Cerpen
Disukai
5
Dilihat
6,168
RASA YANG TERSEMBUNYI
Drama

 

“Jangan pernah memendam rasa kepada seseorang, kalau kamu tidak mau berakhir ikhlas dan terluka. Ungkapkanlah, masalah ditolak itu pilihannya dia yang kamu cinta.”

***

 Kenalkan namaku Rona, dan inilah hari pertamaku di sebuah kampus swasta di kota Sorong. Meski telah resmi menjadi seorang mahasiswa baru, aku masih disibukkan dengan beragam pengurusan administrasi untuk masuk fakultas yang kuinginkan, yaitu Fakultas Ilmu Sosial, dengan program studi Administrasi Publik.

           “Yoooo!! Rona!! What’s up, Sis??” tegur seorang pemuda yang sangat kuhafal tingkah lakunya.

 “What’s up bacot kau!! Sakit tahu badanku kau pukul begitu. Dipikirnya aku samsak kali yah” cercaku, dengan mata yang membulat sempurna.

 “Ya sudah, aku minta maaf. Baru kamu apa kabar?” “Biasalah kabar baik. Lalu, kamu ambil jurusan apa?”

     “Sistem Informasi,” jawab pemuda tadi, dengan nafas berat.

   “Bukannya kamu dari SMK berniat mengambil jurusan seni gambar? Bahkan, impianmu

‘kan bisa kuliah desain animasi, Jilo,” timpalku, sembari mengingat ucapan Joli tentang mimpinya dulu.

 “Itukan dulu, sekarang yah beda lagi. Apalagi sejak bapakku meninggal, mau tidak mau aku harus tetap disini menemani mamaku.”

 “Oh …. Karena itu, semangat yah! ‘kan ada aku, jadi kamu tidak sendiri,” ucapku dengan senyum tulus kepada Jilo, teman sekaligus orang yang sejak SMK aku sukai dalam diam.

****

 Keseharian kami selama perkuliahan berjalan seperti biasa, tidak ada yang berubah dari jaman SMK dulu. Aku yang cukup berambisi dengan nilai, dan Jilo yang selalu menamaniku mengerjakan tugas. Semuanya tidak ada yang berubah, meski terkadang kami juga memiliki kesibukan masing – masing, tetapi tidak pernah melupakan sama sekali.

      Hingga, hari itu tiba. Hari dimana Jilo mengenalkan dia padaku. 

           “Yoooo, Rona. Kenalin dia Rina, teman sekelasku. By the way, bolehkan aku ajak dia kesini?”

 “Hah?” gumamku, dengan mulut yang terbuka, sembari mengedipkan mata berusaha mencerna perkataan Jilo.

 Namun, belum sempat tercerna dengan baik, gadis bernama Rina itu menjulurkan tangannya, “Hai, kamu pasti Rona ‘kan, anak administrasi publik”

 Sambil mengangguk, aku pun menyambut uluran tangannya, sembari berucap, “Iya, aku Rona. Kamu?”

 “Kenalkan, namaku Rina, teman sekelas Jilo di Sistem Informasi. Senang berkenalan denganmu,” jelasnya, dengan bibir yang melengkung indah, hingga memperlihatkan sebuah lesung pipit yang membuat ia terlihat manis.

             “Rona! Bolehkan aku mengajak Rina makan bersama kita disini?”

 Mendengar pertanyaan Jilo yang sejak tadi terucap, aku pun hanya mengangguk. Sedangkan Jilo, ia terlihat begitu puas dengan respon yang kutunjukkan. Tetapi,ia tidak tahu kalau sebenarnya aku tidak suka akan kehadiran Rina diantara kami.

****

  “Eh, Rona bener nggak gosip yang beredar itu?”

 “Gosip apa? Kamu ‘kan tahu kalau aku lebih suka menyibukkan diri di kantin atau perpustakan,” tanyaku balik pada Sasa, karena aku tidak tahu gossip apa yang ia maksud.

 “Lah! Kamu betulan nggak tahu?” Tanya Sasa dengan mata yang terbelalak, serta tangan yang menutup mulutnya karena kaget.

 Aku pun hanya mengangguk polos tanpa kata. Lagian, apa pentingnya gosip itu, hanya buang waktu saja.

   “Itu, si Jilo yang biasa sama kamu, pacaran sama Rani, teman sekelasnya”

   “Hah? Kamu bercanda saja, nggak mungkin loh, Sa. Aku tah ….”

