Cerpen
Disukai
0
Dilihat
12,438
LELAKI DARI MASA LALU
Romantis

Semilir angin kemarau menerpa wajahku ketika untuk pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di sini, di kota kelahiran yang nyaris sepuluh tahun ini tak pernah kusambangi. Sebuah kerinduan menyeruak ke dalam hatiku ketika melihat lalu lalang mobil yang melintas di sebelah barat alun-alun kota ini.

“Bu, saya lapar. Kapan kita makan?” suara bocah sembilan tahun yang menggenggam erat tanganku ini membuatku terseret dari arus lamunanku.

Aku menunduk padanya dan menghadiahkan senyum terbaik yang selalu kuberikan padanya.

“Kita akan makan di bakso langganan ibu ketika sekolah dulu. Fariz mau?” tanyaku padanya.

Meski sejujurnya aku tahu jawabannya. Dia pasti akan menyukai tawaranku karena semenjak dia mengenal makanan setelah ASI, makanan yang paling disukainya adalah bakso. Membelinya setiap hari tak membuat dia jemu. Maka kali ini aku membawanya ke sini, di sebuah depot bakso dengan nama Goyang Lidah. Depot bakso kesukaanku ketika dulu masih sekolah.

Kugandeng tangan kecilnya menuju ke depot ini. Masih dengan tampilan yang sama ketika aku masuk ke dalam depot ini.

“Ngersakne nopo, Bu?” seorang anak remaja tanggung menyambutku dengan kesantunan yang menyejukkan telinga.

“Sebentar, Mas,” ucapku sambil melihat menu yang menempel di dinding depot ini. Aku menyimaknya dan memilih.

“Bakso kosong dua, teh es satu dan dawet gempol satu, ya?” Meski sedikit kurang pas, aku tetap memilih bakso dengan dawet gempol, dawet khas kotaku ini.

“Nggih, Bu. Sekedap, nggih?” Remaja tanggung itu kemudian keluar ke arah teras untuk meracik bakso.

“Apa Ibu dulu sering beli bakso di sini?” Fariz ikut mengedarkan pandangannya ke seisi depot sederhana ini, sepertiku yang melakukan hal yang sama. Menikmati nuansa nyaman dan sederhana depot bakso ini.

“Ya. Tetapi tidak sering.” Aku menatap mata polosnya yang berbinar.

Sungguh, mata bulat dengan hidung yang runcing ini benar-benar mengingatkan aku padanya, pada seseorang yang bahkan tak pernah kulupakan meski satu dasawarsa sudah berlalu. Waktu yang begitu cepat berlalu, ataukah mungkin karena aku tak tak bisa beranjak dari kenangan-kenangan tentangnya? Entahlah, bahkan aku sendiri tak tahu apa jawabannya.

“Mengapa, Bu? Bukankah Ibu menyukai bakso sepertiku juga?” tanya Fariz bertepatan dengan datangnya dua mangkuk bakso yang kami pesan tadi. Seorang pelayan yang lain menyuguhkan teh es dan dawet gempol.

“Makanlah dulu. Nanti Ibu cerita.” Aku menyodorkan es teh kesukaannya dan semangkuk bakso.

Fariz mengangguk dan mulai makan baksonya. Sementara aku, hanya mengaduk-aduk bakso yang kupesan. Sekilas kulihat Fariz sudah lapah dengan baksonya. Putraku ini memang doyan makan bakso. Maka tak heran jika dia terlihat sangat menikmatinya kali ini.

Namun, aku kehilangan selera makanku ketika ribuan bayangan berkelebat pesat, menggempur ingatanku. Bayangan seseorang yang membuatku tak bisa mencintai orang lain seperti aku mencintai dirinya. Tak bisa mengalihkan kehidupanku yang sekarang untuk tidak terikat dengan masa laluku bersamanya.

Tanpa kusadari, senyumku terukir masam. Mengasihani diriku sendiri yang tak juga menemukan penggantinya yang menghilang entah kemana, meninggalkan aku dalam kesunyian meskipun dunia demikian hiruk pikuk.

Di sini, di depot ini, aku pernah makan bakso bersamanya. Menikmati masa lalu sebagai remaja dengan demikian menyenangkan. Mencintainya dengan sepenuh hati, tak peduli apakah dia mencintaiku atau tidak. Ketika itu, aku hanya tahu bahwa mencintainya dengan tulus adalah ekspresi perasaanku.

“Apakah kamu tidak berniat mencarinya?” tanya Trio, teman remajaku ketika tahu bahwa aku hamil tanpa dia ketahui bahwa dia sudah memberiku benih cinta dalam kesalahan satu malam. Kesalahanku yang buta dalam mencintainya.

Aku yang ketika itu sebenarnya panik, hanya menggeleng.

“Kamu akan membesarkannya sendirian?” Trio menatapku tak percaya.

Aku yang kalut hanya mengangguk.

“Nis, membesarkan bayi sendirian bukan hal mudah. Kamu butuh uang untuk menghidupinya!” Trio marah ketika aku memutuskan untuk membesarkan bayiku sendirian, meski tanpa dia.

