Masukan nama pengguna
Tubuhnya tidak sekekar dan seliat saat muda dulu. Tubuh itu tampak kurus dengan keriput dan tulang yang menonjol pada beberapa bagian. Kelopak matanya cekung, menyembunyikan sepasang matanya yang tajam meskipun disaput kabut. Dahinya yang lebar terlukis garis-garis horisontal penanda dari musim-musim kehidupan yang telah dilaluinya.
Meskipun kerentaan memakan usianya, namun ia masih tampak gesit dan lincah menaiki dan menuruni lereng-lereng perbukitan. Sambil memanggul ikatan ranting kering atau keranjang berisi rerumputan. Telapak kakinya yang tak beralas menyusuri jalan setapak berbatu dan kadang licin di musim hujan. Jika sedikit saja silap, ia bisa terpeleset dan jatuh ke dalam jurang yang dasarnya penuh bebatuan runcing mencuat ke atas.
Tapi pengalaman mengajarkannya untuk selalu waspada dan hati-hati. Lebih dari setengah usianya yang mencapai kepala enam dihabiskan menggulati hutan dan menyisir lereng perbukitan. Bisa dikatakan saban hari, sepanjang tahun, ia memasuki hutan. Mencari kayu bakar untuk menghidupkan pawon, rumput untuk pakan ternak, atau mengambil hasil alam lainnya seperti madu, damar, rotan, gondorukem, dan apa saja yang berguna bagi kehidupan.
Hanya satu yang tidak dilakukannya; menebang pohon. Bukan lantaran ada hukum dari pemerintah yang melarang menebang pohon dalam hutan lindung, tapi karena ia punya keyakinan bahwa pohon-pohon itu hidup. Mereka memiliki jiwa. Mereka tumbuh dan berkembang, beranakpinak. Mereka bisa sedih, senang, murka, kecewa, dan bahkan bisa berbicara. Mereka juga punya perasaan yang ingin dihargai!
Kedengarannya berlebihan?
Tidak! Itu memang nyata. Ia pernah mengalaminya. Ia pernah berbicara dengan pohon-pohon itu. Bercengkerama, bermain, dan bersenda gurau bersama mereka. Ini bukan ilusi, bukan khayalan. Setiap hari ia bertemu mereka. Sebagaimana manusia, mereka punya nama. Mereka juga berkeluarga. Ada ayah, ibu, dan anak. Mereka punya rumah, lebih besar dari rumah manusia. Rumah itu bernama; hutan!
“Jadi pohon-pohon itu punya rumah yang besar, Mbah?!” seru Riki, anak tetangga, yang begitu antusias setiap kali mendengar ceritanya sepulang dari hutan. Matanya yang kecil bening itu pun terbeliak, seakan baru saja menyaksikan hantu.
Danu mengangguk yakin, seyakin tetesan hujan dari langit.
“Mak, Mak! Pohon-pohon itu ternyata punya rumah!” Bocah lima tahun itu berteriak kepada emaknya yang sedang sibuk memilih daun pakis muda di atas bale bambu. Daun pakis yang baru saja dibawa pulang Danu dari hutan dan biasa dibeli warga untuk dibuat sayur.
“Jangan percaya omongan mbah Danu, thole! Dia itu bohong!” ujar Jiyah menepis cerita suaminya. Dia tidak suka suaminya meracuni pikiran anak-anak kecil dengan cerita takhayul.
“Aku ingin main ke rumah pohon-pohon itu! Boleh kan, Mak?” Anak kecil itu lalu memohon sambil menarik-narik ujung baju ibunya.
“Huss, tidak boleh! Nanti dimakan macan!” jawab sang Ibu.
Bocah itu menoleh kepada Danu. “Benar ada macan, Mbah?”
Danu hanya tersenyum kecil.
“Boleh ya, Mak? Boleh, ya? Aku ingin bermain bersama pohon-pohon itu. Seperti mbah Danu!” Bocah itu masih merengek.
