Cerpen
Disukai
75
Dilihat
10,260
Cahaya di Tengah Perbedaan
Drama

Lisa menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke gerbang sekolah. Seperti hari-hari sebelumnya, ia sudah siap menghadapi tatapan aneh dari teman-temannya. Sekolahnya, St. Maria High School, adalah sekolah swasta berbasis agama Kristen. Kedua orang tuanya memilih sekolah ini bukan karena mereka ingin Lisa berpindah keyakinan, tetapi karena sekolah ini memiliki reputasi akademik yang baik. Namun, bagi Lisa, berjalan di koridor sekolah sering terasa seperti melewati ladang ranjau. Beberapa siswa berbisik saat ia lewat, beberapa lainnya menatapnya seakan-akan dia adalah sesuatu yang asing. Sejak mulai mengenakan hijab di kelas 10, perlakuan itu semakin menjadi.

“Hai, Lisa,” suara ceria Rina menyambutnya.

Lisa tersenyum lega. Rina adalah salah satu dari sedikit orang yang memperlakukannya seperti manusia biasa. Mereka telah berteman sejak SMP, dan meskipun berbeda agama, persahabatan mereka tetap kuat.

“Mereka masih mengganggumu?” tanya Rina pelan.

Lisa mengangkat bahu. “Aku sudah terbiasa.”

Mereka berjalan menuju kelas, tetapi langkah Lisa terhenti ketika mendengar suara yang sangat dikenalnya.

“Lihat siapa yang datang! Gadis berjilbab kita!” Clara, si ratu sekolah, bersandar di pintu kelas dengan tangan terlipat. Di belakangnya, beberapa teman gengnya terkikik.

Lisa mengabaikannya dan terus berjalan, tetapi Clara tidak membiarkan itu terjadi begitu saja.

“Kenapa, sih, kamu repot-repot sekolah di sini? Bukankah lebih baik kalau kamu ada di tempat yang lebih cocok buatmu?”

Lisa menatapnya, mencoba tetap tenang. “Aku di sini untuk belajar, sama seperti kamu.”

Clara tersenyum sinis. “Ya, tapi jangan berharap bisa diterima di sini.”

Rina maju selangkah. “Tinggalkan dia, Clara. Bukannya kau punya hal lain yang lebih penting untuk dilakukan?”

Clara mendengus, tetapi akhirnya pergi meninggalkan Lisa dengan perasaan campur aduk. Lisa menghela napas. Hari ini baru saja dimulai.

***

Hari-hari berlalu, tetapi perlakuan Clara dan gengnya tidak berubah. Mereka selalu menemukan cara untuk mengganggu Lisa, entah dengan komentar sinis, ejekan, atau bahkan tindakan kecil seperti menyembunyikan bukunya. Namun, hari ini berbeda.

Saat jam istirahat, Lisa sedang duduk di kantin bersama Rina ketika tiba-tiba suasana menjadi ribut. Salah satu murid kelas 11, Johan, berteriak, “Hei! Uangnya hilang! Aku baru saja menaruhnya di meja, dan sekarang lenyap!”

Para siswa mulai berbisik. Mata mereka bergerak mencari tersangka.

Tiba-tiba, seorang gadis dari geng Clara, Natalie, berkata dengan suara cukup keras, “Aku tadi lihat Lisa di dekat meja Johan sebelum uangnya hilang.”

Sekejap, semua tatapan tertuju pada Lisa.

Jantung Lisa berdetak lebih cepat. “Apa?”

Clara melipat tangannya dan menyeringai. “Oh, jadi sekarang kau bukan hanya berbeda, tapi juga pencuri?”

Lisa tertegun. “Aku tidak mengambil uang siapa pun.”

Johan berjalan mendekat, wajahnya merah karena marah. “Kalau bukan kau, lalu siapa? Semua orang tahu kau bukan bagian dari kami.”

Lisa ingin membela diri, tetapi suaranya terasa tertahan di tenggorokannya.

“Lisa tidak mungkin mencuri,” Rina akhirnya angkat bicara. “Hanya karena dia berbeda, bukan berarti kalian bisa menuduhnya sembarangan.”