 “Terserah yah, Rona. Kamu mau percaya, atau tidak itu urusanmu. Tapi cepat, atau lambat, kamu pasti akan tahu. Dan sejujurnya aku tahu, kalau sebenarnya kamu suka sama Jilo ‘Kan? Kasihan yah!”

 Seketika, tatapanku menjadi kosong. Bahkan, aku terus menggelengkan, seolah ingin menyangkali apa yang dikatakan Sasa. Tetapi sama saja, semua yang ia katakan adalah fakta kalau aku mencintai Jilo.

 Namun, semakin kuat aku berusaha, semakin sakit yang kurasakan. Jujur, aku benci saat ini, saat dimana Jilo bahagia, tetapi aku justru takut kehilangan dia, hanya karena keberanianku tidak sekuat itu.

           “Selamat yah!”

    “Cie!! Yang sudah jadian!”

     “Cieee! Jangan lupa traktir yah!”

        “Berisik woii! Udik tahu tidak! Alay!” makiku yang sedikit tidak senang keributan ini.

       “Rona, kita boleh gabung disini?” Tanya Jilo yang sudah berdiri di depanku.

 Sekilas, aku melirik ke arah mereka. Benar saja, mereka pacaran. Bahkan, dengan beraninya kedua insan kasmaran ini masih bergandengan,layaknya dua anak kecil yang mau menyeberang. Lalu apa – apaan itu, dua ransel dibawa oleh Jilo. 

  “Wow, di treat like a princess yah.”

 “Rona, are you okey?” Tanya pria bertubuh tinggi itu, sembari melambaikan tangannya di depan wajahku.

 “Yah. I’m okey. Kalau mau duduk, duduk saja. Tidak usah izin, lagian ini tempat kalian,” tuturku dengan senyuman, seolah tidak melihat kemesraan yang terpampang nyata ini.

 “Oh, yah! Selamat, karena akhirnya kalian jadian juga yah! Aku turut senang mendengarnya!” timpalku dengan kedua sudut bibir yang masih melengkung. Meski sebenarnya, hatiku tidak baik – baik saja.

 “Terima kasih, Rona. Aku harap, kamu bisa melihat kebahagian kami nanti,” ungkap Jilo, sembari memeluk tubuh mungkil sahabatnya itu.

           “Me too.”

****

 Tidak terasa, waktu berlalu dengan cepat. Tanpa sadar, kini kami sudah menyelesaikan pendidikan kami, dan bekerja di perusahan yang sama. Jika kalian penasaran dengan hubugan kedua sejoli itu, maka akan kujawab semua berjalan normal. Bisa dibilang, mereka semakin mesra, meski sering ada bumbu percekcokan. 

Tapi, itu tidak masalah buat hubungan mereka, karena aku pun sering menyaksikan, bagaimana mereka bermesraan dan segera berbaikan, jika ada msalah. Semua itu sudah biasa terjadi, seperti saat ini.

“Ronaaaa!” panggil Rina yang tiba – tiba dating, lalu memelukku.

Hei, what’s wrong?” tanyaku dengan nada yang lembut, sembari mengusap pundaknya.

Diringi suara tangis yang masih terdengar, Rina pun berucap, “Jilo selingkuh sama cewek

lain.”

Sontak, mataku langsung membulat sempurna. Bahkan, sangking emosinya, kepalan tanganku pun mulai terasa keras.

“Rin, tunggu dulu aku …. Rona!” seru Jilo yang terlihat ketakutan, dan ingin menjelaskan sesuatu. Namun, semua itu ia tunda, kala melihat tatapanku yang terpancar api emosi.

Menyadari hal itu, Jilo perlahan mendekati kami. Meski aku tahu, wajahnya terlihat cukup ketakutan, dan merasa terintimidasi.

“Rona, aku harap kamu bisa tenang dulu. Ini ….”

Belum sempat menyelesaikan perkataannya, kepalan tangan milikku sudah mendarat manis di wajahnya yang manis itu. Bahkan, hidungnya mengeluarkan darah segar, akibat pukulanku tadi. Sontak, rekan seruangaku yang melihat kejadian itu mendadak shock.

“Rona, ini nggak seperti yang kamu bayangkan. Kau bisa jelaskan!”