“Aku akan bekerja,” jawabku ketika itu. Meski saat itu aku tak tahu, pekerjaan macam apa yang bisa dilakukan oleh perempuan hamil sepertiku.

“Kamu pikir ada yang mau mempekerjakan perempuan hamil?” tanya Trio demikian pedas ketika itu.

Aku tak marah karena aku tahu, dia juga panik dengan keadaanku.

“Aku akan bekerja apa saja,” jawabku yakin. Sebenarnya sedang membohongi diriku sendiri karena aku sejujurnya juga tidak yakin.

Mengapa kamu tidak menggugurkannya saja?” Trio mengusulkan hal gila.

Aku menatapnya tajam. “Menggugurkannya? Kamu sudah gila?” Aku menghardiknya tajam.

“Karena dia akan menjadi beban hidupmu selamanya!” Trio balik menatapku tajam.

Aku menggeleng kuat, tak menyangka dia akan menyarankan hal bodoh seperti itu, Bagaimana mungkin aku menggugurkannya? Dia satu-satunya peninggalan yang kumiliki dari dirinya.

Tidak! Aku tidak akan melakukannya.

“Aku sudah melakukan sebuah dosa dengan tidur bersamanya. Aku tak akan menambah dosa besarku dengan membunuh bayi ini!” Kupegang erat perutku yang meski belum besar namun aku sudah begitu menyayanginya.

“Tapi dia akan lahir tanpa ayah, kau tahu? Kehidupan macam mana yang akan kamu suguhkan padanya? Bagaimana jika kelak dia menanyakan siapa ayahnya?” Pertanyaan Trio kembali menyudutkan posisiku.

Dan Trio benar. Meski pada akhirnya aku bisa bekerja atas kebaikan seorang pemilik kantor konsultan keuangan yang menerimaku bekerja sesuai kemampuanku, tapi nyatanya aku tak memiliki jawaban memuaskan ketika Fariz bertanya siapa ayahnya.

Hatiku bagai tersayat setiap kali dia bertanya siapa ayahnya. Apalagi ketika dia sering menangis ketika pulang sekolah karena diolok temannya. Yang kulakukan hanya memeluknya dengan hati perih penuh rasa bersalah. Semua rasa sakit yang dirasakan Fariz adalah karena kesalahanku.

“Nanti. Nanti kita akan menemui ayahmu,” janjiku pada akhirnya demi membuatnya berhenti menangis.

“Sungguh, Bu?” Fariz menghentikan tangisnya, menatapku dengan air mata berurai.

Tak sanggup melihatnya menangis, kujawab pertanyaannya dengan anggukan sambil kuusap pipinya.

“Ya. Ibu janji.” Dan aku tak bisa membendung tangisku ketika kupeluk dia erat. Kamu menangis berdua. Dan ketika liburan sekolah tiba, aku sengaja meminta cuti pada bos di kantor untuk menemaninya pulang ke kampung halaman. Tempat yang semula takut aku datangi, karena aku tak ingin memasuki masa laluku lagi.

“Ibu? Mengapa Ibu tidak makan baksonya?” Suara Fariz menyeretku kembali dari lamunanku.

Aku menatapnya dan tersenyum. Kulihat bakso di mangkuknya sudah habis.

“Fariz mau lagi?” tanyaku.

Bocah itu mengangguk dengan senyum malu.

“Mau makan punya Ibu?” tanyaku.

Bocah itu mengangguk, membuatku tersenyum. Lalu kuberikan bakso yang belum kumakan itu padanya. “Makanlah. Ibu masih kenyang.”

Dan selanjutnya, aku lebih menikmati melihat Fariz yang makan dengan lahap. Tak peduli dia sudah menghabiskan semangkuk bakso sebelumnya.

Lalu kudengar suara pembeli yang masuk ke depot ini.

“Bakso kosong satu sama ed dawet gempol satu, Pak.” Suara itu sepertinya pernah kudengar, tapi aku tak berani berspekulasi.

“Seleranya selalu seperti ini, Mas, bertahun-tahun?” tukang bakso menanyakannya.

“Hanya dengan cara seperti aku mengenangnya, Pak,” jawab si pembeli.

Aku mencoba mengabaikan percakapan mereka.

Tapi ketika pembeli itu duduk di kursi pandang yang ada di depanku, aku tak bisa lagi mengabaikannya. Tanpa sengaja, aku melihatnya. Menatap matanya. Dan dunia bagai berhenti berputar, bahkan detak jantungku rasanya berhenti berdetak selama beberapa saat ketika mata kami saling bersirobok pandang.

Aku menatap matanya. Dia menatap mataku. Lidahku kelu. Dia juga kehilangan kata-kata. Sementara jantungku yang kembali berdetak seketika bagai dihantam palu. Hingga suara Fariz mengejutkanku.

“Ibu? Mengapa Ibu memandang om ini seperti itu? Ibu mengenalnya?” tanya Fariz dengan polosnya.

Leherku rasanya kaku ketika aku menoleh untuk menatap Fariz. Haruskan kukatakan bahwa laki-laki di depan kami ini adalah ayah biologisnya?

 

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)