Masukan nama pengguna
“Mas, aku pesan pesan caramel machiatonya, yah!” ucapku pada seorang pria yang berdiri di meja kasir, tempatku biasa nongkrong.
“Baik, Kak.”
Setelah memastikan pesananku sudah aman, aku pun mencari sebuah tempat duduk yang cukup di pojok dan tidak terlalu menarik perhatian pengunjung lainnya.
Di pojok café, dekat pinggir jendela merupakan pilihan yang pas untukku mengerjakan beberapa tugas kuliah, serta beberapa cerpen untuk ikut lomba.
“Permisi kak, ini pesanannya caramel macchiato,” sapa seorang pelayan wanita, sembari menaruh pesananku di atas meja.
“Terima kasih,” sahutku dengan senyuman yang secukupnya.
Usai pesananku datang, aku pun mulai menyibukkan diri dengan beragam tugas kuliah dan juga cerpen yang ingin kukerjakan.
“Permisi, boleh aku duduk di sini?” ucap seseorang.
Dengan rasa penasaran, aku pun menoleh kearah sumber suara tersebut. Kulihat sesosok pemuda berkulit sawo matang, dengan mata yang teduh tengah menatap kearahku dengan alis yang berkerut menunggu jawabanku.
Tak langsun menjawab, aku pun memutuskan untuk melihat sekeliling. Yah, benar saja, sebagian besar meja pun telah dipenuhi dengan pengunjung café yang notabenenya sudah saling kenal.
“Bolehlah, silakan duduk,” ucapku, mempersilakan pria itu duduk di sebuah kursi kosong di depanku.
Kini, kami pun mulai tenggelam dalam kesibukkan masing – masing. Aku kembali menyibukkan diri dengan beberapa naskah cerpen yang sedang aku kerjakan. Sedangkan dia, entahlah aku tak mau tahu.
“Permisi kak, ini pesanannya, secangkir caramel macchiato,” ucap seorang pelayan, yang tiba – tiba saja menghampiri meja kami.
“Terima kasih yah, Kak,” sambungku tanpa ragu, lalu mengambil pesanan tadi dengan tatapan yang masih fokus dengan kerjaanku.
“Maaf Kak tapi, pesanan ini milik dia,” cegah pelayan itu.
Aku yang mendengar kalimat tersebut, sontak menoleh dengan alis yang berkerut. Namun, aku sadar bahwa apa yang kulakukan adalah sebuah kesalahan, ketika pria itu terlihat menunduk, sembari menahan tawa.
“Em, aku minta maaf , Kak. Mba aku ….”
“Mba aku pesan satu lagi caramel macchiatonya,” ucap pria itu, dengan bibir yang melengkung sempurna.
“Oke baik, Kak. Mohon ditunggu, yah.”
Setelah mencatat pesanan milik pria tadi, pelayan tersebut pun meninggalkan kami. Kini, aku hanya bisa tertunduk menahan malu akibat ulah bodoh yang telah kuperbuat.
“Santai saja, nggak usah malu begitu,” tegurnya dengan nada yang lembut.
Mendengar suara lembutnya, aku yang masih diliputi rasa malu hanya bisa bergumam, “Maafkan aku, Kak. Tapi, aku tidak bermaksud mengambil pesanan milik Kakak. Soalnya, aku pikir itu pesananku, padahal milikku sudah kuminum.”
“Nggak papa, santai saja. Oh, yah, nama kamu siapa? Namaku Devan” tanyanya dengan tangan yang terulur kearahku.
“Sisi, namaku Sisilia,” balasku, sembari menyambut uluran tangannya.
“Permisi Kak, ini pesanannya,” ucap seorang pelayan, sembari menaruh segelas Caramel macchiato di atas meja.
“Terima kasih, Mba.”
Sepeninggalan pelayan tadi, ia pun membuka percakapan dengan pertanyaan ringan seperti, kamu lagi ngapain? Kamu kuliah atau kerja? Dan pertanyaan ringan lainnya. Hingga akhirnya, kami pun terlibat dalam sebuah percakapan yang menyenangkan.
Dari percakapan itu, aku pun mengetahui namanya Devandra, seorang mahasiswa pendidikan dan sastra bahasa Indonesia, yang sama seperti aku introvert, dan senang dengan dunianya sendiri.
Makanya sejak perkenalan kami, baik aku maupun ia merasa seperti menemukan sebuah berlian, di bongkahan batu kaca.
∞∞∞∞
Sejak saat itu, hari – hari kami pun berubah. Aku yang awalnya selalu sendiri di café, sekarang ada Devan yang selalu menemani aku. Bahkan, beberapa orang pun selalu menyangka kami adalah pasangan kekasih, meski sebenarnya kami hanyalah sepasang sahabat yang memiliki minat yang sama.
Bahkan, secangkir caramel macchiato adalah menu favorite kami berdua, ketika mendatangi café tersebut.
“Permisi Kak, ini pesanannya dua gelas caramel macchiatonya.”
“Terima kasih, Mba,” ucap Devan, dengan senyuman.
Aku pun ikut tersenyum, sembari memperhatikan interaksi mereka. Seperginya pelayan tadi, aku dan Devan kembali melanjutkan aktivitas kami. Hingga rasa dahaga pun mulai menghampiri tenggorokanku.
Satu tegukkan, dua teguk. Tidak ada keanehan.
Ting! Ting!
“Perasaan tidak ada sendok, kok seperti ada suara yang asing dalam minuman ini.”
Dengan rasa curiga, serta penasaran yang tak terkendali, aku pun mencoba mencari tahu benda apa yang ada dalam gelasku.
Dengan memanfaatkan sedotan, aku pun berusaha mengeluarkan benda asing tersebut dari dalam minumanku. Setelah beberapa menit berusaha, akhirnya benda tersebut berhasil aku keluarkan.
“Cincin?” gumamku, dengan alis yang bertaut, serta dahi yang berkerut.
“Sil, aku tahu ini mendadak bagimu, tapi jujur aku sudah nyaman denganmu. Aku pun ingin kamu tahu, kalau aku ingin serius dengan kamu, aku harap kamu bisa menerimaku,” ucap Devan yang kini berlutut di depanku.
Aku pun hanya diliputi kebingungan dengan apa yang terjadi saat ini. Devan yang berlutut, serta cincin dalam gelas minumanku. Apakah, Devan melamarku?
“Devan?” gumamku, sembari menatap pria tersebut, lalu kembali menatap cincin yang ada dalam genggamanku.
“Iya Sisilia, aku menyukaimu, dan aku ingin kamu mau menjadi pendamping hidupku,” tegas Devan dengan tatapan tanpa keraguan padaku.
Melihat matanya yang tiada keraguan, serta tekadnya yang serius, aku hanya bisa mengangguk mereposn jawabanya, karena sejujurnya aku sendiri nyaman dengan kehadirannya.
Semua tentang kami berawal dari segelas Caramel Macchiato, yang kini berakhir menjadi sepasang kekasih.
∞∞ THE END ∞∞