Cerpen
Disukai
3
Dilihat
12,266
Tiga Rangkai Hujan
Drama

1/ Kota. B

Menjelang senja hujan turun, diiringi suara petir. Februari bukanlah bulan yang menyenangkan Desi. Bukan karena cuacanya, tapi kehamilannya. Hamil anak ketiga di usia empat puluh. Padahal ia cepat lelah mengasuh anaknya yang masih balita. Suaminya kerja serabutan.

Warung kecil mereka belum mencukupi kebutuhan. Anak sulungnya baru kelas tujuh, sedang banyak keperluan. Anak kedua masih butuh perhatian dan belum lancar bicara. Batinnya mengeluh, mengapa bisa kecolongan, hamil lagi?

Suaminya belum pulang, baru dua hari jadi kuli proyek pembangunan hotel. Ia baru ingat beberapa hari lalu ruang depan dan dapur atap asbes rumahnya bocor, sudah bolong-bolong kecil, belum diganti baru. Ia bergegas mengambil dua baskom besar untuk menadah kebocoran. 

Bersyukurnya anak balita Desi tidak rewel saat hujan deras ini. Biasanya anak itu rewel kalau ada hujan dan petir. Ia melihat sebentar anaknya dari balik pintu kamar. Dua anaknya sudah tidur. 

Sebetulnya masalah kebocoran asbes telah dikeluhkan pada suaminya, tapi tidak digubris apalagi dibenahi. Alasannya belum punya uang ganti asbes baru. Tentang kehamilannya pun sudah diberitahu pada suaminya, kandungannya berjalan dua bulan lebih dan belum diperiksa ke bidan. Ia tahu hamil setelah membeli alat tes kehamilan yang harganya empat ribu rupiah di apotek. Dua garis merah terlihat pada alat setelah dicek, positif. Suaminya menanggapi dingin. Entah senang atau merasa bertambah beban. 

Desi merenung, teringat adik-adiknya di luar provinsi. Semuanya perempuan. Terpikir satu adiknya yang belum menikah. Dira, anak tengah, memutuskan jalan hidup berlainan dari saudaranya. 

"Kau tahu, mengapa aku tak mau menikah? Meski ibu memohon sambil menangis supaya aku menikah. Aku tak mau. Kalian menikah bukan karena ingin tapi terpaksa," ucap Dira kala itu yang dikatakannya dua tahun lalu. 

Ibu mereka telah wafat empat bulan lalu dan Desi tak bisa hadir ke pemakaman ibunya lantaran tak ada biaya antar provinsi. Ia pasrah, hanya berkirim doa. 

Perbincangan terakhir kali ia dan Dira di telepon seminggu lalu, kabar bapak mereka sakit. Gula darahnya naik, tidak nafsu makan. 

"Kak, bagaimana? Aku harus kerja. Dian, dia tidak mau menjaga bapak. Kakak tahu, suaminya seperti apa?" keluh Dira.

Desi mendesah. Sebagai anak pertama, ia memang punya tanggung jawab tetapi tidak bisa membantu.

Hujan masih mengguyur deras. Pukul sembilan malam sudah. Baskom penuh tadahan air hujan. Di kepalanya pun telah dihujani banyak pikiran. 

Ponsel berbunyi. Desi tersadar dari pikiran panjang. Diterimanya telepon dari ponsel, nomor tidak dikenal.

"Halo, ini dari siapa?" tanya Desi.

"Saya teman kerja Farhan, Mba. Apakah ini istrinya? Tadi sore Farhan kecelakaan, jatuh dari lantai dua. Ada di ruangan UGD, di rumah sakit dekat hotel." Desi gemetar. Ponsel di genggamannya hampir terjatuh. 

 

2/ Kota. P

Entah mengapa, mau di desa atau di kota, status perempuan seolah penting diurus, apalagi telah berumur. Apa salahnya perempuan tidak menikah? Bukan karena tidak laku. Dimana saja, setiap kali ditanya kapan nikah selalu merusak suasana hati ini. 

Apa salahnya aku belum menikah? Usia tiga puluh delapan tahun. Aku baik-baik saja menjalaninya, selama tak menyusahkan orang lain. Kak Desi sekarang tidak bisa diharapkan, Dian apalagi. Mereka jadi berubah sejak menikah. 

Karena mereka mendapat suami yang tidak becus membahagiakan istri. Terlebih suaminya Dian. Aku sudah lelah membantunya dalam segala hal. Termasuk menjauhkan dia dari suaminya. Betapa kuat dia tinggal bersama dengan pria brengsek yang hobinya menghamburkan uang lagi pemarah. Jika aku jadi Dian, sudah kuberi racun suaminya itu. 

