Masukan nama pengguna
Langit pagi terlihat cerah ketika Sahira melangkah melewati gerbang sekolah barunya. SMA Nusantara adalah sekolah dengan reputasi baik di kota ini, tetapi bagi Sahira, sekolah ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dari tempat asalnya. Sebelumnya, ia bersekolah di madrasah yang mayoritas siswanya beragama Islam, sementara di sini, lingkungannya jauh lebih beragam. Ada siswa dari berbagai latar belakang agama dan budaya, sesuatu yang jarang ia temui sebelumnya.
Mengenakan seragam putih abu-abu dan jilbab biru muda, Sahira melangkah masuk ke dalam gedung sekolah dengan perasaan campur aduk—antara antusias dan sedikit canggung. Ia menyadari bahwa di sekelilingnya ada banyak wajah baru, beberapa mengenakan kalung salib, beberapa memakai tilak merah di dahi, sementara yang lain tampak tidak memiliki simbol keagamaan sama sekali.
Di kelasnya, Sahira memilih duduk di kursi dekat jendela. Tak lama kemudian, seorang gadis berkulit sawo matang dengan rambut panjang terikat rapi duduk di sebelahnya. Gadis itu tersenyum ramah.
“Hai! Aku Suhana,” sapanya.
Sahira tersenyum balik. “Aku Sahira. Senang bertemu denganmu.”
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Dalam beberapa menit, Sahira menyadari bahwa Suhana adalah orang yang ceria dan penuh semangat. Mereka memiliki banyak kesamaan—keduanya menyukai membaca, senang berdiskusi tentang hal-hal filosofis, dan sama-sama tertarik pada budaya yang berbeda.
Akan tetapi, perbedaan mereka juga terlihat jelas. Suhana berasal dari keluarga Hindu yang taat. Ia sering bercerita tentang ritual keagamaan di rumahnya, tentang perayaan Diwali yang meriah, dan bagaimana keluarganya mempraktikkan ajaran-ajaran Hindu dengan penuh kasih. Sebaliknya, Sahira tumbuh dalam lingkungan Muslim yang kuat, dengan nilai-nilai Islam yang diajarkan sejak kecil oleh orang tuanya.
Meski begitu, perbedaan itu justru memperkaya pertemanan mereka. Hingga suatu hari, Sahira mulai menyadari bahwa tidak semua orang di sekolah ini memiliki pandangan yang sama.
***
Pada minggu kedua sekolah, Sahira mulai menyadari adanya tatapan-tatapan aneh yang diberikan beberapa teman sekelasnya kepada Suhana. Awalnya ia tidak terlalu memikirkannya, tetapi lama-kelamaan, ia mulai mendengar bisikan-bisikan yang mengarah pada sahabatnya itu.
“Kenapa Sahira berteman dengan Suhana? Dia kan Hindu,” bisik seorang siswa saat istirahat.
“Iya, aneh banget. Mereka kayak nggak cocok gitu.”
Sahira terdiam mendengar bisikan itu. Ia tidak mengerti mengapa keyakinan seseorang harus menjadi alasan untuk menjauhi mereka.
Suatu hari, saat makan di kantin, Suhana membuka bekalnya yang berisi roti dan lauk vegetarian. Beberapa siswa di meja sebelah mulai berbisik lagi.
“Lihat tuh, makanan orang Hindu. Pasti nggak halal.”
Suhana tampak tak terganggu, tetapi Sahira bisa merasakan bahwa sahabatnya itu mulai merasa tidak nyaman.
Ketika mereka berjalan kembali ke kelas, Sahira bertanya, “Suhana, kamu nggak apa-apa?”
Suhana tersenyum kecil. “Aku sudah terbiasa. Dari dulu, pasti ada saja orang yang melihatku berbeda hanya karena agamaku.”
“Tapi itu nggak adil,” kata Sahira dengan nada kesal.
Suhana hanya mengangkat bahu. “Aku selalu mencoba memahami mereka. Mungkin mereka belum pernah benar-benar mengenal seseorang dari agama lain, jadi mereka punya prasangka sendiri.”
Akan tetapi, kejadian-kejadian seperti itu terus berulang. Suhana mulai dikucilkan oleh beberapa siswa, dan komentar-komentar sarkastik tentang agamanya semakin sering terdengar. Sahira tahu ia tidak bisa tinggal diam.
