Masukan nama pengguna
Siang ini, kubuka email melalui ponselku. Pengirimnya adalah alamat email baru. Penasaran, aku membuka dan mulai membacanya …
***
Yan …
Baca dan dengar kisahku, di masa lampau ….
Bukan kisah bagus dan indah layaknya ABG kala itu.
Mengenaskan kalau aku boleh menggambarkannya.
Lahir dan besar dalam keluarga miskin sama sekali tak pernah kusesali. Bagaimanapun, bukan kemauan orang tua kami juga berada pada posisi tidak mampu. Tapi di sini aku tak akan membahas kemiskinan kami akan harta, karena tak akan habis runtutanya. Akan kukisahkan cerita nelangsaku, di masa lalu ….
Adalah Pras namanya …
Lelaki seusiaku dengan postur tinggi langsing yang ketika itu kutemui tanpa sengaja di sebuah gedung bioskop kota kami. Sekolahku memang berada di sentra kota. Dekat dengan aloon2 kota, dekat gedung film, dekat dengan supermarket, dan juga dekat dengan komplek perkantoran bupati.
Kulanjut tentang Pras …
Kalau kamu berpikir dia adalah laki-laki parlente, necis, sekolahan dan keren, kamu salah, Yan. Pras seorang laki-laki DO dari salah satu sekolah SMA Swasta bergengsi. Dan hidupnya berakhir menjadi anak urakan. Kurasa hidupnya nggak pernah di rumah, melainkan di jalanan. Padahal dia bukannya anak orang miskin. Orang tuanya lumayan berada jika dibandingkan dengan simbokku.
Kami tinggal di kecamatan yang berbeda. Aku di kampung, sementara dia di kecamatan dekat kota.
Dari pertemuan pertama, aku sadar bahwa ada yang tidak biasa dengan hati dan perasaanku. Mungkin karena aku perempuan, jadinya aku baper. Tapi dengan cowok lain, aku nggak segitunya. Tapi dengan Pras, aku merasakan sesuatu yang berbeda.
Entah berapa kali bertemu, aku yakin kalau aku menyukainya. Naksirlah. Tak peduli seperti apa kehidupannya, tak peduli siapa dirinya. Tahu dong bagaimana idealisnya anak muda.
Lalu ketika nonton film, di dalam gedung yang gelap itu kami kissing. Bukan hanya ciuman pipi. Tapi dia menciumku di bibir. Mungkin kalian jijik mendengarnya, tapi percayalah, aku tak pernah sebahagia itu sebelumnya. Untuk laki-laki seusia kami waktu itu, dia termasuk laki-laki yang mahir dengan ciuman bibir. Meski brandalan, dia nggak urakan dalam urusan mencium. Dia lembut mengajakku kissing, lumatannya tidak menuntut, tapi menuntunku untuk saling menikmati bahwa ciuman kami indah.
Sejak itu, aku merasa bahwa aku semakin mencintainya. Bukan hanya naksir … karena bagaimanapun, dia laki-laki pertama yang mencium bibirku.
Kulanjutkan tentang Pras, Lia…
Merindukannya membuatku semakin melo dan sangat puitis. Selalu banyak kalimat-kalimat teruntai untuknya. Dalam sebuah surat, yang kukirim entah sudah yang ke berapa kalinya.
Meski semua berakhir tragis tanpa balasan, nyatanya aku tak pernah jera. Kukirim lagi dan lagi.
Pernah suatu kali aku iseng lewat depan rumahnya, tepat ketika dia sedang keluar rumah juga. Dia mengajakku mampir. Aku mampir. Dan jujur, aku minder. Meski berandalan, dia berasal dari keluarga yang lumayan berada. Rumahnya beton, nggak kayak rumah simbokku yang hanya anyaman bambu.
Tapi dia selalu baik sama aku, meski aku tahu, tak ada cinta dihatinya untukku. Lalu kami bertiga (aku sama kawanku) keluar dan nonton bioskop. Dulu siang hari, rabu dan sabtu selalu ada diputar bioskop. Kami nonton.
Dan nextnya, bisa ditebak kan kalau kami mengulang kissing yang sama. Tentu dengan durasi dan kelembutan yang lebih mempesona.
Dia memang begajulan, memang berandalan. tapi dia tahu bagaimana menghargai perempuan, menghargai aku yang bukan siapa-siapanya. mungkin hanya TTM kala itu. Tapi hatiku terlanjur baper. Cintaku terlanjur membuncah, tak peduli sebajingan apa dia, tak peduli seberandal apa dia. Karena aku yakin, sebenarnya dia laki-laki yang baik. Setahuku.
Di suatu malam lagi, nggak sengaja juga kami ketemu. Kami jalan bertiga dengan kawanku juga, keliling aloon-aloon kota. Dia bersikap sangat laki-laki. Berjalan di sisi kananku. Dan ketika bercanda, dia selalu mengacak rambutku. Menganggap aku speerti anak kecil, meski aku tahu usia kami sama. Mungkin karena sosoknya yang menjulang tinggi. Malam itu kami berjanji untuk bertemu di tempat yang sama pada perayaan malam tahun baru Islam.