“Tapi dia memang mencurigakan,” kata Natalie dengan nada dingin. “Siapa yang tahu apa yang dia lakukan?”

Suasana kantin semakin tegang, dan beberapa siswa mulai mengangguk, seakan-akan mereka percaya pada tuduhan itu.

Lisa menggigit bibirnya. Ini tidak adil. Mereka menilainya bukan karena apa yang telah ia lakukan, tetapi karena siapa dirinya.

Pada saat itu, suara seorang guru, Bu Sarah, terdengar dari belakang. “Apa yang terjadi di sini?”

Johan segera berbicara. “Bu, uang saya hilang, dan beberapa orang bilang Lisa yang mencurinya.”

Bu Sarah menatap Lisa dengan ekspresi lembut. “Lisa, apakah itu benar?”

Lisa menggeleng dengan mantap. “Tidak, Bu. Saya tidak pernah mencuri apa pun.”

Bu Sarah berpikir sejenak, lalu berkata, “Baik. Karena ini masalah serius, kita akan memeriksa rekaman CCTV kantin. Jika tidak ada bukti, saya tidak ingin ada yang menuduh tanpa alasan.”

Lisa merasa lega mendengar hal itu, tetapi Clara tampak sedikit gelisah.

Beberapa jam kemudian, setelah CCTV diperiksa, kebenaran terungkap bukan Lisa yang mencuri, melainkan salah satu anggota geng Clara sendiri—Natalie.

Saat kebenaran diumumkan, wajah Natalie memucat. “Itu … itu hanya bercanda,” katanya tergagap.

Clara meliriknya dengan kesal, tahu bahwa lelucon ini berbalik menyerang mereka.

Johan tampak malu. “Maaf, Lisa, aku langsung menuduhmu tanpa bukti.”

Lisa menundukkan kepala. “Aku harap lain kali, sebelum menilai seseorang, kalian melihat lebih dari sekadar perbedaan.”

Meski terbukti tidak bersalah, Lisa tahu bahwa luka dari tuduhan itu masih akan bertahan lama. Namun, satu hal yang ia yakini, yaitu, kebenaran selalu memiliki cara untuk menemukan jalannya sendiri.

***

Sejak insiden di kantin, suasana sekolah mulai sedikit berubah. Meskipun masih ada beberapa orang yang memandang Lisa dengan prasangka, beberapa lainnya mulai menyadari bahwa mereka telah berlaku tidak adil. Yang paling mengejutkan bagi Lisa adalah Johan. Setelah menuduhnya tanpa bukti, ia tampaknya merasa sangat bersalah. Suatu hari, saat jam istirahat, ia menghampiri Lisa yang sedang membaca buku di taman sekolah.

“Hai,” katanya ragu-ragu.

Lisa menutup bukunya dan menatapnya. “Hai.”

Johan menggaruk kepalanya, tampak canggung. “Aku … ingin minta maaf lagi. Aku benar-benar bodoh karena langsung percaya pada mereka tanpa berpikir.”

Lisa terdiam sejenak sebelum menjawab, “Yang penting kamu sadar sekarang.”

Johan mengangguk. “Aku sadar betapa mudahnya menilai orang hanya karena mereka berbeda. Aku nggak mau jadi orang seperti itu lagi.”

Senyum kecil muncul di wajah Lisa. Itu mungkin permintaan maaf yang tulus, dan ia memilih untuk menerimanya. Namun, tidak semua orang di sekolah menyukai perubahan ini. Clara, yang kehilangan kendali atas narasi di sekolah, semakin membenci Lisa. Sejak insiden itu, ia mulai kehilangan pengaruhnya, terutama karena beberapa orang yang dulu mendukungnya mulai menjauh.

“Jangan bilang kau berpihak pada dia sekarang,” kata Clara dengan nada tajam kepada Johan saat mereka bertemu di lorong sekolah.

Johan menatapnya tanpa ragu. “Aku hanya berpihak pada yang benar.”