***
Sahira mulai berbicara dengan beberapa teman sekelas yang lebih terbuka. Ia mencoba menjelaskan bahwa Suhana tidak berbeda dari mereka, hanya karena ia memiliki keyakinan yang lain. Namun, reaksi yang ia terima beragam. Ada yang mulai mengerti, tetapi ada juga yang tetap berpegang pada prasangka mereka.
“Sahira, kamu terlalu membela dia. Kita ini Muslim, nggak seharusnya terlalu dekat dengan orang yang agamanya beda,” kata seorang teman sekelasnya, Rina.
Sahira terkejut mendengar itu. “Islam mengajarkan kita untuk menghormati semua orang, tidak peduli agamanya. Bukankah kita diajarkan untuk bersikap adil dan penuh kasih?”
Rina terdiam, tetapi masih tampak ragu.
Konflik ini semakin memuncak ketika suatu hari, seseorang mencoret loker Suhana dengan kata-kata kasar: “Pulang saja ke tempatmu!”
Suhana menemukan coretan itu saat akan mengambil bukunya. Wajahnya pucat, tangannya gemetar. Sahira merasa marah sekaligus sedih.
Saat itu juga, ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu yang lebih besar.
***
Sahira tidak hanya ingin membela Suhana, tetapi juga ingin mengubah pola pikir banyak orang di sekolahnya. Ia mulai berbicara dengan guru-guru dan meminta izin untuk mengadakan sebuah diskusi tentang keberagaman.
Dengan bantuan beberapa teman yang peduli, mereka mengorganisir acara “Hari Toleransi”, di mana setiap siswa diundang untuk berbagi tentang keyakinan dan budaya mereka.
Hari itu tiba dan acara pun dimulai. Suhana berbicara tentang bagaimana ia menghadapi prasangka karena agamanya. Sahira berbicara tentang bagaimana Islam mengajarkan untuk menghargai orang lain. Siswa-siswa lain juga mulai berbagi cerita mereka, dan sedikit demi sedikit, mereka mulai memahami bahwa perbedaan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tetapi justru sesuatu yang memperkaya hidup mereka.
Acara itu menjadi awal perubahan di sekolah. Meski tidak semua orang langsung berubah, setidaknya banyak yang mulai berpikir ulang tentang sikap mereka.
***
Setelah acara itu, Sahira dan Suhana melihat perubahan kecil tetapi signifikan di sekolah mereka. Bisikan-bisikan tentang Suhana mulai mereda, dan beberapa siswa yang dulu menjauhinya kini mulai berbicara dengannya dengan lebih terbuka.
Perjalanan mereka masih panjang, tetapi Sahira tahu bahwa mereka telah memulai sesuatu yang penting.
Saat mereka berjalan pulang bersama suatu sore, Suhana tersenyum dan berkata, “Terima kasih, Sahira. Kamu benar-benar sahabat terbaik.”
Sahira tersenyum. “Kita harus selalu membela yang benar, bukan? Dan persahabatan kita lebih kuat dari prasangka apa pun.”
Mereka berdua melangkah bersama, menuju masa depan yang lebih inklusif dan penuh toleransi.
***
Hari-hari setelah acara Hari Toleransi terasa lebih ringan bagi Suhana dan Sahira. Beberapa siswa mulai menunjukkan sikap yang lebih ramah, bahkan beberapa di antara mereka meminta maaf secara langsung kepada Suhana atas perlakuan mereka sebelumnya. Namun, tidak semua orang senang dengan perubahan itu.
Suatu hari, saat jam istirahat, Sahira dan Suhana berjalan menuju perpustakaan ketika tiba-tiba seseorang menabrak bahu Suhana dengan sengaja. Tubuhnya hampir terhuyung ke belakang.
“Hei, hati-hati dong!” seru Sahira, berusaha menahan emosinya.
Orang yang menabrak Suhana adalah Kevin, siswa dari kelas lain yang sejak awal terlihat tidak menyukai keberadaan Suhana. Ia menatap mereka dengan pandangan sinis.
“Seharusnya dia yang lebih hati-hati,” katanya, menyeringai. “Orang seperti dia nggak seharusnya ada di sini.”
Suhana terdiam, menatap tanah. Sahira mengepalkan tangannya, menahan dorongan untuk membalas dengan kata-kata tajam.
“Apa maksudmu, Kevin?” tantang Sahira.
