Cerpen
Disukai
2
Dilihat
5,624
JAMUAN TERAKHIR
Horor


Ada sesuatu yang disembunyikan Tuan Rey. Lexi melihat tuannya itu murung selepas bicara dari telepon satu kali lagi. Nyonya yang selalu pergi ke salon dan spa hampir tiap Minggu, kini jarang keluar kamar. Jika sudah sarapan pagi bersama, Nyonya mengurung diri dalam kamar. Sedangkan Tuan Muda dan Nona Kecil masih asyik memainkan laptopnya. 

Lexi sudah menghabiskan makanan paginya. Tuan mengelus lembut kepalanya, sembari berujar, “Besok, aku tidak bisa memberikan makanan itulagi padamu. Aku akan melepaskanmu saja. Kau bebas, Lexi.” Air mata Tuan Rey lalu menetes. Bagi Lexi tak pernah dia melihat tuannya itu menangis. 

Nyonya masih mengurung diri dalam kamarnya, wajahnya tidak ceria lagi dan tidak pernah pergi lagi bersama koleganya; ibu-ibu muda parlente kompleks perumahan elite. Dua anak mereka perlahan murung, karena dibatasi pemakaian internet dan tidak lagi dapat uang saku. Mereka jadi anak-anak penggerutu. 

Malam hari, Lexi melihat Tuan Rey di kamarnya menimbang-nimbang benda perak berkilau, tak lain senjata api. Mengusap berulang-ulang wajahnya yang berkeringat. AC dalam kamarnya sudah lama tidak dinyalakan. Sedangkan Nyonya tidur pulas di atas ranjang empuk hanya memakai kipas angin. Lexi mendengar Tuan Rey bergumam sendiri.

“Sebenarnya, aku tak bisa begini terus. Sayang, kepalaku sakit sekali memikirkan jalan keluarnya.” 

“Maafkan aku. Kamu harus mengerti saat ini kita mesti berhemat. Karena begini, kalian menderita. Akan kucarikan jalan keluar yang lebih cepat agar rumah kita tak dijual.”

Lexi melingkar pada kaki meja rias dekat kaki tuannya dalam kamar itu. Tuan Rey tak mendengar gerak-gerik Lexi. Biasanya pria itu akan segera tahu jika Lexi datang, atau mengendus. Kali ini, suara hati dan kebimbangan pria itu lebih besar dari kepekaannya terhadap Lexi.


****


Bahagianya ketika berada dalam keluarga ini. Meski aku bukan dari golongan mereka, aku diistimewakan dengan baik. Disamakan dengan anak mereka. Namaku; Lexi. Selama ini tidak ada yang bisa menggantikan Tuan Rey dan Nyonya Zi dalam hidupku. Aku tidak tahu darimana aku berasal. Mereka mengadopsiku sejak lama setelah beberapa bulan aku di karantina. Kesetiaan selalu jadi motoku bersama mereka.

Tuan selalu memanggil ketika akan berangkat ke kantor. Dilanjutkan Nyonya Zi, Tuan Muda dan Nona Kecil yang suka mengajak aku bermain di belakang halaman rumah. Rumah mereka besar dan mewah. Memiliki 4 kamar besar. Satu untuk Tuan Rey dan Nyonya Zi, satu untuk Tuan Muda, satu untuk Nona Kecil, satu untuk 3 pembantu perempuan. Dan ketiga pembantunnya sering diperintahkan untuk melayani dan memanjakan aku. 

“Kau senang, Lexi?” tanya Nyonya Zi. 

Aku menggonggong kecil, mengitari kakinya yang indah. Nyonya Zi mengelus-ngelus kepala dan badanku, lalu meninggalkan rumah dengan senyum paling manis. Setiap hari Nyonya Zi selalu keluar rumah. Rumah sebesar itu akan tertinggal 3 pembantu dan aku sejak pagi hingga sore hari. 

Bertahun-tahun kami hidup dalam bahagia. Tak pernah kulihat keluarga Tuan bersedih apalagi menangis sejak tinggal di rumah itu. Tiba-tiba datang kejadian yang membuat aku heran. Pada saat sarapan pagi bersama. Tuan Rey mengangkat telepon, lantas otot-otot wajahnya mengeras, suaranya menegang. Pandangan kami tertuju padanya.

“Oke, Saya mengerti, Pak. Tolong beri waktu untuk Saya dan keluarga. Jangan mengambil keputusan sepihak dulu, Pak! Hallo!”

Nyonya Zi kemudian bertanya, “Telepon dari siapa, Pi?”

Wajah Tuan Rey pias. Tidak kusangka wajahnya yang selalu tenang, ramah, dan murah senyum akan sepanik itu di hadapan istrinya.

“Telepon dari Bank, Mi…”

Sewaktu aku melingkar di bawah meja rias, melihat Tuan dan Nyonya duduk di atas ranjang malam itu dalam kamar tidur, mereka saling bicara. Samar terdengar karena bersamaan suara tivi dan luasnya ruangan. Terdengar Nyonya Zi menangis, dan Tuan Rey sikapnya aneh. Aku mengendus ada yang tidak baik di antara mereka malam itu. 

