Masukan nama pengguna
Prolog:
Hidup bertetangga harus bertenggang rasa, saling tolong menolong, saling menghargai, dan saling menghormati. Karena tetangga hakekatnya keluarga besar.
####
Hari masih sangat pagi saat aku mendengar suara ribut di rumah sebelah. Tampaknya sudah menjadi kebiasaan bagi tetanggaku itu menghadapi pagi dengan pertengkaran. Kudengar suara Yu Jum yang cerewet seperti burung beo sedang mengomeli Kang Panut.
“Sampeyan itu sudah kere, tapi masih juga main judi. Apa sampeyan ndak mikir kebutuhan anak-anak? Mau makan apa mereka kalau tiap hari sampeyan menghabiskan uang di meja judi!” seru Yu Jum sengit.
“Aku cuma iseng, Jum. Cuma judi kecil-kecilan. Tidak sampai ngabisin uang banyak!” balas Kang Panut sambil mendengus.
“Biar pun iseng dan kecil-kecilan, tapi kalau dilakukan tiap hari lama-lama juga bisa bangkrut!”
“Bangkrut opo? Kadang-kadang aku juga menang kok!”
“Yo, kadang-kadang menang, tapi lebih sering sampeyan kalah! Iya, to? Wis to, Kang. Ndak usah aeng-aeng. Orang judi itu dosa, ndak bakal bisa kaya. Sampeyan ndak usah judi lagi!”
“Tapi kalau tidak ikut aku nanti dikucilkan orang-orang. Dibilang tidak bermasyarakat!”
"Orang tidak main judi kok dibilang tidak bermasyarakat. Justru yang tidak main judi bisa menjadi contoh masyarakat!”
“Lho, kenyataannya begitu, Jum. Coba kamu tanya sama Kang Surip, Mbah Minto, atau sama Parjo. Mereka pasti akan mengiyakan kalau kita main judi itu cuma iseng. Buat cagak melek biar tidak ngantuk. Kita main judi cuma pas ada bayen, kematian, selametan, sama jaga pos kamling. Itu sudah jadi tradisi, Jum. Biar warga masyarakat jadi guyub dan rukun. Suka ngumpul. Tidak hidup sendiri-sendiri. Kita ini hidup di kampung, bukan di kota!”
“Kalau cuma alasan buat bisa guyub dan rukun, tidak harus dengan main judi, Kang. Ngumpul sambil ngobrol kan juga bisa!”
“Itu namanya ndak gayeng, Jum. Ngumpul tanpa main kartu tidak asyik. Tidak ada hiburannya!”
“Alaah, sampeyan memang pintar bikin alasan. Di mana-mana yang namanya judi itu ndak baik. Contoh itu Mas Supri. Dia tidak suka main judi, tapi masih bisa bermasyarakat!”
Tiba-tiba Yu Jum menyebut namaku. Hatiku dibuat melambung mendengar pujiannya, tapi sejurus kemudian rasa kecut dan pahit menohok tatkala mendengar ucapan Kang Panut yang terasa menyengat tajam.
“Kamu itu selalu saja mengunggul-unggulkan Supri. Selalu saja dia yang dijadikan perbandingan. Jangan-jangan kamu suka sama dia, ya? Kamu ada main sama dia?!” dengus Kang Panut ketus.
“Sampeyan jangan sembarangan! Aku ndak ada main sama Mas Supri. Sampeyan jangan bikin fitnah!” bantah Yu Jum.
“Alaah, ndak usah mungkir! Diam-diam kamu pasti suka ngobrol dengan dia waktu aku ndak ada di rumah. Iya, kan ... ?!”
“Astaghfirullah, Kang! Jangan bikin tuduhan yang macam-macam. Demi Allah, aku ndak demenan sama dia! Nanti kalau Mas Supri mendengar, sampeyan bisa dituntut! Sampeyan jangan memfitnah!”
“Alaah, orang selingkuh mana ada yang ngaku!”
Yu Jum tampaknya tidak terima dituduh berselingkuh. Dia kemudian menanggapi tuduhan suaminya itu dengan teriakan yang kukira bisa didengar oleh orang sekampung.
“Aku tidak selingkuh ... ! Jangan seenaknya sampeyan memutarbalikkan fakta. Sampeyanlah yang selama ini selingkuh! Sampeyan pikir aku tak tahu, kalau diam-diam sampeyan suka sama Warjinah, janda semok itu? Sampeyan pura-pura jajan di warungnya, tapi sebenarnya cuma mau menggodanya!”
“Siapa yang bilang? Biar kurobek mulutnya!” tukas Kang Panut gusar.
“Ndak usah tanya siapa yang bilang. Semua orang di kampung ini sudah pada tahu sama kelakuan sampeyan. Sampeyan suka berkencan dengan pelacur itu di gubuk tengah sawah! Banyak orang yang melihat!”
“Setan alas! Kutampar mulut kamu nanti!”
“Tampar saja kalau berani!”
Plak! Terdengar suara tamparan pada pipi keras sekali disusul pekik kesakitan Yu Jum.
Aku yang berada di dalam kamar tertegun dan meneguk ludah. Sepertinya pertengkaran mereka semakin meruncing tajam dan mengarah pada KDRT. Para tetangga kiri kanan yang mendengar pertengkaran mereka terkesan membiarkan saja. Mereka tak ada yang berani mendekat atau melerai. Bagi masyarakat kampung kami, pertengkaran antara suami dan istri dianggap sebagai urusan internal yang tak boleh dicampuri.
Tapi tindakan Kang Panut menampar istrinya kuanggap sudah melampaui batas. Apalagi mereka menyangkut-pautkan diriku dalam pertengkaran mereka. Aku tak terima dituduh berselingkuh dengan Yu Jum. Aku perlu mengklarifikasi tuduhan Kang Panut itu. Aku lalu beranjak dari kamar. Tapi sebelum melangkah keluar rumah aku ditahan Ibu di ruang tengah.
“Mau ke mana kamu, Le?” tanya Ibu dengan tatapan curiga. Ibu selalu memanggilku dengan sebutan Le dari kepanjangan thole yang artinya anak.
“Mereka harus dilerai, Bu,” jawabku.
“Jangan, Le! Biarkan saja mereka menyelesaikan urusannya sendiri. Kamu tak usah ikut campur!”
“Tapi kalau dibiarkan Kang Panut bisa tambah kasar, Bu. Kasihan Yu Jum kalau sampai dihajar suaminya. Apalagi namaku disangkut-pautkan dengan masalah mereka. Aku tidak bisa tinggal diam!”
“Kalau kamu ke sana urusannya bisa tambah keruh. Panut akan semakin curiga karena kamu membela istrinya. Orang-orang pun akan menyangka kamu benar-benar ada main sama si Jum. Sudahlah, kamu tak usah libatkan dirimu dalam urusan orang lain. Biarkan saja mereka!”
“Tapi aku tidak terima dituduh macam-macam, Bu! Dia tidak bisa seenaknya menuduh tanpa bukti. Itu fitnah namanya! Aku bisa menuntut dia ke pengadilan!” desisku gusar.
“Sudahlah, Pri! Tidak ada gunanya kamu menuntut-nuntut segala. Masak urusan begini saja sampai ke pengadilan. Biarkan saja, tidak usah ditanggapi!”
“Tapi, Bu … ?”
“Kamu itu mau mendengar Ibu, tidak? Ibu tidak mau kamu berperkara dengan tetangga sendiri hanya untuk urusan sepele begini. Malu nanti kalau dibicarakan orang. Urusan Panut bicara yang macam-macam biarkan saja. Nanti orang lain yang akan menilai. Becik ketitik ala ketara. Siapa yang salah pasti akan ketahuan!” tandas Ibu menegaskan.
Aku mendesah pendek. Peringatan keras Ibu membuatku urung mendekati mereka. Meski ada perasaan kecewa dan jengkel, tapi setelah kupikir dalam-dalam apa yang dikatakan Ibu benar. Tak ada gunanya melerai pasangan suami istri yang sedang dalam tensi tinggi itu. Mereka sedang dikuasai hawa nafsu amarah. Mereka lebih banyak menggunakan emosi dari pada akal sehat!
####
Malam sunyi dan lengang. Hanya suara jangkerik dan serangga malam terdengar di luar. Sudut-sudut jalanan sudah diterangi oleh lampu neon yang terpasang di depan rumah. Warga kampung asyik bercengkerama dengan hiburan di layar kaca di rumah masing-masing. Bagi yang tak suka acara televisi, terutama kaum bapak-bapak, memilih nongkrong di pos ronda. Kongkow sambil main kartu. Atau kalau tidak nongkrong di warung Warjinah.
Aku tak suka keluyuran malam. Karena aku tak bisa meninggalkan ibu sendirian di rumah. Sejak bapak meninggal lima tahun silam, aku yang mengurus dan menjaga Ibu. Usai menyelesaikan S1 PGSD aku melamar menjadi guru di SD tak jauh dari rumahku. Sudah lebih dari lima tahun aku mengajar. Meski belum diangkat menjadi guru PNS, tapi aku tetap setia menekuni profesiku. Karena bagiku menjadi guru adalah pengabdian!
