Flash
Disukai
4
Dilihat
14,238
Jerat Cinta
Romantis

Sepagian tadi Andi tidak bisa fokus di kantor. Sudah empat tahun sejak Tasya, cinta pertama dan sejati Andi sedari SMA, menelepon. Masa-masa berpacaran di SMA adalah masa percintaan paling indah buat Andi. Setelah lulus, hubungannya dengan Tasya selalu putus-nyambung. Tapi biar bagaimanapun, Tasya adalah cinta di hati Andi. Mereka saling melepas dalam sunyi setelah lulus kuliah dan tidak pernah lagi bertukar kabar sampai tepat empat tahun setelah Andi memutuskan untuk melepas Tasya selama-lamanya.

Pemuda itu berdiri di depan cermin. “Ini sudah oke belum, ya?” Andi gelisah. Entah kenapa dia bisa sesumringah ini. Padahal ia ingat betul empat tahun yang lalu ia marah besar pada Tasya dan memutuskan untuk berhenti mencintai perempuan itu. Tapi hatinya tidak pernah bisa melepaskan Tasya. Semenjak putus dengan Tasya, Andi selalu gagal dalam urusan asmara. Tak ada perempuan lain yang benar-benar masuk ke dalam hati Andi yang rapuh. Belah saja dada Andi, kelihatan jantungnya yang berdetak lirih dengan luka goresan bertuliskan ‘TASYA’. Tapi semua rasa sakit sirna digantikan rasa gembira setelah Tasya mengajaknya ketemuan. Dengan senyuman getir campuran rasa sakit dan kebahagian yang meledak-ledak, Andi melihat pantulan di cermin untuk terakhir kalinya sebelum pergi ke restoran tempat mereka janji bertemu dua puluh menit lagi.

“Saya pesan es teh dulu. Masih menunggu teman soalnya,” ujarnya pada pelayan sembari menanti Tasya. Lelaki itu mengamati keadaan sekitar. Restoran itu ramai pengunjung. Ia jadi teringat waktu pertama kali makan berdua dengan Tasya sewaktu SMA. Pandangannya terkunci pada sepasang kekasih yang bergandengan tangan. Pemandangan itu membuat Andi meringis nyeri. Tasya tidak pernah mau bergandengan tangan dengannya setiap jalan berdua. Tiap kali Andi menggapai jemari lembut Tasya, perempuan itu selalu menarik tangannya cepat-cepat. Lagi-lagi Andi bingung, “Kenapa gue mau-maunya ngelakuin ini lagi?”

Dua puluh menit berlalu. Tasya belum juga datang. Andi semakin gelisah dan hanya memandangi foto-foto lama di ponsel dan medsos. “Sayang, kamu mau?” tanya Andi pada Tasya empat tahun yang lalu. Mereka berdua membeli sepasang patung kecil. Andi menyimpan patung Tasya sedangkan Tasya menyimpan patung Andi. Pemuda itu masih menyimpan patung Tasya, yang berkali-kali jatuh dan pecah. Dengan penuh perhatian, Andi selalu menyatukan kembali pecahan patung itu. “Entah apakah dia masih simpan patungnya…” bisik Andi dalam hati. Ia melihat ke arah jam dinding besar. Andi tidak percaya pada waktu yang telah lewat. Sudah dua jam dan Tasya belum juga datang. Bongkahan es yang menghiasi teh manisnya kini telah sirna. Air minumnya yang dingin kini telah panas seperti neraka yang membara. Dua jam, tanpa satu pun pesan, Tasya tak kunjung datang. “Apa dia bohongin gue lagi?” pikir Andi. Pemuda itu berpikir untuk pergi. Namun sebelum Andi bangkit, seorang perempuan yang cantik jelita muncul di hadapannya. Senyuman malunya membuat jantung Andi makin tersayat perih. “Maaf banget, udah nunggu lama?”

Jantung Andi berdetak seperti gerigi Panzer di medan perang. Jantungnya memaksanya untuk berteriak memaki atau berdiri dan pergi. Akhirnya, dengan penuh luapan emosi dan amarah berapi-api, Andi berujar dalam senyum, “Eh, enggak kok. Aku baru aja nyampe. Tadi ada urusan di kantor dan HP-ku mati. Aku malah takut kamu udah dateng duluan…”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)