Masukan nama pengguna
Raisya akan setia menunggu jodohnya dari surga. Seorang laki-laki soleh yang akan menjadi imamnya, baik di dunia maupun di akherat. Siang malam dia bermunajat kepada Allah agar doanya dikabulkan. Walau hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun, belum juga datang jodoh yang didambakan. Tapi dia sangat yakin, suatu saat Allah akan mengirim laki-laki dari surga itu kepadanya. Dia sering menceritakan harapannya ini kepada orang-orang di sekitarnya.
“Kamu jangan berkhayal terlalu tinggi, Raisya. Mana ada laki-laki dari surga di dunia ini?” cetus seorang temannya suatu hari menanggapi ceritanya.
“Aku yakin laki-laki dari surga itu ada!” ujarnya meyakini.
“Bagaimana kamu tahu?”
“Aku pernah bermimpi bertemu dengannya.”
“Seperti apa wajahnya?”
“Tampan, seperti Rasulullah! Tapi kukira lebih tampan Rasulullah. Setidaknya mendekati Rasulullah. Dari wajahnya memancar cahaya!”
Temannya itu hanya tersenyum kecut. Dia pun tak bisa memberi komentar lagi, karena Raisya begitu yakin dirinya akan dipertemukan dengan laki-laki dari surga. Raisya nampaknya terobsesi pada laki-laki dari surga.
Raisya kini memang telah dewasa. Usianya menginjak duapuluh tujuh tahun pada bulan Mei tahun ini. Dia tinggal berdua bersama Saodah, neneknya dari pihak ibu, di rumah sederhana peninggalan almarhum kakeknya. Dia ikut sang nenek setelah ibu kandungnya meninggal dunia saat usianya masih lima tahun. Sementara ayah kandungnya pergi entah ke mana. Sudah bertahun-tahun lamanya tak pernah pulang, apalagi mengirim kabar. Menurut cerita orang, laki-laki itu telah menikah lagi dan memiliki keluarga baru di tanah seberang.
Setamat SMA Raisya tidak meneruskan sekolah. Dia memilih tinggal di rumah, merawat neneknya yang sudah jompo. Dia ingin membalas budi baik neneknya yang telah merawatnya sejak kecil. Para paman dan bibinya tak bisa mencegah keinginannya itu, meski mereka sebenarnya lebih suka Raisya mencecap pengalaman hidup di luar. Mereka tak ingin membelenggu kebebasan Raisya. Tapi Raisya anak yang berbakti. Dia tak punya keinginan pergi jauh, bekerja di kota besar seperti teman-temannya. Dia tahu, sebebas-bebasnya perempuan pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga.
Raisya tak bercita-cita menjadi wanita karir. Dia lebih suka menjadi wanita rumahan, mengurus dan melayani keluarga. Berbakti pada suami dan merawat anak-anak. Karena tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga tak kalah pentingnya. Di balik kesuksesan seorang suami ada peran istri di belakangnya, di balik kesuksesan seorang anak ada peran ibu di dalamnya. Jadi, Raisya tak menyesal jika pada akhirnya dia hanya akan menjadi ibu rumah tangga. Dia sangat menyukai peran itu. Dia bercita-cita memiliki rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warohmah!
Namun membangun rumah tangga seperti yang diidamkan itu tidak mudah. Semua harus dimulai dari diri sendiri, dari memilih pasangan hidup yang baik. Raisya tak ingin salah memilih pasangan hidup. Dia ingin memiliki pasangan hidup yang bukan sekadar menjadi pengayom dan pelindungnya, mencintainya sepenuh hati, tetapi juga bisa saling menjalin kepercayaan dan kesetiaan. Lebih dari itu, pasangan hidup itu harus seiman, seiring sejalan, seia sekata, dan menghargainya. Dia harus laki-laki yang baik, sholeh, bertanggung jawab, dan sayang pada keluarga.
Mungkin sangat sulit sekali menemui laki-laki seperti itu di zaman modern sekarang ini, karena banyak anak muda yang suka melakukan pergaulan bebas. Mereka tak peduli lagi pada nilai-nilai moral, etika dan susila. Laki-laki baik seperti gambaran Raisya itu sangat langka. Tapi Raisya yakin pasti ada. Masak dari sekian juta laki-laki di dunia ini, tak satu pun yang mendekati kriteria itu. Raisya menyebut laki-laki itu sebagai laki-laki dari surga. Ya! Laki-laki dari surga yang dilihatnya dalam mimpi. Laki-laki itu berjanji akan datang menjemputnya!
