Masukan nama pengguna
Satu
20 Januari 1966
Setelah rumah kami habis dibakar massa, kami pergi mengungsi ke sebuah kampung nelayan. Mas Har, aku, dua adikku, dan nini Sumi berjalan kaki sejauh puluhan kilometer. Sungguh, ini bukan perjalanan ringan untuk anak perempuan seusiaku yang belum genap duabelas tahun. Nini Sumi bilang rumah saudaranya dekat, hanya dua jam perjalanan. Kenyataannya, hampir setengah hari kami berjalan belum juga sampai.
Tapi mungkin bisa dimaklumi, karena beberapa kali kami mesti beristirahat di tengah jalan. Neni dan Tin, dua adikku yang masih kecil-kecil beberapa kali rewel. Mereka sebenarnya tidak terlalu capek, karena bergantian digendong nini Sumi dan Mas Har. Hanya saja cuaca panas di bawah terik matahari membuat mereka gerah. Mereka rewel minta makan dan beberapa kali menanyakan Ibu. Aku cuma bisa menggerutu.
Sungguh, aku masih belum mengerti kenapa semua ini harus terjadi. Begitu cepat semuanya berubah. Masih teringat jelas dalam ingatanku awal mula bencana itu datang. Pada tengah malam buta, tiba-tiba pintu rumah kami digedor keras. Semuanya jadi terbangun. Aku yang tidur di kamar bersama kedua kakak perempuanku ikut terjaga. Kami mengintip lewat tirai pintu. Dengan kedua mata setengah mengantuk aku melihat di ruang tengah ayah bercakap-cakap dengan beberapa orang berseragam yang membawa senapan.
Aku tercekat kaget. Aku baru sadar kalau mereka tentara. Sebenarnya tak terlalu aneh melihat tentara bertamu di rumah kami. Sebagai pejabat kabupaten ayahku memiliki banyak kenalan dari berbagai kalangan, tak sedikit dari mereka yang berseragam militer. Tapi yang tidak biasa, mereka datang pada tengah malam, membawa senapan, dan berbicara tanpa duduk di kursi. Ketegangan tersirat di wajah mereka. Aku tak begitu jelas mendengar apa yang mereka bicarakan. Namun dari ekspresi wajah Ibu yang tampak sedih saat mendampingi ayah, aku tahu ada hal buruk telah terjadi. Ayah kemudian pergi bersama para tamunya diiringi pandangan mata Ibu yang rebak oleh air mata.
Malam itu juga Ibu membangunkan kami semua yang sebenarnya sudah terbangun. Dengan suara gemetar diliputi kecemasan ibu meminta kami semua mengemasi barang-barang. Kami diperintahkan untuk segera pergi dari rumah. Keempat kakakku yang sudah dewasa sepertinya mengerti apa yang telah terjadi, mereka pun tak banyak bertanya dan segera mengemasi barang-barangnya. Sementara aku masih dibuat bingung dan tak mengerti.
“Ada apa sebenarnya? Kenapa kita harus pergi dari rumah?” Pertanyaan polosku tak mendapat tanggapan saudara-saudaraku. Ibu yang kemudian memberitahu.
“Tidak ada apa-apa, Nis. Kita memang harus segera pindah. Demi keselamatan kita semua. Kamu nanti ikut ke rumah saudara nini Sumi. Sama kakakmu Har, Neni, dan Tin. Untuk sementara kita akan berpisah. Kamu bantu jaga adik-adikmu,” kata Ibu dengan suara sengaja ditekan dalam agar tak kentara kecemasan yang sedang melanda hatinya.
“Lalu, Ibu sendiri mau ke mana? Ayah tadi mau ke mana?”
“Ayah ada keperluan penting sebentar. Ibu akan ke rumah nenek di Wangon bersama adik bayi. Nanti Mbak Rum dan Mbak Sari yang menemani Ibu. Sedang Mas Budi akan menyusul Mas Ruslan di Semarang!”
“Apakah ayah akan dipenjara, Bu?”
Ibu tidak menjawab, hanya menggigit bibir. Kulihat wajahnya terlihat lebih tua. Padahal usia ibuku terbilang masih cukup muda. Ia menikah pada usia enambelas tahun, dan selama duapuluhlima tahun perkawinannya telah menghasilkan sembilan anak, ditambah lagi satu anak yang masih dalam perutnya yang baru berusia empat bulan. Kelak, aku akan mengenangnya sebagai perempuan luar biasa yang tiada bandingannya.
Tak terbayangkan, ada seorang ibu dengan beban sepuluh anak yang semuanya bergantung padanya. Padahal ia cuma perempuan biasa, tak berpendidikan, dan sederhana. Tapi dengan kekuatan kelembutan dan kasih sayangnya, beliau mampu mengayomi semua anak-anaknya. Bahkan ketika kemudian sang suami tak pernah kembali lagi. Seorang diri ia berjibaku menghidupi anak-anaknya yang masih kecil. Ia tegar bagai karang di tengah lautan, kuat bak baja tak tembus peluru. Tak pernah terdengar keluh dan penyesalan dari bibirnya.
“Sudah, Nis! Tidak usah banyak tanya! Ayo, cepet beresin barang-barangmu. Jangan ganggu ibu!” tukas Mas Har dengan nada keras, setengah menghardikku.
Aku mencemberutkan bibir. Ibu seperti bisa membaca perasaanku. Beliau ganti menegur Mas Har. “Kamu jangan keras begitu sama adikmu, Har. Ingat, kamu yang lebih tua dan lebih dewasa. Bimbing dan jaga adik-adikmu!”
“Ya, Bu,” jawab Mas Har seraya menundukkan kepala. Ucapan Ibu mampu melunakkan hati remaja limabelas tahun itu. Ibu lalu kembali beralih padaku.
“Dengar baik-baik, Nak. Kita tidak tahu, apa yang terjadi pada ayah. Kita berdoa saja semua akan baik-baik saja. Nanti kalau keadaan sudah cukup aman kita akan berkumpul lagi seperti sedia kala. Kamu yang kuat. Ibu yakin kamu bisa jaga diri dan melindungi adik-adikmu. Ibu sayang kamu!” ucap Ibu jujur, lalu memelukku erat.
Bisa kurasakan gemuruh dalam dada Ibu. Saat itu aku mungkin belum bisa membaca perasaan orang, tapi aku sangat yakin ibu teramat sedih harus berpisah dengan anak-anaknya. Beliau takut kehilangan kami. Tapi sekali lagi Ibu pandai menyimpan perasaannya. Ia berusaha tersenyum untuk memberi kekuatan pada diriku. Sementara aku sudah tak kuasa menahan jatuhnya air mata.
Akhirnya, Ibu dan kakak-kakakku yang lain harus berangkat lebih dulu meninggalkan rumah malam itu. Sementara aku dan yang lain akan menunggu hari lebih terang. Karena kedua adikku yang masih kecil juga belum bangun. Kasihan mereka jika harus dipaksa pergi di tengah gelap malam. Aku sempat menangis di depan pintu saat memandangi bayangan Ibu dan kakak-kakaku perlahan lenyap di balik pekatnya malam. Nini Sumi yang kemudian menghibur kesedihanku dan membimbingku ke dalam. Pembantu setia keluarga kami itu sudah kami anggap seperti ibu kedua.
*****
Ketika hari mulai beranjak terang, neraka itu pun hadir. Baru saja kami selesai berkemas, tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti gelombang bah datang menggulung pantai. Suara cemprang kaca jendela pecah dan derak genting retak karena lemparan batu membuat kami yang ada di dalam tersentak kaget. Nini Sumi segera memerintahkan kami keluar dari rumah melalui pintu belakang. Kami berlarian keluar dengan perasaan takut dan panik bukan main.
Saat kami sudah berada di luar rumah, barulah aku bisa melihat kerumunan orang dalam jumlah tidak sedikit mengepung rumah kami. Dengan wajah beringas dan teriakan ganas mereka menyepahkan segala sumpah serapah.
“Dasar, Anjing komunis!”
“Enyah kau, hai antek iblis!”
“Keluarga najis! Atheis, tak bermoral!”
“Kami tak mau babi Marxis berdiam di kampung ini!”
“Ayo, kita bakar rumah ini!”
“Kita hancurkan anasir-anasir komunis sampai ke akar-akarnya!”
Bulu kudukku merinding mendengar teriakan mereka. Sungguh, aku tak mengerti politik. Aku masih terlalu kecil untuk bisa mencerna kejadian ini. Namun dari seruan-seruan mereka yang berbalut dengan rasa kebencian membuatku sadar bahwa mereka tidak suka pada keluarga kami, terutama ayahku. Bisa kubaca lentingan kemarahan dan permusuhan menghiasi jiwa mereka.
Padahal tak sedikit dari wajah-wajah mereka yang kukenal adalah tetangga dekat kami. Selama ini kami bersikap baik pada mereka, bahkan kedua orang tuaku tak segan memberi bantuan saat mereka sakit atau kesusahan. Meski menyandang pangkat, tapi ayahku bukan tergolong manusia feodal. Beliau lebih suka menempati rumahnya sendiri di tengah kampung dari pada tinggal di rumah dinas yang disediakan negara. Karena beliau ingin hidup wajar di tengah rakyat jelata.
Tapi sekarang, aku melihat semua dengan cepat berubah. Sikap orang-orang yang dulu begitu baik dan ramah kepada kami berbalik seratus delapanpuluh derajat. Mereka seperti sekelompok hewan buas yang baru saja dilepas dari kandang. Mereka menyebut ayahku anjing komunis, antek iblis, atheis, dan sebutan buruk lainnya. Aku menangis. Ayah yang begitu sayang, perhatian, baik, dan bertanggung jawab di mata kami itu disebut tak bertuhan dan antek iblis. Sungguh amat menyakitkan!
