Masukan nama pengguna
Rinai gerimis masih terdengar gemericik ketika sore ini aku aku duduk di teras belakang rumah kecil kami. Secangkir kopi panas masih mengepulkan aromanya yang wangi. Kenikmatannya jauh lebih terasa karena diracik oleh tangan penuh cinta milik Zita, istri cantikku. Mengingat Zita, selalu membuatku bersyukur atas campur tangan Tuhan dalam setiap jalan dan takdir hidupku.
Bagaimana tidak, jika di ulang dari awal, tak kan ada yang menyangka bahwa dia akan menjadi istriku. Karena siapapun tahu siapa aku dan siapa Zita. Kami seperti dua sisi kutub yang berbeda. Namun mereka lupa, bahwa dua sisi kutub yang berbeda memiliki sifat tarik menarik.
Benar, kami adalah dua sisi kutub berbeda yang bisa bersama dalam rangka ibadah terindah yang pernah ditawarkan Tuhan untuk umat-Nya. Sebuah ibadah dalam bentuk pernikahan.
Dan inilah kisah kami ...
Sekolahku waktu itu masih sangat lengang ketika untuk pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di sana. Seharusnya aku sekarang berada di SMA tempatku dulu sekolah. Bersama teman-teman nakalku waktu itu. Benar, aku salah satu siswa paling berandal yang pernah tercatat di SMA ku yang dulu. Selain merokok, aku juga sering terlibat perkelahian massal yang kadang suka terjadi antar siswa SMA. Ada sebuah kebanggaan tersendiri ketika wajahku kadang terdapat luka setelah perkelahian itu. Karena itu artinya, aku benar-benar lelaki pemberani. Tapi satu kekuranganku yang aku sadari, aku tak pandai mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiranku. Aku lebih suka bicara dan mengungkapkan segala sesuatu secara lugas dan apa adanya. Meski begitu, aku tak tahu mengapa banyak gadis-gadis mendekat padaku.
Hingga puncaknya ketika aku pulang sekolah dalam keadaan terluka paling parah. Dalam sebuah perkelahian, gank musuhku mengeroyokku. Setangguh apapun saat itu, aku tak akan menang melawan beberapa orang dalam satu waktu. Hingga aku harus berakhir di rumah sakit karena ada sisi tulang rusukku yang mengalami keretakan. Kalau wajahku, jangan tanyakan seperti apa wujudku saat itu. Karena Ibuku bahkan hampir tak mengenaliku yang babak belur tidak karuan.
“Zal, mulai sekarang Ayah tak mau lagi menuruti segala keinginan kamu. Jadi kalau kamu masih saja bersikap urakan yang akan berakhir di rumah sakit lagi, Ayah pastikan bahwa Ayah angkat tangan atas hidupmu. Kecuali kamu mau menuruti kata-kata Ayah!” Itu kalimat pertama yang Ayah ucapkan ketika aku baru saja pulang dari Rumah Sakit usai perawatan perkelahian itu.
Aku hanya diam dan menunduk. Sementara Ibu yang juga lelah dengan sikap dan kelakuanku, hanya diam tak membelaku namun juga tak membenarkan Ayah.
“Mulai sekarang, kemasi barang-barangmu!” kata Ayah tegas membuatku mendongak tak mengerti. Saat aku menoleh ke arah Ibu, beliau juga terkejut dengan kalimat Ayah. Kami, aku dan Ibu, saling berpandangan.
“Yah? Ayah mengusir Rizal?” Aku bertanya dengan dada berdegup kencang penuh antisipasi, bagaimana jika benar Ayah mengusirku.
“Ayah hanya ingin kamu menjadi manusia yang berguna. Tidak bertindak berandalan seperti ini!”
Aku masih belum mengerti ke arah mana Ayah membawa percakapan kami. Namun baik aku maupun Ibu tak berani bertanya lebih lanjut, karena kali ini Ayah benar-benar murka.