Aku sedang memeriksa ulangan murid-muridku di kamar, ketika tiba-tiba terdengar ada suara jeritan di luar rumah. Aku memasang pendengaranku dengan seksama. Tak salah lagi, ada suara jeritan histeris perempuan yang sepertinya tak jauh dari rumah. Aku bergegas keluar kamar. Aku lihat Ibu masih ada di ruang tengah menonton televisi.
“Ibu tidak mendengar suara orang menjerit?” ujarku bertanya pada Ibu.
“Tidak itu, Le. Ibu tidak mendengar apa-apa,” jawab Ibu.
Aku jadi penasaran. Aku segera keluar rumah, diikuti oleh Ibu. Bukan hanya kami saja yang mendengar jeritan itu, beberapa tetangga kiri kanan juga mendengar. Mereka berhamburan keluar rumah. Mereka saling bertanya-tanya.
“Siapa itu yang menjerit?”
“Dari mana asal jeritan itu?”
“Sepertinya dari rumah Mbah Minto.”
“Bukan, itu dari rumah Yu Parijem. Suami Yu Parijem kan sedang sakit!”
Begitulah riuh kalimat orang-orang saling menduga-duga. Beberapa dari mereka lalu bergegas menuju ke rumah yang ditengarai asal suara jeritan. Aku mengikuti rombongan orang-orang itu, sementara Ibu berdiam di rumah. Kami telah mendekati sumber jeritan. Sepertinya benar datang dari rumah Yu Parijem. Di rumah Yu Parijem yang sempit tampak berkerumun manusia. Aku menerobos kerumunan agar bisa masuk ke dalam.
“Ada apa ini?”
“Apa yang terjadi?” tanya sebagian warga yang baru datang.
“Kang Marto pingsan. Istri dan anak-anaknya mengira dia sudah meninggal … .” jawab seseorang.
“Memang dia sakit apa?”
“Sakit bengek. Sudah cukup lama.”
“Kenapa tidak dibawa ke dokter?”
“Sudah. Malah sudah tiga kali suntik, tapi tidak ada perubahan.”
“Dibawa saja ke rumah sakit!” cetusku mengusulkan.
Tapi usulku ini tak ada yang menanggapi. Orang-orang itu malah menampakkan wajah kecut.
“Kalau dibawa ke rumah sakit, siapa nanti yang akan menanggung?” celetuk seseorang terdengar sinis.
“Biaya rumah sakit mahal, sementara keluarga Kang Marto tidak ada yang sanggup menanggung. Mereka orang miskin!” sahut yang lain.
“Kan bisa dicarikan surat keterangan miskin?” ujarku.
“Kang Marto sudah pernah dibawa ke rumah sakit dengan kartu Jamkesmas. Tapi kenyataannya sampai di sana tidak mendapat perawatan semestinya. Jadi percuma saja dia dibawa ke rumah sakit kalau tidak sembuh,” kata seorang laki-laki setengah baya yang berdiri tak jauh dariku.
Saat kutoleh ternyata Pak Parmanto. Seorang pensiunan guru yang juga merangkap jadi ketua RT di kampung kami. Aku merasa kecut dengan kalimatnya yang bernada skeptis. Aku tahu, Kang Marto pernah mengalami pengalaman buruk dirawat di rumah sakit karena mendapat pelayanan tidak semestinya. Tapi yang jadi persoalan bukan pengalaman buruk itu, tapi tindakan terhadap kondisi Kang Marto sekarang ini. Apakah laki-laki itu harus dibiarkan sekarat tanpa pertolongan apa-apa?
“Maaf, Pak. Tapi bagaimana pun Kang Marto harus segera ditolong. Kita tidak bisa membiarkannya seperti ini. Dia harus dibawa ke rumah sakit atau setidaknya ke dokter!” ujarku.
“Kemarin dia sudah dibawa ke dokter dan dokter sudah menyarankan agar dia dibawa ke rumah sakit.”
“Kalau begitu, kenapa tidak segera dibawa ke rumah sakit?”
“Wah, sampeyan ini gimana sih. Tadi sudah saya bilang kalau dibawa ke rumah sakit pun percuma. Persoalannya lain kalau dia ditempatkan di ruang VIP dan langsung ditangani dokter spesialis. Tapi keluarganya tidak punya biaya untuk bayar kelas VIP. Mesti bayar DP dulu paling tidak sekian juta rupiah. Belum lagi nanti kalau ditembak untuk operasi. Siapa yang mau menanggung?”
“Kita bisa bergotong royong membantu keluarga Kang Marto…”
“Dana kas sosial RT cuma ada duaratus ribu. Itu ndak cukup! Mau narik sumbangan pada warga? Lha wong warga kampung ini saja banyak yang miskin. Yang sakit dan butuh pertolongan bukan hanya Kang Marto saja, tapi banyak. Jadi, bukan kita tidak mau membantu, tapi lihat sikonnya juga!”
Aku tercenung. Ucapan Pak Parmanto bisa aku pahami. Beginilah potret buram kehidupan orang-orang miskin. Kehidupan mereka yang sudah sangat sulit semakin bertambah sulit saat tertimpa musibah atau sakit. Kenyataan pahit yang terjadi pada Kang Marto semakin membuka mata hati kita, betapa diskriminasi terhadap wong cilik alias orang miskin masih saja terjadi.
“Kalau Kang Marto tidak dibawa ke rumah sakit, bagaimana nanti nasibnya? Kita akan turut berdosa bila tidak menolongnya!” Aku menekankan kata berdosa untuk membangkitkan kesadaran pada diri orang-orang.
“Jangan khawatir. Kita sudah panggilkan Mbah Mangun untuk mengobatinya!” ujar Pak Parmanto enteng.
Aku tersedak. Sekali lagi, kebodohan ditunjukkan oleh warga kampung ini. Bahkan kebodohan itu dilakukan oleh orang berpendidikan dan berpengalaman seperti Pak Parmanto. Mereka masih percaya pada dukun. Mbah Mangun yang dimaksud Pak Parmanto tak lain adalah seorang dukun!
Dalam setiap perhelatan atau acara yang diselenggarakan oleh warga, peran Mbah Mangun tak bisa ditinggalkan. Beliau sering memimpin doa dalam setiap acara ritual, bahkan yang dikemas dalam bungkus Islam. Dia sebenarnya tidak fasih dalam mengucapkan lafaz bahasa Arab, tapi konon doanya sangat mujarab karena dicampur dengan bahasa Jawa kuno. Dia juga konon dikenal pandai mengobati. Dia melakukan pengobatan dengan cara tradisional, yakni dengan suwuk dan membakar kemenyan.
Aku bukannya meragukan kemampuannya, namun dilihat dari kompetensi dan kapabilitasnya sulit untuk dipercaya. Dokter saja tidak bisa mengobati segala jenis penyakit. Mereka memiliki keahlian masing-masing. Dokter gigi tidak bisa mengobati orang sakit jantung. Apalagi cuma seorang Mbah Mangun yang sehari-harinya jarang mandi. Bau badannya bisa tercium sejauh lima meter. Jika tertawa tampak giginya yang hitam. Aku yakin dia tak pernah gosok gigi. Buat orang semacam itu yang kesehatan dirinya saja tak pernah dipelihara, bagaimana dia bisa menyehatkan orang lain? Sungguh tak masuk di akal. Islam mengajarkan; segala urusan akan menjadi baik bila diserahkan pada ahlinya!
Namun sekali lagi, ketokohan dan kharisma Mbah Mangun masih melekat di benak warga. Mereka begitu menghormati dan menempatkan orang tua itu di tempat tertinggi. Orang-orang percaya Mbah Mangun memiliki kekuatan linuwih atau dianggap sakti, tapi aku berusaha tidak terpengaruh. Sebab, dalam Islam pun ada larangan mempercayai dukun. Siapa mendatangi dukun, sekalipun cuma mempercayai ucapannya, 40 hari sholatnya tidak diterima!
“Pakeeee … ! Bangun, Pakeee … !”
Tiba-tiba dari ruangan dalam terdengar lengking jeritan Yu Parijem. Semua orang terkejut. Mereka jadi panik dan tegang. Mereka kembali berdesakan ingin melihat apa yang terjadi.
“Mana Mbah Mangun? Siapa yang tadi memanggil Mbah Mangun?” Tiba-tiba seseorang berdiri sambil celingukan.
“Waridi yang menjemput Mbah Mangun. Sebentar lagi mereka pasti sampai!” sahut seorang anak muda.
“Tuh, mereka sudah datang!” Tiba-tiba ada yang menunjuk keluar.
Benar saja. Dari arah halaman muncul Mbah Mangun bersama Waridi. Mereka bergegas masuk ke dalam rumah. Beberapa orang memberi jalan. Sosok Mbah Mangun menyerupai pendekar di zaman dulu. Memakai baju hitam, celana hitam, sabuk atau kopel besar melingkar di pinggang. Kepala dililit dengan sebuah kain dan di jari-jari tangannya penuh dengan cincin akik besar-besar. Wajah Mbah Mangun cukup sangar dengan kumis dan cambang, meski badannya sedang saja. Matanya melotot tajam seperti mata burung hantu.