Clara mendecak kesal, tetapi sebelum ia bisa membalas, Bu Sarah lewat dan menegur mereka karena menghalangi lorong.

Setelah Johan pergi, Clara mengepalkan tangan. Ia tidak bisa membiarkan Lisa memenangkan ini.

***

Clara merasa terancam. Ia harus mencari cara lain untuk menjatuhkan Lisa.

Ia mendekati beberapa teman yang masih setia padanya. “Kita harus melakukan sesuatu sebelum dia semakin menjadi,” katanya dengan nada marah.

Natalie, yang masih merasa bersalah karena insiden sebelumnya, tampak ragu. “Mungkin kita harus berhenti. Semua orang sudah mulai menerima Lisa.”

Clara menatapnya tajam. “Jadi kau berpikir aku salah?”

Natalie tidak menjawab, tetapi jelas ia tidak ingin terlibat lebih jauh.

Akhirnya, Clara hanya tinggal dengan segelintir teman yang masih setia. Ia menyusun rencana baru—sesuatu yang bisa benar-benar mempermalukan Lisa dan ia tahu cara yang sempurna untuk melakukannya.

***

Clara tidak akan membiarkan Lisa menang. Ia menyusun rencana untuk menjebak Lisa dalam sesuatu yang lebih besar dari sekadar tuduhan kecil. Kali ini, ia ingin memastikan Lisa benar-benar terpuruk.

Satu minggu setelah insiden di kantin, sekolah mengadakan acara tahunan “Malam Keakraban” di aula besar. Ini adalah acara di mana seluruh siswa berkumpul, menampilkan pertunjukan seni, dan saling mengenal lebih dekat.

Clara melihat ini sebagai kesempatan emas.

Pada hari acara, Lisa datang dengan sederhana—mengenakan gaun panjang berwarna biru muda dan hijab putih yang anggun. Ia memang bukan orang yang suka tampil mencolok, tetapi ia menikmati suasana hangat di acara itu, terutama karena beberapa teman yang dulu menjauhinya kini mulai berbicara dengannya dengan lebih ramah. Namun, Clara telah menyiapkan kejutan.

Saat Lisa duduk di salah satu kursi di depan panggung, tiba-tiba layar besar di aula menyala, dan sebuah video mulai diputar.

Itu adalah rekaman editan—video di mana Lisa terlihat sedang berada di ruang kepala sekolah, seolah-olah sedang mencuri dokumen penting. Suara di latar belakang terdengar seperti dirinya, tetapi Lisa tahu itu telah dimanipulasi.

Seluruh aula terdiam.

Lalu bisikan-bisikan dimulai.

“Apakah itu benar Lisa?”

“Kok dia bisa masuk ke ruang kepala sekolah?”

Lisa berdiri, wajahnya pucat. “Aku… aku tidak pernah melakukan itu!”

Clara, yang duduk di belakang, menutupi senyum sinisnya. Ini adalah rencananya. Jika Lisa dicap sebagai pencuri yang mencoba mengakses dokumen sekolah, ia bisa dikeluarkan. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Sebelum kepala sekolah sempat angkat bicara, Rina berdiri dari kursinya di barisan depan. “Video itu palsu!” teriaknya.

Semua orang menoleh.

Rina berlari ke arah panggung dan menunjuk layar. “Aku tahu persis itu editan. Aku sering mengedit video untuk tugas, dan aku bisa membuktikan bahwa itu palsu!”

Lisa menatap Rina dengan mata berkaca-kaca.

Saat itu, kepala sekolah langsung meminta tim IT untuk memeriksa video tersebut. Butuh beberapa menit, tetapi hasilnya jelas—video itu memang palsu.

“Siapa yang menyebarkan ini?” suara kepala sekolah menggema.

Semua orang mulai berbisik. Clara menegang.

Johan, yang sejak awal merasa ada sesuatu yang mencurigakan, berdiri dan menatap Clara. “Aku rasa kita semua tahu siapa yang paling ingin menjatuhkan Lisa.”

Tatapan seluruh aula kini tertuju pada Clara.

