Cerpen
Disukai
30
Dilihat
6,703
Harmoni Desa Wening
Drama

Di kaki Gunung Merbabu, di antara hamparan sawah dan kebun cengkih yang menghampar luas, terdapat sebuah desa kecil bernama Wening. Desa ini terkenal dengan ketenangannya—sebuah ketenangan yang lebih dari sekadar kesunyian. Warga desa hidup dengan harmoni yang terlihat di permukaan, tetapi di dalamnya tersimpan keragaman keyakinan yang sering kali menjadi sumber ketidaknyamanan yang tak terucap.

Di desa ini, tinggal empat orang yang mewakili empat latar belakang berbeda.

Ahmad, seorang petani sekaligus guru mengaji, adalah lelaki yang dikenal rajin dan disiplin. Setiap subuh, ia selalu terdengar melantunkan azan dari musala kecil di sudut desa.

Teresia, wanita paruh baya yang mengelola warung kelontong, adalah seorang Katolik yang taat. Setiap minggu, ia pergi ke gereja di kota bersama keluarganya.

Damian, seorang tukang kayu dan jemaat Protestan yang aktif, sering membantu pembangunan rumah warga. Ia dikenal sebagai orang yang blak-blakan, tetapi berhati baik.

Lalu yang paling tua di antara mereka, Kasam, pemangku adat yang masih setia pada kepercayaan leluhur. Ia sering mengadakan selamatan desa dan menjaga situs-situs keramat yang dianggap suci oleh sebagian warga.

Mereka hidup berdampingan, tetapi tak benar-benar dekat. Ada batas-batas tak kasatmata yang membuat mereka lebih memilih menjaga jarak.

***

Konflik kecil mulai muncul ketika Ahmad mengusulkan renovasi musala. Ia ingin memperluas bangunan agar lebih nyaman bagi warga yang datang mengaji. Namun, lokasi yang direncanakan sedikit berbatasan dengan tanah yang dianggap keramat oleh Kasam.

Kasam menentang dengan halus, tetapi tegas.

“Maaf, Mad. Itu tempat leluhur. Kalau diusik, nanti tidak baik bagi desa,” katanya.

Ahmad mendengus. “Pak Kasam, kita ini hidup di zaman modern. Masa masih percaya hal seperti itu?”

Teresia dan Damian, yang mendengar perdebatan ini, punya pendapat sendiri. Teresia setuju dengan Ahmad bahwa musala memang perlu diperbaiki, tetapi ia juga menghormati kepercayaan Kasam. Damian, di sisi lain, merasa renovasi itu akan membuat sekelompok warga merasa lebih dominan dibanding yang lain.

“Kalau mau bangun rumah ibadah lebih besar, kenapa gereja dan tempat ibadah kami tidak ikut diperluas?” gumamnya kepada Teresia.

Perbedaan pandangan ini semakin menghangat ketika suatu hari, seekor ayam hitam milik Kasam ditemukan mati di dekat rumah Ahmad. Warga mulai berbisik-bisik. Ada yang mengatakan ayam itu mati karena diracun. Yang lain percaya itu pertanda buruk.

“Ayam hitam itu penjaga desa!” seru seorang warga tua.

Kasam menduga ada yang sengaja melakukannya, dan Ahmad secara tak langsung menjadi tersangka dalam benaknya.

“Jangan menuduh sembarangan, Pak Kasam,” kata Ahmad dengan nada tajam saat desas-desus sampai ke telinganya.

Teresia dan Damian mencoba menenangkan, tetapi ketegangan sudah terlanjur membesar.

Di balik wajah ramah desa Wening, ada bara kecil yang siap membesar.

***

Kematian ayam hitam Kasam menimbulkan ketegangan yang tak terhindarkan. Bisik-bisik di antara warga berubah menjadi perdebatan terbuka. Beberapa orang mulai berpihak—ada yang membela Ahmad, ada yang mendukung Kasam, sementara sebagian lagi memilih diam.

“Sebenarnya, kalau ayam itu benar-benar sakral, kenapa dibiarkan berkeliaran? Bisa saja mati karena ular atau anjing liar,” kata Damian di warung Teresia.