Begitu datang dia langsung duduk bersimpuh di depan Kang Marto. Dia mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya, mungkin semacam jimat. Dia menggosok-gosok benda itu dengan kedua telapak tangannya. Kedua matanya sejenak terpejam dan bibirnya komat-kamit mengucapkan mantra yang tak jelas. Dia lalu mengoles-oleskan jimat yang tadi sudah dimantrainya ke sekujur tubuh si sakit, lalu dia minta air putih segelas yang kemudian dicemplungi jimat tadi. Setelah dimantrai air putih itu lalu disruputnya, tapi tidak diminum, hanya buat berkumur dan kemudian disemprotkan pada tubuh pasien.
Huak! Rasanya aku mau muntah. Ya, kuanggap itu sebagai tradisi jahiliyah. Karena hanya kaum jahiliyah yang masih percaya pada praktek perdukunan. Aku lalu menemui Mas Prasto yang berada di luar. Seniorku yang juga berprofesi guru itu rupanya ikut jadi penonton di tengah kerumunan.
“Mas Pras! Apa tidak sebaiknya Kang Marto dibawa ke rumah sakit saja?” ujarku kepadanya.
“Gimana mau dibawa ke rumah sakit, wong keluarganya saja menolak,” kata Mas Prasto.
“Mereka menolak karena tak punya biaya. Kita yang mesti berinisiatif menggalang dana untuk membantu mereka.”
“Tapi Pak RT bilang dana kas RT tidak cukup.”
“Kita bisa kumpulkan dana lagi. Nanti kita minta bantuan pada Pak Kardiman untuk menalangi dulu. Beliau kan orang kaya di kampung ini. Dia tentu tak keberatan. Bagaimana?”
“Kamu berani bilang sama Pak Kardiman?”
“Memang kenapa?”
“Kayak kamu tidak tahu saja siapa Pak Kardiman. Dia terlalu perhitungan dalam soal duit!”
“Beliau kan seorang muslim dan rajin ibadah. Masak sih, kalau buat bantu orang miskin dan sakit saja pakai perhitungan?”
“Makanya, coba saja kamu ke sana bilang sendiri. Kalau aku sih enggak berani!”
Untuk membuktikan kebenaran ucapan Mas Prasto, aku penuhi tantangannya mendatangi rumah Pak Kardiman.
“Baiklah, Mas. Aku akan ke rumah Pak Kardiman. Tapi sampeyan harus temani saya,” kataku akhirnya.
Tadinya Mas Prasto enggan, tapi setelah kudesak akhirnya dia mau. Kami segera berangkat menuju ke rumah Pak Kardiman dengan naik sepeda motor. Kami telah sampai di depan rumah Pak Kardiman. Kami lihat di dalam rumah lampu masih menyala. Berarti tuan rumah ada. Kami turun di depan pintu pagar dan berjalan menuju ke dalam rumah. Kami mengucap salam dan mengetuk pintu. Terdengar suara Pak Kardiman menyahut salam dari kami dan membukakan pintu. Melihat kedatangan kami, Pak Kardiman agak heran dan kaget juga.
“O, Mas Supri sama Mas Prasto. Tumben, malam-malam ke sini. Ada keperluan apa?” tanya Pak Kardiman.
“Ee ... , maaf kalau mengganggu bapak. Kami ada perlu sebentar. Boleh kami masuk,” kataku agak canggung.
“O ya, silahkan masuk!”
Kami masuk ke dalam ruang tamu yang sangat benderang, karena di langit-langit terpasang lampu gantung kristal. Kami duduk di sofa yang empuk. Pak Kardiman duduk di hadapan kami. Sejenak aku menata sikapku sebelum kemudian mengutarakan tujuan kami datang ke sini. Aku menceritakan keadaan Kang Marto dan kesulitan keluarganya. Aku meminta kesediaan Pak Kardiman untuk menalangi biaya pengobatan Kang Marto di rumah sakit. Kami berencana akan menggalang dana dari masyarakat untuk membantu pengobatan Kang Marto.
“Ee ... , maaf ya, Dik Supri. Bukannya saya tidak mau membantu, tapi saat ini saya juga lagi repot. Saya harus bayar biaya ongkos haji, lalu bayar semester dan ujian anak-anak saya, belum lagi pajak kendaraan juga sudah mau habis. Saya tidak bisa itu, Dik Supri,” kata Pak Kardiman berdalih.
“Tapi kalau cuma dua juta atau tiga juta rupiah kan bisa, Pak. Kami tidak meminta bapak yang membayar, melainkan untuk menalangi. Kasihan Kang Marto jika tidak segera dibawa ke rumah sakit. Bisa kan, Pak?” desakku.
Pak Kardiman garuk-garuk kepala. Kelihatan kalau dia agak bimbang. “Ya, saya tahu. Saya juga kasihan sama Marto, tapi bagaimana ya … ?”
Dalam hati aku merasa kecut mendengar ucapan Pak Kardiman. Aku tahu, sebenarnya dia masih punya uang, hanya saja dia berat untuk mengeluarkannya. Dia terlalu sayang pada uangnya. Dia tidak ingat dengan kewajibannya sebagai seorang muslim. Tapi aku berusaha menepis su’uzonku ini. Boleh jadi dia benar-benar sedang tidak ada uang.
“Begini saja, Pak. Tolong bapak pinjami uang buat membawa Kang Marto ke rumah sakit!” ujarku kemudian memancing. Pikirku, siapa tahu kalau dengan kalimat meminjam dia baru mau mengeluarkan uang.
Benar saja. Dia bersedia meminjami, tapi dia minta garansi.
“Saya bisa saja meminjami uang, tapi siapa nanti yang bertanggung jawab?” katanya bikin hatiku jadi getir.
“Kami nanti akan mengumpulkan dana dari warga!” tegasku.
“Wah, kalau begitu sih namanya tidak ada yang bertanggung jawab. Memangnya warga mau iuran uang sebanyak itu? Sudah, begini saja. Sampeyan saja yang meminjam. Jadi urusannya saya dengan sampeyan, bagaimana?”
“Maaf, Pak. Ini buat amal. Mohon pengertiannya.”
“Tuh, sampeyan saja tidak mau bertanggung jawab. Saya juga begitu, Mas. Saya bisa saja keluarkan uang dua atau sepuluh juta sekalipun, tapi harus ada hitam di atas putih. Harus ada perjanjian kapan uang itu dikembalikan dan berapa bunganya!” tandas Pak Kardiman.
Aku menoleh kepada Mas Prasto. Laki-laki itu hanya mengedikkan bahu. Ternyata benar apa yang dikatakannya. Pak Kardiman kelihatannya saja alim dan dermawan, tapi sebenarnya pelit dan penuh perhitungan. Semua urusan selalu diukur dengan uang. Dia tak menyadari bahwa harta yang didapatnya merupakan pemberian Allah. Mudah bagi Allah mengambilnya kembali!
Akhirnya, kami pulang dengan tangan hampa. Di perjalanan aku kembali berunding dengan Mas Prasto. Aku mengusulkan untuk mengambil dana infak di masjid. Kebetulan Mas Prasto ketua takmir masjid kampung. Mas Prasto setuju. Aku juga akan menyumbangkan uang tabunganku di bank meskipun jumlahnya tak seberapa. Mas Prasto tergerak hatinya untuk menyumbangkan kambing miliknya. Aku tersenyum mendengar spontanitas Mas Prasto. Aku yakin, warga lain akan tergerak hatinya untuk ikut menyumbang. Secercah harapan terbit dalam hati kami. Semoga, Kang Marto bisa segera ditolong!
Tapi sayang… ketika kami sampai di rumah Kang Marto, laki-laki malang itu telah menghembuskan napas penghabisan.
####
Masih ingat Kang Panut?
Tetangga sebelah rumah yang beberapa waktu lalu sempat mencurigai aku ada main sama Yu Jum, istrinya. Kini hubungan kami terjalin akrab. Kami sering duduk bercengkerama, ngobrol apa saja. Bahkan Kang Panut tak segan curhat padaku. Sepertinya dia sudah menaruh kepercayaan besar padaku. Dia menyadari kalau aku tak seburuk yang disangkanya. Bahkan dia merasa malu jika ingat dengan sikapnya selama ini. Terus terang dia pernah menuduh aku selingkuh dengan istrinya semata untuk menutupi kebobrokannya sendiri.
“Begitulah perilaku orang kalau sudah tersudut, selalu cari kambing hitam. Aku menyadari kalau aku salah, tapi berat untuk mengakui. Mungkin karena terbawa watak laki-laki. Egois dan tak mau mengalah,” ucapnya getir.
“Ya, sudah, Kang. Yang sudah tak perlu diungkit-ungkit lagi. Yang penting jangan diulangi,” kataku menghibur.
“Terkadang saat aku merenung sendiri, aku jadi menyesal dengan apa yang telah kulakukan selama ini. Aku telah banyak merugikan keluargaku. Duit kuhabiskan di meja judi dan hanya menuruti kesenangan sendiri. Padahal keluargaku masih hidup susah!”
Aku tersenyum mendengar pengakuan Kang Panut. Aku senang melihat perubahannya. Rupanya tak sia-sia aku mengajaknya ngobrol dan bicara dari hati ke hati. Setiap kali ngobrol aku sering menyelipkan pesan-pesan moral padanya. Aku memberikan pengertian padanya tentang hidup beragama yang benar. Jika dia mengaku sebagai pemeluk Islam, maka dia harus konsekuen menjalankan aturan agama Islam. Orang hidup tanpa aturan agama biasanya akan mudah tersesat dan terjerumus.