“Sudah, Mbah. Berapa?” Sang Ibu tak mempedulikan rengekan anaknya dan sibuk bicara dengan Jiyah.
“Limaribu, Nduk!”
“Ini, Mbah.”
“Terima kasih!”
Wanita itu lalu berjalan pergi sambil menarik tangan putranya. “Boleh ya, Mak?” Anak itu masih terus merengek. Bahkan sambil menangis, lantaran sang Ibu mencubit lengannya.
Jiyah menoleh pada suaminya setelah tetangganya itu pergi. “Ini gara-gara sampeyan. Kenapa ndak berhenti menceritakan hal-hal konyol kepada anak kecil! Sampeyan telah meracuni pikiran mereka. Mana ada pohon bisa berbicara dan punya rumah. Dasar, sinting!” ujarnya sambil mendengus.
“Itu benar! Karena aku telah bicara dengan mereka!” tukas Danu.
“Sampeyan boleh saja tua dan pikun, Kang. Tapi jangan kenthir!”
Danu hanya terkekeh mendengar ucapan sang istri.
“Wealah, dibilangi kok malah ngguyu! Tambah kenthir!”
Danu semakin keras tertawanya.
***
Mulanya Danu juga tak percaya ada pohon bisa berbicara. Tapi suatu hari, entah pada hari dan bulan apa ia tak begitu ingat, ia mengalami kejadian luar biasa yang seumur-umur belum pernah dialaminya. Saat itu ia sedang beristirahat di bawah sebuah pohon besar. Tubuhnya direbahkan begitu saja di atas bahu akar yang menonjol keluar. Melepas penat setelah memotong ranting-ranting kering.
Keheningan hutan dan kicauan burung liar melenakan dirinya hingga tanpa sadar tertidur. Tapi rasanya belum lama memejamkan mata, tiba-tiba telinganya seperti mendengar ada suara memanggilnya.
“Hei, bangun! Bangun, Pak Tua!”
Danu terjaga dan bangkit dari tempatnya. Diedarkan pandangan ke sekitar, tapi tidak dilihatnya sesosok manusia pun. Ia sempat berpikir, dirinya salah dengar. Danu mencoba menafikannya dan berjalan mendekati hasil rambahannya. Namun baru selangkah berjalan, kakinya berhenti bergerak. Suara itu kembali memanggilnya.
“Mau ke mana kamu?”
Danu tercekat. Dia segera menoleh, tapi tak ada siapa pun. Perasaan Danu mulai diliputi gentar. Cerita orang-orang tentang keangkeran hutan berseliweran dalam benak. Meski selama ini ia tidak pernah menjumpai hal-hal yang ganjil, namun tak urung ada kengerian mencekam jiwanya.
“Siapa kamu? Tunjukkan dirimu?” Danu memberanikan diri bertanya.
“Aku sudah menunjukkan diriku. Apa kamu tidak melihatku?”
“Di mana kamu?”
“Di depanmu!”
Danu jadi bingung dan makin tercekam. Di hadapannya tidak ada siapa-siapa, kecuali sebuah pohon besar yang berdiri tegak. Wajahnya menengadah ke atas, mencari tahu apakah ada seseorang bertengger di dahan atau ranting pohon.
“Ya! Kamu sudah melihatku!” Suara itu memastikan.
“Maksudmu… kamu adalah…?” Danu tak meneruskan kalimatnya karena tak yakin dengan dugaannya.
“Ya! Aku pohon yang tadi menjadi tempatmu bersandar. Bahkan kamu sampai tertidur di kakiku!”
“Astaga! Jadi ka-ka-kamu… ?” Suara Danu terbata-bata saking terkejut dan sangat ketakutan.
“Jangan takut! Aku tidak akan memangsamu. Aku hanya ingin mengingatkanmu. Kembalikan sarang burung yang tadi kamu ambil. Lihat, sang Ibu burung menangis sedih kehilangan anak-anaknya. Kamu tentu juga tak ingin jika anak-anakmu diambil paksa dari dekapanmu, bukan?”
