Cerpen
Disukai
0
Dilihat
14,068
APAKAH DIA ANAKKU?
Romantis

Angin semilir menerpa wajahku ketika lidahku tiba-tiba ingin mengecap kembali rasa makanan khas kesukaanku. Tidak. Bukan kesukaanku sebenarnya. Aku menyukai bakso setelah aku merasa kehilangan seseorang yang kuanggap tak penting awalnya.

Namanya Nisa.

Tak cantik sebagaimana gadis muda umumnya. Hanya perempuan berkulit coklat yang sangat commoner, berpenampilan sederhana, dan mungkin juga sederhana kehidupannya. Karena yang pasti aku tak mengenalnya sedemikian detil. Dia begitu menyukai makanan bernama bakso, membuatku sedikit terbiasa dan berakhir dengan suka.

Pertemuanku dengannya juga tak terduga, bahkan tak pernah kuanggap istimewa. Perkenalan yang membuat kami menjadi dekat meski aku tak tahu dimana rumahnya, namun dia tahu siapa aku dan bahkan di mana rumahku. Aku tak tahu bahwa dia menyimpan sebuah cinta padaku, yang kuanggap konyol ketika itu. Karena aku juga tak tahu, apa yang membuatnya melabuhkan hati pada laki-laki tak punya masa depan seperti aku, ketika itu.

Bagaimana tidak konyol?

Kami sering bertemu meski tidak sengaja, di sekitaran alun-alun kota. Dan dalam setiap pertemuan itu, obrolan kami mengalir santai. Dia yang gadis lurus, tak peduli siapa dan bagaimana kehidupan berandalku. Namun, sepertinya dalam setiap pertemuan selalu tak cukup untuknya. Karena suratnya hampir setiap minggu suratnya datang ke rumahku.

“Surat lagi?” tanya ibuku ketika pak pos datang mengantar surat itu.

Aku hanya tersenyum masam mendengar komentar ibu.

“Dari siapa? Gadis yang sama?” Ibuku sepertinya mulai penasaran.

Dan lagi-lagi aku hanya tersenyum. Seharusnya Ibu tidak bertanya karena sudah tahu jawabannya. Aku langsung menuju ke kamar, membuka amplop panjang warna putih dengan alamat yang tertera jelas itu.

To : Agus Prasetyo, Jalan Kenanga.

Aku tersenyum melihat gaya gadis itu setiap mengirim surat. Penuh kreatifitas dengan diberinya gambar-gambar bunga di setiap sudut suratnya. Kertas sesederhana itu bisa menjadi demikian pantas dipandang, dan artistik.

Dan kalimat yang menghambur selalu berisi sebuah kalimat ketulusan. Bahwa dia mencintaiku tanpa syarat. Harusnya aku tertawa ketika seorang gadis bilang cinta tanpa syarat. Memangnya ada, cinta seperti itu? Atau ini hanya sebuah rayuan konyol karena dia kehabisan bahan pembicaraan?

Entahlah.

Yang pasti, aku menikmati pertemanan kami. Berjalan di sekitaran alun-alun membuat pertemanan kami begitu nyaman. Dan ya, aku bisa merasakan ketulusannya menyayangiku. Mengacak rambutnya yang sebagu sudah menjadi kebiasaanku jika bersamanya.

“Satu Muharam aku menunggumu di bawah patung singa. Kita habiskan malam dengan terjaga hingga pagi.” Aku memintanya bertemu untuk merayakan malam tahun baru.

“Sungguh? Jam berapa?” Matanya berbinar penuh semangat mendengar ajakanku.

“Jam tujuh malam. Kayak biasanya. Nanti yang datang duluan, nunggu,ya?” kataku menjanjikan pertemuan.

Dia mengangguk. “Awas kalau kamu ingkar janji!” ancamnya dengan wajah cemberut.

Aku tertawa melihat wajahnya yang lucu. Kuacak rambut di kepalanya dengan sayang.

Eh? Sayang? Benarkah?

Lalu ketika Malam Muharam itu tiba, aku sudah bersiap menemuinya di tempat yang kami janjikan. Aku bahkan sudah bersiap dengan mengenakan baju yang sedikit pantas untuk kencan. Bukan, sebenarnya bukan sebuah kencan karena dia bukan pacarku. Kami hanya teman yang sedikit mesra.

Aku bahkan sudah menunggunya satu jam sebelum waktu yang kujanjikan, tetapi seorang teman tiba-tiba datang. Namanya Ruri, teman satu kelompok yang sering nongkrong di sekitaran alun-alun ini.

“Gus, antar gw, dong?” ujarnya dengan wajah panik.

“Kemana?” tanyaku santai.

“Ke simpang tiga ujung. Abangku tawuran di sana, aku harus nolongin dia. Ayo, dong?” Rurimenyeret tanganku.

“Eh, Ruri! Tapi aku ada janji sama temenku.” Aku hendak menolak karena memang aku sedang nungguin Nisa kali ini.