Keesokan harinya, terjadi hal ganjil. Tuan Rey memanggil 3 pembantunya ke ruang tamu. Berbincang dengan mereka, lalu wajah-wajah muram tampak selepas itu dari para pembantunya. Mereka menangis dan menggeleng, lalu menghapus air mata. Tuan Rey, menarik napas panjang. Kemudian satu per satu pembantunya diberi amplop warna coklat ke tangan mereka.

“Saya minta maaf. Saya tidak bisa lagi memberi gaji di bulan berikutnya. Jadi, Saya minta kalian untuk berhenti bekerja di rumah ini.”

Semua menangis akhirnya. Aku mengerti, mereka dipaksa untuk pergi dari rumah itu padahal mereka masih betah bekerja. Akan tetapi Tuan Rey terpaksa menyuruh mereka pergi. Apakah karena telepon yang diterima pagi-pagi kemarin? Lalu semuanya berubah. Kuendus aroma rumah ini sekarang tampak lain. Hawa kemurungan melayang-layang di beberapa ruangan dalam rumah besar ini.


****


Malam pukul dua dini hari. Lexi terusik dengan sesuatu yang ganjil. Ia seakan melihat firasat buruk akan terjadi hari ini. Ia mengendus untuk mencari tahu keberadaan Tuan Rey, tuannya yang baik hati itu. Tiba-tiba ia menemukan Tuannya, berada di antara meja makan. Jam dinding berdetak lambat di sudut ruang tamu, meski suasana rumah tak seterang dulu. Beberapa ruangan lampunya mati dan redup. Seredup jiwa orang-orang di rumah itu. Lexi duduk di samping kaki Tuan. Sekali lagi, Tuan tak merasakan kehadirannya.

“Hari ini juga, semua harus selesai...,” ujar Tuan Rey. Suaranya sesak bagai terbang ke udara.

Tuan beranjak dari duduknya. Di tangannya ada benda yang sama dilihat Lexi saat di kamar tuannya. Lexi mengikuti langkah Tuan Rey, masuk ke kamar mengendap-ngendap. Terlihat Nyonya Zi tertidur pulas. Tuan mengecup kening Nyonya, dan berkata, “Maafkan Saya. Semoga kamu bahagia di sana. Kita bahagia.” 

Lexi terkejut, suara tembakan keras itu berasal dari senjata api yang diarahkan ke dada Nyonya Zi yang tertidur. Tercium aroma amis dan gosong yang buat ia takut. Lexi menjauh dari langkah tuannya. Bersembunyi di bawah kolong meja rias, lalu Tuan Rey pergi meninggalkan kamar itu. 

Napas Tuan Rey terdengar berat seperti diburu, entah apakah yang memburunya itu malaikat maut? Atau Tuan Rey berjalan bersama malaikat maut. Lexi berlari menuju jejak langkah tuannya. 

Terdengar lagi suara tembakan. Langkah Lexi mengendur. Ia berjalan di tempat, tercium lagi aroma kematian dari kamar lainnya. 

Lexi tak percaya, jika Tuan semudah itu menghabisi 3 orang terkasihnya sekaligus. Lexi tak bisa melakukan apa-apa. Ia menggonggong kecil lalu melolong panjang, seakan tahu jika rumah itu sudah penuh kesedihan dan darah. 

Pada saat bersamaan, terdengar langkah Tuan Rey. Langkah berat lambat terputus-putus.  Napas tersendat-sendat. Tuan sampai di ruang dimana Lexi tak bisa ke mana-mana. Lexi kasihan pada Tuan Rey. Tangan pria itu bernoda percikan darah, mata sayu dan kantung mata yang menghitam. Seperti bukan Tuan Rey. Empat kaki mungil Lexi tak bisa ke mana-mana. Hanya mengeluarkan suara “nguk … nguk, nguk” dan memelas berharap Tuan meletakkan benda berbahaya itu di lantai.

Tidak, tuannya tidak menjatuhkan benda berbahaya itu. Pria itu terduduk lemas, menunduk kemudian menjerit keras. Menangis seperti anak kecil. Senjata api itu masih di tangannya. 

“Maafkan Aku," kemudian ia menoleh pada Lexi sejenak. “Pergilah, Lexi. Jangan tinggal lagi di sini!”

Lexi tidak beranjak, ia mendekati tuannya dan menjilati tangan yang bernoda darah itu. Aroma anyir mulai bisa diterima Lexi. 

“Kau, anjing setia, Lexi. Apa mau ikut, Kami?”

Lexi terus menjilati tangan Tuan Rey.

“Baiklah, kamu keras kepala, Lexi,” 

Tuan Rey tergelak menyedihkan, lalu menarik pelatuknya pelan dan menghunuskan moncongnya pada badan Lexi. 

Pandangan Lexi sebelum gelap. Selanjutnya moncong senjata api itu mengarah ke pelipis Tuan Rey.(*)

Palembang—Bekasi, Desember 2023.


Penulis :

Rosi Ochiemuh lahir di Kertapati-Palembang. Berdomisili di Cikarang Barat, Bekasi. Menulis cerpen dan novel. Cerpennya dimuat di berbagai surat kabar cetak & digital. Ia telah menerbitkan beberapa buku, antara lain Sesuatu di Kota Kemustahilan (2018), Rumah Amora (2019), Bulan Madu Pengantin (2020), dan Dara, Kutukan atau Anugerah (2021).


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)