Masukan nama pengguna
Selasa pagi di SMA BINA SENTOSA, kelas 2. Vina dan Brenda tidak menyadari bahwa satu bangku paling belakang tempat duduk Luna—gadis yang paling tinggi di kelas itu, seminggu ini tidak masuk sekolah. Disangka hal biasa karena Luna sering bolos.
Bu Gita, wali murid mereka lalu masuk ke ruangan.
“Murid-murid sekalian. Mohon dengarkan apa yang akan Ibu sampaikan. Kami mendapat kabar duka. Salah satu murid dan teman kalian di kelas ini. Papa Luna mengabarkan, Luna telah meninggal dunia.” Semuanya terbelalak dan suasana kelas langsung ramai.
“Ibu belum selesai bicara. Harap dengarkan dulu,” Semua tercengang, keadaan hening lagi. Bu Gita melanjutkan. “Luna meninggal dunia, baru diketahui setelah jasadnya ditemukan oleh kepolisian di gedung karaoke yang delapan hari lalu terjadi kebakaran besar. Ibu juga kaget dan sedih sekali, ternyata Luna termasuk korban dari tragedi itu. Demikian kabar ini. Besok pagi kita melayat ke rumah Luna.”
Vina dan Brenda tidak percaya kabar tersebut. Pantas saja, seminggu ini mereka tidak melihatnya. Hanya Luna yang tempat tinggalnya berbeda dengan mereka. Tidak satu perumahan, jadi mereka tidak selalu tahu kabar Luna kalau temannya itu tidak cerita. Rumah Luna pun jauh dari sekolah.
“Tak disangka,” ucap Vina, spontan menutup mulut dengan dua tangannya.
“Sama, Vin. Kupikir beberapa hari ini dia tidak masuk karena masalah keluarga lagi. Pantas saja, berkali ditelepon ponselnya tidak aktif,” sahut Brenda.
Mereka berdua tercenung dan berurai air mata. Merekalah yang selalu memberi dukungan pada Luna dalam situasi apa pun. Vina dan Brenda yang duduk sebangku itu lalu berpelukan. Mereka melirik bangku Luna yang kosong. Spontan saja Dina, teman sebangku Luna pindah tempat duduknya. Dina merasa aneh berada di bangku Luna akhir-akhir ini.
“Kok kamu pindah sih?” tanya Vina. Tidak terima dengan sikap Dina yang aneh.
Dina mengedikkan bahu, “Jujur saja, ya. Sejak kemarin-kemarin aku merasa tidak nyaman duduk di bangku itu. Sejak Luna tidak masuk sekolah. Tahu kabarnya begitu, aku mau pindah bangku saja. Daripada terjadi apa-apa.”
Sontak murid pada ramai mencibir Dina. Namun, ada juga yang ikut ketakutan. Menurut mereka ucapan Dina benar. Setelah tahu bahwa Luna meninggal dengan cara tidak wajar dalam gedung karaoke itu.
Vina dan Brenda berpandangan. Meski awalnya mereka tidak menerima kebenaran Dina. Mereka mulai merinding. Luna meninggal dunia dengan setragis itu.
****
Dua minggu sebelumnya. Pada pagi yang cerah, dan semua sudah masuk ke dalam kelasnya. Luna murung di bangkunya. Vina dan Brenda merasakan.
Sampai waktu istirahat tiba, Vina dan Brenda mendekati Luna. Menanyakan, tentang keadaan Luna yang sedikit aneh belakangan ini. Luna tadinya tidak ingin bicara tapi mereka paksa karena khawatir dengannya.
“Sebenarnya, sudah lama aku muak dengan keluargaku sendiri. Mereka sudah berkali-kali kumaafkan. Termasuk Mama. Tapi diulangi lagi. Mama selalu membuat Papa marah, dan akhirnya bertengkar. Pertengkaran terjadi karena Mama sering pulang malam, alasannya lembur. Papa juga sama, dan saling menyalahkan.” Vina dan Brenda terpaku mendengarkan.