“Jelaskan apa? Kamu sudah buat Rina menangis, lantas apa lagi yang bisa kamu jelaskan?” cercaku pada Jilo yang tidak lagi ingin mendengar penjelasannya.

“Dengarkan dulu! Sebenarnya, kalian itu sudah salah paham. Wanita yang Rina lihat bersamaku adalah Mila, sepupuku yang lama kuliah di Jerman.”

“Jadi ….”

Belum juga menyelesaikan kalimatku, Jilo sudah menganggukkan kepala seolah paham isi kepalaku.

“Lalu, mengapa Rina menangis?” tanyaku dengan tatapan penuh selidik.

“Iya, mengapa kamu tidak pernah cerita tentang dia padaku sebelumnya?” imbuh Rani yang penasaran sama ulah Jilo.

“Karena aku pikir akan lebih baik kalian bertemu secara langsung. Namun sayangnya, kamu justru salah sangkah sama hubungan kami. Kamu juga Rona, bisa – bisanya kamu memukulku.” 

Mendengar jawaban Jilo, reflex aku menggaruk tengkukku yang tidak terasa gatal. Begitu juga dengan Rina yang mengikuti gerak gerikku. Sedangkan Jilo yang menyaksikan respon kami, hanya bisa menghembuskan nafas berat, lalu memilih pergi.

Setelah kejadian itu, aku merasa malu untuk bertemu dengan Jilo. Bahkan, ketika berpapasan, atau menyadari kehadiran Jilo di sekitarku, aku pun memilih untuk menjaga jarak. Bahkan, untuk hari maupun minggu – minggu berikutnya, aku tidak lagi sedekat itu dengan Jilo. Aku pun tidak tahu, bagaimana hubungan Jilo dan juga Rani setelah kesalahpaham di pagi itu, semuanya terasa serba salah.

****

 “Rona, kita duluan yah!’ ucap rekan – rekan seruanganku, sembari menentang tas, serta ransel mereka.

           “Iya, hati – hati, yah!”

 “Ron, ingat jangan terlalu sering lembur. Sebaiknya kalau sudah lelah pulang. Besok lagi baru diselesaikan,” pesan Arina, senior di ruanganku.

           “Baik, Mba.”

 Satu persatu rekan – rekan kerjaku mulai meninggalkan ruangan, sembari melambaikan tangan, serta berpesan seperti kata Mba Arina tadi. Melihat sikap mereka yang penuh perhatian, aku pun hanya membalas dengan senyuman. Setelah itu, ruangan kembali hening dengan aku yang mulai fokus menyelesaikan pekerjaanku. 

           Hingga tiba – tiba saja, suara dari ponselku memecah keheningan yang telah sejam lalu tercipta. 

      “Jilo? Tumben telfon, ada apa ini?”

            “Halo, Jilo, ada apa?” tanyaku, ketika menggeser ikon hijau pada layar ponselku.

           “Apa!!! Iya aku kesana Mila, tolong jaga dia,” balasku kepada penelpon di seberang sana,  Setelah mendapatkan kabar buruk dari Mila, aku segera bergegas menuju sebuah tempat hiburan malam, tempat Jilo dan Mila berada. Sepanjang perjalanan, perasaanku penuh campur aduk.

      “Kamu kenapa lagi, Jilo? Please, jangan bikin aku cemas, sialan!”

 Setelah menepuh perjalanan yang cukup lama, aku pun tiba di sebuah tempat hiburan malam, lengkap dengan perasaan khawatir.

  “ada yang bisa dibantu, Nona muda?”

 “Maaf, saya ingin bertemu teman saya, dan ia ada di dalam,” jawabku kepada pria bertubuh kekar, yang tengah berjaga di depan pintu masuk.

 Mendengar penjelasanku, pria itu segera membuka pintu, dan memberikan jalan untuk masuk. Penat, penuh, dan padat, itulah kesan yang pertama kali aku rasakan, ketika melewati pintu masuk, bahkan bau alkohol, serta asap rokok terasa begitu menggangguku. 

Parahnya, aku harus harus bertahan hanya untuk mencari Mila, dan Jilo di tengah padatnya manusia yang tengah meliuk – liuk seperti cacing kepanasan. Untungnya, pengelitanku berhasil menangkap sosok Mila yang tengah berdiri di samping Jilo yang sudah tak karuan penampilannya. Segera, aku pun memberanikan diri melewati padatnya manusia untuk mencapai Jilo dan juga Mila.

