Cerpen
Disukai
2
Dilihat
3,003
Mata-Mata Menjijikkan
Thriller
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Orang-orang itu selalu melihatku dengan tatapan menjijikkan. Seakan mereka tahu rasanya menjadi orang sepertiku. Sialan, tahu apa mereka? Orang-orang macam mereka memangnya punya hak melihatku seperti itu. Tidak! Mereka itu cuma sampah. Sedangkan aku, biar sekarang hidup begini, aku itu dulunya orang kaya, orang yang punya kuasa.

Dibandingkan aku yang disegani dan berpengaruh, mereka hanya orang udik dan kampungan—dengan mata yang menjijikkan! Ya, aku tidak akan pernah puas mengatakan betapa jijiknya aku dengan mata-mata itu. Tidak akan pernah. Untuk itu, mereka pantas mati. Hilang dari sini, hilang dari pandanganku.

Bukan tanpa sebab kusebut diriku orang yang punya kuasa. Diusiaku yang masih tergolong muda, aku sudah menjadi Kepala Dinas di salah satu instansi pemerintahan—aku tak ingin menyebut nama instansinya, itu hanya akan menambah kemarahanku.

Sudah banyak anak-anak muda—baik saudara-saudaraku maupun yang tinggal di daerah rumahku—yang sudah kubantu mendapatkan kerja di berbagai instansi pemerintahan. Di mata orang-orang, aku ini adalah tokoh masyarakat yang dermawan dan bijak.

Namun, kehidupanku berputar seratus depalan puluh derajat ketika insiden keparat itu. Aku terjerat kasus penyelewengan anggaran. Tidak besar, hanya lima ratus juta, tetapi tetap saja aku harus membusuk di penjara selama lima tahun.

Segalanya dalam hidupku pun menjelma jadi suram. Tidak berselang lama setelah aku dijebloskan ke penjara, istriku yang menawan meninggalkanku demi lelaki lain. Yang lebih parah, dia dengan gamblangnya melarangku bertemu dengan anakku satu-satunya.

Karena segala kesialan itulah, setelah akhirnya bebas, aku terpaksa tinggal sendirian di rumah susun tua berlantai tiga, di kawasan pinggiran kota yang kumuh. Satu lantai bagunan ini terdapat enam ruangan yang disewakan. Ruanganku sendiri berada di lantai tiga—nomor delapan belas, paling ujung dari tangga. Begitu pula dengan lima orang yang kusinggung sebelumnya.

Karena ruanganku berada di paling ujung, jadinya aku harus melewati ruangan-ruangan mereka terlebih dahulu. Hal itulah yang membuatku semakin merasa kesal. Setiap harinya, mau tidak mau aku harus melihat mata-mata sialan itu. Setiap hari. Bayangkan.

Kurasa, takkan ada orang yang tahan jika harus melihat mata-mata busuk itu setiap hari. Apalagi aku. Semakin lama, aku semakin tak tahan melihatnya. Dari yang awalnya hanya kesal, lama kelamaan menumpuk menjadi amarah, dan akhirnya menjadi dendam kesumat. Sialan, aku harus cepat-cepat menyingkirkan mereka dari pandanganku.

Biar kuberitahu tentang lima orang bermata menjijikkan itu. Orang pertama—penghuni ruangan nomor 13—adalah pemuda tanggung berbadan kurus. Wajahnya tirus dengan hidung mancung yang sedikit bengkok—mungkin pernah dipukul dengan keras.

Orang kedua, pria paruh baya bertampang menyebalkan yang tinggal di ruangan nomor 14. Seluruh rambutnya sudah beruban meski usianya mungkin tak terpaut jauh dariku. Dia selalu memakai kacamata berlensa setebal pantat botol. Tapi, aku yakin pria itu bukanlah orang pintar. Dia hanya terlihat sok pintar dengan bacaannya yang tak kalah menyebalkan; majalah politik.

Orang yang tinggal di ruangan nomor 15 adalah lelaki yang lebih tua dari penghuni nomor 13. Perawakannya juga tak kalah kurus. Seluruh badannya penuh dengan tato—aku pernah melihatnya karena dia sering keluar tanpa baju. Rambutnya tergerai panjang. Kulihat dari gayanya yang setiap hari memikul gitar, aku yakin dia pasti musisi tak jadikasihan!