“Mama kerjanya tidak jelas. Papa juga sama. Mereka sebenarnya sering pulang malam. Bahkan sebelum subuh. Aku dan kakakku selalu berkata pada mereka untuk cari pekerjaan yang lebih baik. Maksud kami supaya mereka tidak jadi gunjingan tetangga. Rasanya sakit sekali, tiap berpapasan dengan tetangga, kami dicibir karena orangtua kami. Rasanya aku ingin pergi jauh, berada di tempat menyedihkan. Biar mereka menangisi kepergianku.”
“Jangan bilang seperti itu, Luna,” tukas Brenda.
“Iya, Luna. Kamu tidak boleh berpikiran buruk. Kamu berhak bahagia, meski orang tuamu begitu,” Vina menimpali sambil mengelus punggung Luna. Dan membuncahlah air matanya. Mereka menenangkan Luna.
“Kalian baik sekali. Seandainya aku benar-benar pergi, tolong jangan sedih, ya. Apalagi jika terjadi sesuatu padaku, teman-teman,” ucap Luna yang membuat mereka tidak terima.
“Kamu jangan begitu, Luna. Kamu pasti bahagia. Kami sayang kamu,” ucap mereka bersamaan.
Hari itu, mereka tambah dekat. Namun, mereka tidak menyadari sesuatu yang menyedihkan akan terjadi. Luna merasa dirinya akan bepergian jauh. Meski jalannya pedih.
Luna dikenal gurunya murid yang suka membolos. Semua bahkan mengira Luna itu gadis nakal karena absensi di sekolahnya buruk. Namun, bukan itu. Sebenarnya masalah hidupnya yang sedikit rumit. Keluarganya menyedihkan. Mama dan papanya yang sibuk pada ambisi masing-masing. Saling emosian, saling adu argumen, dan tidak pernah memikirkan keinginan anak-anaknya.
Kakak Luna yang sudah kuliah pun, lebih dulu jadi korban orang tua. Sering pula bolos kuliah. Kakak laki-lakinya sering bawa teman perempuan ke rumah hanya untuk pelampiasan kekecewaan pada orang tua. Meski begitu, Kakak Luna sangat menyayanginya. Dia kadang menghibur Luna saat orang tua mereka bertengkar.
“Kalau mereka masih bertengkar, kamu kunci kamar dan putar musik keras-keras. Biarkan mereka ribut. Anggap saja, mereka anak kecil,” ujar kakaknya mengelus lembut rambut Luna.
Kadang Luna menginap di rumah tantenya, dua hari baru pulang. Bagusnya gadis itu tidak gampang melakukan perbuatan buruk. Tidak terduga baru-baru ini Luna berkenalan dengan teman barunya bernama Rio, di perumahan tantenya.
Gadis itu semakin akrab dengan Rio yang gaul dan menyenangkan. Beberapa hari kemudian mereka janjian bertemu. Rio mengajak Luna ke tempat hiburan. Tiga hari sudah Luna tidak masuk sekolah karena menginap di rumah tantenya. Luna jalan bersama Rio di malam Minggu.
“Kita ke tempat karaoke. Itu, Happy Karaoke, yang ada kafe dan barnya. Tempatnya besar, ramai dan menyenangkan. Kamu pasti suka,” ajak Rio. Luna setuju meski awalnya merasa canggung.
Malam itu, Luna bahagia. Bernyanyi-nyanyi bersama Rio. Walau sebenarnya Luna tidak tahu minumannya dicampur sesuatu. Minuman orang dewasa yang memabukkan itu terminum. Terasa ringan di kepalanya setelah minum, semakin menikmati dan terlena. Tak sadar, tubuhnya dan Rio begitu intim dalam ruangan yang sangat privasi.