Danu menengok kepada sarang burung yang diletakkan di atas tumpukan ranting-ranting kering. Tadi saat memotongi ranting di atas pohon ia melihat tiga ekor anak burung yang sangat cantik di sebuah sarang. Dia teringat dengan cucu tetangganya yang tentu sangat senang dihadiahi anak-anak burung. Tapi bukan itu yang sekarang menarik perhatiannya, melainkan sang Pohon yang bisa berbicara.
“Bagaimana kamu bisa berbicara? Apakah kamu makhluk gaib penunggu pohon besar ini?” tanya Danu tak bisa menahan rasa ingin tahunya.
“Kebanyakan manusia mengira kami hanya sebuah benda mati. Tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal kami juga makhluk hidup ciptaan Tuhan. Setiap makhluk hidup tentu punya jiwa, punya kehidupan. Jadi tidak salah kalau kami juga berbicara. Dan perkenalkan, namaku Meranti!” jawab sang Pohon.
Danu terpana, seperti tak percaya bahwa semua ini adalah nyata. Bukan mimpi atau khayalan. Tapi tidak, ia tidak sedang bermimpi atau berkhayal.
Sejak itu Danu sering bercengkerama dengan pohon-pohon di dalam hutan. Bukan sekadar ngobrol, tapi juga bermain dan bersenda gurau. Sebagaimana manusia, mereka juga suka berkumpul dan saling berbagi. Mereka lahir dan tumbuh dewasa. Mereka juga membentuk keluarga; ada ayah, ibu, dan anak. Membangun sebuah masyarakat pohon. Nama mereka tidak hanya Meranti, tapi juga Akasia, Jati, Pinus, dan banyak lagi.
Tak ada yang percaya ketika Danu bercerita kepada warga di kampungnya tentang pohon-pohon yang berbicara di dalam hutan. Mereka menganggapnya sudah tidak waras. Mereka lalu menghubungkan riwayat Danu yang pernah mengalami berbagai peristiwa pahit dan kelam. Ketiga anaknya mati di usia muda. Rumahnya pernah habis dilalap si jago merah. Dan yang paling menyakitkan ditinggal mati istri pertamanya!
Semua kepedihan itu telah mengubah sifatnya. Ia jadi lebih pendiam dan suka menyendiri. Ia jarang berkumpul dengan warga kampung. Ia lebih senang mengembara ke dalam hutan, berteman dengan kesunyian alam. Suasana hutan yang sejuk, tenang dan damai seakan menjadi tempat paling nyaman berbagi kesedihan. Pernikahan kedua dengan Jiyah, janda yang sudah tak memiliki anak, tak lebih sebagai pengisi kekosongan belaka.
Mereka sudah tidak tertarik lagi secara fisik, karena sama-sama tua. Jiyah membutuhkan Danu sekadar sebagai teman bicara dan pengusir kesepian. Dengan adanya Danu, kini ia tak repot lagi mencari kayu bakar, memberi pakan kambing peliharaannya, dan mengambil air dari sendang. Sementara bagi Danu, kehadiran Jiyah mampu mengatasi sebagian masalahnya. Ada yang memasakkan makanan, mencucikan baju, dan mengerokinya jika sedang tidak enak badan.
Danu tak mempersoalkan sifat istri keduanya yang cerewet dan judes. Yang penting mereka saling menyayangi. Ketika Danu bercerita tentang pohon yang berbicara di dalam hutan, Jiyah orang pertama yang menanggapinya dengan sinis. Dia menganggap suaminya ketempelan jin penunggu hutan sehingga omongannya ngaco. Tapi bukan hanya Jiyah yang berpendapat seperti itu. Semua warga kampung beranggapan sama. Danu dianggap sudah tidak waras.