“Tapi kadang kita sulit menangkal godaan yang datang, Mas?” ujarnya.
“Itulah makanya kita perlu memelihara keimanan kita, Kang. Keimanan adalah benteng efektif untuk menangkal godaan syetan!” tegasku.
“Tapi keimanan kita kadang juga suka naik turun, Mas.”
“Itulah perlunya kita sholat dan berzikir kepada Allah. Dengan berdisiplin mengerjakan sholat lima waktu kita senantiasa dekat dengan Allah. Selain itu kita juga harus sering berzikir untuk mengingat Allah. Dengan selalu mengingat Allah, diri kita merasa terjaga dari perbuatan maksiat. Setiap kali akan berbuat maksiat kita tersadar bahwa kita sedang diawasi Allah!”
Kang Panut manggut-manggut. Dia memahami penjelasanku. Namun, meski sekarang sudah mulai menampakkan perubahan Kang Panut kadang masih juga diliputi rasa bimbang. Dia mengaku sering tak mampu menahan godaan. Bukan godaan untuk main judi lagi, karena dia kini sama sekali sudah berhenti, tapi godaan pada perempuan. Dia tak bisa menahan keinginan menyambangi warung Warjinah.
“Tidak tahu ya, Mas. Bayangan Warjinah kerap mengganggu pikiranku. Kalau sehari tidak melihat wajahnya hati ini jadi gelisah,” ucapnya jujur.
“Kalau itu resepnya gampang saja, Kang. Sampeyan jangan sering lewat depan rumahnya atau mengunjungi warungnya,” kataku memberi saran.
“Wah, kalau disuruh tidak mengunjungi warungnya tidak bisa, Mas.”
“Memangnya kenapa?”
Kang Panut tidak langsung menjawab. Dia tampak tersipu-sipu. Persis anak remaja yang sedang jatuh cinta. Dengan suara lirih ia lalu berkata, “Selain aku masih punya hutang di sana, aku juga paling demen sama kopi bikinan Warjinah. Rasanya beda dengan yang dibuat istriku. Tapi… psst, jangan bilang-bilang sama Jum soal ini!”
Aku mengangguk sambil tersenyum kecil.
“Sebenarnya selama ini aku dan Warjinah belum pernah macam-macam lho, Mas. Paling jauh kami cuma duduk berduaan sambil berpegangan tangan. Warjinah terlalu jual mahal. Aku pernah minta cium tapi ndak dikasih … ,” ucap Kang Panut sambil tersipu-sipu.
“Sudahlah, Kang. Tidak usah diturutkan rasa penasaran. Lupakan Warjinah. Buat apa mencari yang haram kalau yang halal sudah disediakan Allah di rumah. Iya, tidak, Kang?”
Kang Panut mengangguk setuju.
Siang itu … .
Aku sedang dalam perjalanan pulang dari mengajar dengan mengendarai sepeda motor. Ketika akan memasuki jalan kampung tiba-tiba ada perempuan berdiri di tengah jalan mencegatku. Ternyata perempuan itu Warjinah. Aku jadi heran apa maksudnya mencegatku di tengah jalan. Sejenak kupandangi Warjinah yang mengenakan pakaian serba ketat, kaos ketat dan celana jins ketat. Meski usianya sudah kepala tiga, tapi kuakui kalau dia masih terlihat muda dan cantik. Pantas, Kang Panut tergila-gila padanya!
“Ada apa, Yu?” tanyaku kalem.
“Aku ada perlu sama kamu,” jawab Warjinah terlihat agak gugup.
“Perlu apa, Yu?”
“Sebaiknya kita jangan bicara di sini, Pri.”
“Memangnya kenapa, Yu?”
“Pokoknya jangan di sini, nanti ketahuan orang!”
“Lalu, kita mau bicara di mana?”
“Nanti aku tunjukkan tempatnya. Ayo, boncengkan aku!” Warjinah hendak naik ke jok belakang, tapi aku buru-buru mencegah.
“Sebentar, Yu. Sebenarnya apa sih, yang mau sampeyan bicarakan? Kenapa tidak omong di sini saja?” tukasku.
“Di sini tidak aman untuk omong, Pri!”
“Tidak aman bagaimana?”
“Sudahlah, kamu tidak usah banyak tanya dulu. Pokoknya kamu mau tidak aku ajak omong. Ini penting sekali. Hanya kamu yang bisa nolong aku!” tandas Warjinah terlihat begitu ngotot.
Aku meneguk ludah. Aku jadi teringat dengan cerita Yu Jum tentang kelakuan Warjinah yang kerap berkencan dengan bermacam laki-laki, termasuk suaminya. Mungkin sekarang ini dia juga hendak mengajakku kencan. Dia punya trik supaya lelaki yang dikencaninya mau menuruti ajakannya. Seperti yang dilakukannya sekarang ini. Dia pura-pura ada perlu penting sama aku dan mengajakku bicara berdua saja di tempat sepi. Wajahnya yang menghiba dan memelas mampu menyihirku.
Astaghfirullah! Aku mencoba menepis rasa kasihanku pada Warjinah. Aku harus bisa melawan godaannya!
“Tapi maaf, Yu. Aku juga masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Sebaiknya sampeyan langsung saja omong. Sampeyan tak perlu khawatir ada yang mendengarnya,” kataku kemudian mencari alasan yang tepat.
“Ya, aku tahu. Tapi aku tetap tidak tenang kalau bicara di sini. Ayolah, Pri. Tolong aku. Sebentar saja! Aku cuma mau omong sama kamu. Aku janji tidak akan ngapa-apain. Kamu jangan terpengaruh sama omongan orang-orang yang tidak bener. Aku memang bejat, Pri. Tapi aku juga masih punya perasaan. Mana mungkin aku mau menjebak kamu yang alim dan taat beribadah!” tegasnya.
Aku tersedak. Warjinah tampaknya bisa membaca gelagatku yang diliputi kekhawatiran terhadapnya.
“Ayolah, Pri! Cuma sebentar saja! Aku janji, kalau sampai kamu celaka atau aku menipu, kamu boleh potong lidahku ini!” ujarnya meyakinkan.
Aku merasa tak punya pilihan. Kelihatannya Warjinah sungguh-sungguh membutuhkan pertolonganku. Akhirnya, aku mengangguk. Aku menyilahkan dia naik ke boncengan. Aku lalu menyalakan motorku, tidak jadi pulang, melainkan berbelok arah. Menuju tempat yang diinginkan Warjinah.
Belakangan ini sikap Kang Panut tampak berubah. Entah kenapa, dia tidak pernah lagi menyapa dan mengajakku bicara. Suatu ketika aku sempat berpapasan dengan Kang Panut di jalan setapak menuju ke ladang. Saat itu dia akan berangkat mencari rumput. Kesempatan ini tak kusiakan untuk menyapanya.
“Mau ke mana, Kang?” tanyaku mula-mula.
“Biasalah, cari rumput,” jawabnya pendek saja.
“Oh ya, Kang. Tumben sekarang tidak cakrukan lagi? Lagi sibuk ya ... ?”
“Sampeyan yang sibuk!”
Aku mengerutkan alis, tak mengerti dengan ucapannya. “Aku sibuk apa ... ?” ujarku agak bingung.
“Aku tidak nyangka, Mas. Kukira sampeyan orang alim, tapi tidak tahunya sama saja dengan aku. Sampeyan menasehati aku supaya tidak kepincut sama Warjinah, tapi ternyata sampeyan malah lengket sama dia!” desisnya sinis.
“Siapa yang lengket sama Warjinah? Sampeyan jangan ngawur ah!” bantahku sambil tertawa kecil.
“Sudahlah, tidak usah munafik. Kalau sampeyan suka sama Warjinah, ambil saja. Sampeyan kan masih bujang, jadi tidak bakal ada yang menghalangi. Sudah, ah. Aku mau nyari rumput!” Kang Panut lalu buru-buru pergi.
“Tunggu, Kang ... ?” Aku hendak mengejar, tapi laki-laki itu sudah terburu-buru melangkah jauh.
Ternyata bukan hanya Kang Panut yang berpikiran aku ada affair sama Warjinah. Ibu ternyata juga berpikir demikian. Dengan wajah meradang Ibu menginterograsi aku ketika sampai di rumah.
“Kamu ada hubungan apa dengan Warjinah?” tanya beliau gusar.
“Ibu ini omong apa?” tukasku tak mengerti arah pertanyaannya.
“Sudah, kamu tak usah berpura-pura. Aku sudah tahu, kalau kamu kemarin pergi berdua sama Warjinah. Iya, kan?”
“Siapa yang bilang, Bu?”
“Kamu tak perlu tahu siapa yang bilang. Pokoknya ibu tahu, bahkan semua orang di kampung ini sudah pada tahu!”
Sejenak aku diam tercenung. Apa yang kukhawatirkan benar-benar terjadi. Aku tak mengira kepergianku dengan Warjinah kemarin mencuatkan kabar tak sedap. Aku yakin, kabar yang kemudian beredar itu telah dibumbui bermacam spekulasi. Mereka menuduh aku dan Warjinah telah berbuat maksiat. Tuduhan seperti ini kemudian menemukan pembenaran mengingat sosok Warjinah yang dikenal bukan perempuan baik-baik. Warjinah kerap berkencan dengan bermacam lelaki. Stigma buruk itu ikut menodai citraku.