Ada juga lelaki berusia kisaran awal 30-an yang berbadan tegap, penghuni ruangan nomor 16. Bentuk kepalanya bulat, cocok dengan rambutnya yang tak tumbuh itu. Jika dilihat lebih saksama, dia itu mirip bouncer klub-klub malam di pusat kota.

Namun, dari kelimanya, yang paling ingin kusingkirkan adalah yang satu ini, penghuni ruangan di sebelahku—nomor tujuh belas. Wajah lelaki itu terlihat sama persis denganku. Baik dari rahangnya yang pepat, hidungnya yang mancung, hingga mulut bagian bawahnya yang tebal, semuanya sama.

Perawakan orang itu pun juga mirip denganku. Badannya lebar dengan perut buncit karena faktor usia. Bahkan, gayanya berjalan pun juga sama—aku tahu itu saat tak sengaja berjalan di belakangnya. Akan tetapi, selama aku tinggal di sini, tak pernah sekali pun aku mendengarnya bicara. Yang sering kulihat adalah wajahnya yang selalu masam. Kurasa, cuma itulah yang menjadi pembeda antara kami berdua.

Selama hampir lima puluh tahun aku hidup, baru kali ini aku menemui orang yang wajahnya, bahkan seluruh tubuh hingga gaya berjalannya, sama persis denganku. Aku yakin kalau dia hanyalah orang iseng yang meniruku. Memang, aku ini dulunya adalah orang kaya yang disegani dan berpengaruh. Tapi, untuk apa dia sampai meniruku seperti itu? Dasar kurang kerjaan.

Kelima lelaki itu memang mempunyai sifat dan karakter yang berbeda-beda. Namun, ada satu kesamaan yang belum lama ini kuketahui: mereka semua sangat suka minum-minum. Maka kususunlah sebuah rencana untuk menyingkirkan mereka sekaligus.

Rencana ini sampai memakan waktuku selama satu minggu hanya untuk memikirkannya saja, dan satu minggu lagi untuk mempersiapkannya. Dan sekarang, semuanya sudah tersusun dengan sangat rapi dan mantap. Rencanaku ini sungguh brilian. Aku sampai tak berhenti terkekeh girang saat berpikir akan keberhasilan rencanaku. Sialan, aku memang seorang genius!

Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Pagi-pagi sekali, dengan susah payah aku memasang wajah ramah saat memberikan secara langsung kertas undangan pesta—aku berbohong mengenai ulang tahunku—kepada empat lelaki pemilik mata menjijikkan itu. Khusus untuk si peniru sialan, aku sengaja hanya melempar undangannya dari celah bawah pintu masuk kamarnya.

Awalnya mereka terlihat ragu. Tetapi, saat kuberi iming-iming “minuman mahal”, tanpa pikir panjang dan rasa curiga sedikit pun, orang-orang bodoh itu langsung saja mengiakan. Untuk sekarang, rencanaku berjalan dengan sangat lancar.

Di ruanganku, aku sudah menyiapkan berbagai makanan ringan yang bisa kubeli dengan uang seadanya. Khusus minuman, aku sengaja menyiapkan wiski dan wine terbaik yang ada di kota. Semua kulakukan hanya untuk memeriahkan momen istimewa ini.

Dari yang kuamati, mereka semua punya kesukaan yang sama saat menikmati miras: diminum dengan es batu. Informasi tak penting itu justru memudahkan rencana brilianku. Kurasa, dewi fortuna sedang tersenyum lebar padaku sekarang.

Satu hari sebelumnya aku sudah menyiapkan es batu buatan sendiri. Aku memasukkan air putih ke dalam plastik bening, kemudian kucampur dengan cairan pelumpuh—aku membelinya di pasar gelap, rekomendasi dari kenalanku saat berada di penjara—sebelum membekukannya dalam kulkas.

Cairan yang kugunakan termasuk barang kelas atas. Tanpa warna, tanpa bau. Tidak sia-sia aku nyaris menghabiskan tabunganku hanya untuk benda cair menakjubkan itu. Sebenarnya, pasar gelap yang kudatangi juga menjual berbagai macam racun. Mulai dari yang berdampak kematian instan, hingga yang bekerja perlahan—menyiksa terlebih dahulu.