Sadar tidak ada yang percaya, Danu lalu bercerita pada anak-anak kecil. Pikiran mereka yang masih polos dan tidak dicemari prasangka lebih mudah menerima. Mereka pun antusias dan sangat senang ketika Danu menceritakan pengalamannya bercakap-cakap dengan pohon. Mereka jadi ingin bertemu pohon-pohon yang bisa berbicara. Sayang, orang tua mereka melarang!
Danu merasa perlu bercerita kepada semua orang tentang pengalamannya berbicara dengan pohon-pohon di dalam hutan, karena ada pesan penting yang ingin disampaikan. Danu kerap mendengar keluh kesah beberapa pohon. Hampir semuanya mengeluhkan tentang sempitnya ruang hidup mereka yang kini semakin terdesak oleh agresi manusia. Banyak manusia membangun rumah dan membuka lahan pertanian di dalam hutan.
“Aku telah kehilangan beberapa saudara, kerabat, dan teman-temanku karena ditebangi oleh sekelompok manusia yang serakah. Padahal mereka masih muda-muda. Mereka sedang belajar menampung dan menahan air dalam kaki-kaki mereka,” kata pohon Meranti suatu kali mengutarakan kesedihannya.
“Aku juga kehilangan burung-burung sahabatku yang biasa bertengger di lenganku dan membuat sarang di sana. Karena banyak pemburu liar menembakinya. Entah pergi ke mana mereka. Suasana jadi sepi. Aku tak bisa mendengar lagi kicau mereka yang merdu mendayu. Mereka juga membantuku menyebar benih dari kelopak bungaku dan menjatuhkannya di tanah!” keluh pohon Akasia dengan nada sedih.
“Manusia memang sudah keterlaluan! Mereka seakan tak puas menjarah seluruh isi rumah kita. Mereka tak henti merenggut kita, seakan kita ini makhluk hidup yang bisa beranak pinak dengan cepatnya. Padahal kita butuh waktu setidaknya sepuluh hingga duapuluh tahun untuk membesarkan anak-anak kita. Sementara mereka tak pernah berbuat sesuatu untuk memelihara anak-anak kita. Jika kita semua mati ditebangi, bukankah itu akan menjadi bencana buat mereka. Karena kehadiran kita di sini justru untuk melindungi mereka!” cetus pohon Jati dengan nada antara gusar dan prihatin.
“Sebaiknya kamu sampaikan curahan hati kami ini kepada orang-orang di kampungmu dan siapa saja!” ujar pohon yang lain kepada Danu.
Perasaan Danu kelu mendengar keluhan mereka. Ia bukannya tidak ingin menyampaikan apa yang dipesankan oleh mereka, tapi tak ada seorang pun yang percaya ceritanya. Tak ada yang mau mendengarkannya. Orang-orang malah menganggapnya gila dan tidak waras. Manusia memang bebal dan tidak pernah berusaha membaca isyarat alam. Manusia terlalu angkuh, sombong, dan membanggakan kekuasaannya.
Apa yang dikatakan pohon-pohon itu benar adanya. Ia bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri, banyak perubahan telah terjadi. Setiap kali ia keluar dari hutan dan hendak menuruni perbukitan, hamparan ladang dan sawah sudah menyambutnya. Beberapa rumah baru juga bertengger gagah di sepanjang lereng. Padahal dahulu lereng itu masih dipenuhi sesemakan dan pohon-pohon menjulang. Kini, tak ada ruang tersisa sedikit pun untuk pepohonan.
Danu tak tahu, sejak kapan ia merasakan perubahan ini. Yang pasti setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, dan tahun-tahun dilaluinya banyak yang berubah dari kampungnya. Penduduk terus bertambah, bangunan-bangunan beton bertumbuhan seperti jamur di musim hujan, suasana kampung pun semakin riuh. Tapi Danu juga merasakan, kian hari semakin sulit ia mendapatkan madu hutan, damar, gondorukem, dan hasil hutan lainnya.
Ia kehilangan wajah hutan seperti yang dulu dikenalnya!