Karena laki-laki yang akan menyuntingnya datang dari surga, maka Raisya pun berusaha menjadi perempuan ahli surga. Dia akan mengimbangi kepribadian laki-laki dari surga yang tentu saja memiliki sifat dan akhlak seperti penduduk surga. Alim, baik, ramah, santun, rajin ibadah, dermawan, suka menolong, rendah hati, penyabar, menjaga kehormatan, menjunjung amanah, zuhud, dan tawaduk. Raisya berusaha menjalani kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai Islami. Dia berusaha menjaga kehormatan diri dan kebersihan hati. Sekali-kali dia tidak akan membiarkan laki-laki yang bukan muhrim menyentuhnya.
Apa yang dilakukan Raisya menumbuhkan simpati dan kekaguman orang-orang di sekitarnya. Mereka memuji Raisya sebagai gadis baik dan sholehah. Mereka pun setuju Raisya pantas mendapatkan pendamping hidup yang baik. Seorang laki-laki alim yang bertanggung jawab dan berbudi pekerti luhur. Namun menurut pandangan orang, keinginan Raisya untuk mendapatkan laki-laki baik, laki-laki dari surga, bagai menggantang asap di atas perapian. Karena selama ini Raisya sangat membatasi diri dalam pergaulan dan jarang keluar rumah. Bagaimana dia bisa menemukan laki-laki dari surga bila tak pernah mencari, hanya berdiam diri di rumah? Begitu terbetik pikiran dalam benak mereka.
“Laki-laki dari surga itu yang akan mencariku dan menemukanku, bukan aku yang mencarinya. Karena takdir seorang laki-laki menjadi pemburu,” kata Raisya di hadapan Asti, sahabatnya, menanggapi pandangan orang-orang itu.
“Ya, memang sih, perempuan tak pantas mencari-cari jodoh. Mereka lebih suka menunggu untuk dipinang. Tapi di zaman internet sekarang bukan masanya lagi perempuan menunggu. Perempuan bisa juga mengambil inisiatif. Perempuan punya hak setara dengan kaum laki-laki!” Asti memberikan argumennya.
“Tapi aku bukan perempuan seperti itu, As! Aku harus bisa menjaga perasaanku dan memiliki rasa malu!”
“Kamu seperti perempuan tempo dulu. Kamu terlalu kolot dan lugu. Kamu tidak maju!”
“Biar saja aku dibilang begitu. Tapi aku suka dengan keadaan seperti ini. Aku ingin menjaga nilai-nilai keperempuanan yang sudah lama ditinggalkan. Aku ingin mengembalikan kodrat perempuan sebagaimana mestinya. Mengurus keluarga, melayani suami, dan membesarkan anak-anak!”
Begitulah. Raisya bersikukuh pada prinsip dan keyakinannya. Tak ada seorang pun yang bisa mematahkan.
Keyakinan Raisya akan mendapatkan laki-laki dari surga menjadi bahan pergunjingan para tetangga dan orang-orang di sekitar. Tak sedikit dari mereka yang mencibir, mencemooh, dan memberi komentar miring. Mereka beranggapan Raisya terlalu berkhayal, muluk-muluk, dan pemimpi. Bahkan ada yang menyebutnya sakit jiwa. Raisya terlalu terobsesi pada sosok laki-laki sempurna, sehingga suatu kemustahilan untuk mendapatkannya. Zaman sekarang sangat jarang laki-laki yang memenuhi kriteria seperti yang digambarkan Raisya.
“Dia bakal menjadi perawan tua bila masih berharap pada laki-laki dari surga itu, karena sampai kiamat pun tidak bakal ada. Karena semua laki-laki baik sudah masuk kubur!” Demikian ucap seorang ibu-ibu dengan nada sinis dalam suatu obrolan di sebuah warung.
“Laki-laki dari surga hanya ada dalam cerita-cerita fiksi. Tidak ada dalam dunia nyata!” sahut ibu-ibu yang lain.
“Laki-laki dari surga hidup pada zaman kenabian!”
“Laki-laki dari surga cuma ada di akherat nanti!”
“Laki-laki dari surga hanya omong kosong!”
“Laki-laki dari surga… pret!”
Raisya bukan tidak mendengar gunjingan orang-orang di sekitarnya itu. Dia tidak sakit hati atau sedih dibuatnya. Semua orang berhak menilai seperti apa dirinya, tapi hal itu tak akan pernah bisa merubah keyakinannya.
