Masukan nama pengguna
Aku bisa mendengar denyut nadiku, meski di tengah gemuruh sesak napas yang menggebu. Satu kakiku yang berlubang dengan darah mengucur ini panas rasanya, lemas bukan kepalang.
Sudah cukup lama aku melarikan diri, terseok-seok tanpa arah, tanpa tahu akan waktu yang sudah terlewati. Masihlah aku bertekad agar lolos dari cengkeraman mereka. Mereka yang bukan orang-orang jahat. Mereka yang sudah tugasnya memburu orang-orang sepertiku.
Ah, betapa malunya aku mengakui akan berdosanya diriku. Bekas darah di tangan yang gemetar ini takkan pernah lagi bisa pudar, apalagi menghilang. Sebanyak apapun air untuk mencucinya, sekeras apapun aku berusaha melakukannya.
Kondisi badanku semakin melemah. Dingin di sini, di hutan kelam ini, tapi entah kenapa hanya hawa panas yang bisa kurasakan. Mungkin panas itu asalnya dari neraka, tempat penuh siksa yang akan menyambutku dengan gembira. Pandanganku juga sudah mulai memburam. Gubuk reyot di sana pun terlihat bagai cakar yang siap mencabik tubuhku kapan saja.
Ah, mati mungkin lebih indah, daripada harus tersiksa dan membusuk di penjara. Kulihat sekali lagi gubuk yang semakin lama membuatku semakin kecut. Namun karena itulah aku tersadar, di sanalah tempat yang sempurna untuk mengakhiri kenistaan hidup ini. Kenistaan hidup seorang pembunuh.
Engsel berkarat pintu kayu sang gubuk menimbulkan derit yang nyaring. Deritan itu terdengar jauh lebih nyaring saat aku menutupnya. Aku duduk lemah di salah satu sudut, berselonjor. Kusobek bagian bawah bajuku untuk membalut bekas luka tembak di kaki, mengikatnya erat agar darah tak dapat lagi mengucur.
Memang, sejenak tadi aku berpikir kalau mati itu akan lebih indah. Namun kenyataannya, aku memang tak ingin hal mengerikan itu terjadi. Masih ada hal yang perlu kusampaikan pada orang terkasih; ibu yang susah payah melahirkan dan membesarkanku. Ibu yang bahkan tidak tahu kenyataan akan anaknya yang adalah orang paling nista di muka bumi.
Saat kuingat lagi senyuman tak berdosanya saat dahulu melihatku, air mata ini mengalir begitu deras. Aku rindu sosok renta itu, rindu sekali. Kalau boleh aku mengakuinya, alasanku melakukan hal bejat ini adalah demi menyenangkan dia. Sudah cukup lama ibu menderita oleh kejamnya bajingan pemabuk yang mengaku sebagai ayah itu. Sosok yang sampai saat terakhir hidupnya pun tak mencerminkan figur layaknya pemimpin keluarga.
Aku membunuh bukan tanpa alasan. Bukan pula aku menganggap kalau itu menyenangkan. Aku bukan orang segila itu. Kalau boleh aku mengakuinya, lagi, aku membunuh itu karena terpaksa. Meski kubenci mengakuinya, tapi aku ini perampok, bukan pembunuh. Aku berani sumpah kalau aku bukan murni seorang pembunuh!
Mengingat lagi saat-saat itu membuatku tersenyum getir. Sial benar rasanya. Di setiap aku melancarkan aksi merampok itu, pasti selalu jatuh korban jiwa. Mengapa mereka tak merelakan saja harta itu daripada akhirnya berujung mati? Kaum hedonis busuk. Mereka kira harta itu bisa berguna di neraka? Tentu saja tidak. Yang ada, kalian juga akan kubunuh di neraka!
Sekelabat, suara angin menyerbu temaram sang malam. Bisa kulihat pohon-pohon itu bergoyang dari jendela tak bertutup yang menghadirkan hawa sejuk nan terasa panas di dada. Bersamaan dengan gemuruh yang meraung, pintu pun berderit garang.
Sekejap kilat menerangi sekitar, lalu remang lagi. Satu kali, dua kali. Terang lagi lalu remang kembali. Kilat ketiga menyergap. Aku tersentak.
“Siapa di sana?!”
***
Sudah lama tak kutemukan orang yang begitu gigih. Kuyakin kalau timah panas yang kutembakkan tadi sudah bersarang di kaki kanannya, tetapi tetap saja si pembunuh itu berusaha untuk lolos.
Sudah hampir dua minggu orang itu jadi buruan kami, unit Jatanras, dengan tuduhan pencurian dengan kekerasan atau curas. Namun kenyataannya, tindakan orang itu bukan sekadar kekerasan semata. Dari empat aksi si pelaku, korban-korbannya tak ada lagi yang bernyawa. Semuanya terbunuh.
Aku menepis lamunan itu setelah tampak mobil si pelaku yang terparkir seadanya di pinggir jalan. Tak jauh dari mobil itu adalah area hutan rimbun yang sekelilingnya berselimut rawa-rawa. Daerah sini begitu sepi, bahkan tak tampak lagi lampu jalan setelah yang tadi terlewat—sekitar lima ratus meter ke belakang.