Kevin tertawa kecil. “Aku hanya bilang yang sebenarnya. Lagipula, dia itu minoritas. Kenapa kalian sok-sokan bikin acara kayak kemarin? Mau ngajarin toleransi, tapi nyatanya orang-orang kayak dia tetap nggak diterima, kan?”
Sahira merasakan darahnya mendidih. “Apa salah Suhana sampai kamu memperlakukannya seperti ini? Dia nggak pernah menyakiti siapa pun!”
“Terserah kamu mau bilang apa, tetapi jangan harap semua orang di sekolah ini akan berubah cuma gara-gara acara bodoh itu,” ujar Kevin sebelum pergi dengan tawa mengejek.
Suhana menarik napas panjang. “Aku baik-baik saja, Sahira,” katanya dengan suara lemah.
Sahira menatap sahabatnya itu dengan mata yang mulai basah. Ia tahu Suhana sedang berusaha kuat, tetapi ia juga tahu bahwa dalam hatinya, Suhana pasti terluka.
“Kenapa masih ada orang seperti Kevin?” pikir Sahira. “Kenapa kebencian begitu sulit dihapus?”
Namun, Sahira tidak mau menyerah.
Malam itu, Sahira duduk di depan laptopnya, menulis sebuah esai tentang pentingnya toleransi. Ia memutuskan untuk mengirimnya ke majalah sekolah, berharap agar lebih banyak orang bisa membacanya dan mengerti bahwa diskriminasi bukanlah sesuatu yang bisa diterima begitu saja. Namun, Sahira tidak menyangka bahwa keputusannya itu akan membawa konsekuensi yang lebih besar.
***
Beberapa hari setelah esai Sahira dipublikasikan di majalah sekolah, reaksi yang muncul sangat beragam. Banyak siswa yang mendukung dan memuji keberaniannya berbicara tentang isu yang sensitif ini. Namun, di sisi lain, ada juga yang tidak senang dengan tulisan itu.
Sahira mulai menerima pesan-pesan anonim di media sosialnya.
“Berhenti ikut campur. Kamu nggak tahu apa-apa.”
“Kalau kamu terus membela Suhana, jangan salahkan kami kalau sesuatu terjadi.”
“Sekolah ini bukan tempat untuk orang-orang seperti dia. Dan kalau kamu terus membela dia, kamu juga sama saja.”
Sahira menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu ini bukan sekadar olok-olok biasa. Ini adalah ancaman. Saat bertemu Suhana di sekolah keesokan harinya, Sahira memutuskan untuk tidak memberitahunya tentang pesan-pesan itu. Ia tidak ingin sahabatnya khawatir atau merasa bersalah. Namun, kejadian berikutnya benar-benar mengguncang mereka.
Ketika Sahira tiba di sekolah pagi itu, ia melihat banyak siswa berkumpul di dekat loker Suhana. Jantungnya berdegup kencang saat ia melihat apa yang terjadi.
Di loker Suhana, ada coretan yang lebih besar dari sebelumnya:
“Pengkhianat!”
“Orang seperti kalian tidak punya tempat di sini.”
“Sahira dan Suhana = Sampah Sekolah!”
Suhana berdiri di sana, memandangi tulisan-tulisan itu dengan ekspresi kosong. Seakan-akan semua tenaga meninggalkan tubuhnya. Sahira merasakan kemarahan membakar dadanya. Ia ingin mencari tahu siapa yang melakukan ini, ingin menuntut keadilan. Namun, sebelum ia bisa melakukan apa pun, seorang guru datang dan segera menghapus coretan-coretan itu.
“Kita harus bicara dengan kepala sekolah,” bisik Sahira kepada Suhana.
Suhana menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Untuk apa? Mereka tidak akan peduli.”
Sahira menggenggam tangan Suhana erat. “Kita harus mencoba.”
Namun, yang terjadi di ruang kepala sekolah justru semakin membuat Sahira frustrasi.
Kepala sekolah hanya menanggapi dengan nada datar. “Kami akan menyelidiki ini, tetapi saya harap kalian tidak terlalu membesar-besarkan masalah ini. Terkadang, anak-anak memang suka bercanda.”
Sahira hampir tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Bercanda? Ini bukan bercanda, Pak! Ini intimidasi! Ini diskriminasi!”