***
Kesehatan Saodah semakin memburuk. Sudah beberapa hari perempuan berusia tujuhpuluh lima tahun itu tergolek tak berdaya di atas ranjang. Dia tidak mau dibawa ke rumah sakit, meskipun anak-anaknya mampu membiayai pengobatannya. Dia merasa ajalnya sudah dekat, jadi percuma mesti digotong-gotong ke rumah sakit. Dia lebih suka mati di atas tempat tidurnya, berada dekat dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Dia hanya meminta dibacakan ayat-ayat suci Al Qur’an agar sewaktu-waktu malaikat maut datang menjemputnya, perasaannya lebih tenang dan damai.
Selama perempuan tua itu sakit, Raisya yang tekun mengurus dan merawatnya. Diantara semua cucunya, Raisya paling dekat dengannya. Maklum, dari kecil dia yang merawat anak itu. Hubungan mereka layaknya ibu dan anak. Ikatan batin diantara keduanya sangat kuat. Mereka bisa saling menyelami isi hati masing-masing. Saodah sangat mengerti dan memahami dengan perasaan cucunya yang sangat berharap pada kedatangan laki-laki dari surga. Hanya dia yang percaya pada keyakinan Raisya. Hanya dia yang mau mendengar cerita Raisya tentang laki-laki dari surga.
“Kamu bisa mendapatkan laki-laki dari surga, Raisya!” ujar Saodah membesarkan hati cucunya.
“Tapi orang-orang menganggap aku terlalu muluk-muluk, Nek. Mereka tak percaya bahwa laki-laki dari surga itu ada,” ucap Raisya mengadu.
“Kamu tak usah dengarkan omongan orang-orang. Mereka tak tahu siapa diri kamu. Mereka tak punya keyakinan kuat pada kekuasaan Allah. Padahal Allah sudah menjanjikan bahwa wanita sholehah akan mendapatkan laki-laki yang sholeh, sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nuur ayat 26 yang artinya; Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Kamu adalah gadis yang baik dan sholehah. Insya Allah kamu akan mendapatkan jodoh laki-laki yang baik, laki-laki dari surga!”
Raisya tercenung. Kata-kata neneknya memang mampu membesarkan dan menghibur hatinya. Dia merasa tenang karena hanya sang Nenek satu-satunya orang yang mau mengerti dan memahami dirinya. Keyakinannya akan kedatangan laki-laki dari surga bukan tanpa alasan. Semua bukan semata karena mimpi dan khayalan semata, semua berdasar keyakinan kepada kekuasaan Allah Azza Wajala. Bukankah Allah telah menjanjikan, siapa bermohon kepada-Ku maka akan Aku kabulkan. Hanya saja permohonan itu tidak sekadar permohonan, tetapi juga disertai dengan ikhtiar dan kesungguhan. Disesuaikan dengan keadaan si pemohon.
Apakah permohonan seorang gelandangan yang berdoa agar dirinya menjadi direktur sebuah perusahaan akan terus dikabulkan? Tentu saja tidak seperti itu. Memang Allah Maha Kuasa, mampu merubah nasib seseorang dalam sekejap. Kun fayakun, segalanya mudah bagi Allah. Namun segala sesuatu kejadian juga mengikuti sunnatullah atau hukum Allah. Karena Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum tanpa kaum itu mau berusaha merubah dirinya sendiri. Jika gelandangan itu mau menjadi direktur, maka dia harus bekerja keras. Memiliki kecakapan dan ilmu dalam mengelola sebuah perusahaan. Jika dia memiliki kemampuan itu dan tercapai prasyarat untuk menjadi direktur, setidaknya direktur di perusahaan yang dibangunnya sendiri, maka Allah pun akan memberikan jalan atas terkabulnya permohonannya!
Begitu pun yang dilakukan Raisya. Dia bermohon kepada Allah agar diberikan jodoh seorang laki-laki mukmin yang baik. Dia berusaha memenuhi prasyarat doanya dengan menjadi wanita mukminat yang baik pula. Dia telah diberi isyarat oleh Allah dengan sosok laki-laki dari surga yang hadir dalam mimpinya. Karenanya dia sangat yakin laki-laki dari surga itu ada. Allah telah mengabulkan sebagian doanya untuk bisa mendapatkan jodoh seorang laki-laki dari surga. Hanya saja kapan waktunya laki-laki dari surga datang meminangnya, itulah yang masih menjadi misteri. Raisya tidak tahu pasti, kapan laki-laki dari surga yang dijanjikan Allah itu akan datang menemuinya?
