak bisa bangun lagi. Lalu tak lama setelah itu, sebelum pandangannya benar-benar gelap, hal yang terakhir dia lihat adalah kaki seorang lelaki.

***

Ruangan kecil temaram itu masih mengesankan rasa muram. Bahkan lebih muram dari sebelumnya. Bercak-bercak darah di lantai yang belum mengering seakan memperjelas kemuraman itu. Alat-alat bedah tua masih bersemayam nikmat di meja troli kecil, tepat di samping ranjang.

Renata, di antara sadar dan tidak, terbaring lesu tak berdaya di ranjang itu. Sekujur badannya remuk, tak bisa digerakkan. Alam bawah sadarnya seperti mendayu-dayu dalam sunyi. Berkelana kembali pada suatu memori indah.

Seseorang yang muncul dalam ingatannya adalah lelaki itu. Sosok yang selalu ada untuknya. Sosok yang rela mengantarnya pergi puluhan kilometer hanya untuk berakhir mengenaskan. Di antara tetes demi tetes air mata itu, Renata menyesal. Seharusnya dia tidak nekat pergi sendirian ke tempat sial ini.

Lalu, sekonyong-konyong ingatan itu lenyap. Pemandangan yang kini Renata lihat adalah ruang temaram yang muram dan menyedihkan, juga menakutkan baginya. Sayup-sayup dia bisa mendengar dua orang berbicara. Omongan tentang organ, pembeli, pasar gelap, dan entah apalagi, dia tak paham maksudnya. Yang bisa dia pahami sekarang hanyalah: pasti ini akhir hidupnya.

Dia sudah tak sanggup lagi. Kedua matanya begitu berat. Pernapasannya begitu pelan dan dipaksakan. Namun seketika, di dalam keputusasaan itu, suara gaduh di luar sana memberinya secercah kekuatan. Deras air matanya mengucur, saat pandangan berkunangnya melihat lampu-lampu senter itu.

Renata selamat. Dan sosok yang terakhir kali dia lihat sebelum akhirnya tertidur lega adalah: lelaki yang sempat hadir dalam memori indahnya saat dia hampir menyerah.[]

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)