Suhana menarik tangan Sahira, berusaha menenangkannya. Kepala sekolah hanya menghela napas. “Kami akan menindaklanjuti. Namun, untuk saat ini, saya sarankan kalian fokus belajar dan tidak memprovokasi lebih jauh.”
Keluar dari ruangan itu, Sahira merasa hatinya semakin berat.
“Lihat? Tidak ada yang peduli,” gumam Suhana pelan.
Sahira menatap sahabatnya. Ia melihat kelelahan di mata Suhana, kelelahan karena selalu harus membuktikan dirinya, karena harus menghadapi prasangka sejak kecil. Namun, bagi Sahira, ini belum selesai.
“Kalau mereka tidak mau peduli, kita sendiri yang harus melakukan sesuatu,” kata Sahira tegas. “Aku nggak akan diam, Suhana. Aku janji.”
***
Keesokan harinya, Sahira mulai menggalang dukungan dari teman-teman lain yang peduli. Bersama beberapa siswa, ia membuat petisi untuk meminta sekolah mengambil tindakan lebih tegas terhadap diskriminasi.
Mereka juga mulai berbicara dengan guru-guru yang lebih terbuka dan mendukung inklusivitas. Salah satu guru mereka, Bu Rina, setuju untuk membantu membawa kasus ini ke rapat dewan sekolah. Namun, perjuangan mereka tidak mudah. Beberapa siswa mulai menuduh Sahira dan Suhana sebagai ‘pembuat masalah’ di sekolah. Beberapa bahkan menyebarkan rumor bahwa mereka hanya ingin mencari perhatian.
Akan tetapi, bagi Sahira, ini bukan tentang mencari perhatian. Ini tentang melakukan hal yang benar dan ia tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan.
***
Petisi yang Sahira buat mulai menyebar di kalangan siswa. Semakin banyak yang menandatanganinya, menunjukkan bahwa tidak semua orang di sekolah setuju dengan perlakuan buruk terhadap Suhana. Namun, reaksi dari pihak yang tidak setuju juga semakin keras.
Suatu sore, ketika Sahira dan Suhana berjalan keluar dari gerbang sekolah, sekelompok siswa mendekati mereka. Kevin ada di antara mereka, bersama dua temannya, Rico dan Andre.
“Wah, ini dia pahlawan sekolah kita,” sindir Kevin, melipat tangannya di dada. “Sudah puas bikin onar?”
Sahira menatap mereka tajam. “Kami hanya menuntut keadilan. Apa yang salah dengan itu?”
Kevin tertawa mengejek. “Keadilan? Kamu pikir semua orang setuju denganmu? Kalian Cuma bikin masalah. Ini sekolah kami, aturan kami. Kalau kamu nggak suka, pergi saja.”
Suhana menundukkan kepala, tetapi Sahira tetap teguh. “Sekolah ini bukan milik satu kelompok saja. Semua orang punya hak yang sama di sini.”
Kevin melangkah lebih dekat, menatap Sahira dengan penuh kebencian. “Dengar, ya. Kamu lebih baik diam. Kalau kamu terus ikut campur, jangan salahkan kami kalau sesuatu terjadi.”
Sebelum Sahira sempat membalas, Kevin dan teman-temannya pergi sambil tertawa.
Suhana menggigit bibirnya, tampak semakin takut. “Sahira, aku takut ini akan semakin buruk.”
Sahira menarik napas dalam. Ia tahu mereka sedang menghadapi sesuatu yang besar. Namun, ia juga tahu bahwa mundur bukanlah pilihan.
Mereka harus melawan.
***
Beberapa hari kemudian, suasana di sekolah semakin memanas. Sahira mulai menerima lebih banyak pesan ancaman di media sosial. Beberapa bahkan menyebarkan foto-foto dirinya dan Suhana dengan tulisan:
“Mereka penghancur tradisi kita!”
Namun, yang paling mengejutkan terjadi di pagi hari ketika Sahira masuk ke sekolah.
Di papan pengumuman utama, ada foto besar dirinya dan Suhana, dicoret dengan kata-kata kasar:
“Pengkhianat agama!”
“Sampah yang harus dibuang!”
Sahira merasakan tubuhnya membeku. Ia mendengar suara-suara berbisik di sekelilingnya, beberapa tertawa pelan, beberapa hanya menatap dengan ekspresi tidak nyaman.
Tiba-tiba, tangannya ditarik. Itu Suhana.