Jika aku menceritakan hal sebenarnya Ibu mungkin tak akan percaya. Tapi bila aku tidak mengatakan yang sebenarnya, Ibu tentu akan lebih curiga. Aku juga tak punya kemampuan untuk menipu atau berbohong. Aku akan diliputi rasa bersalah bila bicara tidak sebenarnya, apalagi ini menyangkut kehidupan seseorang. Aku tak mau berspekulasi dengan nasib orang lain. Maka, dengan menepis rasa ragu, aku kemudian mengungkapkan hal sebenarnya kepada Ibu. Seperti sudah kuduga, Ibu tak percaya mendengar pengakuanku.
“Kamu jangan mengada-ada, Pri!” ujar Ibu gusar.
“Bener, Bu! Aku bicara yang sebenarnya. Buat apa aku berbohong pada Ibu?” ujarku dengan sungguh-sungguh.
“Kamu hanya ingin menutupi kesalahanmu!”
“Sumpah, Bu! Demi Allah, aku tidak berbuat apa-apa sama Warjinah. Aku cuma mendengarkan keluhannya. Hanya itu saja.”
Ibu diam tercenung sebentar. Sepertinya dia masih diliputi keraguan atas pengakuanku. Tapi sejurus kemudian beliau menghela napas panjang. “Baiklah, Pri. Ibu percaya sama kamu. Tapi, berita tak sedap tentang diri kamu dan Warjinah sudah menyebar luas. Ibu tak mau namamu ikut tercemar!” cemasnya.
“Soal itu Ibu tak usah khawatir. Gosip tak benar itu akan sirna dengan sendirinya bila kebenaran sudah datang!” ujarku meyakinkan.
“Bagaimana orang akan percaya kalau kamu hanya diam saja? Kamu harus berbuat sesuatu untuk meyakinkan orang-orang bahwa kamu tidak seburuk yang mereka sangka!”
“Tak perlu harus wara-wara untuk meyakinkan semua orang to, Bu. Nanti jika ada yang tanya bilang saja seperti apa yang kuceritakan tadi.”
“Kalau mereka tidak percaya?”
“Mereka mau percaya atau tidak, itu bukan urusan kita. Yang penting kita sudah berbuat benar!” tandasku.
Ibu terdiam. Raut wajahnya yang tadi terlihat gusar kini sudah mulai mereda. Meski masih membayang gundah tapi sepertinya beliau bisa menerima penjelasanku. Hatiku cukup tenang.
####
Setelah berhasil meyakinkan Ibu, tugas selanjutnya adalah meyakinkan warga sekitar. Tapi ini pun bukan pekerjaan gampang. Warga kampung tampaknya begitu percaya dengan gosip miring yang beredar. Setiap kali aku melintas di jalan hampir semua mata tertuju padaku. Pandangan mereka terlihat sinis dan penuh cemooh. Bahkan tak sedikit yang mencibir. Oh, begitu dahsyatnya fitnah. Bisa menghancurkan hidup seseorang. Bahkan Mas Prasto, rekanku mengajar, juga ikut termakan oleh gosip miring itu.
“Aduh, Pri. Kenapa sih, kamu mau sama janda semok itu. Apa tidak ada perempuan lain? Kalau mau, aku bisa kenalkan kamu sama teman-teman istriku di pengajian. Mereka masih gadis-gadis dan yang jelas kepribadiannya tak perlu diragukan,” kata Mas Prasto tahu-tahu sudah memberi komentar seperti itu.
“Kamu ini omong apa sih, Mas?” timpalku pura-pura tak tahu.
“Alaah, tidak usah pura-pura. Kabar kedekatanmu sama Warjinah sudah menyebar ke mana-mana.”
Aku tertawa. Mas Prasto menatapku bingung. “Lho, kamu kok malah ketawa ... ?”
“Ya, ampun, Mas. Kenapa mesti termakan omongan orang,” ucapku.
“Lho, memang tidak benar berita itu? Mereka bilang kamu boncengan sama Warjinah menuju ke sendang Tirtomulyo. Ngapain kalian ke sana kalau bukan hendak ... .” Mas Prasto tidak meneruskan ucapannya.
“Dengar ya, Mas. Aku pergi ke sendang itu sama Warjinah baru satu kali itu saja. Lagi pula apa ada orang tahu dengan keperluan kami ke sana ... ?”
“Memangnya kalian ngapain di tempat sepi itu?”
Aku menarik napas sebentar. Tampaknya aku perlu menceritakan pada seniorku itu supaya dia tidak salah paham dengan berita yang beredar. Dia mesti mendengar langsung dari sumbernya. Aku lalu menceritakan pertemuanku dengan Warjinah sampai kepergian kami ke sendang yang dikeramatkan itu. Aku tuturkan apa adanya peristiwa yang menimpa Warjinah, seperti penuturan wanita itu sendiri. Mas Prasto tercengang dan menampakkan raut wajah serius. Entah, apa yang terbit dalam hatinya. Tapi aku yakin, dia mempercayai aku. Dia tahu kapasitasku sebagai guru dan teman dekat. Tidak mungkin aku membohonginya.
####
Dentang bel tanda jam istirahat berbunyi. Aku mengakhiri kegiatanku mengajar di kelas lima. Anak-anak berhamburan keluar dari ruangan. Aku melangkah menuju ke ruang guru. Sambil berjalan aku membuka ponselku. Setelah tombol on kuaktifkan tak berapa lama terdengar bunyi dering menandakan ada pesan singkat masuk. Ternyata dari Warjinah. Isi singkat saja; Tlng aku, Pri. Aku dkryok sm org2 kampung. Mrk mau mngusir aku. Cpt pulang! dr Warjinah. Aku tertegun beberapa saat. Warjinah mau diusir oleh orang-orang kampung? batinku kaget. Sejenak aku jadi bingung, apa yang mesti kulakukan.
Aku khawatir telah terjadi sesuatu pada Warjinah. Aku segera bergegas menuju ruang guru. Aku menghampiri Mas Prasto. Aku menunjukkan padanya sms yang baru saja kuterima. Mas Prasto pun tampak kaget. Aku lalu meminta pertimbangannya, apa yang mesti dilakukan. Tak kuduga Mas Prasto menyarankan agar aku segera ke sana. Bahkan dia bersedia menemani. Dia juga khawatir terjadi sesuatu pada Warjinah.
“Tapi, Mas. Ini masih jam mengajar ... ?” kataku jadi bimbang.
“Ini baru jam istirahat, Pri. Kita pulang hanya sebentar saja. Hanya untuk memastikan tidak terjadi apa-apa pada Warjinah. Bagaimana pun kita wajib menolong orang yang membutuhkan pertolongan, sekalipun dia bukan orang yang bener. Kita menolong karena dilandasi rasa kemanusiaan!” tegas Mas Prasto.
Akhirnya, aku dan Mas Prasto berangkat dengan berboncengan sepeda motor. Kami pamit dulu pada kepala sekolah. Untunglah bapak kepala sekolah mengijinkan. Ketika kami sudah tiba di depan warung Warjinah, terlihat orang-orang ramai berkumpul di tempat itu. Terdengar suara riuh orang-orang menghujat Warjinah. Di tengah suara riuh orang-orang terdengar jerit tangis perempuan di dalam warung. Siapa lagi kalau bukan Warjinah!
Aku dan Mas Prasto menyeruak diantara kerumunan orang-orang yang menutupi jalan masuk ke dalam rumah. Mereka langsung menyisih memberi jalan. Aku terkejut saat menyaksikan di tengah ruangan Warjinah duduk bersimpuh dengan pakaian berantakan dan rambut awut-awutan. Wajahnya bersimbah air mata. Sementara beberapa orang laki-laki dan perempuan mengelilinginya. Wajah-wajah mereka terlihat murka dengan sorot mata tajam dihiasi api amarah. Salah seorang dari mereka memegang sebuah gunting. Sepertinya mereka hendak menggunduli Warjinah.
“Ada apa ini? Apa yang terjadi?” seruku kepada mereka.
Melihat kedatanganku wajah Warjinah yang tadi tampak sayu dan muram seketika berubah berbinar. Dia segera menghambur ke arahku dan menubruk kakiku sambil meraung minta tolong. “Tolong aku, Pri! Aku mau digunduli sama mereka. Aku mau diusir dari kampung ini! Hu hu hu ... !”
Pemandangan ini tentu saja membuat aku jadi miris dan serba salah. Semua pandangan mata langsung tertuju ke arahku. Mereka ada yang mencibir dan mendecih.
“Ada apa ini? Kenapa Warjinah mau digunduli dan diusir dari kampung ini?” tanya Mas Prasto, entah ditujukan pada siapa.
Pak Parmanto, ketua RT, maju ke depan. Wajahnya terlihat bengis. “Perempuan ini telah bikin malu kampung kita. Dia telah mengotori kampung ini dengan perbuatannya. Kampung ini bisa terkena bencana karena kelakuannya!” ujarnya dengan nada sengit.
“Dia harus diusir dari kampung ini!”
“Dia harus digunduli biar tahu rasa!”
“Pelacur seperti dia bikin kotor kampung ini!” Terdengar suara teriakan orang-orang bersahutan dipenuhi rasa kebencian.