“Nanti malam aku akan mengantarmu ke kampung!”
Aku terkejut. Ke kampung? Oke, mungkin maksud Ayah adalah ke kampung halaman Ayah di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Tapi itu jelas bukan kota impianku sama sekali. Karena hanya dengan beberapa kali aku berkunjung ke sana, aku bahkan tak memiliki rasa ingin kembali ke sana. Dan kini Ayah memutuskan untuk mengirimku ke sana?
“Kok ke kampung, Yah? Kalau aku menuruti kata-kata Ayah, apa Ayah tak akan mengirimku ke kampung?” Aku berusaha menggagalkan niatan Ayah yang ingin mengirimku ke kampung. Entah apa maksudnya, aku tak tahu.
“Bukan hanya sekali kamu berjanji untuk tidak berandalan lagi. Jadi semua tergantung keputusanmu. Kalau kamu tak mau menuruti kata-kata Ayah, silahkan angkat kaki dari rumah Ayah!”
Jdeerr !!!! Bahkan suara petir pun tak akan membuat aku terperanjat seperti ini. Ini sungguh mengejutkan, karena Ayah yang memang tegas itu bahkan tak pernah sekalipun berkata semarah itu. Bahkan sampai mengusirku. Tidak!
Lalu aku hanya menunduk, dan kudengar suara Ibu yang sedikit gemetar mencoba merayu Ayah untuk tidak membawaku ke kampung. Tapi kemudian aku tak tahu apa yang mereka bicarakan karena aku pergi meninggalkan mereka dan masuk ke kamar. Mungkin mereka bertengkar, aku tak tahu.
Malam itu setelah Ayah memutuskan untuk mengirimku ke kampung, Ayah membuktikan ucapannya. Karena paginya beliau sendiri yang mengantarku ke sini. Bukan ke rumah nenekku yang berada di kampung halaman Ayah, melainkan menitipkanku pada seorang teman Ayah yang seorang kepala sekolah swasta.
Aku terkejut dan ingin protes. Tapi raut muka Ayah sepertinya tak ingin di bantah. Aku kemudian hanya diam. Mungkin ini lebih baik daripada aku diusir beliau hingga tak tahu harus tinggal dan makan dari mana.
Nama teman Ayah itu Oom Rustam. Laki-laki setengah baya yang memiliki wajah teduh dan sangat lembut perangainya. Dari obrolan mereka, sepertinya Ayah dan Oom Rustam adalah teman sekolah. Dari obrolan yang hanya kudengar itu, aku mengetahui niat Ayah membawaku ke sini. Ayah ingin aku belajar hidup sederhana dengan akhlak yang bertanggung jawab.
Apesnya, Oom Rustam bahkan menerima dengan lapang dada dan senyum terkembang seolah tak terbeban dengan kedatanganku yang terlihat sangat berandalan ini. Bagaimana tidak berandalan, rambutku aku biarkan gondrong tanpa aturan. Telingaku terlubang untuk memasang anting. Di betisku, aku menggambar sebuah tato berbentuk kalajengking yang kata Afni, mantan pacarku sewaktu SMA yang kini drop out karena hamil, terlihat seksi di betisku.
Oom Rustam hanya memandang penampilanku dengan senyum arif yang bahkan membuatku heran. Bagaimana mungkin beliau tidak merasa risih dengan penampilanku ini? Sementara Ayah selalu memandangku dengan tatapan sinis dengan penampilanku.
“Aku berharap, kamu bersedia memberi Rizal bimbingan yang baik, Rus. Aku yakin kamu mampu.” Itu kalimat terakhir yang Ayah sampaikan ketika hendak pamit meninggalkan aku pada Oom Rustam.
Aku kemudian menyalami Ayah ketika beliau hendak pulang. Bermacam petuah yang Ayah ucapkan padaku seperti lebah yang mendengung dan memekakkan gendang telingaku. Ketika Ayah sudah kembali ke kota, Oom Rustam memberiku sebuah kamar yang terletak di paviliun belakang rumah beliau.