“Ayo pergi dari sini,” bisiknya dengan suara bergetar.
Mereka berlari menuju taman belakang sekolah, tempat yang lebih sepi. Suhana mengusap matanya yang mulai berlinang air mata.
“Sahira, aku nggak tahan lagi,” ucapnya dengan suara bergetar. “Aku nggak peduli kalau mereka membenciku, tetapi sekarang mereka menyerangmu juga. Aku nggak mau kamu terluka.”
Sahira menggenggam tangan sahabatnya erat. “Suhana, kamu nggak sendirian. Kita berjuang bersama. Kalau kita mundur sekarang, mereka menang.”
Suhana menatap Sahira dengan mata penuh emosi. “Tapi … sampai kapan?”
Sahira terdiam. Ia tahu sahabatnya lelah. Ia sendiri juga merasa takut. Tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai.
Mereka harus menemukan cara untuk membalikkan keadaan.
***
Saat pulang sekolah, Sahira mengunci diri di kamarnya. Ia membaca kembali pesan-pesan ancaman yang diterimanya.
Lalu, ia teringat sesuatu.
Ia membuka laptopnya dan mulai mengetik. Ia menuliskan semua yang terjadi—tentang diskriminasi yang dialami Suhana, tentang ancaman yang mereka terima, tentang bagaimana sekolah menutup mata terhadap semua ini.
Setelah selesai, ia mengirim tulisan itu ke beberapa media lokal.
Malam itu, ia berdoa lebih lama dari biasanya.
Ya Allah, berikan aku kekuatan. Jika ini jalan yang harus aku tempuh, bantu aku tetap teguh.
Keesokan harinya, ketika ia tiba di sekolah, suasana sudah berbeda. Semua orang membicarakan satu hal, yaitu, artikel tentang diskriminasi di sekolah mereka telah dipublikasikan di sebuah media online terkenal.
Berita itu menyebar cepat. Para guru mulai gelisah, kepala sekolah segera mengadakan rapat darurat, dan yang lebih mengejutkan, beberapa orang tua siswa mulai berdatangan ke sekolah, menuntut penjelasan.
Kevin dan gengnya tampak panik. Beberapa siswa yang dulu diam kini mulai berani berbicara.
Sahira tahu, ini adalah titik baliknya, tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah sekolah akhirnya akan bertindak?
***
Keesokan harinya, sekolah dipenuhi ketegangan. Artikel tentang diskriminasi di sekolah mereka telah menyebar luas, bahkan beberapa media nasional mulai meliputnya.
Di ruang guru, para pengajar tampak berbicara dengan nada tegang. Kepala sekolah terlihat serius saat berbicara dengan beberapa orang tua murid yang datang menuntut klarifikasi.
Di sisi lain, Sahira dan Suhana berjalan melewati koridor dengan tatapan campur aduk dari siswa lain—ada yang mendukung, ada yang penasaran, dan ada yang jelas-jelas membenci mereka.
Tiba-tiba, Kevin dan gengnya muncul di hadapan mereka.
“Kamu pikir kamu bisa merusak nama sekolah ini seenaknya?” Kevin mendesis dengan marah. “Gara-gara kamu, sekolah kita sekarang dianggap intoleran!”
Sahira tidak mundur selangkah pun. “Aku nggak merusak apa-apa. Aku cuma bilang yang sebenarnya. Kalau kamu nggak suka, mungkin karena kamu salah satu penyebabnya.”
Mata Kevin berkilat marah. “Dasar pengkhianat! Kamu lebih membela orang luar daripada orang-orang di sekolah ini sendiri.”
Suhana akhirnya angkat bicara. Suaranya gemetar, tetapi tegas. “Aku bukan orang luar. Aku bagian dari sekolah ini, sama seperti kalian.”
Rico, salah satu teman Kevin, tampak ragu. “Kev, kayaknya ini mulai keterlaluan.”
“Diam!” bentak Kevin. “Mereka yang mulai duluan!”
Sebelum pertengkaran semakin memanas, seorang guru datang dan melerai mereka. “Cukup! Kalian semua ikut saya ke ruang kepala sekolah. Sekarang juga.”
***
Di ruang kepala sekolah, suasana begitu tegang. Sahira dan Suhana duduk di satu sisi, sementara Kevin dan gengnya duduk di sisi lain. Kepala sekolah duduk di tengah, diapit oleh beberapa guru dan perwakilan orang tua.