Mereka berada di lantai dua dengan lampu mirip diskotik. Gedung karaoke itu adalah toko dengan tiga lantai yang tertutup tanpa jendela depan. Hanya punya satu jalan tiap lantai. Lift dan tangga darurat.
Semakin malam, Luna dan Rio tidak sadar. Mereka menikmati hiburan. Tubuhnya tambah melayang, semua beban dan kekecewaannya terbang tergantikan kenikmatan.
*****
Hari ketiga sejak kabar kematian Luna. Seisi kelas terbawa suasana sunyi. Cuma sedikit canda-tawa tiap murid dalam kelas. Vina dan Brenda terkadang menangis jika melihat bangku kosong Luna.
Ketika istirahat tiba mereka makan bersama di kantin. Kasak-kusuk berita tak sedap mulai terdengar di telinga mereka tentang Luna. Ada yang bilang Luna bukan gadis baik-baik karena ditemukan mati di tempat karaoke. Di benak mereka, Luna gadis nakal yang suka dugem dan pacaran. Sampai akhirnya Vina dan Brenda jengah. Mereka kesal karena Luna yang sudah meninggal dunia masih digosipkan. Akhirnya mereka lekas kembali ke kelas.
“Dasar, tukang gosip. Tahu apa mereka tentang Luna? Kita lebih tahu.”
Tiba-tiba teman sekelas mereka berceletuk, “Kalian juga tahu apa tentang Luna? Toh buktinya dia mati di sana jadi korban. Ngapain Luna di sana?”
Selepas itu, bangku kosong tempat Luna duduk terjatuh sendiri menimbulkan suara keras. Semua terkejut termasuk Vina dan Brenda. Semua tercekat dan tak ada lagi yang berani bicara.
Mereka tidak tahu saat kejadian naas itu. Luna sempat sadar dan beranjak ketika terdengar sirine kebakaran. Asap masuk dari kisi-kisi pintu ruang karaoke. Luna berusaha keluar sambil terbatuk-batuk tanpa peduli pada Rio yang tidak sadar. Gadis itu cemas dalam bahaya. Hampir keluar dari sana dengan menyusuri anak tangga berdesakan ke lantai bawah yang asapnya semakin tebal.
Kebakaran itu terjadi di lantai satu. Dia berusaha turun, bersama orang-orang yang berjibaku menyelamatkan diri. Sesampai di lantai bawah, api besar berkobar dari sudut kafe. Mata Luna menangkap sosok perempuan paruh baya meski sebentar. Luna tahu itu siapa. Perempuan paruh baya dirangkul erat oleh pria tinggi tegap yang wajahnya asing bagi Luna. Mereka juga menyelamatkan diri diantara kerusuhan orang-orang.
Luna terduduk lesu bersamaan sibuknya orang berlarian panik. Kedua mata yang semakin perih karena asap tebal bersama hati yang sesak mendalam. Dia tahu perempuan paruh baya itu adalah mamanya, berangkulan dengan pria lain. Dada Luna semakin sesak tak berdaya. Urung untuk menyelamatkan diri. Dia biarkan dirinya terjebak dalam kebakaran dahsyat itu. Tanpa ada yang peduli. Napas semakin sesak, sesak, lalu pandangannya buram. Seburam hatinya saat itu. (*)
Palembang—Bekasi, November 2023.
*Cerita ini terinspirasi dari peristiwa terbakarnya Gedung Happy Karaoke di Kota Palembang, tahun 2002. Salah satu korbannya termasuk teman sekolah penulis.
******
Penulis :
Rosi Ochiemuh lahir di Palembang dan berdomisili di Cikarang Barat, Bekasi. Cerpennya pernah dimuat di berbagai surat kabar. Ia telah menerbitkan beberapa buku, antara lain Sesuatu di Kota Kemustahilan (2018), Rumah Amora (2019), Bulan Madu Pengantin (2019), dan Dara, Kutukan atau Anugerah (2021).