Aku tak sempat lagi menyaksikan keberingasan orang-orang itu karena tanganku keburu ditarik Mas Har. Kami bergegas pergi dari tempat itu. Tapi sempat kulihat mereka melempar obor yang masih menyala ke atap rumah kami. Tampak api merambat di beberapa bagian bangunan rumah. Ketika langkah kaki kami sudah cukup jauh dari kampung, aku menyaksikan di kejauhan gumpalan asap hitam membumbung ke langit. Aku yakin, asap itu berasal dari rumah kami yang mungkin sudah jadi abu!
*****
Akhirnya, menjelang petang kami telah sampai di rumah saudara nini Sumi. Rumah nelayan sederhana yang berada di dekat pantai. Deru ombak laut selatan terdengar bergemuruh disertai kesiur angin kencang. Udara terasa dingin meresap sampai ke dalam kulit. Saudara nini Sumi sepasang suami istri dengan dua orang anak yang masih kecil. Yang sulung seusia denganku, sementara si bungsu sepantaran Neni.
Mereka sempat terkejut melihat kedatangan kami. Maklumlah, mereka belum diberitahu sebelumnya. Tapi setelah nini Sumi menjelaskan maksud kedatangannya, mereka akhirnya mau menerima kami. Ruangan dalam rumah tidak terlalu luas. Tidak banyak perabotan di dalamnya kecuali kursi dan meja yang sudah reot. Lantai ruangan masih berupa tanah. Kami duduk berhimpitan di bale bambu kecil yang berada di sudut. Kami tidak tahu akan tidur di mana nanti.
Aku dan mas Har masih canggung berada di rumah orang. Apalagi tampang sang tuan rumah terlihat tidak begitu ramah. Mereka terus memandangi kami penuh selidik. Saat makan malam, aku dan mas Har tak berani makan banyak-banyak, karena dilirik istri tuan rumah. Sementara nini Sumi terlihat biasa saja. Dia meminta kami tidak usah sungkan. Usai makan malam, kami lalu tidur di lantai beralas tikar pandan. Berhimpitan seperti deretan ikan pindang.
Karena kelelahan setelah seharian berjalan kaki, kami bisa cepat tidur. Tapi pagi-pagi aku sudah terbangun. Aku mendengar suara orang bercakap-cakap di luar rumah di tengah guruh angin pantai. Kulihat nini Sumi tidak ada di sampingku. Ketiga saudaraku masih terlelap. Aku merangkak mendekati pintu, ingin tahu siapa yang sedang bercakap-cakap di luar. Kudengar suara nini Sumi dan si nelayan, adiknya. Mereka tampaknya sedang bersitegang.
“Pokoknya aku tak mau tahu, Yu. Kamu harus segera bawa mereka pergi dari rumahku!”
“Tolong, Mur. Beri kesempatan mereka berlindung barang beberapa hari. Nanti kalau ibu mereka sudah memberi kabar aku akan bawa mereka pulang. Kasihan mereka, Mur. Mereka masih kecil-kecil?”
“Tapi aku tidak mau mendapat masalah, Yu. Situasi sekarang sedang gawat. Di mana-mana terjadi pencidukan pada siapa saja yang punya kaitan dengan partai komunis. Jika para tetangga tahu aku menyembunyikan anak-anak gembong PKI, bisa runyam urusannya. Aku tak mau ikut dipenjara, Yu!”
“Mereka tidak akan tahu kalau tidak ada yang memberitahu. Jika ada yang bertanya, kamu bilang saja anak-anak itu keponakanmu. Apa salahnya kamu menolong mereka? Bukankah Mas Harjo sudah banyak menolong keluarga kita. Aku, kamu, dan saudara kita yang lain pernah merasakan kebaikan Mas Harjo…”
“Ya, tapi keadaannya sekarang lain, Yu. Aku sebenarnya tak keberatan menolong mereka, tapi aku juga tak mau mencelakakan keluargaku sendiri. Sebaiknya mbakyu bawa mereka ke tempat lain!”
“Bawa ke mana lagi, Mur? Aku tak tahu harus ke mana membawa mereka…?”
“Ya, terserah mau dibawa ke mana. Yang penting jangan di sini!”
Aku duduk bersandar sambil memeluk kedua lutut. Mataku yang merebak panas sudah tak kuasa menahan tumpahan air mata. Perih hati ini menghadapi kenyataan; diri kami tidak diterima di mana-mana. Sudah begitu hina dan rendahkah keluarga kami? Benak kecilku masih belum bisa menerima semua ini.
Dua
26 Januari 1966
Setelah kami berkelana di jalanan dan tidur di sembarang tempat –kadang di emperan toko, di mushola, atau di kolong jembatan—, akhirnya kami bisa juga berteduh di tempat nyaman. Sebuah kamar losmen dengan sewa murah. Meski ruangannya sempit, setidaknya cukup menghalangi kami dari serangan nyamuk dan hawa dingin pada malam hari.
Tak terbayangkan sebelumnya, kami yang selama ini tinggal di rumah besar dan hidup berkecukupan, kini menjadi gelandangan. Untunglah, nini Sumi masih memiliki sedikit bekal uang dan perhiasan untuk ditukar makanan. Sehingga kami tidak harus jadi pengemis. Pengorbanan perempuan limapuluhan berperawakan mungil itu sungguh amat besar. Ia menunjukkan kesetiaan dan pengabdian luar biasa pada keluarga majikan. Padahal majikannya sedang dalam keadaan terpuruk!
Ketika bekal uang sudah habis, nini Sumi pergi ke pasar pagi-pagi sekali. Sementara aku disuruh menjaga adik-adik. Menjelang siang, nini Sumi sudah kembali dengan sebungkus makanan yang kami santap bersama-sama. Pada tengah hari nini Sumi pergi lagi untuk mencarikan makan malam buat kami. Begitu setiap hari yang dilakukan nini Sumi. Sementara kami hanya berdiam di kamar seperti anak-anak burung yang menunggu sang induk pulang membawakan makanan.
Suatu hari mas Har berpamitan menyusul nini Sumi. Aku sebenarnya ingin ikut, tapi tidak boleh. Karena siapa nanti yang menjaga adik-adik? Sepertinya mas Har menyimpan perasaan sama denganku. Kami merasa tak enak melihat nini Sumi sendirian mencarikan makanan buat kami. Kini, nini Sumi tidak sendirian menghidupi kami karena ditemani Mas Har. Biar pun kakakku itu wataknya keras, namun ia punya rasa tanggung jawab dan peduli pada saudara-saudaranya!
Aku tak tahu, apa yang dikerjakan nini Sumi dan mas Har di luar. Aku jadi penasaran. Suatu hari diam-diam aku menyusul mereka. Aku melihat mereka mendatangi pasar. Ada sebuah truk yang sedang parkir di pinggir jalan. Beberapa orang kuli panggul bergiliran menurunkan barang-barang dari atas truk. Kulihat diantara mereka ada nini Sumi dan mas Har. Dengan kepayahan mereka memanggul karung-karung goni berisi beras agar bisa mendapatkan seketip uang. Hatiku trenyuh menyaksikannya.
Sejak kami pergi dari rumah, aku dan Mas Har tidak pernah lagi masuk sekolah. Kerinduan berkumpul dan bermain bersama teman-teman kerap membuncah dalam dadaku. Perasaanku jadi gundah. Aku bertanya pada nini Sumi, kapan kita bisa kembali ke rumah? Tapi perempuan itu selalu bilang ‘sabar’. Aku jadi jenuh dan bosan. Tiap hari hanya lontang-lantung di sekitar losmen sambil momong dua adikku, sementara nini Sumi dan Mas Har pergi mencari uang.
Suatu hari, karena lalai, adikku yang terkecil sempat menghilang. Aku kebingungan mencarinya. Ketika nini Sumi dan Mas Har pulang aku dimarahi habis-habisan. Kami lalu berpencaran mencari Tin. Menjelang petang kami baru bisa menemukannya di sudut jalan dekat bak sampah. Rupanya, dia mengikuti seorang penjual mainan yang berjalan keliling kampung. Karena kelelahan dan merasa lapar, ia pun berhenti di sudut jalan dekat bak sampah. Ia mengais makanan sisa!
“Besok kita ke Wangon, menyusul ibu kalian,” kata nini Sumi akhirnya mengambil keputusan.
Pagi-pagi sekali kami pergi ke terminal. Naik bus jurusan Wangon. Sesampai di perempatan Wangon kami turun dan melanjutkan perjalanan dengan naik dokar menuju rumah nenek di desa Randu. Setiba di rumah nenek, kami disambut dengan tangis dan peluk hangat Ibu. Kulihat perut ibu semakin besar, tapi badannya agak kurusan dan wajahnya pucat. Mbak Rum dan Mbak Sari juga menyambut kami. Tapi raut wajah Mbah Sari terlihat agak senewen.
“Kalian semestinya jangan ke sini dulu. Tidak lihat situasinya sedang gawat. Mas Budi dan Mas Ruslan kemarin dibawa ke Korem. Sampai sekarang belum pulang!”
Ibu menghardik Mbak Sari, “Diam, Sari. Jangan buat adik-adikmu takut. Biarkan saja mereka ke sini. Lebih baik berkumpul dari pada berpisah-pisah!”
“Sebenarnya ada apa sih, Bu. Apa yang terjadi? Kenapa rumah kita kemarin dibakar orang?” Kembali aku melontarkan pertanyaan polosku. Mbak Sari yang menjawabnya.
“Karena ayah kita pentolan komunis!”
“Sari!” hardik Ibu.
Kakakku nomer empat itu baru diam setelah ibu melototkan mata kepadanya. Tanganku kemudian ditarik Ibu ke dalam rumah. Aku, Mas Har, dan kedua adikku dibawa ke meja makan. Ibu membuka tudung saji yang menutupi makanan di atas meja.
“Kalian pasti sangat lapar. Ayo, makanlah yang kenyang. Tadi nenek sama Ibu masak istimewa!” Ibu berusaha menyenangkan hati kami walau dalam keadaan susah dan situasi yang tidak mengenakkan.
