Flash
Disukai
5
Dilihat
12,551
Sehidup, Semati
Horor

Di suatu sambungan telepon,

"Hai, Na, kamu besok wisuda di mana?" 

"Tenggara. Kamu?"

"Timur."

"Eh, bukan, aku di barat. Maaf aku salah inget hehe." 

"Wah, jauh juga ya kita," Andre kecewa ia tidak bisa duduk di area yang sama dengan pujaan hatinya sejak SMA itu. 

Ketika SMA mereka adalah pasangan yang sangat serasi dan bucin (budak cinta) satu sama lain. Bagaimana tidak? Mereka sama-sama pintar, populer, dan rupawan. Sangat ideal untuk seorang siswa dan siswi di sebuah SMA unggulan di Jakarta. Banyak teman mereka yang berandai-andai bisa bertukar wajah dan tubuh dengan mereka. Namun, itu tak seindah kenyataannya.

Andre, dulu, karena sempat terlampau bucin kepada Alena, nilai-nilai ujian dan rapornya turun. Meski hanya sedikit yang turun, ia gagal diterima melalui jalur SNMPTN. Alena kehilangan kepercayaan padanya ketika itu. Andre yang tak mau jujur tentang penyebabnya, malah membuat Alena semakin marah padanya. Akhirnya, demi kebaikan bersama, Alena memutuskan hubungannya dengan Andre. 

Keputusan ini diam-diam menyisakan derita di diri Alena. Ia juga tersiksa. Bagaimana tidak? Mereka adalah pasangan yang tak terpisahkan: teman ngobrol, diskusi bareng, saling tukar cerita, pun sering menghabiskan hari belajar bersama demi bisa kuliah di PTN idaman yang sama. 

"Oh Tuhan, kenapa cinta seberat ini? Segila inikah cinta?? Tapi ... mungkin ini jalan yang terbaik buat kami," jerit hati Alena. 

Namun, itu dulu. 

Kini, lima tahun sejak tahun terakhir di SMA itu, mereka bertemu kembali sebagai wisudawan wisudawati terbaik di kampus mereka. Kampus yang sama dengan yang mereka impikan dahulu ... . Lima tahun ... waktu yang sangat lama untuk mereka bisa menahan rindu dan membendung perasaan cinta yang tumpah ruah meluap-luap agar bisa fokus dahulu pada masa depan mereka. 

"Makasih, ya, Na, atas kesabaranmu selama ini. Sekarang saatnya aku ngelamar kamu di depan orang tuamu. Kubuktiin bahwa aku yang sekarang beda dengan aku lima tahun lalu," gumam Andre. 

Sementara itu, di sisi barat kejauhan, Alena melihat sesosok lelaki kesayangannya yang ia kenal betul di bagian timur. 

"Ah, Dre, akhirnya, kita lulus juga. Makasih, ya, udah bersabar nungguin aku," bisik Alena sambil menitikkan air mata. 

"Brakkk!! Dam damm brukkk!!!" 

Atap gedung aula yang ditempati bersama ribuan orang lainnya, roboh. Dimulai dari utara lalu merambat ke barat dan terus, robohan atas gedung jatuh menimpa siapapun yang berada di dalam aula besar itu. Semua orang, tanpa terkecuali, berteriak keras, melolong-lolong, meronta-ronta ketakutan meminta diselamatkan dari tindihan dan reruntuhan beton raksasa yang ambruk menimpa berantakan di atas kepala mereka. 

"Na! Na! Kamu di mana??" teriak Andre di telepon.  

"Dre, Andre, aku ... aku ... ga bisa keluar. Kejebak. Kamu di mana, Sayang?" 

"Aku sekarang ke sana." 

"Jang ... brakkk!" 

Tanpa peduli Andre berlari kencang menerobos kerumunan.  

"Dre, Sayang, maafin aku ... . Aku ga bisa nemenin kamu lagi. Makasih udah berusaha ngejaga diri dan hati kamu cuma buat aku selama ini ... ." 

"Na! Na! Please, jangan ...," pinta Andre nanar melihat kepala cintanya tertindih beton besar, terkoyak, berlumuran darah. 

"Tunggu aku, Na ... ." 

Brukk!!! 

Andre jatuh tertimpa reruntuhan, tepat di samping Alena. Ia menyusul cintanya.

Mereka saling menggenggam.

Sehidup, Semati.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)