Waktu adalah bagian dari misteri Illahi. Waktu pula yang mampu menjajah hati manusia dengan kerinduan dalam pada sebuah penantian panjang. Waktu menjadi belenggu atas rasa kesepian dan kesendirian. Waktu kerap menjadi sebuah ujian maha dahsyat. Dengan waktu manusia diuji kesabarannya, ketabahannya, keteguhannya, sekaligus kekuatan jiwanya. Apakah dengan penantian panjang manusia mampu menjaga keyakinan hatinya? Apakah dengan waktu sempit manusia tidak terburu nafsu dalam melaksanakan ikhtiarnya? Waktu seperti sebuah bel yang berdering dalam kepala manusia untuk mengingatkan kapan tiba saatnya mengambil sebuah keputusan. Bahkan waktu pula yang akan menjawab segala persoalan yang kita hadapi!
Berhadapan dengan waktu yang berbalut misteri membuat Raisya seperti dipermainkan oleh nasib yang tidak menentu. Dia seperti penunggu di peron waktu tanpa tahu kapan kereta harapan datang menghadirkan kepastian. Rasa jemu, bosan, dan jenuh menggoda hatinya agar beranjak meninggalkan tempatnya. Namun bisikan dalam hatinya untuk tetap bertahan menepiskan semua itu. Hanya saja galau, keraguan, dan gundah gulana menyelinap di tengah perseteruan antara kebosanan dan keteguhan. Tanpa sadar nada keluh kesah pun menggema dalam sanubarinya. Sampai kapankah aku harus menunggu? Benarkah apa yang menjadi keyakinan hatiku? Ataukah pendapat orang-orang yang benar?
“Aku bingung. Sampai kapan aku harus menunggu? Benarkah apa yang kulakukan ini?” gumam Raisya seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Kenapa kamu mesti ragu? Apakah kamu sudah tidak yakin dengan keberadaan laki-laki dari surga?” tukas Saodah, menegur cucunya.
Raisya seperti tersadar dari lamunan. “Ah, tidak, Nek. Bukannya aku ragu, hanya saja…,” Raisya tak meneruskan kalimatnya. Dia bingung, bagaimana menjelaskan keresahan hatinya.
“Sudahlah, Raisya. Kamu tak perlu ragu. Yakinlah pada janji Allah. Laki-laki dari surga pasti akan datang menemuimu!”
“Benarkah, Nek? Dia akan datang menemuiku?”
“Insya Allah, dia pasti datang!”
“Kapan dia akan datang, Nek?”
“Sabar saja! Secepatnya dia akan datang. Yang penting kamu terus berdoa. Allah akan segera mengirimkan dia kepadamu!”
“Bagaimana nenek bisa tahu?”
“Karena aku pernah mengalami seperti apa yang kamu rasakan saat ini. Aku pernah dibuat penasaran dengan keberadaan laki-laki dari surga. Begitu lama aku menunggu kehadirannya. Tapi dengan penuh ketabahan dan kesabaran, diiringi doa yang tak terputus, akhirnya aku dipertemukan dengannya!”
“Apa…??? Nenek pernah bertemu laki-laki dari surga?” Raisya membelalakkan kedua bola matanya, seolah tak percaya dengan pengakuan neneknya.
“Ya!”
“Kapan itu?”
“Sudah lama…”
“Di mana laki-laki dari surga itu sekarang?”
“Sudah lama pergi.”
“Sudah lama pergi?” Raisya mengerutkan alisnya, bingung. “Apakah aku mengenalnya, Nek?”
“Ya! Kamu pernah mengenalnya, meski hanya sebentar. Dia adalah kakekmu!”
“Ah, Nenek! Jangan main-main, aku serius…!”
“Nenek juga serius. Kakekmu adalah laki-laki dari surga. Dia yang telah membangun taman surga dalam rumah tangga nenek. Selama hampir tigapuluh tahun dia menghadirkan surga dalam kehidupanku. Karenanya ketika dia harus pergi menghadap Sang Khalik, aku tak bisa mencari penggantinya. Dia akan terus hidup dalam hatiku hingga tiba saatnya nanti dia datang menjemputku lagi!”
Raisya tertegun. Dia seperti tak percaya mendengar pengakuan neneknya. Dia jadi diliputi penasaran, ingin tahu seperti apa kisah pertemuan nenek dengan kakek yang disebutnya sebagai laki-laki dari surga. Dengan senang hati Saodah menceritakan pengalamannya bertemu dengan laki-laki dari surga yang kelak akan menjadi kakek Raisya. Seperti halnya Raisya, waktu itu Saodah muda juga bermimpi bertemu dengan laki-laki dari surga. Dia meyakini suatu saat laki-laki dari surga akan datang meminangnya. Dia tidak peduli meskipun banyak orang mencibir dan mencemoohnya. Bahkan tak sedikit yang menganggapnya gila!