Namun, aku tak ingin membunuh mereka dengan cara seorang pecundang. Kematian yang kudambakan jauh lebih hebat dari itu. Setelah mereka mulai lumpuh, sebelum leher mereka kugorok, akan kucungkil dahulu mata-mata menjijikkan itu.

Malam pun tiba. Sekitar pukul dua belas kurang, satu per satu dari mereka tiba, tak terkecuali si peniru sialan itu. Aku mencoba menahan wajah muakku supaya tak menimbulkan kecurigaan. Sebagai gantinya, aku justru melempar senyum hangat kepada para tamu yang datang. Dengan tenang aku mempersilakan mereka duduk di sofa abu-abu depan televisi.

Semua makanan dan minuman sudah kususun sedemikian rupa di atas meja kopi. Es-es juga sudah aku pecahkan, dan kutaruh di dalam mangkuk besar. Karena sofaku hanya ada tiga—satu sofa panjang, dan dua sofa tunggal, aku mengambil kursi lain di dekat meja makan untuk tempatku duduk.

Kumulai acara ini dengan mengucapkan rasa terima kasih palsuku kepada semua yang sudah datang. Kemudian, kulanjutkan dengan berbagai pertanyaan basa-basi lainnya.

Aku mengamati satu-satu mata menjijikkan yang tampak berbinar itu. Gejolak kebahagiaan dalam jiwaku terus berpacu. Cepatlah, cepatlah diminum! Aku menyembunyikan seringai lebar saat mereka tengah asyik menuang wiski ataupun wine ke dalam gelas berisi es batu.

Keempat orang itu memang kampungan dan bodoh. Melihat “minuman mahal” segitu saja langsung hilang akal sehatnya. Kegembiraanku meledak-ledak saat mereka dengan rakusnya menyesap miras itu berkali-kali. Sial, hampir saja aku terbawa emosi dan terkekeh melihat tingkah bodoh mereka. Untung saja pikiranku masih mantap, jadi aku bisa menahan gejolak kesenangan ini.

Nah, sekarang tinggal menunggu cairan pelumpuh itu bereaksi. Kata penjualnya sekitar sepuluh sampai dua puluh menit. Reaksinya memang lama, tetapi semua itu terbayar impas dengan melihat efeknya—bisa bertahan hingga enam jam! Waktu segitu lebih dari cukup untuk sekadar menggorok dan mencungkil mata mereka satu per satu.

Untuk mencairkan suasana—sambil menunggu reaksi cairan pelumpuh, aku semakin banyak bicara. Tujuannya agar orang-orang bodoh itu tak cepat bosan dan pulang begitu saja. Kami mengobrol ini-itu, mulai dari hal-hal ringan yang umum, hingga menjurus ke berbagai bidang tertentu. Sesekali kami juga bersenda gurau, lalu tertawa bersama.

Namun, rasa senangku sedikit ambruk saat melirik satu orang itu—orang yang paling ingin aku singkirkan—masih bergeming. Sialan. Peniru keparat yang merepotkan! Apanya yang susah dari sekadar menuang miras dan meneguknya?

Melihat itu, otakku tak kehilangan akal. Agar lebih meyakinkan, sekaligus memancing agar peniru itu ikut minum, aku juga menuang wiski ke dalam gelas, tapi tanpa es batu di dalamnya. Sialnya, peniru itu juga tak memasukkan es batu ke dalam gelasnya. Tingkahnya itu semakin membuatku jengkel.

Aku tak seceroboh yang dia pikirkan. Untuk melihat reaksi orang itu selanjutnya, aku meneguk wiski di tanganku. Perkiraanku benar, dia juga meneguknya tepat setelah aku. Sial, orang ini bukan hanya meniru wajah dan tubuhku, tapi juga pergerakanku.

Aku kembali memutar otak. Mencari cara supaya peniru itu bisa menelan es batu yang mengandung cairan pelumpuh. Aku terus menyesap wiski sambil tatapanku tak terlepas dari wajah masam si peniru menyedihkan. Sekali aku meneguk, dia juga ikut meneguk. Begitu pula selanjutnya. Dan selanjutnya. Tak terasa, sekarang sudah hampir pukul dua pagi. Sial, peniru itu sama kuatnya denganku. Dia belum juga mabuk.