“Tapi orang-orang percaya itu bukan ayam biasa. Ayam itu sudah ada sejak dulu, dan setiap pemangku adat selalu memeliharanya,” balas Teresia, mencoba menenangkan suasana.

Ahmad sendiri semakin gelisah. Ia merasa tuduhan yang mengarah padanya tidak adil.

“Kalau mereka tidak bisa membuktikan aku yang melakukannya, kenapa harus menyalahkanku?” gumamnya kepada istrinya.

Di sisi lain, Kasam semakin yakin bahwa ini adalah pertanda buruk. Ia berencana mengadakan selamatan untuk menenangkan arwah leluhur.

“Aku tidak melarang siapa pun, tapi kalau musala itu tetap direnovasi, jangan salahkan kalau desa ini kena bencana,” katanya di depan beberapa warga.

Kata-katanya menyebar cepat. Beberapa orang mulai takut. Sebagian lainnya menganggap itu hanya takhayul.

Damian, yang semakin terganggu dengan suasana ini, akhirnya berbicara langsung kepada Kasam.

“Pak Kasam, kalau ada yang salah, mari kita bicarakan baik-baik. Jangan membuat orang takut dengan cerita-cerita seperti itu.”

Kasam hanya menghela napas. “Aku tidak menakut-nakuti, Damian. Kau boleh percaya atau tidak, tapi sejak ayam itu mati, aku sudah merasakan sesuatu yang tidak beres.”

Seolah membenarkan kata-katanya, malam itu hujan turun deras disertai angin kencang. Kilat menyambar pohon beringin di dekat balai desa, membuatnya roboh menimpa sebagian bangunan.

Keesokan harinya, seluruh desa gempar.

“Lihat! Aku sudah bilang!” seru seseorang.

Bagi yang percaya pada Kasam, ini adalah bukti bahwa desa sedang terkena musibah akibat gangguan terhadap tempat keramat. Bagi yang lain, ini hanya kebetulan.

Ahmad, Teresia, dan Damian sama-sama mulai merasa bahwa keadaan sudah terlalu jauh. Namun, sebelum mereka sempat mencari jalan keluar, sebuah insiden lain terjadi—sesuatu yang benar-benar mengguncang desa Wening.

***

Pagi itu, kabut masih menyelimuti sawah dan kebun di desa Wening. Namun, suasana hati warga lebih pekat dari kabut yang menggantung. Pohon beringin yang tumbang di balai desa menjadi bahan pembicaraan, dan ketegangan semakin terasa.

Lalu, sesuatu terjadi—sesuatu yang mengubah segalanya.

Di suatu pagi, saat warga mulai beraktivitas, terdengar suara teriakan dari rumah Teresia. Beberapa orang berlari menuju rumahnya dan menemukan pintu rumahnya terbuka lebar.

“Warungku! Warungku dirusak!” teriak Teresia dengan wajah pucat.

Rak-rak barang berserakan, beberapa botol kecap dan minyak pecah di lantai. Beberapa karung beras juga terlihat sobek, seolah ada yang sengaja merusaknya.

Ahmad dan Damian segera datang. “Apa yang terjadi?” tanya Damian.

“Aku tidak tahu! Pagi-pagi aku ke belakang sebentar, lalu pas kembali, warung sudah begini!” jawab Teresia dengan suara bergetar.

Warga mulai berspekulasi. Ada yang bilang ini perbuatan pencuri. Ada juga yang mulai menghubungkannya dengan konflik yang sedang terjadi di desa.

“Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan masalah ayam hitam!” bisik seorang warga.

Kasam, yang mendengar kejadian itu, hanya menghela napas. “Ini bukan kebetulan.”

Ahmad merasa tuduhan itu semakin mengarah padanya. “Apa maksudmu, Pak Kasam? Jangan-jangan aku lagi yang kau curigai?”

“Siapa yang bilang begitu?” balas Kasam. “Tapi kau pun tak bisa menyangkal bahwa sejak ayam itu mati, banyak hal aneh terjadi.”