Dengan sabar dan setia Saodah menunggu kedatangan laki-laki dari surga. Siang malam dia bermunajat kepada Allah. Dia pun berusaha menjaga diri dan kehormatan agar tidak disentuh laki-laki lain. Karena hanya laki-laki dari surga yang berhak menyentuhnya. Setiap kali datang lamaran dari laki-laki lain, Saodah selalu menolak. Dia hanya menunggu pinangan laki-laki dari surga. Sikapnya ini tentu saja membuat keluarganya sedih, prihatin, bahkan jengkel. Mereka tak mengerti dengan jalan pikiran Saodah. Mana mungkin dia bisa menemukan laki-laki dari surga. Mereka takut, Saodah akan menjadi perawan tua. Padahal perempuan yang tidak menikah seumur hidupnya merupakan aib di kampung itu!
Hampir saja Saodah akan diasingkan oleh keluarganya ke tempat jauh dan terpencil, karena dianggap sudah tidak waras. Sudah tak terhitung berapa banyak lamaran dari para pemuda ditolaknya. Sikapnya itu menimbulkan kebencian dan kegeraman dari banyak orang. Mereka yang telah ditolak lamarannya merasa tertampar dan terhina kehormatannya. Mereka menganggap Saodah telah menyalahi adat dan pantas dihukum. Keluarganya mendesak Saodah agar segera menentukan sikap. Jika memang laki-laki dari surga yang akan meminangnya, maka segera temukan laki-laki itu dan bawa ke hadapan orang tuanya. Mereka memberi batas waktu tujuh hari. Bila tidak bisa, Saodah akan diasingkan!
Saodah menjadi bingung dan resah. Dia tidak mungkin mencari laki-laki dari surga, karena laki-laki itu sendiri yang akan datang menemuinya. Dalam keadaan genting dan terdesak Saodah terus berdoa kepada Tuhan agar laki-laki dari surga itu didatangkan ke rumahnya. Siang malam Saodah bermunajat kepada Allah. Hari-hari dilalui dengan perasaan gelisah. Hatinya mulai dibayangi keraguan. Keyakinannya akan kehadiran laki-laki dari surga pun menjadi goyah. Dia diliputi rasa putus asa. Sampai pada hari keenam, laki-laki dari surga belum juga datang. Terbayang dalam benak Saodah hukuman berat yang bakal dijalaninya seumur hidup, diasingkan di suatu tempat jauh dan terpencil!
Saat matahari pada hari ketujuh merekah di ufuk timur, Saodah sudah mengemasi barang-barangnya, bersiap berangkat ke tempat pengasingan. Wajahnya tampak liyup dinaungi mendung. Pertanda hujan tangis akan segera turun, mengiringi perpisahan menyakitkan dengan seluruh keluarganya. Tapi rupanya Tuhan Maha Mendengar doa hamba-Nya yang bersungguh-sungguh. Tiba-tiba di depan pintu muncul seorang laki-laki muda. Dia mengungkapkan maksud dan tujuan hendak meminang Saodah. Tanpa ragu lagi Saodah menerima pinangan laki-laki yang baru pertama kali dilihatnya itu. Karena dia adalah laki-laki dari surga yang sudah lama dinantikannya!
“Ah, bisa saja karena nenek terdesak lalu menganggap kakek laki-laki dari surga,” kata Raisya berkomentar sedikit sinis setelah sang nenek merampungkan ceritanya.
“Tidak! Nenek yakin, kakekmu adalah laki-laki dari surga!” jawab Saodah penuh keyakinan.
“Bagaimana nenek tahu, kalau kakek adalah laki-laki dari surga?”
“Karena dari wajahnya memancar cahaya!”
Raisya tertegun. Apa yang diceritakan neneknya persis dengan pengalamannya. Dia juga mengenal laki-laki dari surga lewat mimpi. Tidak sembarang mimpi, karena mimpi itu dihadirkan oleh Allah. Dalam mimpi itu ia melihat wajah laki-laki dari surga memancarkan cahaya, sama seperti yang dialami neneknya. Mungkin kedengarannya aneh dan tidak masuk akal, tapi begitulah kenyataannya. Tidak sekali dua Raisya bermimpi bertemu dengan laki-laki dari surga. Cerita dari neneknya itu semakin menguatkan keyakinan Raisya bahwa laki-laki dari surga memang ada. Bukan mengada-ada atau sekadar cerita khayalan belaka. Buktinya, neneknya pernah mengalaminya.
