Flash
Disukai
5
Dilihat
18,364
Sebuah Kisah yang Tertinggal
Drama

Hari itu, aku mengikuti Papa menyusuri jalanan kumuh di Belfast—menyelinap melalui gang-gang sempit yang hanya diketahui oleh para tukang cerobong asap. “Supaya lebih cepat,” kata Papa yang sudah berjanji akan mengajakku melihat galangan kapal Harland and Wolff tempat Papa bekerja. Dulu aku selalu berpikir betapa kerennya Papaku—seorang pekerja di perkapalan Belfast. Kedua tangannya membantu membangun RMS Themistocles dan RMS Olympic. Meskipun aku, Mama, dan Papa tidak bisa ikut berlayar dengan fasilitas kelas atas di Lusitania atau Olympic, aku sudah merasa senang hanya dengan memandangi lukisan indah yang menggambarkan bagian dalam kapal-kapal itu. Kata Papa, sejak kecil ia sudah sangat mencintai laut dan kapal.

“Waktu Papa masih kerja di kapal batu bara, Papa dulu pernah lihat cumi-cumi raksasa,” kisah Papa. “Yang benar, Pa!?” tanyaku tak percaya. “Tentu saja benar! Waktu itu badai besar sekali, terbesar yang pernah Papa alami. Papa dan awak kapal lainnya sangat panik karena ombak raksasa tidak berhenti menggulung. Saat itulah Papa dan teman-teman Papa melihatnya: Seekor paus sedang bergulat dengan cumi-cumi raksasa!”

“Apa Papa takut? Papa menangis waktu itu?” tanyaku. Dengan tegas Papa menjawab, “Jujur saja itu adalah momen paling menegangkan dalam hidup Papa. Tapi Papa tidak menangis. Papa tidak pernah menangis. Terlalu banyak yang harus dikerjakan, tidak ada waktu untuk menangis!” Aku kagum kepada Papa, petualangannya, keberaniannya, perilakunya, dan caranya bercerita. Aku ingin menjadi seperti Papa saat dewasa nanti—mengarungi samudera ikut kapal batu bara atau bergabung bekerja di White Star Line. Aku ingin menjadi laki-laki mandiri yang kuat seperti Papa—penuh percaya diri dan tidak punya waktu untuk menangis.

Di sore hari yang cerah 15 April 1912, Papa masih ingat janjinya mengajakku melihat galangan kapal Harland and Wolff. Papa sangat bangga karena kedua tangannya ikut membantu membangun kapal uap paling besar, paling mewah, dan paling kuat di seluruh dunia. Kata Papa, kapal terbarunya adalah kapal terbaik yang dibuat dengan presisi. Papa bilang kalau perancangnya ikut dalam pelayaran kapal terbaru mereka. Semua pekerja merasa sangat bangga saat kapal baru itu selesai dan berlayar dengan sukses lima hari lalu. Semua siswa di kelasku punya ayah atau kerabat yang bekerja sebagai pelayan dan pekerja batu bara di kapal baru Papa. “Hari ini, Papa akan tepati janji Papa.” Papa sudah tidak sabar menunjukkan galangan kapal kepadaku.

Sambil berjalan Papa bercerita, “Papa yakin kapal Papa sekarang sudah sampai Amerika, Nak! Kapal yang Papa buat bisa menandingi kecepatan Lusitania! Nanti Papa perlihatkan seberapa besar baling-balingnya!” Papa terus mengoceh tentang seberapa hebat kapal barunya. Sembari mendengarkan, aku mengamati sekitar. Pandanganku teralihkan oleh deretan penjual koran yang tampak sibuk menumpuk koran edisi sore yang baru saja tiba. Tidak berselang lama, kerumunan orang menyerbu gang itu, mengerumuni para penjual koran. Aku bergegas menyambar satu koran dengan tangan kiriku sembari menggunakan tangan kananku untuk menarik baju Papa. “Pa! Lihat!” Kusodorkan koran itu pada Papa. Pria tangguh itu membaca judul tajuk berita yang dicetak besar-besar: TITANIC TENGGELAM. Bola matanya memburu kian ke mari menyisir keseluruhan halaman koran. Ia kemudian berlutut ke tanah, seolah sebuah tombak menunjam dadanya, dan Papa menangis seperti seorang anak kecil.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)