"Kamu lebih memilih pria kasar itu daripada mengurus bapak kita?" tanyaku waktu datang ke rumahnya. 

Aku meminta dia untuk gantian mengurus bapak yang sedang sakit. Aku tidak bisa sepenuhnya mengurus karena bekerja, sebagai manajer di hotel. Kalau sering absen, atasan bisa main pecat saja walaupun jabatan tinggi

"Maafkan Dian, Kak. Mas Heru tidak suka aku keluar rumah. Aku harus mengurus anak," jawabnya minta maaf. Alasan yang tidak bisa kuterima. 

"Kamu pikir aku tidak tahu rumah tanggamu bagaimana? Heru, pria yang kamu nikahi, bukankah dia sering menyakitimu. Mau sampai babak belur, atau sampai kamu mati bertahan sama dia?" tukasku kesal. 

Dian terdiam, meskipun harus berkilah bahwa aku salah menilai suaminya dan pernikahannya, tapi terlihat matanya ketakutan dan sedih. 

Akhirnya aku pergi dengan kecewa. Adik yang selalu aku banggakan dengan kecerdasannya, kecantikannya, kebaikannya itu telah pudar di mataku. Karena dia salah memilih pria. 

Sebelum aku pamit pulang dari rumah Dian, kuselipkan satu amplop berisi uang ke tangannya. Tadinya dia menolak tapi kupaksa, "itu buat anakmu. Jangan sampai suamimu mengambil uang itu. Aku memberikan uang untuk keponakanku. Aku sayang anakmu."

Dian terdiam lama di depan pintu memandangku, ketika aku menoleh padanya saat berjalan pulang. 

Hujan turun hari ini sejak pagi, aku sedang libur kerja. Hujan di kota ini tidak begitu deras. Setiap kali hujan turun, jadi teringat tentang kami. Desi, aku, dan Dian. Kami bertiga sejak kecil hidup dalam kesederhanaan ibu dan bapak. Sejak kecil kami diajarkan saling berbagi, saling menyayangi, menjaga satu sama lain. Karena kami perempuan. 

Kata bapak, kami sama-sama lahir di musim hujan. Makanya sewaktu kecil kami suka hujan turun. Terutama Dian. Kami sering bermain hujan bersama, itu tiga puluh tiga tahun lalu. 

"Dira … Dira…"

Suara bapak memanggil. Aku bergegas datang menghampirinya.

"Iya, ada apa, Pak?" 

"Bapak minta tolong ambilkan air hangat." 

Aku lantas ke dapur untuk mengambil segelas air hangat. 

"Terima kasih, Dira," ucap bapak setelah kuberikan segelas air hangat. 

"Badan Bapak sudah membaik? Buburnya sudah dihabiskan?" tanyaku memberondong. 

"Buburnya sudah habis. Terima kasih. Badan Bapak sudah baikan. Dira, kamu tidak apa-apa? Maksud Bapak, apa kamu tidak apa-apa mengurus Bapak? Apa kamu baik-baik saja hidup sendiri?" Pertanyaan bapak membuat aku tercenung. Mengapa bapakku bertanya begini? Seakan hidupku menyedihkan. 

"Dira begini baik-baik saja, Pak. Bapak jangan khawatir. Kak Desi dan Dian sudah mendapatkan bagiannya. Dira bagiannya temani bapak. Maafkan jika Dira sibuk kerja terus," jawabku pada bapak. 

Kedua mata bapakku berkaca-kaca. Seolah sedih mendengar jawabanku. 

"Bapak kangen sama ibumu. Kangen juga sama Desi dan Dian. Bagaimana keadaan mereka, ya, sudah lama tidak berkirim kabar," tutur bapakku. Aku terenyuh. 

"Kabar Kak Desi baik, Bapak akan punya cucu lagi. Waktu Bapak sakit, Kak Desi telepon aku. Dian, dia juga baik. Anaknya sudah lancar bicara. Suaminya sibuk kerja ke luar kota," jawabku sedikit berbohong. Aku tidak mau bapak tahu kabar sebenarnya. 

"Kalau Bapak kangen ibu, nanti kita ziarah lagi ke makam ibu, ya," ujarku menenangkan bapak. 

Bapakku tersenyum mengangguk. Aku lega kesehatan bapak membaik. Namun, aku merasa bersalah. Tentang waktu itu aku menyewa pembantu untuk mengurus sementara saat bapak sakit. Karena aku sibuk bekerja. 