“Omong-omong, jika nanti aku dipanggil Tuhan dan diijinkan bertemu dengan-Nya, apakah kamu ingin menitipkan sesuatu untuk disampaikan kepada-Nya?” cetus Saodah tiba-tiba terdengar ‘nyleneh’.
“Nenek jangan omong begitu. Umur nenek masih panjang!” tukas Raisya tak suka dengan ucapan neneknya.
“Kita tak perlu mengingkari kenyataan bahwa semua manusia pada akhirnya akan mati. Dan nenek sadar, mungkin ini saatnya buatku dipanggil Yang Maha Kuasa. Karena aku sudah tua dan daya tahan tubuhku sudah lemah. Tapi insya Allah, aku ingin menghadap-Nya dalam keadaan khusnul khotimah. Jadi bantulah nenek untuk selalu mengingat-Nya. Kuharap kamu bisa kuat dan tabah menerima hal ini. Kematian bukan akhir segalanya. Karena setelah ini kita akan menjalani kehidupan abadi di akherat. Semoga kita kelak bisa dipertemukan lagi di surga-Nya!”
Raisya tak kuasa menahan dinding ketabahannya. Bendungan air mata berhamburan membasahi pipi. Sungguh, hatinya sangat pilu bila harus berpisah dengan sang Nenek. Tak sanggup rasanya hidup sendiri tanpa orang yang dicintainya itu.
“Sudahlah, kamu tak usah terlalu bersedih. Nenek tahu, apa yang kamu pikirkan. Kamu sekarang sudah dewasa. Nenek yakin, kamu bisa menjalani hidup sendiri tanpa nenek. Lagi pula nanti kalau laki-laki dari surga itu datang, kamu tidak akan sendiri lagi!” kata Saodah mencoba menghibur hati cucunya.
“Aku lebih suka laki-laki dari surga itu tidak pernah datang, asal aku bisa selalu bersama nenek,” ucap Raisya merajuk.
“Kamu jangan kekanak-kanakan, Raisya! Kamu bukan anak kecil lagi! Ayolah, tersenyum. Buang kesedihanmu. Arwah nenek nanti bisa tidak tenang bila melihatmu terus-menerus bersedih.”
Raisya tak ingin mengecewakan neneknya. Meski masih ada yang berat dalam hatinya, dia mencoba untuk tersenyum. Namun bisa dirasakan kalau senyum di bibirnya terlihat kaku.
“Nah, kalau begitu kan bagus. Meski kelihatannya senyuman kamu setengah hati. Tapi tak apalah, yang penting kamu mau tersenyum. Oh ya, kamu belum menjawab pertanyaan nenek tadi?”
“Pertanyaan mana, Nek?” Raisya pura-pura tidak tahu.
“Mungkin kamu ingin menitipkan sesuatu untuk disampaikan kepada Allah bila nanti tiba saatnya nenek menghadap-Nya?”
Sejenak Raisya diam tercenung. Dalam hati dia merasa geli, ada-ada saja nenek bilang begitu. Dianggapnya Allah seperti presiden atau pejabat tinggi yang sulit ditemui. Allah tak perlu perantara untuk sekadar mendengarkan pesan yang ingin disampaikan hamba-Nya. Allah ada di mana-mana dan Maha Mendengar semua keluh kesah manusia, bahkan yang terbetik dalam hati sekalipun. Raisya menganggap ucapan neneknya sekadar kelakar atau gurauan belaka. Maka, dengan nada sedikit kelakar pula Raisya menjawab pertanyaan neneknya.
“Sampaikan kepada Allah agar segera mengirim laki-laki dari surga kepadaku!” ucapnya.
Saodah tersenyum, wajahnya nampak berbinar-binar. Dengan suara mantap ia pun menanggapi ucapan cucunya dengan penuh keseriusan. “Pasti! Nenek pasti akan sampaikan!”
Raisya tak tahu, bila itu saat terakhir dia mendengar suara neneknya. Karena esok paginya, Saodah menghembuskan nafas penghabisan. Semua menangisi kepergiannya, terlebih Raisya. Ada sesuatu yang tiba-tiba tercerabut dengan paksa dari dalam dirinya, membuat hatinya serasa hampa. Raisya merasakan kesunyian yang begitu dalam. Kepedihan yang tak bisa dilukiskan. Tapi dia masih bisa sedikit bersyukur, karena sempat berbincang-bincang lama dengan sang nenek sebelum mangkatnya. Setidaknya, itu menjadi secuil kenangan indah yang tak akan pernah terlupakan!