Lumayan asri dan privacy. Aku suka. Meski tentu saja jauh dari suasana kamarku di kota. Kalau biasanya ada AC di kamarku, di sini aku tak menemukannya. Hanya sebuah jendela lebar yang menghadap ke sawah yang menjadi sarana sirkulasi udara di kamarku ini. Cat nya yang berwarna hijau sebenarnya sangat tidak aku, tapi biarlah! Mungkin ini hukuman untuk kenakalanku dari Ayah.
Dan sekarang aku berada di sini. Di sebuah sekolah SMA yang sangat jauh kondisinya dengan sekolahku yang dulu, di kota. Sekolah ini hanya terdiri dari beberapa kelas saja. Per jurusan, hanya ada 1 kelas yang aku yakin, siswanya tidak sebanyak sekolahku yang dulu.
Suasana masih sepi ketika aku tiba di sini. Aku berangkat bersama Pak Rustam tadi. Naik sebuah sepeda motor bebek yang sepertinya sangat tidak sesuai dengan penampilanku. Kalau boleh jujur, aku sesungguhnya tak suka dengan semua ini. Pak Rustam sepertinya mengetahui gelagat ketidaksukaanku berada di sini. Tapi beliau dan istri beliau sepertinya santai menghadapi sikapku yang urakan untuk ukuran kampung ini. Tapi aku tak peduli.
Seperti tadi pagi, ketika Oom Rustam menggedor kamarku dengan ketukan berulang karena menyuruhku untuk sholat subuh, aku terpaksa membukanya. Ketika beliau menyuruh aku sholat, aku hanya mengangguk. Setelah beliau berlalu menuju ke surau kecil yang berada di taman belakang rumah ini, aku kembali tidur. Tapi kemudian beliau tak membangunkanku.
Lalu kemudian aku terbangun dengan tergesa ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Aku terburu-buru karena kulihat Oom Rustam sudah ready dengan seragam kepala sekolahnya. Beliau hanya geleng kepala melihatku tunggang langgang mengejar beliau karena sudah nangkring di atas sepeda bebeknya.
“Besok lagi, harus bangun lebih pagi.” Hanya itu yang diucapkan Pak Rustam. Dan aku juga hanya diam tak mau menyahut. Sebenarnya aku juga tahu bahwa aku harus bangun pagi. Tapi kantuk hasil begadangku semalam bersama Tony, teman SMA ku di kota, melalui line, membuatku ngelantur dalam obrolan semalam. Apalagi ada Nonik, sepupu Tony. Lengkap sudah alasanku melek semalaman, karena jujur saja aku naksir berat dengan Nonik yang centil dan cantik itu. Dan hasilnya adalah pagi ini, ketika aku harus kejar tayang untuk sampai di sekolah lebih pagi.
Pak Rustam mengantarku ke sebuah kelas IPS. Beliau memperkenalkanku sebagai keponakan beliau. Seluruh penghuni kelas menatapku dengan banyak asumsi barangkali. Ada beberapa yang melihatku dengan pandangan tak berkedip. Mungkin mereka kepo, karena meskipun aku urakan begini, aku memiliki wajah yang tampan.
Oke, ini bukan hanya sebuah rasa percaya diri yang terlalu besar, tapi aku memang tampan. Lalu teman sesama lelaki, ada yang berwajah biasa saja dengan kehadiranku, ada juga yang merasa tersaingi dengan wajahku, bahkan ada juga yang terlihat cuek. Untuk teman perempuan, sebagian besar dari mereka terlihat kepo.
Begitulah, aku akhirnya terdampar di sini. Di kelas IPS sebuah SMA di kampung ini. Penampilanku yang urakan ternyata malah mengundang para teman cewek untuk mengerubungi aku dengan aksi-aksi norak yang kadang membuatku tertawa terbahak-bahak karenanya. Sejenak, rasa tidak nyaman atas kepindahanku ke sini terabaikan.