Perut yang lapar karena sedari pagi belum terisi membuatku lupa pada pertanyaan yang belum terjawab. Kami pun makan dengan lahap, sejenak melupakan berbagai kepahitan yang belum lama kami hadapi. Aku merasa senang karena bisa berkumpul lagi bersama Ibu dan saudara-saudaraku yang lain. Nenek yang sudah tua dan lama hidup menjanda juga merasa senang menampung kami. Rumahnya yang tidak terlalu besar riuh oleh suara celoteh para cucu.
Malam itu kami bercengkerama di ruang tengah usai makan malam. Sebuah lampu petromaks berbahan bakar minyak tanah cukup menerangi ruangan. Aku dan adik-adikku asyik bermain dakon, sementara Ibu dan yang lain bercakap-cakap. Sambil bermain diam-diam aku menguping pembicaraan Ibu dan kakak-kakakku.
“Kita tidak bisa selamanya terus begini, Bu. Sampai kapan kita akan menjadi pelarian?” cetus Sari terdengar kesal.
“Sabar saja, Sari. Kita tunggu situasinya reda. Lagi pula kita juga tak mungkin kembali ke rumah, karena rumah kita sudah menjadi puing-puing,” sahut Ibu.
“Tapi aku ingin kembali sekolah, Bu. Teman-teman SMA-ku pasti pada menanyakan kenapa aku tidak masuk…?”
“Nanti Ibu akan usahakan agar kamu bisa masuk sekolah lagi, tapi mesti cari tempat kost.”
“Percuma kamu masuk sekolah, Sari. Kamu pasti akan jadi bahan olok-olok di sekolah! Mereka pasti akan menyebutmu anak komunis, antek gestok, atheis, dan sebutan kotor lainnya. Masih untung jika tidak ada yang melemparimu batu!” celetuk Rum sinis.
“Aduh, bagaimana ini, Bu? Aku tidak mau jadi bahan ejekan!” keluh Sari merajuk.
“Ini semua gara-gara Ayah. Kenapa dia harus ikut-ikutan partai terlarang itu!” timpal Rum kesal.
“Kalian tidak boleh menyalahkan Ayah. Semua ini di luar yang kita duga!” tukas Ibu.
“Tapi seharusnya Ayah tahu kalau partai itu berazas atheis alias tidak bertuhan!” sergah Rum.
“Ayah memilih partai politik bukan atas dasar agama, tetapi selaras dengan misi perjuangan. Ayahmu seorang proletar sejati. Beliau sangat memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan rakyat. Ayah tidak suka menjadikan agama sebagai alat politik. Meski demikian bukan berarti ayah kalian bukan orang yang tidak beragama. Kalian lihat sendiri; ayah kalian rajin beribadah, dermawan, suka menolong sesama, dan baik kepada semua kalangan. Beliau tidak pernah berpihak, tetapi lebih suka berdiri di tengah,” tutur Ibu menjelaskan.
“Apa pun alasannya, ayah adalah anggota partai komunis. Bahkan dianggap pentolan komunis. Kedudukannya disamakan dengan mereka yang telah membunuh para dewan jenderal yang dikubur di lubang buaya. Semua orang mengutuk kejadian itu, mengutuk orang-orang yang terlibat. Dan ayah kita menjadi bagian dari kebencian masyarakat luas!”
“Ayahmu tidak bersalah. Dia tidak seperti mereka yang suka menumpahkan darah. Ayahmu orang baik, hanya nasib yang membuat ayahmu berada di tempat dan situasi yang salah. Andai tahu keadaannya seperti ini tentu Ayah akan memilih jalan lain!”
“Sudahlah, Ibu tak usah terlalu membela Ayah. Sudah jelas dia bersalah. Lihatlah sekarang akibatnya, kita yang tidak tahu apa-apa ikut terkena getahnya. Semua orang memandang kita hina!”
“Kita harus bersabar! Anggaplah ini sebagai ujian. Kita berdoa kepada Tuhan agar musibah ini segera berakhir!” Ibu berusaha memberi pengertian meski mendapat bantahan anak-anaknya.
“Tuhan mungkin tak akan mengabulkan permohonan kita karena kita adalah keluarga komunis,” timpal Rum sinis.
“Jaga ucapanmu, Rum! Kita bukan keluarga komunis, kita bertuhan. Jangan pernah sekali-kali menyebut kita komunis!” hardik Ibu tak bisa menahan emosi mendengar ucapan putrinya. Belum pernah aku melihat Ibu semarah itu. Tapi mbak Rum dan mbak Sari seperti tak peduli. Mereka tetap membantah Ibu.
“Orang-orang yang bilang, Bu! Cobalah sekali-kali Ibu keluar, nanti ibu akan mendengarkan celotehan orang-orang di luar sana. Mereka menyebut kita tak bertuhan, kafir, dan sesat. Bahkan pada dinding-dinding dan spanduk tertulis huruf besar-besar: HARAM HUKUMNYA SURGA UNTUK KELUARGA KOMUNIS!”
Ibu diam tercenung. Bisa kusaksikan liut wajahnya yang digayuti mendung. Begitu berat beban yang disandang Ibu. Aku bisa merasakan kepedihan hatinya yang dalam. Bagaimana pun ini bukan sesuatu yang mudah untuk dilalui perempuan lemah seperti Ibu. Ia harus berhadapan dengan kenyataan; suaminya dipenjara entah di mana sementara ia harus menanggung beban sembilan anak yang sebagian masih kecil-kecil. Tapi aku masih bisa melihat kekuatan jiwa yang terpancar di wajahnya.
“Kasihan Mas Budi dan Ruslan! Mereka ikut-ikutan diperiksa, padahal mereka tidak tahu apa-apa. Mereka tidak terlibat dengan kegiatan Ayah. Mereka harus jadi korban!” pungkas Rum dengan tekanan dalam.
Kedua kakak perempuanku memang sangat kesal pada Ayah yang menyebabkan semua ini terjadi. Mereka tak sadar, bila selama ini Ayah telah memanjakan mereka dengan berbagai fasilitas yang tidak banyak dinikmati remaja lain seusia mereka. Dengan kedudukan sebagai pejabat tinggi pemerintahan daerah, Ayah mampu menyekolahkan kami semua. Bahkan Ayah sempat memiliki mobil dinas berupa jeep yang kerap digunakan untuk antar jemput ke sekolah dan rekreasi keluarga, tapi kemudian ditarik kembali seminggu sebelum Ayah ditangkap.
Aku kasihan pada Ibu karena dijadikan luapan kemarahan. Sangat keterlaluan Mbak Rum dan Mbak Sari. Mereka bukannya meringankan beban Ibu, tapi malah menambah kesedihan hatinya. Untunglah ada Nenek yang sangat pengertian dan memahami keadaan kami. Nenek segera meredam perdebatan antara Ibu dan kedua anak perempuannya.
“Sudahlah, tak ada gunanya meributkan apa yang telah terjadi. Kalian anak-anak semestinya bisa memahami keadaan orang tua kalian. Jangan semakin memperuncing masalah!” ujarnya.
Semuanya terdiam. Mbak Rum kemudian beranjak dari tempatnya, kembali ke dalam kamar dan membanting pintu.
25 Pebruari 1966
Sejak perdebatan malam itu, Ibu dan kedua kakak perempuanku tak pernah lagi bercakap-cakap. Mbak Rum dan Mbak Sari semakin memperlihatkan pemberontakannya. Mereka kerap pergi keluar rumah karena merasa sumpek, bahkan Sari pernah menginap beberapa hari di rumah teman. Ibu sudah memperingatkan Sari agar jangan sering pergi jauh-jauh, apalagi sampai menginap segala. Kesannya tidak baik. Tapi gadis tujuhbelas tahun itu tak mau mendengarkan nasehat Ibu.
Sementara Mbak Rum sering pergi dengan seorang laki-laki yang diaku sebagai kekasihnya. Ibu sebenarnya tak mempermasalahkan Rum dekat dengan laki-laki, karena dia sudah cukup dewasa. Ibu hanya minta agar laki-laki itu tidak berlaku sesuka hati membawa Rum pergi. Ibu tak suka bila laki-laki itu datang cuma untuk menjemput Rum lalu membawanya pergi dengan skuternya entah ke mana. Sebagai orang tua Ibu tentu sangat khawatir terjadi apa-apa pada putrinya. Tapi Mbak Rum seperti tak mau tahu. Dia malah meminta agar Ibu tak mencampuri urusan pribadinya. Ibu hanya bisa mengelus dada.
Aku kerap melihat Ibu menangis diam-diam di pojok rumah. Aku tahu, Ibu memikirkan kelakuan kedua kakak perempuanku itu. Aku tak tahu, apa yang harus kulakukan untuk menghibur hati Ibu. Mungkin yang bisa kulakukan adalah mengajak adik-adikku bermain, menyingkir dari ibu. Agar beliau punya sedikit waktu untuk menenangkan diri. Sungguh berat beban Ibu mengurus kami. Bayangkan, sejak Subuh Ibu sudah bangun dan memasak. Dia harus mengurus adik bayi yang baru berumur lima bulan, belum lagi mengurus kedua adikku yang lain. Ibu jarang beristirahat, dia baru bisa membaringkan tubuhnya di kamar selepas jam 9 malam, saat semua anaknya sudah terlelap.
Hari itu Mbak Rum tampak terburu-buru mengemasi barang-barangnya ke dalam tas. Sepertinya akan pergi dari rumah. Aku mendengar suara Ibu menegurnya di depan pintu. Ibu menanyakan Mbak Rum mau pergi ke mana. Dengan entengnya gadis itu menjawab bahwa dia akan pergi jauh dengan pacarnya. Mereka berencana akan menikah di luar kota. Ibu mencoba menahannya pergi. Dia tidak suka cara Mbak Rum mau menikah diam-diam dengan pacarnya tanpa persetujuan keluarga.