***
Tujuh hari setelah kematian Saodah, segenap keluarga besar berkumpul membahas nasib Raisya. Meski semua sudah sepakat bahwa rumah peninggalan Saodah akan diwariskan kepada Raisya, namun dengan tiadanya sang nenek menjadi dilema tersendiri. Para paman dan bibi Raisya tak menginginkan gadis itu tinggal sendirian di rumah. Karena hal itu bisa mengundang kerawanan dan fitnah. Mereka khawatir terjadi apa-apa pada Raisya. Tapi Raisya berusaha meyakinkan mereka bahwa dirinya akan baik-baik saja. Dia tidak takut tinggal sendirian di rumah dan bisa menjaga diri. Namun hal itu tak mampu meyakinkan mereka.
“Kamu boleh tinggal di rumah ini jika kamu sudah menikah. Untuk sementara kamu tinggal bersama kami. Kamu boleh memilih mau tinggal di rumah siapa!” ujar salah seorang pamannya akhirnya mengambil keputusan.
Raisya tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia menghargai keputusan pamannya, karena semua itu juga demi kebaikan dirinya. Hanya saja hatinya sedih karena harus pergi dari rumah yang telah diakrabinya sejak kecil. Almarhumah neneknya pernah berwasiat agar dirinya menjaga dan merawat rumah ini dengan baik. Perasaan Raisyah kecut bukan main karena tak bisa melaksanakan amanah neneknya. Dia tak tahu, kapan dirinya bisa kembali ke rumah ini lagi. Sebab, mereka memberi syarat dirinya bisa kembali jika sudah menikah. Sementara Raisya sudah berjanji tidak akan menikah jika tidak dengan laki-laki dari surga.
Tapi, kapan laki-laki dari surga akan datang melamarnya?
***
Raisya kini tinggal di rumah Paman Burhan, kakak ibunya yang tertua. Paman Burhan dan keluarganya sangat baik padanya. Kedua anak mereka sudah berumahtangga dan tinggal terpisah di kota lain. Jadi di rumah mereka hanya berdua saja. Paman Burhan pensiunan pegawai Pemda dengan jabatan terakhir kepala dinas, sementara istrinya, Bibi Maryam, masih mengajar di sebuah SMP swasta. Raisya memilih tinggal bersama mereka, karena rumah mereka cukup besar. Raisya juga sudah menganggap Paman Burhan seperti orang tua sendiri. Dia bisa membantu paman dan bibinya mengurus rumah. Mereka pun senang Raisya tinggal di rumah mereka, karena Raisya gadis yang rajin. Mereka bahkan sudah berjanji, jika Raisya telah menemukan jodohnya mereka yang akan membiayai pesta pernikahan sekaligus menjadi wali nikah.
Mengingat usia Raisya yang sudah dewasa, mereka berusaha mencarikan jodoh untuknya. Mereka memperkenalkan laki-laki bujang anak kenalan mereka atau yang kebetulan mereka kenal kepada Raisya. Hampir sebagian besar laki-laki bujang itu merasa tertarik dan suka pada Raisya, meskipun baru melihat dari selembar foto. Tapi hal itu tak mengherankan, karena Raisya memang cantik. Wajahnya berbentuk oval dengan sepasang alis tebal menaungi kedua bola mata yang bulat jernih, sementara hidungnya mancung, dan bibirnya merah ranum. Wajah di balik hijab warna hijau muda itu tampak sumringah, seakan menyapa ramah semua yang memandang. Tapi Raisya bukan gadis yang mudah didapatkan. Semua jodoh yang disodorkan sang paman ditolaknya dengan tegas.
Hal ini tentu saja mengherankan paman dan bibinya. Mereka ingin tahu, seperti apa laki-laki yang diharapkan menjadi jodoh Raisya. Dengan jujur dan lugas Raisya pun menjawab bahwa dia menunggu kedatangan laki-laki dari surga.
“Siapa laki-laki dari surga? Di mana rumahnya? Biar nanti paman yang menemuinya dan menyampaikan keinginanmu,” kata Paman Burhan ingin membantu.
“Maaf, Paman. Aku sendiri belum tahu di mana laki-laki dari surga itu tinggal,” jawab Raisya dengan polos.
“Bagaimana kamu tidak tahu di mana dia tinggal. Lalu, kapan kalian pernah bertemu?”
“Kami hanya bertemu lewat mimpi.”
“Lewat mimpi?” Paman Burhan dan istrinya sama-sama terpengarah, lalu saling berpandangan.