“Tunggu sebentar, Saudara-saudara. Kita tidak boleh bersikap semena-mena kepada Warjinah. Apa salah dia sampai harus mendapat hukuman seberat itu. Dia punya hak hidup di kampung ini!” ujarku kepada orang-orang.
“Apa kamu bilang? Dia punya hak hidup di kampung ini?” tukas Pak Parmanto sambil mendengus ketus. “Dia itu tidak pantas hidup di sini! Dia telah mencemari kampung ini!”
“Memang apa yang telah dia perbuat, Pak?”
“Alaah, jangan sok alim! Kamu kan sudah pernah mencicipi tubuhnya, pura-pura tidak tahu!” cetus Bandi, pemuda pengangguran yang suka mabok itu.
“Hei, jaga mulut kamu! Jangan seenaknya menuduh orang berbuat zinah tanpa ada saksi dan bukti. Ucapan kamu itu bisa disebut fitnah. Orang yang suka memfitnah hukumnya dosa besar! Dan secara hukum aku bisa menuntut kamu ke polisi karena telah mencemarkan nama baik!” desisku marah kepada Bandi setengah mengancam.
“Buktinya sudah jelas, kamu dan pelacur itu pergi ke sendang Tirtomulyo. Apalagi yang kalian lakukan di tempat itu kalau bukan berbuat mesum?”
“Aku dan Yu Warjinah ke sendang Tirtomulyo untuk mencari bukti kejahatan seseorang!”
“Alaaah ... , jangan banyak berdalih! Kamu jangan mengalihkan persoalan ini kepada yang lain! Kamu jangan coba-coba mempengaruhi kami!” tukas Parmanto tampak gusar mendengar aku menyebut mencari bukti kejahatan seseorang.
“Ayo, Saudara-saudara! Kita seret pelacur ini keluar dan kita gunduli ramai-ramai!” seru orang tua itu kemudian memprovokasi orang-orang untuk menyeret Warjinah.
Mereka terpengaruh oleh seruan Pak Parmanto. Mereka hendak menyeret Warjinah. Perempuan itu mencoba berkelit dan meronta. Mas Prasto dan aku berusaha mencegah tindakan orang-orang kampung yang tak terkendali.
“Kalian jangan main hakim sendiri! Kalian tidak boleh bertindak semena-mena!” teriakku.
“Minggir kamu! Jangan halangi kami!”
“Ini namanya pelanggaran HAM. Kalian bisa dituntut ke pengadilan karena perbuatan bodoh ini. Apa kalian pikir diri kalian sudah bersih, sehingga menuduh orang lain kotor dan najis? Koreksi diri masing-masing sebelum mengoreksi orang lain!” ujar Mas Prasto keras.
“Apa maksud sampeyan omong begitu? Sampeyan menuduh kami melacur seperti sundel ini!” seru seorang ibu-ibu dengan emosi.
“Maaf, Bu. Apa ibu tahu sendiri kalau Warjinah berbuat zinah?”
“Saya memang tidak tahu langsung, Pak Guru. Tapi semua orang di kampung ini sudah pada tahu kalau Warjinah ini suka berbuat zinah!”
“Berarti ibu hanya mendengar dari orang lain, bukan melihat langsung!”
“Yaah, Pak Guru ini bagaimana sih, mana ada orang berbuat begituan ditonton sama orang banyak. Tentu yang paling tahu yang melakukan,” cetus ibu-ibu yang lain.
“Berarti yang paling tahu adalah para laki-laki. Karena Warjinah tentu berbuat begitu sama laki-laki. Nah, sekarang kalian tanya sama laki-laki di sini. Siapa yang pernah berbuat sama Warjinah?” cetus Mas Prasto sambil mengedarkan pandangannya.
Tak ada satu pun kaum laki-laki yang mengaku. Mereka malah saling pandang dengan sikap jengah. Tentu saja mereka tidak ada yang mau mengaku. Mana ada maling mengaku?
“Kamu itu jangan sembarangan menuduh! Warjinah bisa saja berbuat begitu sama orang luar!” tukas Pak Parmanto tampak tersinggung dengan ucapan Mas Prasto.
"Kalau begitu kita tanya sama Warjinah. Dengan siapa saja dia pernah berbuat zinah. Bagaimana?”
Pak Parmanto terlihat salah tingkah. Kami lalu menoleh kepada Warjinah yang berdiri di belakangku. Perempuan itu masih tampak ketakutan. Tubuhnya gemetaran. Dia memandang satu persatu orang-orang di hadapannya. Momen ini membuatku menjadi tegang dan berdebar-debar. Aku berharap Warjinah tidak mengatakannya. Karena bila dia bicara terus terang, semua orang akan dibuat gempar. Tapi Warjinah sepertinya tidak bisa diam menyimpan semua rahasia hidupnya. Ini adalah kesempatan dia mengungkap kebenaran.
"Sa-sa … ya … saya tidak pernah berbuat zinah dengan laki-laki di kampung ini ... ,” ucapnya membuat semua yang mendengarnya tampak lega.
Tapi kelegaan itu hanya sementara. Warjinah kembali melanjutkan pengakuannya.
“ ... kecuali dengan satu orang. Yakni sama dia!” Tiba-tiba Warjinah menuding ke arah Pak Parmanto.
Wajah laki-laki tua itu berubah merah padam. Semua mata langsung tertuju kepadanya. Pak Parmanto menggeleng-gelengkan kepala. Ekspresinya terlihat gusar dan geram.
“Kurang ajar! Beraninya kamu memfitnah aku!” ujar orang tua itu sambil merangsek maju hendak menyerang Warjinah, tapi Mas Prasto buru-buru menghalangi.
“Saya mengatakan yang sejujurnya! Saya cuma berbuat begitu sama Pak Parmanto. Bahkan saya sempat hamil dan menggugurkan kandungan! Pak Parmanto yang menyuruh saya menggugurkan kandungan, karena dia tak mau mendapat aib dan malu. Saya berani bersumpah atas nama Tuhan!” ujar Warjinah dengan suara lantang.
Kulihat rona wajah Pak Parmanto semakin memerah. Matanya melotot tajam. Kedua tangannya terkepal keras. “Lancang! Kurobek mulut kamu nanti! Apa buktinya kalau aku menghamili kamu, hah?!” tantangnya.
Sebelum Warjinah menjawab, aku buru-buru maju ke depan. Aku lalu mengeluarkan ponsel kameraku.
“Kemarin aku diajak Yu Warjinah ke sendang Tirtomulyo untuk melihat kuburan janinnya. Dia ingin meyakinkan aku bahwa dia berkata jujur. Dia juga memberikan bukti hasil rekaman video ponsel saat hendak menggugurkan kandungan di tempat Mbah Mangun. Rekaman video ini bisa dibuktikan keasliannya. Kalian boleh melihatnya di ponselku ini,” kataku sambil menyorongkan layar HP ke hadapan mata semua orang. Mereka jadi terkejut. Mereka saling berpandangan dan bergumam riuh seperti kumbang.
“Kurang ajar! Kalian berdua pasti telah bersekongkol! Kalian ingin menjatuhkan namaku!” geram Pak Parmanto.
“Buat apa kami berbohong, Pak? Kami hanya ingin menyampaikan kebenaran!” tegasku.
“Apa yang dikatakan Mas Supri benar. Saya bisa menjadi saksinya!” Tiba-tiba muncul Kang Panut diantara kerumunan.
Aku kaget melihat kehadiran Kang Panut. Laki-laki itu tersenyum padaku. “Tenang saja, Mas Supri. Saya sudah tahu semuanya. Beberapa waktu lalu ketika saya hendak mencari rumput, tiba-tiba saya melihat mBah Mangun dan Pak Parmanto di sendang Tirtomulyo. Mereka terlihat sedang sibuk mengubur sesuatu di areal sendang Tirtomulyo. Tadinya saya tidak curiga. Tapi ketika saya bongkar tanah tempat mengubur itu saya jadi kaget. Saya melihat segumpal daging seperti ari-ari bayi. Saya pun bertanya-tanya, siapa yang baru saja melahirkan. Dan sekarang, setelah saya mendengar penjelasan dari Mas Supri saya semakin yakin bahwa janin yang dikubur itu hasil hubungan gelap antara Pak Parmanto dan Warjinah. Mereka mungkin sengaja mengubur di tempat keramat itu agar tidak diketahui oleh orang-orang kampung,” tutur laki-laki itu dengan lugas.
Pengakuan Kang Panut semakin membuka lebar pintu kebenaran. Pak Parmanto tak berkutik lagi. Dia menundukkan wajah, sepertinya sangat malu. Orang-orang pun berseru mencemooh dan menghujat pensiunan guru itu. Aku dan Mas Prasto hanya bisa memandang getir. Kami merasa ikut malu dengan perbuatan mantan senior kami itu.
Sebagai guru seharusnya beliau bisa menjadi teladan dan panutan bagi masyarakat. Tapi profesi tidak selamanya berbanding lurus dengan tabiat dan perilaku seseorang. Karena bukan profesi yang menentukan baik dan buruknya akhlak manusia, melainkan komitmennya dalam memegang ajaran agama. Sebab, dengan pegangan agama yang kuat dan iman teguh, niscaya manusia bisa terhindar dari perbuatan maksiat!