“Aku sudah tidak punya keluarga! Keluargaku sudah hancur! Biarkan aku menempuh jalan hidupku sendiri!” sengitnya, lalu bergegas lari menemui kekasihnya yang sudah menunggu di depan pagar. Membiarkan Ibu menangis di depan rumah. Aku pun ikut menangis.
Tiga
2 Maret 1966
Hari itu Mas Ruslan dikembalikan ke rumah. Wajahnya tampak kuyu dan kusam, badannya kurus. Seperti orang yang beberapa hari tidak makan. Kami terharu menyambut kepulangannya. Namun Ibu tak bisa menyembunyikan kecemasannya karena Mas Budi tidak ikut pulang. Mas Ruslan pun menerangkannya dengan nada sedih.
“Mas Budi mungkin beberapa bulan tidak akan pulang, Bu. Dia telah divonis bersalah karena tergabung dalam organisasi pemuda onderbouw PKI. Dia cuma berpesan untuk mengirimkan beberapa pakaian gantinya ke penjara,” ucapnya lirih.
Ibu tercenung. Banjir air mata menganak sungai di pipinya.
“Aku juga pamit mau kembali ke Semarang, Bu,” kata Mas Ruslan kemudian berpamitan.
“Apakah tidak sebaiknya kamu tetap di sini saja, Rus?” Ibu mencoba menahannya.
“Di Semarang aku lebih aman, Bu. Di sana tidak ada yang mengenaliku. Ibu tak usah khawatir soal bekal, nanti aku bisa cari sendiri. Aku akan cari pekerjaan.”
“Kuliahmu?”
“Sementara aku akan berhenti dulu, Bu. Nanti kalau sudah cukup modal aku bisa meneruskan lagi…”
Ibu tak bisa berkata apa-apa lagi. Meski terasa berat, beliau akhirnya melepas kakakku nomer tiga itu pergi.
Sejak Ayah ditangkap, kami tak pernah tahu bagaimana kabar beritanya. Bahkan keberadaannya simpang siur. Ada yang bilang beliau berada di penjara Kodam, di Nusakambangan, ada juga yang bilang sudah dibawa ke Jakarta. Tapi ada juga yang mengatakan dibawa ke pulau Buru. Semua informasi itu hanya didapat dari mulut ke mulut. Ibu sudah berusaha mencari keterangan ke beberapa kantor dan instansi, tetapi tak mendapatkan jawaban memuaskan. Tak ada yang mau memberitahu di mana sebenarnya Ayah berada.
Tapi ada satu kemungkinan yang membuat hati kami tercekam. Mungkin Ayah sudah dieksekusi. Sudah bukan rahasia lagi bila para anggota partai komunis yang tertangkap, apalagi yang tergolong pentolan, tidak melalui proses pengadilan. Mereka langsung divonis dan dieksekusi di depan regu tembak. Tapi yang jadi pertanyaan, kalau ayah kami sudah mati di mana mayatnya? Kenapa tidak dikembalikan pada keluarganya? Kalau sudah dikubur, di mana kuburnya?
Hal ini semakin menambah beban pikiran Ibu. Di saat ia sedang mengandung tua, berbagai persoalan silih berganti menerpa hidupnya. Ia harus kehilangan suami tercinta, ditinggalkan anak-anaknya, dan berjuang sendirian membesarkan anak-anaknya yang masih kecil. Sungguh, ini bukan hal yang mudah untuk dilalui. Ibu hanyalah perempuan biasa yang tak pernah mengenyam bangku sekolah, tak paham soal politik, tapi harus berhadapan dengan persoalan-persoalan yang sangat pelik.
Tapi di tengah terpaan badai yang demikian dahsyat, aku melihat Ibu tampak tegar. Ia mampu menyembunyikan kepedihan dan kepahitan hatinya di hadapan orang lain. Ia selalu punya cara untuk membuat kami tetap tenang. Ketika Ayah lama tak juga pulang dan adik-adik terus bertanya, Ibu mengatakan bahwa ayah sedang ada urusan ke luar kota. Begitu pun ketika mereka bertanya, kenapa Mas Budi tidak kembali, kenapa Mbak Rum pergi, Ibu mampu meyakinkan mereka bahwa semua baik-baik saja. Untuk sementara mereka tinggal di rumah Nenek karena rumah mereka sedang diperbaiki.
Meski saat itu usiaku masih duabelas tahun, tapi aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pembicaraan-pembicaraan yang kudengar mampu membuka cakrawala pengetahuanku tentang berbagai persoalan di masyarakat. Situasi di seluruh negeri memang sedang gawat dan mencekam. Di mana-mana terjadi pencidukan, penculikan, dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap terlibat partai komunis Indonesia. Karena PKI telah melakukan makar dan membunuh para jenderal. Maka, segala hal yang berbau komunisme akan diberangus sampai ke akar-akarnya.
Istilah sampai ke akar-akarnya membuat kami merinding, dicekam kengerian dan ketakutan. Sebab, sebagian besar orang menafsirkannya menumpas antek komunis bersama seluruh anak keturunannya. Seorang anak atau cucu akan sama derajatnya dengan bapaknya yang menjadi anggota PKI. Maka, sungguh berat kehidupan keluarga yang orang tua, anak, atau saudaranya terlibat partai terlarang itu. Segala gerak-gerik dan kegiatan mereka diawasi duapuluh empat jam. Kartu identitas mereka diberi tanda dan dibedakan dengan umumnya. Bahkan mereka akan ditolak bekerja di instansi dan kantor, baik swasta atau negeri!
Menyandang predikat sebagai anak PKI membuat kami kerap diolok-olok dan dihina oleh orang-orang di sekitar. Setiap melintas di jalan banyak orang memandang dengan tatapan sinis, bahkan ada yang terang-terangan membuang muka dan meludah di hadapan kami. Kini aku paham kenapa Mbak Rum memilih pergi dan memutus hubungan keluarga, begitu pun dengan Mas Ruslan. Bahkan Mbak Sari mogok tidak mau meneruskan sekolah dan memilih bekerja di pabrik pengolahan kopra. Ia tinggal di tempat kost bersama temannya.
7 April 1966
Sejak Mas Budi dipenjara, Ibu kerap hilir mudik ke kota kabupaten untuk menjenguk putra sulungnya itu. Paling tidak satu minggu sekali. Biasanya Ibu akan meminta Mas Har menemani. Ibu akan membuatkan makanan kesukaan Mas Budi. Ada pepes ikan mas, rendang jengkol, sayur lodeh, dan kerupuk. Semua dimasukkan dalam rantang. Terkadang juga sama buah-buahan. Begitu banyak makanan yang dibawa Ibu, seakan untuk persediaan selama satu minggu.
Tapi hari itu tidak biasanya Ibu mengajak aku. Mas Har gantian di rumah menjaga adik-adik. Perjalanan menuju ke rumah tahanan yang berada di pusat kota tak ubahnya perjalanan wisata. Sudah lama aku tidak jalan-jalan menikmati pemandangan kota. Dengan naik bus umum aku duduk bersebelahan dengan Ibu. Perempuan paro baya itu terlihat cantik dalam balutan baju kebaya berwarna hijau muda. Sanggulnya tampak manis tersemat di belakang kepalanya yang ditutupi sehelai kain tipis. Aku yakin, orang-orang akan mengira usianya masih tigapuluhan.
Kami harus melewati beberapa pintu pemeriksaan sebelum bisa menemui Mas Budi di sebuah ruangan khusus. Ruangan seluas empat kali enam meter berisi meja panjang dan dua buah bangku. Sebuah pintu satu-satunya untuk keluar masuk dijaga petugas bersenjata senapan. Ibu tersenyum pada Mas Budi seraya membuka rantang yang dibawanya. Hampir empat bulan aku tak bertemu kakakku, ia tampak sangat berbeda. Lebih kurus, bercambang, dan bermata sayu. Hampir-hampir aku tak mengenalinya. Entah, apa yang dialaminya selama di penjara.
Aku hanya diam saja selama pertemuan yang dibatasi beberapa menit itu. Hanya sesekali aku bicara ketika Mas Budi bertanya kepadaku. Aku lebih banyak menyimak pembicaraan Ibu dan Mas Budi. Jika tak ada aral Mas Budi akan dibebaskan sebulan lagi. Ibu senang mendengarnya. Tapi ada informasi lain yang diberikan Mas Budi dan membuat wajah Ibu tercekam. Mas Budi mengatakan bahwa di belakang gedung penjara ada sebuah areal pemakaman baru. Konon, areal itu digunakan mengubur beberapa jenazah para pentolan PKI yang telah dieksekusi regu tembak.
“Aku yakin, jasad Ayah dikuburkan di sana,” bisik Mas Budi.
“Bagaimana kamu yakin Ayah sudah dieksekusi dan dikubur di sana?” tukas Ibu tegang.
“Aku bertemu seorang teman Ayah di penjara ini. Dia menjadi saksi atas eksekusi beberapa temannya. Dia mengatakan kode Ayah S.06.”
“Jadi Ayah sebenarnya ada di kota ini, tidak pernah dibawa ke mana-mana?”
“Itu hanya isu! Semua tahanan politik tidak pernah dibawa ke mana-mana!”
Ibu menghela napas panjang. Kulihat wajahnya berubah sendu.
Ketika pulang, Ibu mengajakku mampir ke areal pemakaman di belakang gedung penjara. Benar saja, di sana ada beberapa patok nisan tak bernama. Tempat pemakaman ini seperti tak terurus dan tersembunyi di balik semak belukar. Dikelilingi pagar kawat berduri. Kami masuk ke dalam melalui pintu masuk areal makam yang tidak dijaga. Ibu dan aku berkeliling, mengamati patok nisan satu persatu, sampai akhirnya kami menemukan sebuah patok nisan kayu bertuliskan S.06 di pojok!