Raisya sadar, paman dan bibinya sangat bingung dengan jawabannya. Dia perlu menjelaskan pada mereka tentang laki-laki dari surga yang ditemuinya dalam mimpi. Mereka mendengarkan dengan seksama. Sesekali mereka menautkan kedua alis, seakan ada yang mengejutkan dan mengherankan. Tapi sejurus kemudian mereka mengangguk-angguk, seakan mengerti apa yang dituturkan Raisya. Usai Raisya menceritakan tentang laki-laki dari surga mereka sama-sama menghela nafas panjang.
“Maaf, Raisya. Bukannya bibi hendak memperolok atau tidak mempercayai cerita kamu, tapi apakah itu tidak terlalu berlebihan? Kamu seperti berkhayal tentang seorang pangeran dari dunia antah berantah. Mustahil kamu bisa mendapatkan laki-laki seperti itu,” kata Bibi Maryam.
“Benar, Raisya. Sebaiknya kamu berpikir realistis saja. Jangan mengharapkan sesuatu yang belum jelas wujudnya. Paman khawatir pikiran kamu nanti terganggu. Ujung-ujungnya, jiwa kamu yang jadi terganggu karena terlalu obsesif terhadap sosok laki-laki dari surga!” sambung Paman Burhan.
“Tidak, Paman. Aku yakin, laki-laki dari surga akan datang melamarku. Karena dia dikirim oleh Allah kepadaku!” ujar Raisya mantap.
“Tapi, kapan dia akan datang?”
Raisya terdiam. Dia sendiri tak tahu, kapan laki-laki dari surga itu akan datang. Hal ini yang kadang membuatnya tertekan dan dibayangi keraguan. Namun sekuat tenaga ia mempertahankan keyakinannya. Karena ia sangat yakin dengan janji Allah akan memberikannya jodoh seorang laki-laki baik, sebagaimana firman-Nya di surat An-Nuur ayat 26.
Saat suasana hening disapu kebisuan, tiba-tiba terdengar suara salam dari luar rumah.
“Assalamu’alaikum…!”
Semua yang ada di ruangan itu serentak membalas salam sang tamu. Mata mereka segera tertuju ke pintu. Di sana berdiri seorang laki-laki muda dengan pakaian sederhana. Raisya tertegun dibuatnya, karena dia melihat ada sesuatu yang istimewa pada diri laki-laki itu. Wajahnya nampak bercahaya.
Ketika laki-laki asing itu dipersilahkan duduk dan ditanyakan apa maksud kedatangannya, dengan lugas dia menjawab. “Saya ke sini untuk melamar Raisya. Dia adalah jodoh saya!”
Semua kaget mendengar pernyataan laki-laki itu.
“Bagaimana kamu yakin kalau Raisya adalah jodohmu?” tanya Paman Burhan menyangsikan.
“Saya mendapat petunjuk dari Allah!”
Paman Burhan dan istrinya saling berpandangan. Sementara Raisya masih dibuat bingung dan kaget dengan kehadiran laki-laki ini. Dia tak menduga, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang tak dikenalnya datang hendak melamarnya. Kejadian ini mengingatkannya pada cerita neneknya. Neneknya telah dipertemukan dengan laki-laki dari surga dengan cara seperti ini. Apakah ini artinya laki-laki di hadapannya adalah laki-laki dari surga? Tapi… ah, Raisya masih menyangsikannya. Dia merasa belum yakin benar.
“Apa buktinya kalau kamu adalah jodohku?” Raisya memberanikan diri melontarkan pertanyaan kepada laki-laki itu.
“Saya bertemu nenek Saodah tiga hari lalu. Beliau yang menyuruhku datang ke rumah ini. Beliau juga menyuruhku untuk bilang kepadamu bahwa pesanmu telah disampaikan!” jawabnya mantap.
Paman Burhan dan istrinya terkejut mendengar pengakuan laki-laki itu. Bagaimana mungkin dia bertemu nenek Saodah tiga hari lalu, padahal wanita itu sudah meninggal empatpuluh hari lalu. Namun pengakuan laki-laki itu tak terlalu mengejutkan Raisya. Tak salah lagi, dialah laki-laki dari surga yang telah lama dinantikan kehadirannya. Tanpa ragu Raisya menjawab lamaran laki-laki itu. Paman dan bibinya pun menjadi heran dan tak mengerti, kenapa secepat itu Raisya memberi jawaban. Padahal dia baru pertama bertemu laki-laki ini. Mereka meminta Raisya mempertimbangkan sekali lagi. Tapi Raisya tetap yakin pada pilihannya. Dia tak perlu memberikan alasan kenapa dia memilihnya, karena semua itu sudah menjadi takdir Allah! (*)