“Ini bukan soal ayam! Ini tentang seseorang yang ingin mengadu domba kita!” seru Damian, wajahnya merah menahan emosi.

Namun, siapa yang benar? Siapa yang harus disalahkan?

Di tengah ketegangan itu, kepala desa akhirnya mengambil keputusan.

“Kita akan mengadakan pertemuan di acara bersih desa nanti. Semua harus hadir. Kita harus menyelesaikan masalah ini sebelum desa ini benar-benar pecah.”

Acara bersih desa selalu menjadi perayaan besar di Wening. Biasanya, itu adalah waktu untuk bergotong royong dan bersyukur atas hasil panen. Namun, tahun ini, acara itu berubah menjadi panggung bagi warga untuk saling berhadapan dan mengungkapkan kebenaran yang selama ini tertutup oleh prasangka.

Tak ada yang tahu bahwa pertemuan itu akan mengubah cara mereka melihat satu sama lain selamanya.

***

Hari yang ditunggu pun tiba. Acara Bersih Desa, yang seharusnya menjadi perayaan syukur dan gotong royong, kini berubah menjadi ajang pertemuan penuh ketegangan.

Di alun-alun desa, warga berkumpul. Biasanya mereka datang dengan hati riang, tapi kali ini wajah-wajah mereka penuh kecurigaan. Kepala desa berdiri di tengah, sementara Ahmad, Teresia, Damian, dan Kasam duduk di barisan depan.

“Kita semua tahu kenapa kita berkumpul di sini,” kata kepala desa dengan suara berat. “Akhir-akhir ini, desa kita tidak lagi tenteram. Ada prasangka, ada ketakutan. Ini bukan desa Wening yang kita kenal.”

Ahmad menyilangkan tangan di dada. “Kalau memang ada yang ingin bicara, katakan sekarang. Jangan Cuma berbisik-bisik di belakang.”

Kasam menatapnya tajam. “Kau menantang, Mad? Sejak ayam hitam mati, semuanya berubah. Tempat keramat ingin kau ganggu, lalu beringin di balai desa tumbang, sekarang warung Teresia dirusak. Kau pikir ini semua kebetulan?”

Ahmad berdiri. “Kau menyalahkanku lagi?! Dari dulu aku diam saja meski orang-orang menganggapku berbeda. Tapi sekarang, aku sudah muak! Aku tidak membunuh ayam itu, tidak merusak warung Teresia, dan aku tidak percaya takhayul!”

“Jangan sebut kepercayaanku takhayul!” bentak Kasam, suaranya bergetar.

Damian, yang biasanya pendiam, akhirnya ikut bicara. “Sudah cukup! Aku tahu kalian berdua keras kepala, tapi jangan lupa, kami juga bagian dari desa ini!” Ia menatap Ahmad. “Kau ingin musalamu diperbesar, tapi bagaimana dengan tempat ibadah yang lain? Kenapa hanya itu yang penting?”

Ahmad terkejut. “Kau pikir aku ingin menguasai desa ini? Aku hanya ingin memberikan tempat yang layak bagi yang ingin beribadah!”

Teresia, yang sejak tadi diam, akhirnya berdiri. “Kalian ini sama saja! Saling menuduh tanpa bukti! Aku kehilangan warungku, dan bukannya membantu, kalian malah sibuk bertengkar!” Suaranya pecah, matanya berkaca-kaca.

Seluruh warga hening.

Di antara ketegangan itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Langit yang tadinya cerah mendadak diselimuti awan gelap. Angin bertiup kencang, dan dalam sekejap, hujan turun deras.

Warga panik berlarian mencari tempat berteduh. Kasam memejamkan mata, seolah merasakan sesuatu yang lebih dalam.

“Ini pertanda,” gumamnya.

Namun, sebelum ada yang bisa merespons, suara retakan terdengar dari kejauhan. Beberapa warga menoleh ke arah rumah-rumah di dekat tepi sungai. Tanah di sana mulai retak—sepertinya hujan deras telah membuat tanah longsor!