“Nanti juga dia bakalan nungguin kamu. Tapi Abangku harus kuselamatkan. Ayo!” Ruri menyeret tanganku sehingga mau tak mau aku ikut dengannya.

Aku tak menyadari bahwa ternyata malam itu aku harus berurusan dengan yang berwajib karena ternyata abangnya Ruri yang tawuran itu tertangkap. Sialnya, polisi datang ketika aku baru saja tiba di lokasi tawuran sehingga mereka juga menangkapku.

Aku benar-benar sial malam itu.

Beberapa hari setelahnya aku menemuinya di barat alun-alun. Aku menemui Nisa yang waktu itu kebetulan sedang di sana. Aku mendatanginya untuk meminta maaf karena tak bisa menemuinya malam itu. Wajahnya cemberut dan aku merasa bersalah.

“Kamu marah?” tanyaku ketika kulihat wajahnya cemberut.

Awalnya dia membuang muka. Namun tak berapa lama dia menatapku dengan mata yang mula digenangi oleh air mata meski tidak sampai merembes. Aku tahu dia marah dan mungkin juga kesal. Tapi satu yang membuat rasa bersalahku semakin besar adalah ketika aku melihatnya menggeleng, sebagai jawaban bahwa dia tidak marah.

Ayolah, dia tidak marah tapi raut mukanya jelas menunjukkan kekecewaan. Kalau boleh memilih, aku lebih memilih dia menamparku sepuas hatinya. dari pada mendiamkan aku seperti ini. Sungguh, aku merasakan sakit yang tak terhingga hanya karena dia diam dan bersikap seolah it is fine. Sementara aku tahu itu tidak demikian.

Didera oleh rasa bersalah, aku menarik tangannya dan kubawa pergi ke rumah salah seorang teman yang kebetulan tinggal sendirian karena orang tuanya merantau ke Jakarta. Di tempat itu, kutuntaskan segala ganjalan yang ada di hatiku. Kukatakan yang sejujurnya mengenai malam itu hingga akhirnya matanya berbinar mengerti.

“Maaf kalau aku tadi marah,” katanya dengan lugu sambil menunduk.

Aku tersenyum. Entah mengapa aku tiba-tiba memeluknya, ingin meredakan segala rasa tak nyaman yang menerpa hatinya. Ingin memberinya rasa aman tak tak harus khawatir karena semuanya akan baik-baik saja. Lalu entah bagaimana awalnya, pelukan hangat itu tiba-tiba berubah menjadi tak terkendali ketika aku mengecupnya dengan lembut.

Dan entah setan mana yang kemudian berhasil membujukku sehingga begitu saja aku bergelung menurutkan hasratku bersamanya. Sempat kuucapkan maaf karena lupa diri, namun dia hanya mengangguk dengan air mata menetes. Aku memeluknya erat untuk memberinya penghiburan.

Aku tak menyadari bahwa itu pertemuan dan pelukan terakhirku padanya. Karena setelahnya peristiwa itu, aku kehilangan dia. Dia menghilang begitu saja bagai ditelan bumi. Aku juga tak tahu harus mencarinya kemana karena aku tak tahu alamatnya dimana.

Semenjak hari itu, aku mencarinya kesana kemari. Kucari tahu ke beberapa temannya, namun mereka tak tahu dimana keberadaan Nisa. Aku merindukan ketulusannya, merindukan surat-suratnya yang tak pernah lagi datang semenjak hari itu.

Dan hari ini, aku kembali berdiri di sini. Di sisi barat alun-alun sekedar mengingat dia yang dulu selalu kutemui di sini. Dan entah mengapa aku mencium aroma kuah bakso yang semakin menyeret langkahku untuk ke sana.

“Bakso kosong satu sama es dawet gempol satu, Pak.” Aku memesan menu yang dulu juga selalu dia pesan ketika ke sini.

“Seleranya selalu seperti ini, Mas, bertahun-tahun?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan tukang bakso langganan ini.

“Hanya ini satu-satunya cara untuk mengenangnya, Pak.” Aku menjawab dengan nada kering yang terdengar menyakitkan, bahkan di telingaku sendiri.

Aku lalu masuk ke dalam untuk duduk. Kulihat seorang perempuan bersama seorang anak laki-laki sedang makan di sana. Lalu entah mengapa aku mengambil tempat duduk di kursi panjang yang ada di depan perempuan itu, padahal di sisi yang lain banyak kursi yang kosong.

Tanpa pikir panjang, aku duduk. Namun detak jantungku seakan menggelepar lebih cepat ketika aku tanpa sengaja melihat matanya yang juga melihatku. Kami merasakan keterkejutan yang nyata dan bagai terbungkam tak bisa berkata-kata. Mulutku terkunci, mulutnya juga sama. Hingga pertanyaan si bocah membuatku ikut menatap anak lelaki tampan itu.

“Ibu? Mengapa Ibu memandang om ini seperti itu? Ibu mengenalnya?”

Deg!

Aku menatap anak lelaki itu. Dan demi Tuhan, aku bagai melihat diriku ketika masih ana-anak. Aku seperti bercermin.

Apakah dia ….

 

***


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)