Ragu-ragu Ibu berjongkok di hadapan makam asing itu. Banyak rumput tumbuh di atas makam, sepertinya sudah cukup lama makam ini dimasuki jasad di dalamnya. Mata Ibu nanar dan berair menatap makam itu. Perlahan tangannya mencabuti rumput di atas makam, tangannya membelai patok kayu. Beliau lalu mengajakku berdoa di depan makam yang ditengarai berisi jasad Ayah. Aku pun tak kuasa menahan derai air mata. Langit siang itu mendadak berubah kelabu.
15 Mei 1966
Setelah cukup lama tak bersekolah, akhirnya aku dan Mas Har bisa kembali masuk sekolah. Tapi kami tak bisa kembali ke sekolah yang dulu, karena mereka sudah tak mau menerima kami lagi. Terpaksa kami harus pindah, tapi rupanya tak mudah. Beberapa sekolah tidak mau menerima siswa dari keluarga yang tersangkut partai terlarang. Tapi berkat usaha Ibu akhirnya kami bisa masuk sekolah swasta, itupun setelah memberikan sejumlah uang sebagai kompensasi. Ibu tak ingin kami berhenti sekolah. Bagaimana pun keadaannya kami harus menuntaskan pendidikan.
Mungkin ada yang bertanya, bagaimana kami bisa tetap bertahan dan melanjutkan hidup kami. Setelah Ayah tiada, tak ada lagi sumber penghidupan kami. Ibu tidak pernah lagi mendapatkan uang gaji yang biasanya setiap bulan diterima dari Ayah, bahkan pensiunan pun tidak. Padahal, terlepas keterlibatannya dengan parpol terlarang itu status Ayah masih pegawai negeri. Belum ada surat keputusan pemberhentian secara tidak terhormat. Kalau pun ada surat itu tak pernah sampai ke tangan Ibu.
Dulu, semasa Ayah masih hidup, kami tergolong keluarga berada. Ayah punya gaji besar yang semuanya diberikan pada Ibu. Ayah juga memiliki banyak lahan sawah dan kebun yang pengolahannya diserahkan pada orang-orang kampung dengan sistem paro atau bagi hasil. Tak heran, bila musim panen tiba lumbung rumah kami penuh dengan beras dan hasil kebun lainnya. Kami tak pernah kekurangan. Jadi, walaupun punya banyak anak, orang tua kami mampu menghidupi keluarganya. Bahkan menyekolahkan anak-anaknya.
Tapi sekarang keadaan berubah seratus delapanpuluh derajat. Kehidupan kami berada di bawah. Ibu tak pernah lagi menerima tunjangan gaji. Hasil pertanian pun tak ada lagi. Untuk bertahan hidup, Ibu menjual apa saja harta yang masih dimiliki. Satu persatu milik kami habis, bahkan lahan pertanian yang selama ini menopang hidup kami. Hal ini kuketahui ketika beberapa orang datang ke rumah dan menyerahkan sejumlah uang pada Ibu. Aku tak tahu, apa maksud orang-orang itu memberi uang.
Ibu akhirnya mau menjelaskan kepadaku setelah tanpa sengaja aku memergokinya sedang menerima uang dari seorang tamu.
“Kamu jangan salah sangka, Anis. Ibu terpaksa melakukan semua ini untuk menyambung hidup. Ibu telah menjual tanah dan sawah peninggalan ayahmu,” kata Ibu jujur.
“Kenapa harus dijual, Bu. Kan bisa diolahkan ke orang lain dan kita tinggal menerima sebagian hasilnya?”
“Itulah masalahnya. Tidak ada lagi orang yang mau mengolah sawah kita. Mereka tak berani…”
Aku tertegun. Perasaanku tiba-tiba seperti tertusuk duri. Nyeri sekali. Aku sungguh tak paham, dunia macam apa ini. Bukan karena kesalahan yang kami buat, tapi semua orang membenci dan memusuhi kami. Aku tak mengerti jalan pikiran mereka!
“Sudahlah, Anis. Kamu tak usah pikirkan semua ini. Apa pun yang terjadi, jangan pernah ada dendam dalam hati kita. Tak perlu kita membalas apa yang mereka lakukan. Hidup kita bukan bergantung pada mereka, tapi pada tangan kita sendiri. Tuhan Maha Tahu apa yang kita lakukan. Percayalah, Tuhan pasti akan memberikan jalan terbaik!”
Kata-kata Ibu itu cukup menentramkan hati, namun tidak sepenuhnya menghapus luka dalam hatiku. Kini, setiap langkahku dibayang-bayangi trauma atas perlakuan diskriminasi dari orang-orang di sekitar kami. Sampai kapan pun sulit menghapus wajah-wajah sinis dan penuh cemooh mereka dari benak ini. Perasaan yang kelak akan meluapkan amarah yang sulit kukekang. Bukan salah dan kehendakku terlahir sebagai anak seorang komunis!
Empat
20 Juni 1966
Setelah tertunda beberapa hari, akhirnya kebebasan itu didapat Mas Budi. Ia dikeluarkan dari penjara, namun tetap dikenai wajib lapor. Ia mendapatkan KTP khusus dengan tanda eks tapol. Secara tak langsung tanda ini telah memenjara dirinya seumur hidup. Karena ia tak memiliki lagi kesempatan mengembangkan diri. Banyak pintu kantor dan perusahaan yang tak mau menerimanya. Padahal ia tergolong orang yang cerdas dan terampil. Kebebasan yang didapatnya semu belaka.
Kenyataan pahit ini mendorong Mas Budi eksodus ke Jakarta. Ia akan mengadu nasib di ibukota, mencari kerja apa saja yang penting halal. Ibu tak kuasa menahannya. Beliau hanya memberi bekal seadanya dan sepatah kata doa. Beberapa minggu kemudian Mas Budi mengirim surat bahwa ia telah membuka bengkel motor kecil-kecilan di daerah Slipi. Saat membaca surat dari Mas Budi itu, Ibu meneteskan air mata haru dan bahagia. Diciumnya surat dari putra sulungnya itu lalu disimpan di lemari.
Tak terasa waktu berlalu. Setelah melewati berbagai ujian dan persoalan yang berat, akhirnya Ibu melahirkan dengan selamat dibantu oleh dukun beranak. Ibu dan bayi laki-lakinya dalam keadaan sehat. Entah, bagaimana kami harus menyikapi peristiwa ini. Bahagia dan gembira atau sedih dan prihatin? Mungkin kedua-duanya. Bagaimana pun kehadiran seorang anak adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Perlu disyukuri dan diterima dengan perasaan senang.
Namun di sisi lain kami sadar, kehadiran adik baru itu sama artinya menambah beban Ibu. Kini bertambah satu mulut yang mesti dikasih makan. Sementara kondisi ekonomi kami bukan malah membaik tetapi semakin terpuruk. Ibu sudah tidak punya apa-apa lagi yang bisa dijual. Pada saat sama aku menerima kabar kelulusanku dari SD dengan nilai memuaskan. Tapi aku tak terlalu gembira menyambutnya, karena semua itu tak ada artinya bila aku tak bisa meneruskan ke jenjang selanjutnya.
Ibu sepertinya bisa membaca kegalauan hatiku. Beliau meyakinkanku bahwa aku bisa terus sekolah. Aku tak perlu memikirkan soal biaya. Ibu menjamin semuanya akan lancar. Aku terharu mendengar kata-katanya. Dalam keadaan benar-benar genting dan berat, Ibu masih mampu menumbuhkan semangat kami. Ibu memang perempuan luar biasa. Ia tahu bagaimana mengatasi keadaan. Ia tak pernah menyerah dan putus asa menghadapi segala bentuk ujian, seberat apa pun ujian itu.
Seperti ketika Nenek tiba-tiba meninggal oleh asma yang lama dideritanya. Ibu tak kuasa menahan kesedihannya. Air mata membanjir di pipinya. Setelah kehilangan suami tercinta, Ibu hanya punya satu tongkat lagi yang menopang hidupnya, yakni Nenek. Ketika Nenek kemudian wafat, hilanglah penopang hidupnya. Apalagi anak-anaknya yang sudah dewasa satu persatu meninggalkan dirinya. Aku tahu, betapa hancurnya Ibu. Ia kini berjuang sendirian.
Namun sekali lagi Ibu mampu menunjukkan kekuatannya. Ia tetap tegar dan tegak berjalan, meski sendi-sendi kehidupannya telah rapuh. Mas Har yang sadar kondisi Ibu sudah kepayahan akhirnya memutuskan berhenti sekolah dan berpamitan akan menyusul Mas Budi ke Jakarta. Ibu sudah berusaha menahannya, tapi Mas Har tetap pada keinginannya. Ibu tak bisa berbuat apa-apa. Ibu melepasnya tanpa tangis lagi, mungkin sudah yakin putranya yang berwatak keras itu mampu menjaga diri.
Kini, tinggal aku, Ibu, nini Sumi, dan keempat adikku yang masih kecil mendiami rumah peninggalan Nenek. Aku membantu mengurus adik-adik, karena Ibu harus menyusui adik bayi. Nini Sumi kebagian tugas memasak dan mencuci. Setiap hari, sebelum berangkat dan pulang sekolah, aku meluangkan waktu menjaga dan mengurus adik-adik. Aku tak punya kesempatan lagi bermain bersama teman-teman sebaya. Tapi hal ini tak kusesali, karena aku mengambil hikmah dari keadaan ini.
Aku jadi banyak menimba pengalaman mengurus anak. Aku tak ubahnya berperan sebagai ibu bagi adik-adikku. Aku banyak belajar dari Ibu. Walau pun ia bukan tergolong orang tua yang berhasil mengantarkan anak-anaknya mencapai masa depan gemilang, tapi perjuangannya seorang diri mengasuh dan membesarkan sepuluh orang anak merupakan prestasi luar biasa. Aku salut pada Ibu. Aku banyak bercermin dan mengambil teladan dari dirinya.