“Kak Rona, untung kakak datang. Please, kak bantuin aku keluarkan manusia ini dari tempat ini,” pinta Mila, dengan mata berbinar ketika aku telah berdiri di sampingnya.

“Baiklah!”

Kini, aku dan Mila berusaha sekuat tenaga membopong tubuh Jilo menuju tempat parkir.

Setelah melewati padatnya tempat itu, kami pun akhirnya berhasil keluar dari sana dengan keadaan Jilo yang sudah pingsan, akibat kebanyakan Minum.

“Mil, Jilo kenapa sampai begini?” tanyaku to the point.

“Kak Rona, sebenarnya Kak Jilo ada masalah sama wanita sialan itu.”

“Maksud kamu Rina?”

“Iya kak. Setelah kesalahpahaman itu, semuanya berjalan normal. Bahkan, aku dengan ia sempat bertemu. Namun, beberapa bulan ini ia mulai berubah, kata kak Jilo. Hingga tadi, ketika Kak Jilo menjemputku di rumah, kak Jilo melihatnya jalan sama lelaki lain, bahkan aku juga melihat mereka begitu mesra. Kami pun penasaran, dan mengikuti mereka, hingga mereka masuk di sebuah rumah mewah. Karena hal itulah, sekarang kak Jilo seperti ini, Kak.”

Mendengar perkataan Mila, akupun kaget, tetapi tetap berusaha fokus dengan jalanan di depanku.

“Mila, malam ini kita ke rumahmu saja yah.”

Mila yang mendengar perkataanku, sontak hanya mengangguk sembari mengarahkan jalan menuju rumahnya. Akhirnya, kami tiba di kediaman Mila. Dengan bantuan penjaga di rumah Mila, kami pun berhasil membawa Jilo ke kamar tamu.

“Kak, ini tehnya diminum dulu. Terima kasih kak untuk malam ini.”

“Sama – sama, Mil.”

“Kak Rona, kalau boleh tahu, kenapa kakak selalu peduli sama Kak Jilo? Bahkan, dari semua wanita yang dekat sama kak Jilo, kakak selalu ada buat dia ketika dia butuh?” 

“Sejujurnya sudah sejak lama aku suka Jilo, bahkan aku begitu menyukainya, Mil. Tapi sayang, aku tidak punya keberanian untuk mengungkapkan itu. Lagian, aku lebih senang ketika dia bisa bahagia, karena senyumannya adalah hal terbaik buatku, Mil,” ucapku, usai menikmati teh yang disajikan Mila.

“Tapi, kakak juga berhak ungkapkan apa yang dirasakan. Bahkan, kakak berhak untuk mendapatkan kak Jilo. Karena aku mendukung kalau kakak sama kak Jilo,” Sahut Mila, dengan tatapan yang terarah padaku.

“Mil, cinta itu nggak harus kita paksakan. Melihat dia bahagia itu sudah lebih dari cukup.”

Meski hatiku yang harus kukorbankan.”

“Iyalah, terserah kak Rona. Kak kalau besok aku berangkat ke Jerman, tolong jaga Kak

Jilo, yah.”

I will be do it, Mil.”

****

 Sejak malam itu, hubungan persahabatanku dengan Jilo pun mulai membaik. Bahkan, kami mulai akrab lagi seperti dulu. Tentang hubungan Jilo dan Rina, aku sendiri tak pernah tahu bagaimana, karena Jilo tidak pernah mau membahas itu.

 Berbulan – bulan, kami menjalani semuanya dengan baik, bahkan Mila yang telah mengetahui perasaanku untuk Jilo, mulai sering menghubungi, dan memaksa aku untuk jujur tentang perasanku buat Jilo. Awalnya ada keraguan yang kurasakan, tetapi yang dikatakan Mila ada benarnya. 

   “Jilo, sebentar malam kamu sibuk nggak?”

           “Nggak, kenapa?”

 “Aku mau ajak kamu makan malam, nih. Sekalian ada yang mau aku omongin, bagaimana?” ucapku meski jantungku rasanya mau keluar.

 “Wow! Tumben sekali, tapi bolehlah. Kebetulan juga, aku mau memberikan sesuatu buatmu,” jawab Jilo, yang justru membuatku penasaran setengah mati.

           “Jil, apaan itu?”