Tiba-tiba terdengar teriakan. “Ada anak-anak di sana!”

Semua mata tertuju pada tiga anak kecil yang terjebak di dekat rumah yang hampir ambruk. Salah satunya adalah cucu Kasam.

Tak ada lagi perbedaan. Tak ada lagi pertengkaran.

Ahmad, Damian, dan beberapa warga langsung berlari menuju lokasi, tak peduli bahwa mereka baru saja bertengkar.

“Damian, bantu aku angkat kayu ini!” seru Ahmad.

Damian tanpa ragu mengangkat batang kayu besar yang menghalangi jalan. Ahmad menarik salah satu anak keluar, sementara Teresia membantu anak lainnya.

Kasam, yang awalnya kaku, akhirnya ikut turun tangan. Ia menarik cucunya dengan air mata berlinang.

Di bawah hujan deras, di tengah lumpur yang mulai mengalir deras, mereka berempat bekerja sama tanpa memikirkan perbedaan.

Setelah semua anak selamat, mereka terduduk kelelahan. Nafas mereka terengah-engah, pakaian mereka penuh lumpur. Namun, mereka tak peduli.

Kasam menatap Ahmad, Damian, dan Teresia dengan mata berkaca-kaca. “Aku... aku minta maaf,” katanya lirih.

Ahmad mengangguk. “Aku juga.”

Teresia tersenyum samar. “Seharusnya kita tidak perlu menunggu bencana untuk menyadari bahwa kita semua sama-sama manusia.”

Damian menepuk bahu mereka. “Mari kita mulai lagi dari awal.”

Di kejauhan, hujan mulai reda. Matahari perlahan muncul di balik awan, seolah ikut tersenyum melihat desa Wening yang akhirnya menemukan kembali kedamaiannya.

***

Setelah hujan reda, desa Wening terasa berbeda. Udara lebih segar, dan di antara lumpur serta puing-puing kecil akibat longsor, ada sesuatu yang lebih besar yang berubah—hati para warganya.

Ahmad, Damian, Teresia, dan Kasam duduk bersama di balai desa. Tubuh mereka masih lelah setelah kejadian tadi, tapi kali ini mereka tidak lagi duduk sebagai orang-orang yang saling mencurigai. Mereka duduk sebagai sahabat yang telah melewati ujian bersama.

Kepala desa berdiri di hadapan mereka. “Aku ingin mengucapkan terima kasih. Kalau bukan karena kalian, anak-anak itu mungkin tidak selamat.”

Kasam, yang selama ini keras kepala dengan keyakinannya, akhirnya bicara dengan nada lembut. “Aku sudah lama percaya bahwa leluhur akan melindungi kita. Tapi hari ini, aku sadar bahwa perlindungan itu datang dalam bentuk yang berbeda—dalam persaudaraan kita.”

Ahmad tersenyum. “Aku pun belajar sesuatu. Terkadang, kita terlalu sibuk dengan perbedaan sampai lupa bahwa kita adalah satu keluarga dalam desa ini.”

Teresia mengangguk. “Aku juga minta maaf jika selama ini aku lebih banyak diam dan tidak ikut mencari solusi. Tapi hari ini, aku melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kebersamaan itu lebih penting daripada perbedaan.”

Damian tertawa kecil. “Dan aku? Aku sudah cukup banyak bicara. Sekarang saatnya kita bertindak.”

Mereka berempat saling bertatapan, lalu tertawa bersama—sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Hari-Hari Baru di Desa Wening

Beberapa hari setelah kejadian itu, desa mulai berbenah. Warga bekerja sama membersihkan puing-puing akibat hujan deras. Tak ada lagi kelompok-kelompok kecil yang berseberangan—semua bekerja bersama, seperti dulu sebelum prasangka menguasai mereka.

Renovasi musala akhirnya tetap dilakukan, tetapi dengan pendekatan berbeda. Kasam ikut membantu, memastikan bahwa pembangunan tidak mengganggu area yang dianggap keramat. Sebagai gantinya, warga juga bersama-sama merenovasi tempat ibadah lainnya, sehingga semua merasa dihargai.