27 Agustus 1966
Namun kekagumanku pada sosok Ibu yang hero sempat meluntur ketika Ibu kemudian mengambil keputusan yang sangat mengejutkan. Tanpa berembug dulu, tiba-tiba Ibu menyerahkan adik-adikku satu persatu kepada orang lain. Mereka diadopsi oleh keluarga yang masih ada hubungan kerabat. Kini tinggal Bima, bayi laki-laki yang belum lama dilahirkan Ibu, dan aku yang tersisa di rumah. Ketiga adikku yang lain dibawa pergi oleh orang lain.
Mula-mula Tin yang masih berusia dua tahun dibawa oleh tante Hilda untuk menemaninya di rumah mewahnya di kota Purwokerto. Kebetulan suami tante Hilda sedang tugas keluar daerah. Tante Hilda tak punya anak dan dia sangat mendambakan punya anak perempuan. Dia merasa kesepian. Dia suka pada Tin yang katanya lucu dan menggemaskan. Ibu pun mengijinkan Tin dibawa pergi. Kepadaku Ibu mengatakan cuma satu minggu. Tapi aku baru sadar kalau Tin sebenarnya sudah diadopsi setelah satu bulan Tin tidak dikembalikan.
Aku marah pada Ibu. Aku menuduhnya telah menjual anak, karena aku tahu setelah menyerahkan adikku, Ibu tiba-tiba menyimpan banyak uang di dompetnya. Dengan berurai air mata, Ibu menjelaskannya.
“Ibu tidak menjual adikmu, Nis. Demi Tuhan, ibu tak sejahat itu. Semua ini ibu lakukan demi kebaikan Tin, demi masa depannya!” tuturnya.
“Lalu, apa artinya uang yang diberikan tante Hilda?” sergahku.
“Tante Hilda yang memaksa, padahal Ibu sudah menolaknya. Ibu sudah cukup senang Tin ada yang mau merawat dan mengurus. Tante Hilda orang yang baik, dia tidak bakal menelantarkan Tin!”
“Apakah Ibu takut tidak sanggup merawat Tin? Bukankah ibu selalu bilang agar kita jangan bergantung pada orang lain? Kita harus yakin pada kemampuan kita sendiri?!”
“Ibu tahu itu, Nak. Tapi cobalah kamu juga mengerti. Beban kita sudah sangat berat. Ibu tak mau masa depan anak-anak Ibu dipermainkan oleh perlakuan yang tidak adil. Kamu bisa lihat sendiri, bagaimana nasib kakak-kakakmu? Masyarakat telah menyematkan pandangan buruk pada keluarga kita. Ibu tak mau adik-adikmu mengalami nasib sama. Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka tidak salah dan berdosa. Mereka berhak mendapatkan perlakuan yang adil!”
Aku tercenung. Perasaanku kelu bukan main. Apa yang dikatakan Ibu seperti menyadarkanku pada kenyataan pahit yang selama ini kami hadapi. Masyarakat di luar telah berlaku kejam pada kami. Mereka sudah tidak menghargai dan memandang rendah diri kami.
“Tapi percayalah pada Ibu, Nis. Apa pun yang terjadi, Ibu tetap menyayangi anak-anak Ibu. Tak ada setitik pun perasaan dalam hati Ibu ingin mengabaikan kalian. Ibu sebenarnya berat melakukan semua ini. Jika saja boleh memilih, Ibu ingin tetap berada di dekat anak-anak Ibu. Tapi Ibu tak mau bersikap egois. Anak-anak Ibu berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Biarlah Ibu yang berkorban untuk kebahagiaan hidup kalian!” lanjut Ibu kemudian menandaskan.
Kali ini aku tak kuasa menahan tangis. Air mataku bercucuran. Ibu telah banyak mengecap pahit dan manisnya kehidupan. Rongga dadanya telah sesak menampung segala bentuk pengalaman. Aku tahu, sungguh berat bagi seorang ibu berpisah dengan anak-anaknya. Selama sembilan bulan lebih ia mengandung anak-anaknya, memberikan air susunya. Anak adalah bagian dari jiwa seorang Ibu. Bisa dibayangkan jika sebagian dari jiwa itu harus direnggut atau dipisahkan.
Saat itu aku memang masih perempuan belia, belum pernah mengecap pengalaman mengandung dan melahirkan anak. Tapi aku bisa merasakan beratnya perjuangan seorang ibu. Kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Dan aku tahu, di balik ketegaran dan kebesaran jiwa Ibu melepas pergi anak-anaknya, ada sudut dalam hatinya yang pedih dan hancur. Karena anak adalah harta berharga yang tak bisa tergantikan oleh apa pun. Dan aku terlalu naif menuduh Ibu telah menjual anak-anaknya!
Ketika Ibu kemudian memeluk dan membelaiku lembut, bisa kurasakan getaran halus dalam dadanya. Aku pun tak bisa menahan diri untuk tidak berkata, “Tolong, jangan berikan aku pada orang lain. Aku ingin selalu bersama ibu!”
Ibu tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan pelukan yang lebih erat. Dan itu sudah cukup menentramkan hatiku.
Aku mulai bisa memahami tindakan Ibu memberikan anaknya pada orang lain. Semua itu dilakukan demi kebaikan anak-anaknya. Maka, ketika kemudian menyusul Neni dan Bayu diadopsi keluarga lain, aku tak protes lagi. Meski hati ini berat harus berpisah dengan adik-adik tercinta. Begitu pun ketika Ibu memutuskan memulangkan nini Sumi. Perempuan yang sudah lama mengabdi pada keluarga kami itu sebenarnya tak keberatan membantu kami dan rela tak dibayar, tetapi Ibu tak ingin dibebani hutang budi.
Kini, yang tinggal di rumah hanya aku, ibu, dan adikku yang masih bayi. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari Ibu bekerja serabutan. Pekerjaan apa saja dilakoninya, selama halal dan tidak mencuri. Ibu rela menjadi buruh tani di sawah, buruh cuci, atau berjualan makanan keliling kampung. Tak pernah terbayangkan, Ibu yang dulunya istri pejabat tinggi dan dihormati, sekarang menjadi tenaga kasar dan rendahan. Tapi itulah kehidupan; tidak selamanya nasib manusia berada di atas. Dan Ibu tidak merasa malu menjalani semua itu.
Aku pun tergerak hati membantu Ibu. Sambil bersekolah aku menyambi berjualan es lilin dan kue-kue yang diambil dari tetangga. Lumayan, upahnya bisa untuk uang saku dan membeli keperluan sekolahku sendiri. Jika Ibu sedang kerja aku membantu menjaga dan mengurus adikku di rumah.
15 Mei 1969
Akhirnya, setelah melalui berbagai ujian tak ringan aku lulus SMP dengan nilai yang bagus. Ibu menyambut kelulusanku dengan gembira. Beliau menanyakan aku mau melanjutkan ke mana? Aku menggelengkan kepala. Aku tak berminat meneruskan sekolah. Bukan karena tak ada biaya, karena aku yakin Ibu masih mampu. Tapi pengalaman tak mengenakkan menyandang predikat anak anggota partai terlarang membuatku tak sanggup kembali ke sekolah.
Selama menjadi siswa SMP tak tak terhitung berapa banyak cemoohan, cercaan, dan hinaan yang kuterima. Bukan hanya datang dari teman-teman sekolah, tapi juga dari sebagian guru yang antipati pada partai komunis. Aku tak mau hal itu terulang bila aku sampai meneruskan ke SMA. Toh, sekali pun aku meneruskan ke universitas dan lulus dengan gelar sarjana, tak ada kantor dan perusahaan yang menerima pegawai dari keluarga eks PKI. Pengalaman Mas Budi sudah cukup menjadi bukti.
Ibu akhirnya bisa memahami ketidakmauanku meneruskan sekolah. Ibu tak memaksa. Ibu membebaskan aku memilih jalan hidup yang ingin ditempuh.
Suatu hari, Mbak Rum pulang dengan penampilan jauh berbeda. Lebih modern dan trendy. Rambutnya disasak tinggi, rias wajah tebal, dan baju ketat, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang seksi. Ibu terkejut menyaksikan perubahan putrinya itu. Tapi yang menjadi keheranannya, kenapa Rum pulang sendiri. Ke mana laki-laki yang dulu membawanya pergi dan katanya akan menikahinya. Dengan enteng Rum bilang bahwa mereka sudah tidak cocok dan telah lama bercerai.
Mbak Rum mengaku sekarang tinggal di Jakarta. Bekerja di sebuah salon ternama. Dia berniat mengajak aku bekerja di salonnya. Dia bilang kerja di Jakarta enak dan gampang cari uang. Di sana kehidupan privacy terjaga rapi. Tak ada yang akan mengenali mereka. Tak ada lagi yang menyebut mereka anak komunis. Tak ada yang usil ingin tahu kehidupan orang lain. Setiap orang memikirkan kepentingannya sendiri. Aku tertarik oleh cerita Mbak Rum, aku tertarik menerima tawarannya. Tapi dengan tegas Ibu tidak mengijinkan aku ikut Mbak Rum.
Mbak Rum sempat kecewa dan marah pada Ibu. Dengan nada kasar ia memaki Ibu. “Ibu macam apa kamu ini? Sudah menjual anak-anakmu, sekarang kamu tahan Anis untuk menjadi tamengmu menghadapi cemoohan orang. Kamu libatkan Anis dengan penderitaanmu yang tak berujung!” desisnya geram.
Ibu hanya diam tak menanggapi cercaan putrinya nomer dua yang sekarang lebih berani. Mbak Rum benar-benar tak menghargai Ibu lagi. Akhirnya, ia pun meninggalkan rumah dengan raut kesal. Setelah mbak Rum pergi, aku bertanya pada Ibu apa alasannya melarangku ikut mbak Rum. Dengan singkat Ibu menjawab, “Kamu tak tahu apa yang dikerjakan mbakyumu di Jakarta sana? Dia menjual tubuhnya pada setiap lelaki. Dia telah menjadi pelacur. Apakah kamu mau mengikuti jejaknya?!”