      “Sudahlah, nanti saja saat makan malam. Biar jadi surprise!

           “Okelah!”

           Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan di sinilah aku berada, sebuah resto tempat aku dan Jilo akan bertemu. 

      “Sudah lama menunggu?” Tanya Jilo, begitu ia berdiri di depanku.

 Dengan senyuman manis aku pun membalas, “Belum kok, kebetulan aku juga baru sampai semenit lalu. Silakan duduk, Jil.”

    “Ron, kamu sudah pesan?”

 Aku hanya menggelangkan kepala. Melihat responku, Jilo pun memberikan kode kepada seorang pelayan yang tidak jauh dari kami. 

  “Silakan menunya, Pak, Bu.”

 Kini mataku mulai melihat menu yang ada, dan memesan apa yang ingin kucicip. Begitu juga dengan Jilo. Setelah mencatat pesanan kami, pelayan itu pun pergi, meninggalkan aku dan

Jilo.

      “Tumben ajak dinner, ada apa ini?” Tanya Jilo sembari menatapku penuh Tanya.

 Mendengar pertanyaan itu, aku memilih untuk tidak langsung menjawab, melainkan melakukan teknik pernapasan untuk mengurangi perasaan gugup ini.

 “Jil, sebenarnya aku mau jujur sama kamu, kalau aku suka sama kamu. Aku tahu, kamu pasti tidak akan percaya secepat itu, apalagi menerimaku. Tapi inilah kejujuranku, aku sayang sama kamu, lebih dari teman maupun saudara. Aku ingin , kita bisa menjadi sepasang kekasih,

Jil.”

              Jilo yang mendengar perkataanku, sontak alisnya bertaut dengan dahi yang berkerut.

    “Rona, kamu serius dengan perkataanmu?”

 “Iya, Jilo. Aku serius, bahkan aku sudah tidak mampu memendam semua ini lagi. Sejak kuliah, aku menyimpannya dengan rapi, dan berharap kamu dapat merasakannya. Tapi, sepertinya itu mustahil.”

        “Aku minta maaf, Rona. Seandainya aku menyadari sejak awal, pasti tidak akan ada luka.

Aku minta maaf , aku tidak dapat membalas perasaanmu,” ucap Jilo, sembari menyerahkan sebuah undangan pernikahan.

           Menerima hal itu, aku pun sadar satu hal sepertinya kesempatan itu sudah tidak ada lagi untukku.

 “Rina hamil, dan aku tidak mau ia menerima aib dan anak yang ia lahirkan menjadi yatim karena pria yang menghamilinya meninggal dalam kecelakaan. Jadi mau tidak mau, aku menggantikan lelaki itu karena sejujurnya aku masih menyayangi Rina. Maafkan aku, Rona.”

 “A – apakah kesempatan itu sudah tidak ada?” tanyaku, dengan dengan terbata – bata, serta airmata yang mulai membasahi wajahku. Jujur aku sudah tidak peduli lagi orang mengunjingku, karena yang aku rasakan sekarang hanyalah sakit.

 Sontak, Jilo pun melangkah menuju diriku, dan memeluk tubuhku yang mulai bergetar karena sakit serta sesal yang bercampur jadi satu. Ia membiarkanku untuk terus menangis sepuasnya dalam pelukkannnya.

 Namun, hal itu justru membuatku semaki terluka. Membayangkan tubuh yang sering kupeluk ketika sedih, sebentar lagi akan jadi milik orang lain. Senyuman yang menenangkanku, perlahan akan tersenyum karena orang lain, dan akan meninggalkanku.

       “Sudah puas?” tanyanya, ketika menyadari tangisanku mulai berhenti.

  Aku pun hanya mengangggu

      “Lusa, aku akan menikah, Rona. Aku harap, kamu dapat datang.”

    “Aku tidak bisa janji, Jilo.”

****

 Hari ini, langit begitu cerah seolah memberikan restu akan hubungan mereka, dan disinilah aku berada, pernikahan Jilo dan Rina. 

         “Kak Rona, kakak yang sabar, yah,” ucap Mila yang sudah berada di sampingku.

         “Iya Mil, aku aku sudah ikhlas, jika Jilo bahagia.”

 “Aku Ikhlas, meski hatiku harus terluka, karena kebodohanku yang terus menyembunyikan perasaan ini. Semoga ia bahagia.”

***

THE END.

 

            

 

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)