Tak lama setelah mobil kami terparkir, aku keluar, diikuti satu rekanku. Aku mengangkat tangan kiri yang memegang senter setelah cukup dekat dengan mobil si pelaku. Cukup lama aku menelisik hingga yakin kalau tidak ada lagi hal yang penting. Sementara satu rekanku tadi sibuk mengamati area hutan dan rawa, si pengemudi berjalan ke sini.
“Ndan!” panggil yang ada di dekat rawa, si lelaki berewok.
Sontak si pengemudi beralih menuju suara itu. Aku menyusulnya. Ternyata si berewok menemui jalan setapak di antara rawa-rawa. Kami bertiga yakin kalau si pelaku pasti melarikan diri lewat sini. Keyakinan itu didukung dengan adanya bercak-bercak kecil darah di sepanjang jalannya.
Setelah masing-masing mengecek amunisi, kami berjalan siaga sambil menggenggam pistol, juga senter sebagai penerang.
Semakin dalam kami menelusuri hutan ini, anehnya, semakin panas pula hawa yang terasa. Naluri bertahan hidupku berkata kalau ada yang tidak beres di sini. Namun, intuisi polisiku berkata lain. Kami harus menangkap pembunuh itu, seberbahaya apa pun situasinya.
Aku memberi isyarat tangan untuk berhenti setelah tampak—sekitar sepuluh meter—satu gubuk reyot yang hampir roboh. Setelah itu, aku menginstruksikan kedua anggotaku untuk mengecek parameter sekitar tempat itu.
Sementara mereka berpencar di area sekeliling gubuk, dengan waspada aku melangkah pelan menuju pintunya yang sedikit terbuka. Sengaja aku memilih untuk mengintip lewat jendela tanpa penutup sebelum membuka pintunya. Samar-samar tampak siluet terbujur di sudut sana.
“Argh!”
Itu erangan. Cukup keras hingga bisa dibilang teriakan. Sigap aku menyodorkan pistol tepat ke arah suara itu, sebelum berlari kecil ke sana. Tidak salah lagi, itu suara si pengemudi. Pemandangan yang kutemui saat ini membuatku mendadak mual.
Aku tak menyangka situasinya akan separah ini, sampai menimbulkan korban jiwa. Akan tetapi, di luar itu, yang membuatku tak habis pikir adalah kenyataan bahwa tidak adanya tanda-tanda penyerangan. Baik di tubuh si pengemudi maupun di area sekitarnya.
“Sudah terlambat,” ucap si berewok setelah mengecek denyut nadinya. “Bagaimana, Ndan?”
Agak lama aku bergeming, menimbang-nimbang. Lalu kuputuskan berkata, “Kita lanjutkan,” setelah memberi instruksi untuk menghubungi markas dan ambulans.
Aku dan si berewok melangkah siaga demi mengantisipasi kemungkinan terburuk. Kami menuju ke pintu gubuk itu dengan posisi saling melindungi sisi buta satu sama lain. Sekali lagi aku melirik lewat jendela itu dan menemukan pemandangan yang sama dengan sebelumnya.
Pintu kubuka pelan, sambil si berewok menyodorkan pistol dan senternya ke dalam gubuk. Satu per satu kami masuk, menelisik setiap sudut ruang kecil nan pengap ini.
Tidak ditemukannya tanda-tanda bahaya membuat keawasan si berewok mengendur, tetapi tidak denganku. Aku memberi isyarat padanya untuk menjaga area keluar-masuk, sementara aku memeriksa tubuh tak bernyawa yang perkiraanku adalah si pembunuh.
Terbelalak aku dibuatnya lantaran melihat tubuh yang tak dapat lagi dikenali. Sekujur tubuhnya begitu legam, layaknya habis dibakar api yang sangat panas sampai-sampai tak lagi bersisa pakaian barang sedikit saja. Apa-apaan?
Dor!
Suara nyaring itu seakan meremas jantungku. Suara yang diikuti erangan penuh kesakitan. Aku bangkit seketika sambil mengangkat pistol ke arah sumbernya. Tidak adanya siapa-siapa lagi di situ membuat nyaliku menciut.
Aku gemetaran. Hampir saja pistol yang kugenggam ini terjatuh, kalau saja tak berusaha kutahan. Aku menyesal. Kekhawatiranku saat pertama kali masuk ke hutan ini seperti menghantamku dengan keras.
Semaksimal mungkin aku mengumpulkan keberanian yang bercerai-berai entah ke mana, sebelum dengan tergesa mengejar suara si berewok yang semakin sayup terdengar. Namun sudah tak terlihat lagi batang hidungnya. Seketika, aku pun bergeming pasrah di bawah teror sang malam. Tubuh gentarku kian melemas, yakin hidup ini sudah tak lagi tertolong.
Kres, kres, kres ….
Gemerisik semak menyerbu malam redup cahaya bulan. Bisa kurasakan hawa menyengat dari gemuruh angkuh sang angin. Bersamaan dengan kilat sunyi yang sekelabat menyambar, kegelisahan ini tak lagi bisa tertahan.
Sekejap kilat menerangi sekitar, lalu cahaya redup bulan kembali mengambil alih. Satu kali, dua kali. Terang lagi lalu rembulan kian meredup. Kilat ketiga menyergap. Aku tersentak.
“Kau?!”
Semua menghitam.[]