Kuperhatikan empat orang lainnya. Mereka sudah mabuk bercampur lumpuh. Menyedihkan! Aku tak lagi menahan emosiku kali ini karena hanya ada aku dan si peniru itu yang masih sadar.

Gelak tawa kulemparkan sekeras-kerasnya, sambil terus menyesap minuman di tanganku. Lama dan semakin lama, pikiranku sudah mulai hilang kejernihannya. Agaknya, aku sudah sedikit mabuk. Namun, orang itu—masih dengan muka masam, dia tampak baik-baik saja. Sial, aku kalah kuat ternyata.

Saat sudah mulai mabuk begini, biasanya nyaliku jadi semakin besar. Aku tak lagi mengenal takut. Memang, sejatinya aku ini tak pernah takut dengan siapa pun, apalagi peniru sialan itu. Kalau sudah begini, lebih baik kulenyapkan saja dia sekarang.

Aku meletak gelas ke atas meja, peniru itu juga ikut meletak gelasnya. Tapi saat aku mulai berdiri, dia malah kembali bergeming layaknya tak bernyawa. Kutelusuri matanya yang dari tadi selalu kuelakkan. Amarahku langsung memuncak dibuatnya. Benar-benar mata menjijikkan!

Segera aku menuju dapur, mengambil sebilah pisau yang sudah kusiapkan sebelumnya, lalu tak sengaja terlihat refleksi wajahku sendiri dari badan pisau itu.

Sekonyong-konyong aku terperanjat. Pisau yang kupegang terjatuh. Mataku, mataku sama menjijikkannya dengan mereka!—Bajingan! Aku tak tahan lagi. Mereka semua harus mati saat ini juga. Terutama orang itu, peniru sialan itu!

Buru-buru aku mengambil pisau yang kujatuhkan, kemudian dengan cepat menuju orang yang kumaksud. Tanganku yang memegang pisau menodong lehernya. Kucengkeram kerah baju lelaki itu, memaksanya berdiri.

Dia masih tetap bergeming. Wajahnya masih terlihat masam. Amarahku semakin menjadi-jadi. Aku memelototi peniru bermata menjijikkan itu, lalu tanpa pikir panjang, kutikam sebelah matanya dengan kuat. Semburan darah mengucur dari sana. Sekelabat aku menjerit. Darah segar juga mengucur dari sebelah mataku!

Aku meringkuk. Susah payah aku menahan rasa nyeri yang terlalu menusuk. Kuteriakkan kata-kata makian sekencang-kencangnya. Agak lama aku begitu, hingga akhirnya aku tak lagi peduli. Keinginanku untuk segera melenyapkan empunya mata-mata menjijikkan itu lebih besar dari segala sakit yang kurasakan.

Aku kembali berdiri, kulihat pisau itu masih tertancap di mata si peniru. Anehnya, orang itu masih berdiri mematung. Aku tak habis pikir, orang macam apa dia? Kutarik pisau yang tertancap itu. Rasa ngilu dengan cepat menjalar ke seluruh badanku. Menusuk-nusuk hingga ke tulang. Tapi itu tak membuatku gentar. Dengan kekuatan yang tersisa, kupererat genggamanku. Jika tadi mata, kali ini akan kutusuk lehernya!

Ketenanganku kembali. Tidak ada lagi keraguan barang sedikit pun. Mati! Mati! Mati! Hanya kata itu yang ada di otakku sekarang. Aku pun menyeringai lebar. Mataku memelotot. Aku merasa teramat senang saat akan melakukannya.

Kembali kucengkeram kerah baju lelaki itu. Kuangkat tanganku—mengambil ancang-ancang, lalu kutusuk lehernya kuat-kuat. Tusukan itu sangat dalam. Aku sampai dapat merasakan tulangnya di ujung pisau. Begitu pula dengan tulang leherku!

Aku mengerang. Tanganku memegang leher yang tak henti-hentinya mengeluarkan darah. Napasku perlahan hilang. Badanku ambruk detik itu juga. Rupanya aku membunuh diriku sendiri.[]

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)