Orang-orang yang tadi hendak menyeret Warjinah satu persatu meninggalkan tempat. Pak Parmanto sendiri ikut keluar. Setelah semuanya pergi, Warjinah kemudian mendekati aku. Dengan mata berkaca-kaca perempuan itu menyalamiku. “Terima kasih, Pri. Entah, apa jadinya kalau tidak ada kamu ... ,” ucapnya tulus.
“Jangan berterima kasih padaku, Yu. Semua ini sudah menjadi takdir Allah. Allah masih sayang sama sampeyan. Makanya, sampeyan mesti tobat, kembali ke jalan benar. Jangan ulangi perbuatan yang melanggar agama!” ujarku.
“Ya, Pri. Aku juga sudah bertobat. Aku menyesal dengan semua yang terjadi. Aku berjanji tidak akan mengulangi hal itu lagi. Aku akan memperbaiki diriku ... .”
“Syukur alhamdulillah!” ucapku senang.
“Kalau sampeyan mau, nanti bisa ikut pengajian dengan istriku,” kata Mas Prasto menawarkan kepada Warjinah.
“Terima kasih, Pak Guru. Tapi rencananya aku mau pergi dari kampung ini. Aku mau menyusul suamiku di Lampung!” ujar Warjinah.
“Lho, katanya kamu sudah bercerai dari suamimu?”
“Kalau sama suami yang pertama memang sudah cerai, Pak. Tapi kalau sama Mas Harno, suami kedua, kami belum bercerai. Mas Harno pergi ke Lampung karena ingin menggarap ladang. Aku tidak mau diajak ke sana, karena tempatnya sepi dan jauh dari kota. Tapi sekarang aku sadar, di mana pun tempat sama saja asal kita bisa hidup tenang dan bahagia. Dari pada di sini aku malah hidup sengsara dan jadi bahan cemoohan orang ... .”
Kami bisa memahami keputusan Warjinah. Memang sudah semestinya dia mengikuti suaminya, karena suami adalah arijal kowamu alaa nissa atau laki-laki pemimpin bagi perempuan. Istri yang salekhah adalah istri yang setia dan taat pada suaminya. Selama ketaatan dan kesetiaan itu dalam koridor agama, kebahagiaan rumah tangga akan senantiasa bisa dirasakan. Aku bisa mengambil hikmah atas peristiwa yang menimpa Warjinah.
Kasus perselingkuhan Warjinah dan Pak Parmanto memang tidak sampai dilaporkan ke polisi. Warga kampung masih menaruh rasa iba pada Pak Parmanto yang sudah tua. Apalagi beliau juga bekas guru dan memiliki keluarga yang harus diayomi. Meski laki-laki tua itu telah dibebaskan dari tuntutan hukum, namun secara moral dia telah terhukum. Dia dibuat malu oleh kelakuannya sendiri. Warga kampung sudah tidak menaruh respek lagi pada ketua RT itu.
Rencananya warga akan mencopot jabatan RT yang disandangnya dan mengganti dengan orang lain. Sementara Warjinah tanpa diusir lagi sudah akan pergi dari kampung ini. Entah, apakah pengakuan tobatnya benar-benar tulus, tapi setidaknya dengan kepergiannya akan menjadikan kampung ini menjadi lebih tenang. Tak ada lagi gosip panas tentang warung kopi milik Warjinah!
####
Sejak Pak Parmanto mengundurkan diri sebagai ketua RT terjadi kekosongan jabatan di kampung kami. Warga berinisiatif mengadakan pemilihan ketua RT secara demokratis. Semua warga berhak mencalonkan diri sebagai ketua RT. Meski jabatan ketua RT hanya sekadar jabatan simbolis dan bukan termasuk profesi yang menjanjikan penghasilan, hanya bersifat pengabdian, namun banyak orang menginginkan jabatan ini.
Aku sebenarnya tak ambisi dan tak berminat menjadi ketua RT. Selain karena aku merasa masih muda, belum berpengalaman, dan pakewuh dengan yang lebih senior. Masih banyak orang-orang yang lebih pantas menjadi ketua RT. Bahkan aku menjagokan Mas Prasto. Tapi suara yang berkembang di masyrakat menginginkan aku maju sebagai ketua RT. Bahkan Kang Panut paling bersemangat mempromosikan aku sebagai ketua RT.
“Pokoknya, aku akan dukung sampeyan seratus persen. Nanti aku akan kumpulkan tanda tangan seratus orang warga!” tegas Kang Panut.
“Tidak usah, Kang. Aku tidak minat jadi ketua RT!” tukasku.
“Sudahlah, Mas. Sampeyan tidak usah merendah begitu. Sampeyan pantas jadi ketua RT! Sampeyan orang pintar, hebat, dan bijak!”
Ucapan Kang Panut sempat membesarkan hatiku. Sebuah pujian yang bisa melambungkan diriku, namun justru pujian seperti itu bisa menyesatkan. Nabi pernah bersabda: Jika ada orang memujimu, taburkan pasir di matanya. Maksudnya, tak ada yang patut dipuji selain Allah. Segala yang dilakukan manusia semata terjadi karena kehendak Allah. Pujian yang dialamatkan kepada manusia hakekatnya siasat iblis agar manusia jatuh kepada riya atau takabur. Sementara riya’ tak ubahnya api yang menghanguskan semua amal!
Jika banyak orang mendukung aku jadi ketua RT, tidak demikian dengan Ibu. Beliau meminta aku tidak tergiur oleh jabatan ketua RT. Alasan beliau sederhana saja; kawin saja belum sudah berani mencalonkan diri jadi ketua RT. Memang apa hubungannya kawin sama jadi ketua RT? Tak ada syarat jadi ketua RT mesti kawin dulu. Namun disinilah kejelian mata hati Ibu. Ketua RT adalah juga pemimpin. Seorang pemimpin mesti teruji dan berpengalaman dalam memimpin. Test case seorang pemimpin dimulai dari rumah, bagaimana dia memimpin rumah tangganya!
“Kamu mesti punya istri dan anak dulu. Nanti dilihat bagaimana cara kamu memimpin keluargamu. Jika kamu sudah bisa memimpin keluargamu dengan baik, adil, dan bijaksana, baru kamu bisa memimpin masyarakat!” Demikian kata Ibu memberi tekanan.
Begitulah cara Ibu berpikir. Sederhana. Namun terkandung pesan dan makna luas. Aku memahaminya.
Tapi teman-teman di luar terus mendorong aku agar mencalonkan diri sebagai ketua RT. Terlebih tersiar kabar Bang Ramon, mantan bos preman dan residivis, hendak mencalonkan diri jadi ketua RT. Biar kata berlatar belakang kelam, namun banyak juga yang mendukung pencalonannya. Hal ini tentu saja meresahkan warga yang tidak mengharapkan Bang Ramon jadi ketua RT.
“Mau jadi apa kampung kita kalau dipimpin sama mantan preman?” dengus Kang Panut sinis saat kami ngobrol di serambi masjid.
“Betul itu! Kita mesti halangi supaya mantan bos preman itu tidak memimpin kampung ini!” sahut yang lain.
“Makanya, Mas. Sampeyan kudu maju sebagai calon ketua RT!” ujar Kang Panut kembali membujukku.
“Hanya sampeyan yang pantas jadi ketua RT!”
“Kalau Mas Supri maju sebagai kandidat ketua RT, semua warga pasti memilih sampeyan. Kita bisa mencegah mantan preman itu jadi ketua RT!”
Aku tersenyum tipis. Bujukan mereka agar aku maju sebagai calon ketua RT semakin membuatku tak berdaya untuk menolak. Terlebih setelah ada alasan kenapa aku mesti mencalonkan diri. Karena mereka tak ingin Bang Ramon terpilih. Mereka alergi dengan track record laki-laki itu yang pernah menjadi preman di Jakarta. Tapi aku mencoba berpikir positif.
“Kalau memang Bang Ramon jadi ketua RT apa salahnya? Dia juga berhak mencalonkan diri, karena dia asli warga kampung sini!” kataku kepada mereka.
“Aduh, Mas! Gimana sih, sampeyan ini. Semua orang sudah pada tahu, bagaimana reputasi dia sebagai mantan preman? Apa mas mau melihat nanti di kampung ini jadi sarang maksiat. Di mana-mana muncul warung remang-remang yang menjual minuman keras dan pelacur. Jual beli narkoba dibebaskan. Sebab, ketua RT-nya saja preman. Dia pasti memanfaatkan kedudukannya buat melegalkan kegiatan maksiat di kampung ini!” tutur Jono cemas.
“Kita jangan su’uzon dulu. Siapa tahu, Bang Ramon sekarang sudah jadi orang baik-baik!” tukasku.
“Bukannya mau su’uzon, Mas. Tapi apa salahnya mencegah kemudharatan sebelum terjadi. Biar kata dia sudah tidak jadi preman, tapi rasanya dia tidak pantas menjadi ketua RT! Karena masih banyak orang baik di kampung ini layak jadi ketua RT!”
“Betul, Mas! Kita jangan sampai salah memilih pemimpin. Karena kalau sampai salah memilih pemimpin nanti akibatnya kembali pada kita!”
Aku tercenung. Apa yang dikatakan teman-teman itu ada benarnya. Dimana-mana terjadi krisis kepemimpinan, baik dari tingkat atas sampai ke bawah. Karena salah memilih pemimpin, akibatnya banyak terjadi kerusakan di mana-mana. Banyak pemimpin yang lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Mereka juga lebih suka memperkaya diri sendiri daripada memikirkan kesejahteraan rakyat. Tak heran bangsa ini terancam kehancuran. Dan semua itu disebabkan ulah para pemimpin!