Tapi ada yang membuatku heran. Dari sekian banyak gadis yang kepo dengan keberadaanku di sini, ada satu gadis yang bahkan tak acuh dengan kedatanganku. Dia hanya memandangku sekedarnya saat perkenalanku di kelas tadi. Dan saat teman-teman semua pada datang berkenalan denganku saat istirahat tiba, dia bahkan hanya melenggang ke luar kelas.
Aku hanya menatapnya sekilas saja, dengan satu rasa yang sedikit aneh di dadaku. Ada debar halus yang kurasakan saat melihatnya berlalu dengan acuh dari hadapanku. Dia gadis yang berbeda. Kalau kebanyakan temannya selalu banyak cerita dengan kecentilannya yang tak jauh dari teman-teman gadisku di kota, tapi gadis yang ini lebih pendiam. Kalau teman lainnya terlihat berpenampilan casual, gadis ini malah berpenampilan tenang dengan pakaian hijabnya. Aku tersenyum sendiri.
Dia duduk di kursi paling depan. Terlihat kalem dan anteng setiap kali mengikuti pelajaran. Pelajaran paling menyebalkan sekalipun, selalu disimaknya dengan baik. Sering kali aku melirikkan mataku ke arahnya, sekedar untuk melihat sorot matanya yang teduh dan menyejukkan.
“Kulihat kamu sering melihat ke arahnya?” Andy, teman sebangkuku berbisik lirih ketika memergoki aku melirik ke arah gadis itu.
Aku menatap Andy sambil tersenyum.
“Dia cantik,” bisikku jujur. Entah mengapa, tiba-tiba saja rasa tertarikku pada Nonik mendadak musnah dan menguap entah kemana. Kecentilan dan kecantikan Nonik tak lebih menarik dibandingkan dengan kelembutan gadis ini. Dan kulihat Andy mengangguk, seakan setuju dengan pendapatku.
“Dia memang cantik. Tapi bukan hal mudah untuk mendekatinya,” kata Andy masih dengan berbisik, karena pak Zul sedang menerangkan Bahasa Inggris di depan kelas kami.
“Memangnya kenapa?” tanyaku penasaran.
“Dia anak pesantren. Jadi kamu kudu mahir agama jika ingin mendapatkannya,” jawab Andy.
Aku tersenyum. Memangnya kenapa kalau dia anak pesantren? Anak pesantren juga manusia yang bisa jatuh cinta, kan? Aku yakin aku akan bisa membuatnya jatuh cinta tanpa aku harus berubah sesuai dengan seleranya. Ya, aku akan membuatnya jatuh cinta padaku!
“Siapa namanya?” tanyaku.
“Namanya Zita,” jawab Andy lirih.
Aku tersenyum. Zita? Ah ya, aku akan mengingat nama itu dan menyimpannya dalam otakku. Untuk kujadikan catatan, bahwa aku harus bisa membuatnya jatuh cinta.
***
“Zita!” aku memanggil gadis itu ketika siang ini aku melihatnya berjalan sendirian sepulang sekolah. Hari ini aku juga pulang sendiri karena Pak Rustam ada rapat di kantor kecamatan.
Zita menolehku dengan pandangan meneliti. Aku berlari mendekat dengan tergesa. “Ada sesuatu?” tanya Zita dengan suaranya yang lembut dan menyejukkan.
“Ya. Ehm ... sebenarnya tidak. Oh ya, bagaimana dengan bunga yang kukirim kemarin? Kamu suka?” Aku mananyakan bunga mawar segar yang kucuri di taman Pak Rustam hanya untuk kupersembahkan pada Zita, untuk menarik hatinya tentu saja.
Zita tersenyum. “Terima kasih. Tapi sebenarnya aku lebih suka jika bunga itu tetap di tangkainya.”