Aku terkejut. Ya, Tuhan! Sejauh itukah yang telah dilakukan kakakku? Dulu ia pergi untuk menghindar dari suatu kehinaan, tapi ternyata malah masuk ke dalam kehinaan lain yang lebih menistakan!
Lima
4 Januari 1972
Aku telah tumbuh menjadi gadis dewasa dan matang. Diam-diam aku mengagumi bayangan wajahku sendiri di cermin. Aku bersyukur mewarisi kecantikan Ibu yang berwajah oval, hidung mancung, dan bibir merah merekah bak buah delima. Sementara rambutku yang hitam bergelombang dan kulit putih bersih menurun dari almarhum Ayah. Tubuhku juga tinggi semampai. Semua orang mengakui kecantikan diriku dan itu yang membuatku sedikit bangga.
Tapi kesempurnaan fisik tak membuatku bernasib baik dalam urusan cinta. Sekali lagi, predikat sebagai anak eks PKI menjadi hambatan tersendiri buatku dalam pergaulan. Sebenarnya tak sedikit pemuda yang menyukaiku, tapi mereka alergi dengan riwayat keluargaku. Ada juga pemuda yang tak peduli dengan semua itu, tapi keluarganya menentang keras. Alhasil, aku mesti gigit jari dan menelan pil pahit setiap kali gagal menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Beruntunglah Mbak Sari yang telah mendapatkan jodohnya. Ia menikah dengan laki-laki berprofesi tentara dan dikaruniai seorang anak. Tapi itu bisa terjadi karena Mbak Sari memanipulasi data dirinya. Dia mengganti namanya dan membuat perwalian baru. Dia menghapus jejak masa lalunya dengan tidak mengakui Ayah dan Ibu sebagai orang tua kandung. Bila tidak begitu, sulit baginya untuk menikah. Karena kesatuan suaminya melarang anggota keluarganya tersangkut partai terlarang!
Kedengarannya sangat keterlaluan. Ada orang rela menukar keluarganya demi kehidupan yang lain. Ketika Ibu diberitahu tentang tindakan Sari itu, beliau tidak terkejut lagi. Karena jauh sebelum itu Sari telah melakukannya. Dia pergi dari rumah untuk mencari kehidupannya sendiri. Tak pernah sekali pun ia pulang, sekadar menengok keadaan Ibu. Ia sengaja ingin memutus hubungan dengan keluarganya. Tapi apa pun yang telah dilakukannya, Ibu tak pernah dendam atau sakit hati. Beliau tetap menganggapnya sebagai anak kandung!
Mestikah aku menempuh cara seperti Mbak Sari? Oh, tidak! Aku tak mungkin menyakiti Ibu. Aku tak ingin mengecewakan hatinya. Aku lebih memilih tidak menikah seumur hidup jika harus mengorbankan keluargaku. Sudah cukup berat Ibu menanggung derita oleh kebencian dan permusuhan orang-orang, aku tak mau menambahnya lagi. Kuakui keinginanku bisa mendapatkan jodoh dan kemudian menikah semata untuk melepas stigma yang melekat pada diriku sebagai keluarga eks PKI. Tapi itu bukan berarti aku akan memutus hubunganku dengan Ibu.
Kupikir, dengan menikah aku bisa menjalani kehidupan baru tanpa dikait-kaitkan dengan kegiatan yang pernah dilakukan almarhum Ayah. Orang tidak akan lagi menyebutku anak Pak Harjo tetapi istri dari suamiku. Nama suamiku bisa menjadi pelindung sekaligus pemulih kehormatanku. Dengan menikah aku juga ingin meringankan beban Ibu. Aku tak ingin menambah kesedihan hatinya atas cibiran orang yang menyebut aku perawan tua karena tak ada laki-laki yang mau menikahiku. Padahal wanita seusiaku sudah banyak yang menimang anak!
Maka, ketika aku kemudian berkenalan dengan seorang pemuda yang kelihatannya sangat baik dan mau menerima diriku apa adanya, hatiku sangat senang sekali. Belum genap dua bulan menjalin hubungan dengan Mas Pras, pemuda ganteng itu menyatakan rasa cinta dan berniat melamarku. Tapi aku meminta Mas Pras mempertimbangkan dengan masak. Aku ingin ia berunding dulu dengan keluarganya. Tapi ia berhasil meyakinkanku bahwa kedua orangtuanya sudah setuju. Mereka tak mempermasalahkan riwayat keluargaku.
Hatiku lega mendengarnya. Untuk membuktikan ucapannya aku pernah main ke rumahnya dan sambutan keluarganya ternyata memang sangat baik. Aku lalu ganti membawa Mas Pras ke hadapan ibuku. Tidak seperti yang kukira, Ibu tidak memperlihatkan rasa gembira dan tidak segera memberikan jawaban atas pinangan Mas Pras. Beliau akan memikirkannya dulu. Setelah Mas Pras pulang, aku ganti mencecar Ibu. Aku ingin tahu kenapa sikap Ibu agak lain.
“Ibu kelihatannya tidak setuju aku menikah dengan Mas Pras?” cetusku menduga.
“Ibu bukannya tidak setuju. Ibu cuma ingin kamu memikirkan dengan masak. Ibu tak mau keputusanmu memilih dia karena dipaksa oleh keadaan,” kata Ibu.
“Maksud Ibu?”
“Aku tahu, kamu sering menghadapi kendala dan kesulitan saat menjalin hubungan dengan laki-laki. Mereka selalu mengaitkanmu dengan sejarah keluarga kita. Aku tak mau karena hal itu membuatmu terpaksa menerima orang yang sebenarnya tidak kamu cintai!”
“Aku mencintai Mas Pras!”
“Kamu tahu, apa artinya cinta?” Ibu malah melontarkan pertanyaan retoris itu.
Aku terdiam. Tak tahu, apa yang mesti kujawab. Ibu sendiri yang kemudian menjawabnya.
“Cinta adalah saat kamu menyukai seseorang dengan perasaan mendalam tanpa mempedulikan keadaan di sekitarmu, bahkan akal pikiran dan budi pekerti bisa diabaikan. Maka, tak heran cinta kerap membuat orang buta dan tuli. Cinta semacam itu masih mentah dan kadang menyesatkan, bahkan menghancurkan. Sementara cinta sejati yang membawa kedamaian dan kebahagiaan adalah ketika kamu menempatkan akal dan budimu di atas perasaan saat menyukai seseorang. Kamu harus yakin benar bahwa dia memang tepat buatmu!”
Kalimat Ibu memaksa aku untuk merenung, memikirkan lebih dalam. Tiba-tiba ada perasaan galau membuncah dalam dadaku. Tapi aku mencoba menepisnya. Aku tak mau terpengaruh oleh kata-kata Ibu. Aku tahu, Ibu sepertinya agak tidak suka pada Pras karena pemuda itu tidak memiliki pekerjaan tetap. Ibu mungkin sangsi apakah Pras kelak akan mampu mengayomi dan membahagiakan hidupku. Tapi aku yakin hal itu bukan soal yang berat. Nanti jika sudah menikah, Pras tentu akan berusaha menunjukkan tanggung jawab sebagai kepala keluarga!
Ibu terlalu khawatir pada diriku karena ia menjadikan almarhum Ayah sebagai pembanding. Meskipun harus menerima kenyataan pahit atas nasib perkawinannya, namun Ibu tak pernah menyesal menikah dengan Ayah. Di matanya, tak ada laki-laki yang lebih baik dibanding Ayah. Mungkin karena itu Ibu tetap bertahan dengan kesendiriannya meskipun sebenarnya ia masih muda dan pantas berumahtangga lagi. Aku pun mengakui hal ini. Ayah adalah sosok laki-laki baik, cerdas, berwibawa, lembut, penyayang, setia, dan bertanggung jawab.
Tapi aku tak mau terlalu terobsesi pada sosok laki-laki seperti Ayah. Menurutku, setiap orang memiliki karakter masing-masing. Aku tak mau membandingkan Mas Pras dengan Ayah. Di mataku mereka sama baiknya. Justru ini merupakan tantangan bagiku untuk membuktikan pada Ibu bahwa Mas Pras adalah pilihanku yang tepat. Aku sudah yakin mampu meraih kebahagiaan bersama Pras. Melihat kegigihanku mempertahankan Pras, akhirnya Ibu pun merestui hubungan kami!
10 April 1972
Acara pernikahanku dengan Mas Pras dilangsungkan dengan khidmad, sederhana, dan tanpa pesta. Hanya disaksikan dan dihadiri oleh keluarga serta kerabat dekat. Semua saudaraku hadir, kecuali Mbak Rum dan Mbak Sari. Bahkan adik-adikku yang diadopsi keluarga lain ikut datang. Memberikan ucapan selamat dan doa. Mereka belum tahu kalau aku adalah kakak mereka, tahunya hanya saudara jauh. Tapi bagiku itu sudah cukup membahagiakan. Yang penting jalinan silaturahmi mereka dengan kami tak pernah terputus.
Usai akad nikah, aku kemudian diboyong ke rumah keluarga Pras. Sebenarnya berat juga hatiku berpisah dengan Ibu. Dulu, aku pernah meminta Ibu jangan memberikan aku pada orang lain karena tak ingin berpisah dengan Ibu. Sekarang, justru aku yang mengambil keputusan memisahkan diri dari kehidupan Ibu. Tapi Ibu sepertinya bisa memaklumi semua ini. Beliau sadar bahwa semua anak yang dilahirkannya pada akhirnya akan pergi meninggalkannya untuk mencari kehidupan sendiri-sendiri. Ibu terlihat tegar saat melepasku pergi.
Sementara aku tak kuasa menahan banjir air mata saat berpamitan pada Ibu. Dengan suara lembut Ibu memberikan wejangan terakhirnya.
“Jaga dirimu baik-baik, Nis. Jadilah istri yang solehah, menjaga kehormatan keluarga, dan berbakti pada suami. Jangan pernah bawa aib suami dan keluargamu keluar rumah. Karena hakekatnya kalian satu tubuh yang harus saling menjaga dan melindungi!” tuturnya.