***
Siang itu, awan hitam tampak bergulung-gulung di langit. Sepertinya musim hujan sebentar lagi tiba. Anugerah buat para petani yang mengandalkan sawah dan ladangnya dari pengairan hujan. Wajah-wajah cerah dan ceria menghiasi warga kampung. Setelah sekian lama kemarau panjang mengeringkan sumber-sumber mata air dan mematikan sumber pangan, kini harapan mereka bangkit lagi dengan datangnya musim hujan.
Tapi berbeda dengan kebanyakan warga lainnya, wajah Danu tampak muram. Tidak seperti biasanya lelaki tua itu pulang dari hutan lebih awal. Terlebih tak ada sesuatu yang dibawanya di tangan. Ia berjalan tegopoh-gopoh seakan ada seseorang sedang mengejarnya. Jiyah merasa heran. Dipandanginya sang suami yang duduk di atas bale bambu dengan pandangan menerawang. Wajahnya tampak pucat seperti kapas di atas awan.
“Kenapa kamu, Kang? Tumben sudah pulang? Mana gondorukem pesanan Pak Jafar?” tanya Jiyah mengusik lamunan suaminya.
Lelaki tua itu tidak menjawab dan hanya menoleh sekilas, lalu kembali pada sikapnya semula seraya menarik nafas dalam. Seakan ada sesuatu merisaukan hatinya.
“Wajah sampeyan pucat? Apa yang terjadi?” cecar wanita itu jadi penasaran.
“Ada sesuatu yang menakutkan, Yah,” ucap Danu lirih seakan suaranya tersekat di tenggorokan.
“Apalagi? Sampeyan mau bilang baru bertemu raksasa di hutan? Bertemu buto ijo, banaspati, genderuwo, atau apa? Setelah bicara dengan pohon, sekarang sampeyan punya cerita baru yang lebih menghebohkan buat anak-anak kecil di kampung ini?” ujar sang istri belum apa-apa sudah sinis.
Danu menghela napas. Sepertinya percuma bicara pada istrinya, pun pada siapa saja orang di kampung ini. Karena mereka semua tidak akan percaya. Tidak ada yang mau mendengar. Andai saja mereka mau datang ke hutan dan menyaksikan wajah-wajah keriput yang memelas, tatapan tanpa harapan, dan suara rintihan yang menusuk ulu hati paling dalam. Apalagi tangis kepedihan yang terasa menyanyat kalbu. Sungguh, mereka pasti akan paham!
“Kami sudah tak kuat… kami sudah tak kuat…!” Demikian terdengar keluhan mereka dengan suara bergetar.
“Sebentar lagi hujan akan turun, kalian tak boleh patah harapan. Kalian harus semangat. Kalian tidak akan kehausan lagi!” Danu mengira kekeringan panjang yang telah merontokkan daun-daun dan mengerutkan badan mereka menjadi pangkal persoalan.
“Bukan soal itu yang membebani pikiran kami. Biar pun kemarau sepanjang tahun, kami masih bisa bertahan. Kami juga senang hujan akan menyegarkan dan menumbuhkan kembali daun-daun di ranting kami. Tapi bukan itu masalahnya…”
“Lalu, kenapa?”
Mereka tidak langsung menjawab. Beberapa pohon yang masih tersisa dan bertahan di dalam hutan ini saling berpandangan. Salah satu lalu membisikkan sebuah kalimat yang cukup mengejutkan dan merindingkan bulu roma Danu. Mata Danu sampai terbelalak dan seakan tak percaya mendengarnya. Tapi sangat jelas apa yang didengarnya dan itu cukup menciutkan hatinya. Ia pun bergegas pulang sambil membawa seribu kecamuk yang bergolak dalam dada.
“Kita harus segera pergi dari kampung ini, Yah!” cetus Danu tiba-tiba.
“Pergi? Maksudmu apa, Kang?” tanya Jiyah tak mengerti.