“Jadi kamu tak suka?” Aku bertanya dengan salah tingkah.
Zita menggeleng. Dan aku merasa terpukul dengan gelengan kepalanya.
“Jadi bagaimana caranya agar kamu menyukaiku? Seperti aku menyukaimu?” Aku mulai merayunya dengan kalimat-kalimat gombal, yang entah muncul dari mana.
“Aku lebih senang jika kita hanya bersahabat. Karena untuk jodoh, aku yakin Tuhan telah menyiapkan orang yang baik untuk masing-masing umatNya.” Zita menjawab dengan lembut. Buku yang sedari tadi didekapnya, mendadak menyebalkan di mataku.
“Jadi kamu menolak cintaku?”
Senyum Zita masih terkembang menyejukkan.
“Kita sepakat untuk menjadi sahabat, kan? Karena jodoh adalah urusan Tuhan.”
Aku mengangguk lesu. Kemudian membiarkan dirinya berlalu meninggalkanku yang hanya bisa menatapnya dengan mata tak fokus. Ada yang hilang di sudut hatiku. Sesuatu yang selama berminggu-minggu ini membahagiakanku, terasa menghampa dengan sendirinya.
***
Entah mengapa, meski Zita lebih memilih bersahabat denganku, tapi rasa terpesonaku tak juga pudar. Aku bahkan memiliki ruang yang lebih leluasa untuk mengetahui apa yang dia suka dan tidak dia sukai. Termasuk dia lebih suka dengan laki-laki yang apa adanya, bukan type perayu. Dan dia juga lebih suka pada laki-laki yang memegang teguh agama dan tekun beribadah. Meski tidak harus bersarung setiap saat, melainkan berpakaian sewajarnya, asal ibadahnya tekun maka Zita akan sangat respek untuk yang satu ini. Kemudian ketekunannya belajar di sekolah juga membuatku kagum. Karena pulang dari sekolah formalnya, dia harus belajar mengaji di tempatnya mesantren. Kenyamananku tinggal di kampung ini semakin terasa. Aku bahkan tak ingat lagi dengan hiruk pikuk kota.
Aku tiba-tiba ingin tampil seperti temanku yang lain. Berambut pendek dan berpenampilan bersih. Maka pagi itu adalah pagi tak terlupakan karena beberapa temanku bahkan terkejut dengan penampilan baruku. Aku memangkas rapi rambut gondrongku, kumis yang muncul tipis juga aku cukur rapi. Kulihat Zita juga terkejut dengan perubahan penampilanku. Dan senyumnya yang tertahan membuatku yakin, aku tak salah merubah penampilanku. Padanya aku banyak bertanya dan belajar. Bukan hanya untuk lebih mendekat padanya, tapi aku sungguh ingin berubah menjadi seseorang yang mungkin akan membuatnya jatuh cinta.
Ayah dan Ibu bahkan terperanjat dengan perubahanku ketika beliau datang menjengukku di rumah Pak Rustam. Tapi yang lebih membuat Ayah terkejut adalah ketika lulus aku ingin kuliah di Universitas Islam. Meski sebenarnya Ayah akan dengan bangga mengantarku ke sana.
Beberapa tahun kuliah, aku tak pernah bertemu dengan Zita. Hanya kabar yang aku dengar, ayahnya sudah memiliki calon suami untuknya. Aku hanya bisa pasrah karena sekencang apapun aku mengejarnya, mungkin aku memang bukan laki-laki terbaik untuknya. Aku sedikit mengerti, mungkin niatku berubah dulu salah, karena aku ingin berubah hanya untuk menjadi pantas di mata Zita. “Maafkan aku, ya Allah.”
Lulus kuliah, dengan gelar M.Pd. Ayah mengatakan bahwa Pak Rustam membutuhkan tenaga pengajar karena sekolah yang selama ini beliau kepalai mengalami kemajuan dalam jumlah murid dan kelas. Setengah putus asa, akhirnya aku memutuskan untuk menerima penawaran Ayah untuk membantu beliau menjadi salah satu pengajar di SMA dulu, sembari mengabdi dan sebagai ucapan rasa terima kasih pada Oom Rustam.