"Dira, Bapak mau masuk ke kamar, ya. Kalau hujan reda, tolong bangunkan. Bapak mau jalan-jalan ke luar," pintanya. Aku mengangguk. 


***

Hari ini Dian tidak takut lagi setelah berkali-kali dikasari suaminya. Hanya karena ia tidak memberi uang pada suaminya yang pulang marah-marah tidak jelas dan tercium bau alkohol. Entah apalagi yang sudah dilakukan Heru di belakangnya. 

Rumahnya bak kapal pecah, mulai dari dapur hingga ruang tamu. Ia terpaksa mengunci pintu kamar dari luar, supaya anaknya tidak keluar melihat kemurkaan pria itu. Kali ini ia sedikit melawan. Mungkin karena lelah bertahan dan mengalah. 

Batin Dian, biarlah hanya ia yang jadi pelampiasan, jangan anaknya. Uang itu memang ada. Uang pemberian kakaknya seminggu lalu. Amplop itu disimpan dalam lemari, di bawah tumpukan baju anaknya. 

"Di mana kamu sembunyikan uangnya?" teriak Heru sambil menjambak rambut Dian. 

Dian meringis sambil berkata, "Tidak tahu. Aku tidak punya uang lagi." 

"Heh! Kamu pikir aku tidak tahu, kakakmu waktu itu datang. Dia pasti memberimu uang banyak!" 

Tangan suaminya belum juga melepas jambakan. 

"Di mana kamu taruh uangnya?" teriak suaminya.

Seketika itu tubuh Dian dihempas ke lantai. Heru seperti orang gila mengobrak-abrik apa saja. Dian menangis. Suara petir diluar bersahutan. Tangisan anaknya di dalam kamar pun terdengar. Dian galau, takut Heru masuk dengan segala cara. 

Benar, Heru melotot setelah mendengar suara anaknya menangis. Tepat di depan pintu kamar, suaminya akan membuka pintu. Terkunci, pintu kamar dikunci dari luar. 

Heru murka, "Di mana kuncinya? Kamu sembunyikan uangnya di dalam!" teriak Heru menyeringai. 

Dian terkejut, dadanya berdegup. Tidak, suaminya tidak boleh masuk ke kamar. Anaknya di dalam. Heru mendobrak paksa pintu kamar. Dian melotot, menyadari jika pintunya sedang didobrak, anaknya dalam bahaya. 

Entah apa yang ada dalam pikiran Dian begitu cepat terlintas. Ia lari ke dapur. Mencari sesuatu untuk mencegah kelakuan suaminya. Napasnya memburu. Petir di luar bersahutan seolah ada pertanda buruk. 

Satu benda didapatkan Dian, diambil tanpa ragu. Benda yang bisa menghentikan kegilaan suaminya. Di kepala Dian, ia harus melindungi anaknya sekarang bagaimanapun caranya.

Kejadian itu sangat cepat. Dian mendekati Heru yang tengah mendobrak pintu kamar. Benda itu dengan cepat ditancapkan Dian berkali-kali ke pinggang suaminya, punggung, lalu dada Heru ketika pria itu berbalik untuk menangkis serangan. 

Entah kekuatan apa yang telah merasuki Dian. Pria itu kesakitan dan mengerang, badannya berlubang memuncratkan darah. Suara petir kembali terdengar dan hujan turun deras. Dian tersadar sampai benda tajam itu terjatuh bersamaan suaminya tumbang di bawah kakinya. 

Darah bercipratan di lantai, di depan pintu kamar, di pakaian Dian, di kedua tangannya. Tangisan anaknya terdengar kembali. Dia pergi ke wastafel membersihkan kedua tangan dan mukanya dari darah. 

Ia lalu membuka pintu kamar, dan anaknya menangis ketakutan. Dian mengambil anaknya dan amplop berisi uang. Listrik pun padam, ia gegas keluar rumah. Kali ini ia tidak lagi menangis, dipeluk erat anaknya dan menenangkan diri. Hujan di kepalanya sudah jadi banjir bah, sampai gelap mata.(*)


Cikarang Barat, 20 Desember 2023.


Penulis : 

Rosi Ochiemuh lahir di Palembang dan berdomisili di Cikarang Barat, Bekasi. Cerpennya pernah dimuat di berbagai surat kabar cetak & digital. Ia telah menerbitkan beberapa buku, antara lain Sesuatu di Kota Kemustahilan (2018), Rumah Amora (2019), Bulan Madu Pengantin (2019), dan Dara, Kutukan atau Anugerah (2021).


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)