Kepala sekolah menghela napas dalam sebelum berbicara. “Situasi di sekolah ini sudah semakin tidak terkendali. Artikel yang ditulis Sahira telah menarik perhatian banyak pihak, dan sekarang kita harus menyelesaikan ini dengan kepala dingin.”
Kevin segera menyela. “Pak, kami cuma membela kehormatan sekolah! Mereka yang mulai masalah ini!”
Sahira balas menatapnya. “Kami tidak memulai masalah. Kami hanya berani berbicara tentang apa yang selama ini ditutup-tutupi.”
Beberapa guru mulai bergumam. Salah satu orang tua siswa, seorang ibu berjilbab yang tampak berwibawa, mengangkat tangan. “Saya rasa kita harus melihat ini dari sudut yang lebih luas. Jika benar ada diskriminasi di sekolah ini, bukankah itu sesuatu yang harus diperbaiki?”
Salah satu guru yang mendukung Sahira, Bu Rina, angkat bicara. “Saya sudah lama memperhatikan hal ini. Memang ada perlakuan tidak adil terhadap siswa minoritas di sekolah ini. Kita tidak bisa menutup mata lagi.”
Kepala sekolah terdiam lama. Ia menatap Kevin dan teman-temannya. “Saya akan memberikan kesempatan kepada kalian untuk menjelaskan. Apakah benar kalian melakukan intimidasi terhadap Suhana dan Sahira?”
Kevin mengalihkan pandangan, tetapi Rico akhirnya berbicara. “Pak, saya tidak bisa berbohong. Memang ada beberapa hal yang kami lakukan.”
Kevin menoleh tajam. “Rico!”
“Tapi itu salah,” lanjut Rico dengan suara lebih tegas. “Aku nggak bisa terus berpura-pura.”
Sebuah keheningan panjang memenuhi ruangan.
Akhirnya, kepala sekolah menghela napas berat. “Baiklah. Setelah mempertimbangkan semua ini, kami akan mengambil tindakan tegas. Kevin dan teman-temannya akan mendapatkan sanksi sesuai aturan sekolah.”
Kevin membanting tangannya di meja. “Pak, ini nggak adil!”
“Yang tidak adil adalah bagaimana Suhana diperlakukan,” jawab kepala sekolah dengan tegas.
Sahira merasakan beban besar terangkat dari dadanya. Namun, perjuangan mereka belum selesai.
***
Dalam minggu-minggu berikutnya, perubahan mulai terasa.
Sekolah akhirnya mengadakan diskusi terbuka tentang toleransi dan keberagaman. Banyak siswa yang awalnya diam mulai berani berbicara, mengungkapkan pengalaman mereka sendiri tentang diskriminasi dan prasangka.
Sahira dan Suhana diminta berbicara di depan siswa lain dalam sebuah acara resmi. Dengan suara bergetar, Suhana berkata, “Aku selalu berpikir bahwa aku sendirian. Tapi sekarang aku tahu, ada banyak orang baik yang peduli. Kita hanya perlu berani untuk saling memahami.”
Sahira menambahkan, “Toleransi bukan hanya tentang menerima keberadaan orang lain, tetapi juga tentang berdiri bersama mereka ketika mereka diperlakukan tidak adil.”
Tepuk tangan menggema di aula sekolah.
Bahkan Kevin, yang selama ini menjadi lawan mereka, akhirnya datang menghampiri setelah acara. Dengan raut wajah kaku, ia berkata, “Aku nggak bisa mengubah masa lalu, tapi… aku akan mencoba untuk lebih baik.”
Sahira tersenyum tipis. “Itu langkah awal yang baik.”
***
Beberapa bulan setelah insiden itu, suasana sekolah jauh lebih baik. Suhana tidak lagi merasa sendirian. Banyak siswa yang mulai lebih terbuka dan menerima satu sama lain.
Suatu hari, saat duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah, Sahira dan Suhana saling menatap.
“Kita berhasil, ya?” gumam Suhana.
Sahira tersenyum. “Perjalanan kita masih panjang. Tapi setidaknya, kita sudah membuat perubahan.”
Mereka berdua saling menggenggam tangan.
Sebuah langkah kecil telah membawa perubahan besar dan perjuangan mereka akan terus berlanjut.
TAMAT