“Kita mesti pindah!”
“Pindah?!” Jiyah semakin tak mengerti. Ditatapnya wajah sang suami seksama. Tapi yang dipandangi malah memalingkan wajah ke arah lain, ke pucuk perbukitan nun jauh di sana. Hutan tempat dimana lelaki tua itu banyak menghabiskan hari-harinya. Jiyah seakan bisa membaca pikirannya.
“Jangan bilang kalau sampeyan sedang dikejar-kejar dhemit penunggu hutan?” ujar Jiyah menebak.
Danu menggelengkan kepalanya.
“Lalu, apa?”
Danu bingung bagaimana menjelaskan. Darimana memulainya. Penolakan orang selama ini menimbulkan kegamangan. Ia takut mereka akan menuduhnya bikin kekacauan. Provokator. Tukang fitnah. Lebih dari itu; menganggapnya tambah gila. Tapi, apakah sebuah kegilaan jika menyangkut keselamatan jiwa? Apakah gila bila dia ingin mengingatkan untuk sebuah kebaikan, yang mungkin bagi mereka dianggap utopia?
“Sudahlah! Kalau sampeyan mau pergi, silahkan pergi sendiri. Aku tak mau ikut-ikutan edan!” ujar Jiyah seraya beranjak meninggalkan suaminya sendirian.
Danu terdiam, tak bisa berkata apa-apa lagi.
***
Malam datang seiring rintik hujan turun dari langit. Kilatan petir di angkasa memecah kegelapan. Tampak indah di langit, seperti tali pijar yang meliuk menari. Namun, pemandangan indah itu tak menarik perhatian Danu. Orang tua itu berjalan merunduk di bawah tetesan air hujan yang kian menderas. Kakinya yang tak beralas menapak becek tanah liat.
Jantungnya berdentam-dentam seakan sedang diburu waktu. Ia memutuskan pergi sendiri setelah istrinya menolak ajakannya. Bahkan beberapa tetangganya yang diberitahu dengan tegas menolak. Mereka sudah terlanjur menganggapnya gila, sehingga apa pun yang dikatakannya omong kosong belaka. Danu sedih dan kecewa. Mesti bagaimana lagi aku meyakinkan mereka?
Masih jelas terngiang di telinganya apa yang dikatakan pohon-pohon itu siang tadi. “Kami sudah tak kuat… Kami tak sanggup jika hujan deras mengguyur, karena kaki-kaki kami terlalu lemah menahan gerusan. Bukit ini akan runtuh! Kampung di bawah itu akan menerima akibatnya. Beritahu semua orang dan segeralah pergi sebelum bencana menimpa kalian!”
Langkah kaki Danu telah mencapai batas luar desa. Tubuhnya kuyup oleh guyuran ribuan kubik air hujan. Rambutnya basah. Matanya basah. Tiba-tiba ada getar mengguncang tubuhnya. Getaran yang berasal dari tanah yang dipijaknya. Ketika ia menengok ke belakang, terdengar suara guruh bergemuruh. Seperti hujan batu. Dalam bias cahaya petir, Danu menyaksikan puncak bukit di kejauhan sana bergerak luruh. Runtuh. Menimpa pemukiman di bawahnya. Aduh! (*)
Catatan kaki:
Sampeyan = kamu.
Ngguyu = tertawa.
Kenthir = gila.
Pawon = dapur, tempat memasak
Ketempelan = kerasukan makhluk gaib.
Dhemit = setan, makhluk halus.
Gondorukem = getah pinus (resina colophonium) banyak digunakan sebagai bahan perekat warna pada industry batik.
Daun pakis = Sayur pakis (Diplazium esculentum), tunas pakis muda keriting mengandung 34 kalori per 100 g. Meskipun demikian, pakis memiliki profil gizi yang berkualitas tinggi, seperti terdiri dari manfaat antioksidan, vitamin, serta senyawa penting lain yaitu omega-3 dan omega-6.