Kata-kata Ibu terasa meresap ke dalam sanubariku. Akan selalu kuingat sepanjang hidupku.
Lembaran kehidupan baru kujalani bersama Mas Pras dalam bahtera rumah tangga. Kami serasa hidup di taman surga karena tiap saat menikmati kesenangan demi kesenangan. Kesedihanku meninggalkan rumah masa kecilku dan Ibu terhapus oleh keceriaan dan kebahagiaan yang kukecap dalam mahligai perkawinan. Lembaran kelam dari kehidupan masa lalu pun telah kupendam dalam-dalam bersama kenangan yang telah berlalu!
20 Juli 1972
Rasanya belum ada seumur jagung usia perkawinanku dengan Mas Pras. Percikan kebahagiaan di awal perkawinan baru saja kami rengkuh. Namun gelombang prahara kehidupan tiba-tiba datang menggerus bangunan rumah tangga kami. Mulanya aku diperlakukan bak seorang ratu saat pertama kali memasuki rumah keluarga Pras. Bulan pertama Mas Pras sangat memanjakan dan memperhatikan diriku. Perlakuan dan sikapnya begitu lembut, kata-katanya manis di telinga, serasa buluh perindu.
Namun menginjak bulan kedua perubahan mulai tampak pada diri suamiku, bahkan keluarganya. Watak asli suamiku mulai terlihat. Ia yang tadinya lembut dan penyayang berubah kasar dan kejam. Umpatan dan sumpah serapah kerap terlontar dari bibirnya ketika sedang marah atau emosi. Aku pun jadi sasaran pelampiasan kemarahannya. Tadinya aku mencoba memaklumi sikapnya itu karena Mas Pras belum juga dapat pekerjaan dan tabungan uangnya telah menipis. Aku berusaha menampilkan diriku sebagai istri yang sabar dan pengertian.
Perlakuan buruk tidak hanya kuterima dari suamiku, tetapi juga dari mertua. Ibu mertua yang mulutnya nyinyir dan suka berkata pedas itu mulai mengungkit-ungkit kelemahan dan kekuranganku. Dia kerap mengumbar aibku pada para tetangga. Dia bilang pada orang-orang kalau aku ini istri yang malas, suka ngabisin duit suami untuk belanja kosmetik dan baju, serta menuduhku telah selingkuh. Aku hanya bisa mengelus dada mendengarnya. Ibu dan ayah mertua yang tadinya bersikap baik kini berubah seperti ‘monster’. Mereka tak segan mencaci dan menghinaku!
Kemalanganku tak cukup sampai di situ. Mas Pras kerap menghajar dan memukulku jika aku berbuat sesuatu yang tidak berkenan baginya, apalagi sampai melawan atau membantah. Padahal apa yang aku lakukan bermaksud baik. Tapi yang lebih menyakitkan ketika dia menganggap aku pembawa sial. Dia mulai mengungkit-ungkit sejarah kelam orang tuaku. Dia suka menyebutku; anak komunis, keluarga atheis, PKI, kafir, anjing marxis, dan macam-macam lagi yang sangat melukai hati. Aku hanya bisa menangis perih.
“Tolong, Mas! Jangan pernah menyebutku anak komunis dan menjelek-jelekkan orang tuaku! Kamu boleh mengataiku apa saja, tapi jangan hina keluargaku!” pintaku suatu kali padanya.
“Memangnya kenapa? Bukankah kenyataannya begitu? Kamu anak komunis! Bapakmu gembong komunis! Keluargamu antek komunis! Atheis! Najis!” desis Mas Pras sambil menyeringai sinis.
Aku mengatupkan geraham, menahan geram. Aku hanya bisa memeram rasa perih dan luka dalam hati. Aku tak pernah menceritakan penderitaanku ini pada orang lain, apalagi kepada Ibu. Aku tak mau membuat hatinya tambah sedih. Aku cuma bisa mengadukan semua ini pada Allah. Tengah malam aku kerap terjaga, mengambil air wudlu dan sholat tahajjud memohon pertolongan-Nya. Dengan berlinangan air mata aku berharap segera dibebaskan dari derita ini. Hatiku terasa tenang setelah mencurahkan segenap kepenatan dan laraku kepada-Nya!
15 Maret 1973
Mungkin inilah jawaban atas doaku siang dan malam. Tuhan memberikan kebebasan kepadaku meski dengan cara seperti ini. Aku harus meringkuk di balik terali besi setelah hakim memutuskan aku bersalah. Tapi aku merasa diri tidak bersalah. Aku telah berbuat hal yang benar. Aku membela diri, membela kehormatan. Aku melakukan apa yang memang seharusnya kulakukan. Aku telah memotong alat vital Mas Pras, sehingga ia harus kehilangan kejantanannya sekaligus kehormatannya sebagai laki-laki!
Kontan, ia mengambil keputusan tegas menceraikanku dan melaporkanku kepada polisi. Segera saja aku ditangkap dan diproses ke meja hijau. Aku dihadapkan beberapa pasal memberatkan yang bisa berakibat vonis beberapa tahun penjara. Aku pun memberikan pembelaanku. Apa yang kulakukan bukan tanpa sebab. Semua itu terjadi akibat akumulasi perasaan tertekan, tertindas, dan terdholimi yang tak henti kurasakan!
Aku sudah pernah meminta Mas Pras menceraikan aku bila diriku hanya dijadikan budak dan obyek pelampiasan emosinya saja. Aku sudah tak tahan lagi menerima perlakuan kejamnya. Tapi Mas Pras tak memenuhi keinginanku. Dia malah semakin keterlaluan memperlakukan aku lebih rendah dari anjing. Dia sengaja menciptakan penjara buatku di rumahnya. Tak hentinya dia terus menghinaku, menghina keluargaku. Puncaknya, ketika ia memaksaku melayani syahwatnya malam itu setelah sebelumnya menghajarku hingga wajahku lebam biru.
Usai mereguk kenikmatan, ia pun terlelap. Aku segera turun dari ranjang menuju dapur. Kuambil pisau yang sore tadi baru saja kupakai mengiris bawang. Tanpa ampun lagi kupotong kemaluannya. Ia sempat menjerit kesakitan sebelum kemudian jatuh pingsan. Aku lalu keluar menuju jalan, melemparkan potongan yang masih ada di tangan ke sekumpulan anjing kampung. Mereka memperebutkannya. Begitulah, aku melakukannya dengan sadar.
Aku pikir, lebih baik Mas Pras menjadi seorang banci atas sikapnya selama ini yang sangat pengecut. Dia tak pantas menjadi laki-laki sejati karena tak punya rasa tanggung jawab dan mau mengayomi perempuan!
Ketika proses pengadilan berlangsung, banyak orang di luar yang menganggapku gila, sadis, kejam, dan maniak. Mereka mengecam perbuatanku. Masyarakat mengaitkan perbuatanku dengan sejarah kelam keluargaku. Mereka semakin yakin bahwa aku telah bersalah, karena aku adalah anak eks PKI. Di mata masyarakat orang-orang yang terlibat atau terkait dengan organisasi terlarang itu sudah pasti buruk. Stigma itu tak pernah hilang. Tapi aku tak terlalu sedih dan peduli dengan apa yang dikatakan orang di luar sana.
Hatiku justru sangat sedih ketika Ibu datang menengokku di penjara. Wajahnya tampak kuyu dan terlihat lebih tua dari usianya.
“Maafkan aku, Bu…,” ucapku lirih sambil menundukkan kepala, tak berani menatapnya.
“Tak perlu minta maaf, Nis, karena kamu memang tak bersalah. Ibu justru bangga padamu. Kamu telah melakukan hal yang benar!” ujar Ibu dengan nada yakin.
Kata-kata Ibu itu cukup menentramkan hatiku. Di saat semua orang mengecam dan mencercaku, hanya Ibu satu-satunya orang yang membelaku. Hanya beliau yang paling mengerti dan memahami diriku. Sungguh, dukungan dari Ibu sudah cukup memberikan kekuatan pada diriku dalam menghadapi dunia yang kejam ini.
17 Agustus 1973
Hari ini tepat rakyat Indonesia merayakan hari kemerdekaannya. Bangsa ini telah menghirup kebebasannya setelah lebih dari tiga setengah abad hidup dalam kekangan penjajah. Namun meski sudah beberapa tahun menikmati kemerdekaan, belum sepenuhnya kemerdekaan itu dinikmati semua masyarakat. Penjajahan oleh sesama anak bangsa masih terjadi, terutama penjajahan yang dilakukan oleh mereka yang merasa diri lebih kuat, lebih berkuasa, dan lebih kaya. Tragedi kemanusiaan masih terus berlangsung.
Aku dan keluargaku bisa merasakan langsung bagaimana penjajahan itu masih terjadi. Hanya karena ayahku pernah menjadi anggota partai komunis yang kemudian dinyatakan terlarang oleh pemerintah Indonesia, kami yang tak tahu apa-apa ikut menerima getahnya. Kami diperlakukan dengan tidak adil, dibedakan dengan yang lain, dimarginalisasikan, didiskriminasikan, dan tidak mendapat tempat layak di tengah masyarakat. Kami tak ubahnya manusia jajahan karena terus dikekang, dibatasi kebebasannya, dan dizalimi.
Maka, ketika aku harus mendekam di penjara dan orang-orang beranggapan kebebasanku telah terampas, aku justru merasakan sebaliknya. Aku menemukan kemerdekaan yang sesungguhnya di tempat ini. Karena di sini, tak ada yang menghina dan merendahkanku. Tak ada yang menyebutku antek komunis. Bila suatu hari kalian membaca buku harian ini dan bertemu denganku; jangan coba-coba menyebutku antek komunis, anak PKI, atheis, atau sebutan lainnya yang berhubungan dengan masa lalu keluargaku.
Nanti kalian akan tahu sendiri akibatnya!
Selesai