Siang ini aku tiba di Rumah Oom Rustam, diantar oleh Ayah. Beliau menyambutku dengan keramahan dan rasa bangga yang tak bisa disembunyikan.
“Menyambung pembicaraan kita tempo hari di telepon, Rus. Jadi sebaiknya sekarang kita mengajak Rizal berembug.” Kalimat yang Ayah sampaikan ini benar-benar membuatku bingung.
Aku menatap beliau berdua. Dan kulihat Oom Rustam mengangguk dengan senyum bijaknya. “Tentang apa, Yah?” Aku tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahuku.
“Jadi begini, Zal. Oom Rustam ini memiliki anak gadis yang dulu beliau titip di pesantren. Usia kalian sepertinya sama. Jadi kami sepakat untuk menjodohkan kalian.”
Deg !!! “Apa ini tidak terlalu cepat, Yah? Oom?”
“Kalian bisa saling mengenal dulu.” Ayah menjawab yang dibalas dengan anggukan oleh Om Rustam.
“Tapi, Yah?” Aku ingin mengulur waktu untuk sedikit berkompromi ketika tiba-tiba Om Rustam memanggil seseorang.
“Ta, ke sini, Nak,” Om Rustam memanggil seseorang.
Aku menunggu dengan dada berdebar .Lalu tak lama terdengar langkah pelan dari arah dalam rumah Om Rustam. Aku masih belum berani melihat, aku merasa bahwa ini begitu tiba-tiba.
“Zal, ini putri Oom Rustam,” kata Ayah.
Aku mendongak dengan pelan, hendak melihat bagaimana gadis itu.
Dan, astaga ... kejutan seperti apa yang disuguhkan Tuhan kehadapanku kali ini ketika yang kini ada dihadapanku, yang konon hendak dijodohkan denganku adalah Zita? Perempuan ayu yang membuatku kehilangan obsesiku pada Nonik. Perempuan sederhana yang membuatku ingin berubah menjadi sesuatu yang lebih baik, yang ingin dianggap pantas, yang membuatnya jatuh cinta padaku, laki-laki berandalan yang bahkan tak pandai mengaji?
“Zita?”
“Rizal?”
Kami berkata bersamaan dengan rasa tak percaya. Lalu aku menoleh ke Ayah dan Oom Rustam. “Om, bener ini Zita yang teman sekolahku dulu?” Aku bertanya tak percaya.
Oom Rustam mengangguk.
“Lalu bagaimana mungkin Zita anak Oom Rustam, sementara dulu saya tak pernah menemuinya di sini?”
Oom Rustam tersenyum.
“Dia putri Om satu-satunya, Zal. Dan Om menitipkannya untuk mengaji di pesantren Haji Sabeni, di ujung kampung ini.”
‘Ya, Tuhan ... seindah inikah jalan jodohku?’
“Bagaimana? Apa masih terlalu dini untuk saling mengenal?” Ayah bertanya dalam senyum tertahan.
Aku melirik ke arah Zita yang juga melirikku dengan senyum tertahan. Dia menggeleng kemudian menunduk malu.
“Saya bersedia, Om! Menikah sekarang saya juga bersedia.” Aku berkata mantap, membuat Ayah dan Om Rustam terawa bersamaan. Mereka mungkin merasa geli, sementara aku dan Zita hanya bisa menunduk saling melirik dengan senyum tertahan.
‘Terima kasih untuk hadiah terindah ini, Tuhan.’ Aku mengucap syukurku dalam hati.
Ya, aku harus bersyukur karena Tuhan memberiku sahabat terbaik, sekaligus hadiah indah yang akan kujadikan teman menjalani ibadah paling indah yang Tuhan suguhkan padaku.
***