Kembali aku mencoba bernegosiasi dengan Ibu. Aku berharap mendapat restu beliau. Kali ini aku memberikan beberapa alasan kenapa akhirnya bersedia maju sebagai calon ketua RT. Pertama, aspirasi dari bawah menginginkan aku maju sebagai ketua RT. Aku sudah memenuhi hadist Rasulullah yang melarang menyerahkan jabatan kepada orang yang berambisi. Aku tidak berambisi, tapi karena diminta. Alasan kedua, biar pun belum berumahtangga tapi sebagai guru aku telah berpengalaman memimpin murid-murid.
“Apa niatmu mencalonkan diri bukan karena ingin menghadang pencalonan orang lain? Aku dengar warga resah karena Ramon, anaknya Pak Sarju, mau mencalonkan diri juga?” ucap Ibu kalem.
Rupanya Ibu sudah mendengar gonjang-ganjing itu. Mau tak mau aku mengangguk, karena salah satu alasannya juga itu!
“Kalau memang begitu alasannya, maka Ibu menolakmu. Ibu tidak merestuimu!” ujarnya mantap.
Aku tercekat. “Kenapa, Bu?”
“Karena hatimu sudah dikotori nafsu untuk menjatuhkan orang lain!”
“Tidak, Bu. Aku tidak bermaksud menjatuhkan orang lain, aku cuma … .” Belum selesai aku bicara Ibu keburu memotong.
“Ibu tahu, Nak. Hatimu tidak sekotor itu. Kamu sebenarnya tidak berambisi menjadi ketua RT. Kamu terpengaruh oleh desakan orang-orang. Tapi sayang, desakan mereka semata untuk menghadang pencalonan orang lain. Dan kamu, secara tak sadar telah tertipu oleh bujukan mereka. Kenapa kalian tidak memberikan kesempatan kepada Ramon? Kenapa kalian mesti antipati padanya?”
“Bukan begitu, Bu. Soalnya … .”
“Soalnya Ramon mantan bos preman, mantan napi, dan mantan orang tidak benar, begitu?”
Aku terdiam. Ibu sudah bisa membaca pikiranku.
“Supri, Supri … . Tampaknya kamu masih harus banyak belajar tentang nilai-nilai hidup islami. Dalam agama Islam tidak ada yang namanya persaingan memperebutkan kepemimpinan. Karena Islam ditegakkan di atas musyawarah dan kebenaran. Saat Umar bin Kathab diangkat sebagai khalifah, tidak ada yang mempermasalahkan bahwa dia dulu bekas orang kafir yang kejam. Mereka hanya melihat Umar pantas menjadi pemimpin, terlepas masa lalunya yang kelam!”
Aku tercenung. Kata-kata Ibu seperti membuka tempurung kesadaranku yang masih diselimuti kepicikan.
“Kamu dan Ramon sama-sama muslim. Sebagai sesama muslim kalian bersaudara. Kalian tak perlu berkonfrontasi dan adu argumentasi dalam persaingan memperebutkan kursi ketua RT. Karena hal itu hanya akan menciptakan permusuhan. Sebaiknya kalian bermusyawarah mencari titik temu. Kalian jangan jadikan jabatan ketua RT sebagai bara api. Mengerti?”
Aku mengangguk.
Malam itu, usai shalat maghrib berjamaah di masjid, aku punya kesempatan bertemu Bang Ramon. Belakangan hari laki-laki itu rajin ke masjid. Bagi sebagian orang menganggap hal itu sebagai cara menarik simpati dan perhatian. Sebab, mereka tahu Bang Ramon akan mencalonkan diri sebagai ketua RT. Tapi aku berusaha tidak berpikir seperti itu. Aku mendekatinya. Kuucapkan salam, dengan ekspresi sedikit terkejut dia menoleh dan membalas salam. Aku tercekat saat menangkap raut wajahnya yang memerah, matanya sembab. Sepertinya dia habis menangis. Preman menangis? Tak salahkah yang kulihat. Tapi sepertinya Bang Roman tak malu mengungkapkan isi hatinya.
“Ada apa, Bang? Kelihatannya abang sedang ada masalah?” tanyaku hati-hati.
“Aku sedang sedih, Pri. Bapak meminta aku mencalonkan diri sebagai ketua RT. Terus terang, aku tidak mau! Tapi bapak dan semua saudaraku memaksa. Aku jadi bingung!” jawabnya terdengar jujur.
“Memang kenapa abang mesti bingung?”
“Bagaimana tidak bingung? Kalau aku menolak, nanti dikira aku tidak berbakti sama orang tua. Mana bapakku sedang sakit keras. Sementara kalau aku menerimanya, apa kata orang nanti? Masak bekas preman jadi ketua RT? Bisa rusak kampung ini nanti!”
“Tapi abang sekarang kan sudah tidak jadi preman. Abang sudah jadi orang baik-baik.”
“Ya, sekarang aku sudah bertobat, Pri. Aku sudah insyaf. Itu semua demi keluargaku. Kasihan anak-anakku kalau aku masih terus jadi preman. Mereka butuh contoh dan teladan dari orang tuanya. Makanya, aku segera sadar. Sebelum ajal menjemput dan hilang kesempatanku menjadi orang tua yang baik. Tapi belum jadi orang tua yang baik, malah disuruh jadi ketua RT. Mana aku bisa?”
“Tapi abang kan pernah berpengalaman menjadi bos preman. Yaah, biar pun jadi pemimpin para preman, kan tetap saja pernah memimpin?”
“Kalau soal memimpin preman sih, jangan ditanya. Di wilayah tempat dulu aku berkuasa, semua orang takut sama aku. Bahkan mereka yang katanya pejabat tinggi di pemerintahan kalau berhadapan dengan aku sudah keder. Mereka tunduk sama aturan yang kubuat. Semua orang tanpa pandang bulu bayar upeti, dia juga ikut bayar. Tak ada yang diistimewakan di depanku. Tapi itu kan dulu, Pri. Waktu jaman jahiliyah. Sekarang aku tak bisa seperti itu lagi. Aku tak bisa menggunakan otot dan bertindak semena-mena. Apalagi di kampung ini banyak orang tua dan sesepuh yang masih ada hubungan saudara. Aku mesti menghormati mereka. Kalau aku jadi ketua RT bisa pada jantungan mereka!”
Aku tersenyum kecil. Kini aku tahu, kenapa Ibu meminta aku bermusyawarah dalam urusan memilih ketua RT. Karena memang tak perlu harus ada persaingan. Jabatan bukan untuk diperebutkan, tetapi dijadikan media ibadah dan sarana membangun kebersamaan. Aku yakin Bang Roman lebih pantas menjadi ketua RT. Selain karena dia lebih tua, juga lebih berpengalaman. Biar pun pengalaman sebagai pemimpin preman, tapi itu sudah cukup memadai. Apalagi dia sekarang sudah jadi orang baik-baik. Kualitas kepemimpinannya justru lebih berbobot.
Jika dia menjadi pemimpin, bukan hanya orang berpredikat baik-baik segan dan takut padanya, tapi orang yang berkelakuan buruk akan menaruh segan dan takut padanya. Aku jadi teringat kisah sahabat Nabi, Khalid bin Walid. Sebelum menjadi panglima perang muslim, dia dulunya panglima perang kaum kafir. Dia begitu disegani dan ditakuti lawan. Setelah dia masuk Islam, Rasulullah mempercayakan dia menjadi panglima perang. Kekuatan kaum muslimin pun semakin kuat dan kokoh. Para musuh Islam sangat takut berhadapan dengan Khalid bin Walid karena pengalaman beliau dalam memimpin pasukan!
####
Banyak orang mempertanyakan keputusanku mundur dari pencalonan ketua RT dan memilih Bang Ramon. Tapi aku menanggapi dengan senyum. Aku sudah menduga, para pendukungku akan kecewa dan marah mendengar keputusanku. Sebelum mereka berprasangka buruk, aku lalu menjelaskan alasan kenapa sampai mengambil keputusan drastis itu. Aku ceritakan percakapanku dengan Ibu, pertemuanku dengan Bang Roman, juga beberapa pemikiran yang muncul dalam benakku. Semua kuuraikan secara terbuka. Mereka pun mengangguk-angguk, sepertinya bisa memahami.
“Begitulah, rekan-rekan. Keputusan yang aku ambil semata demi kebaikan kita semua. Kita justru harus mendorong dan mendukung Bang Roman. Keinginan dia menjadi orang baik-baik harus mendapat support. Bukankah benar begitu?” ujarku sambil memandangi mereka satu persatu.
“Benar, Mas. Kita mesti mendukung Bang Roman!” sahut Jono mantap.
“Satu lagi keuntungan kita bila Bang Roman jadi ketua RT. Dia bisa bertindak lebih tegas dan berani membubarkan warung remang-remang yang kerap dijadikan tempat berjudi dan mabok-mabokan. Pemilik warung remang-remang pasti takut sama Bang Roman. Iya, enggak?”
Semua mengangguk setuju!
Aku tersenyum.
SELESAI
Tirtomoyo, 11 November 2022