Di malam yang dijanjikan, aku dan kawanku datang. Menunggunya seperti yang dia janjikan. Dan dia tak datang, meskipun waktu sudah berlalu beberapa saat. Aku tak ingin berburuk sangka, karena keyakinanku dia pasti datang.
Tapi janji tinggal janji.
Dia tak pernah datang menemuiku. Seharusnya aku sakit hati. Tapi nyatanya tidak. Aku bahkan dengan bodoh masih saja berharap bertemu dengannya. Dan Tuhan mengabulkan doaku.
Meski bukan pertemuan indah seperti yang kuinginkan, karena dia lewat depan mataku bersama perempuan bergelayut manja di lengannya. Dan sakitnya, perempuan itu teman SMAku, yang dua tahun sebelumnya juga menggandeng laki-laki yang pernah dekat denganku.
Luluh lantak penantianku. Hatiku gerimis. Seharusnya aku menangis, tapi tak tahu apa yang harus kutangisi. Dia bukan kekasihku, dia hanya laki-laki yang kucintai, yang pernah sangat kuinginkan menjadi belahan jiwaku, memelukku di setiap malam-malam yang menggigil. Dia yang mengajariku bagaimana kissing yang menyenangkan, yang mengajariku bagaimana sebuah cinta bisa tumbuh tanpa syarat, yang mengajariku sebuah rasa bagaimana mencintai dengan tulus.
Dia pula yang mengajariku untuk mengerti bahwa hati tak bisa dipaksa. Maka kuputuskan untuk mundur, berhenti mencintainya, berhenti mengejar cintanya. Mungkin dengan menunjukkan Pras bersama perempuan lain adalah cara Tuhan mengatakan padaku bahwa seperti itulah Pras yang sebenarnya. Ya, aku sadari itu.
Dan beberapa waktu sesudahnya, ketika aku ada sedikit urusan (yang aku lupa) sama kawanku, tak sengaja aku ketemu dia. Aku berpura-pura tak melihatnya bukan karena aku sombong, tapi karena aku memang ingin menjauh darinya, melepaskannya dari belenggu cintaku yang tak dia inginkan.
Tapi dia mengejarku.
Meraih tanganku untuk menghadap padanya. Aku hanya menatapnya tanpa bisa berkata-kata. Entahlah, bertemu dengannya menjadi sebuah luka yang indah buatku.
Tanpa kuminta, dia menjelaskan kenapa malam itu dia nggak datang. Alasannya karena dia malam itu terlibat tawuran. Dia juga menunjukkan bekas lukanya. Mungkin aku percaya kalau saja malam itu aku tak melihatnya bersama perempuan lain. aku hanya bilang, “Nggak papa kok kamu nggak datang.” Lalu aku pergi meninggalkannya dengan hati berderai gerimis.
Seingatku, itu pertemuan terakhirku.
Aku bertekad menjauh darinya. Aku tak ingin membuatnya merasa terpaksa bersamaku. Aku tak ingin membuatnya terus menyusun kebohongan-kebohongan hanya untuk tidak melukai perasaanku, karena dia tahu, aku mencintai dirinya.
Sejak itu, aku menghilang. Merantau ke lain pulau. Dan Tuhan memberiku laki-laki yang kini menjadi suamiku. Lelaki terbaik pilihan Tuhan.
Tapi berkali-kali bermimpi tentangnya, selalu saja membuatku bahagia. Tapi sayangnya, kebahagiaanku itu selalu menggantung karena tak pernah bisa bertemu dengannya meski hanya dalam mimpi. Hingga aku berpikir, mungkin dia sudah tiada.
Lalu beberapa hari lalu aku tahu kabarnya dari seorang kawan FB. Tetangga dia dulu. Mengabarkan bahwa kini, Pras sudah tunanetra karena kanker mata yang dideritanya.
Ya, Tuhan… aku menangis.
Bukan menangis karena aku masih mencintainya, bukan. Tapi aku menangisi betapa berat yang harus dia bayar dalam kebutaannya.
Dia sudah punya dua anak setelah menikah dengan perempuan asal Kota Brem, dan sekarang juga domisili di Kota Brem.
Info dari kawan, sekarang dia sudah lebih ikhlas menerima takdirnya. Hidupnya lebih religius, lebih dekat dengan Tuhan. Dan lebih gemuk.
Yang kurasakan hanya satu, aku sangat bahagia dan bangga ketika mendengar dia tegar dan berhasil berkompromi dengan keadaan. Aku yakin dia laki-laki yang kuat dan hebat, yang mau tak mau harus menerima keadaannya sekarang. Berkompromi dengan takdir, berkompromi dengan keadaan.
Meski sesekali aku masih saja ingat padanya, aku selalu berdoa untuknya. Yang terbaik. Untuknya dan keluarganya.
***
Kututup email di ponselku. Tanpa terasa, hatiku ikut perih membacanya. Tak ingin merasakan perih sendirian, kubagi kisah ini untuk kalian. Kisah sendu teman SMAku, dua puluh lima tahun lalu …