Di warung Teresia, yang telah diperbaiki bersama-sama oleh warga, Ahmad, Damian, dan Kasam duduk menikmati teh hangat.

“Siapa sangka, semua ini berawal dari ayam hitam,” Damian terkekeh.

Kasam tersenyum. “Mungkin ayam itu memang punya maksud. Ia mengorbankan dirinya supaya kita bisa belajar sesuatu.”

Ahmad tertawa. “Kalau begitu, kita harus berterima kasih pada ayam itu.”

Teresia datang membawa sepiring gorengan. “Yang penting sekarang, kita sudah kembali seperti keluarga.”

Hari itu, desa Wening menemukan kedamaiannya kembali. Bukan kedamaian yang semu seperti sebelumnya, tetapi kedamaian yang tumbuh dari pemahaman, empati, dan persahabatan sejati.

Di bawah langit yang cerah, di antara sawah hijau dan udara pegunungan yang segar, desa Wening akhirnya menjadi desa yang benar-benar “wening”—tenang dalam arti yang sesungguhnya.

***

Hari itu, desa Wening dipenuhi suasana suka cita. Udara pagi masih segar dengan embusan angin sejuk dari Gunung Merbabu. Dari musala kecil di sudut desa, suara takbir menggema, mengiringi langkah warga yang berbondong-bondong menuju lapangan untuk melaksanakan salat Idulfitri.

Ahmad, mengenakan baju koko putih dan sarung batik, berjalan bersama Damian dan Kasam. Meski bukan Muslim, Damian dan Kasam ikut menghadiri salat Id sebagai bentuk penghormatan.

“Lebaran itu bukan Cuma tentang agama, tapi juga tentang kebersamaan,” kata Damian sambil tersenyum.

Setelah salat, warga saling bersalaman dan bermaaf-maafan. Rumah Ahmad dipenuhi tamu, termasuk Damian, Teresia, dan Kasam beserta keluarga mereka.

Di ruang tengah rumah Ahmad, anak-anak mereka duduk melingkar, menikmati ketupat dan opor ayam yang terhidang. Mereka memperhatikan dengan mata berbinar saat orang tua mereka mulai bercerita.

“Dulu, desa kita hampir terpecah,” Ahmad memulai.

“Kenapa, Bapak?” tanya anak bungsu Teresia.

Kasam terkekeh. “Karena ayam hitamku mati.”

Anak-anak saling berpandangan, lalu tertawa. “Masa gara-gara ayam bisa ribut?”

Teresia tersenyum. “Kadang, kita bisa salah paham hanya karena hal kecil. Waktu itu, kami terlalu sibuk mempertahankan pendapat masing-masing, sampai lupa kalau kami ini keluarga besar di desa yang sama.”

Damian menatap anak-anaknya. “Dan yang paling penting, kami lupa bahwa perbedaan bukan alasan untuk bermusuhan.”

Ahmad mengangguk. “Justru perbedaan harusnya membuat kita saling melengkapi. Kita butuh satu sama lain.”

Kasam menepuk lututnya. “Dan akhirnya, kejadian itu mengajarkan kami satu hal: kebersamaan lebih penting daripada ego.”

Seorang anak perempuan menatap mereka dengan polos. “Jadi, kalau ada teman berbeda agama, kita tetap harus berteman, ya?”

Ahmad tersenyum. “Bukan Cuma berteman. Kita harus saling membantu, saling menghormati, dan saling memahami.”

Teresia menepuk kepala anaknya dengan lembut. “Hidup ini indah kalau kita bisa hidup rukun.”

Di luar, suara takbir masih terdengar samar. Angin berembus pelan, membawa aroma masakan Lebaran yang menggoda.

Di rumah Ahmad, di antara suara tawa dan cerita, satu hal terasa jelas—persahabatan mereka tidak hanya bertahan, tetapi semakin erat, diwariskan kepada generasi berikutnya.

Di desa Wening, Lebaran bukan hanya tentang perayaan, tetapi juga tentang pelajaran berharga yang terus hidup di hati mereka.

TAMAT



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)