Clara mencoba membela diri, tetapi semua sudah terlambat. Kepala sekolah memintanya untuk ikut ke kantornya untuk penyelidikan lebih lanjut.

Lisa, meskipun terguncang, akhirnya merasa sedikit lega. Untuk pertama kalinya, seluruh sekolah melihat bahwa masalah ini bukan tentang dirinya sebagai seorang Muslim—tetapi tentang bagaimana kebencian buta bisa membuat seseorang melakukan apa saja.

Ketika acara berakhir, beberapa siswa mulai menghampiri Lisa dan meminta maaf karena pernah percaya pada Clara. Lisa hanya tersenyum. Ia tahu, perjuangannya belum selesai, tetapi hari ini, ia telah memenangkan sesuatu yang lebih besar—kepercayaan dan penerimaan dari orang-orang di sekitarnya. Bagi Lisa, itu sudah cukup.

***

Hari-hari setelah insiden di Malam Keakraban terasa berbeda bagi Lisa. Untuk pertama kalinya sejak ia bersekolah di St. Maria High School, ia merasa tidak sendirian.

Clara akhirnya mendapatkan konsekuensinya. Setelah penyelidikan, kepala sekolah mengonfirmasi bahwa ia adalah dalang di balik video palsu itu. Ia diskors selama sebulan, dan pengaruhnya di sekolah mulai runtuh. Beberapa temannya yang dulu selalu mengikuti setiap perintahnya kini mulai menjauhinya. Namun, yang lebih penting bagi Lisa adalah bagaimana orang-orang di sekolah mulai memperlakukannya dengan lebih baik.

“Hai, Lisa!” seorang gadis bernama Mitha, yang dulu selalu menghindarinya, menyapanya di lorong.

Lisa tersenyum. “Hai, Mitha.”

“Kamu … mau belajar kelompok bareng kami setelah sekolah?” tanya Mitha sedikit ragu.

Lisa terkejut sesaat, tetapi kemudian mengangguk. “Tentu.”

Hari itu adalah pertama kalinya ia merasa benar-benar diterima.

***

Sementara itu, Rina dan Johan tetap menjadi teman baiknya. Mereka sering bersama di kantin, mengobrol tentang pelajaran atau sekadar bercanda tentang hal-hal kecil.

“Jujur, aku masih nggak percaya Clara bisa sejahat itu,” kata Johan suatu hari saat mereka duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah.

“Orang yang merasa kehilangan kendali kadang bisa melakukan hal-hal di luar batas,” jawab Lisa bijak.

“Tapi yang penting sekarang, kamu tidak sendirian lagi,” tambah Rina sambil tersenyum.

Lisa menatap mereka berdua dan merasa bersyukur. Perjalanan ini tidak mudah, tetapi ia telah membuktikan bahwa ketulusan dan kebaikan hati bisa mengubah segalanya. Yang lebih penting, ia telah menemukan tempatnya.

***

Sejak insiden di Malam Keakraban, Lisa semakin fokus pada pendidikannya. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bukan hanya sekadar “gadis yang berbeda” di sekolah itu, tetapi juga seorang siswa yang mampu bersaing.

Dalam beberapa bulan, ia menunjukkan perkembangan luar biasa. Nilai-nilainya semakin meningkat, bahkan beberapa guru mulai memperhatikannya sebagai salah satu siswa paling berbakat di angkatannya.

Suatu hari, di kelas Matematika, Bu Sarah mengumumkan sesuatu yang mengejutkan.

“Saya ingin memberi tahu kalian bahwa sekolah kita akan mengirim satu perwakilan untuk Olimpiade Sains Nasional. Setelah mempertimbangkan hasil ujian dan dedikasi dalam pelajaran, kami telah memilih Lisa sebagai wakil sekolah.”

Ruangan seketika hening.

Lalu, beberapa siswa mulai bertepuk tangan. Bahkan mereka yang dulu meragukannya kini mengakui kemampuannya.

Lisa sendiri terkejut. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan kesempatan sebesar ini.

Setelah kelas berakhir, Rina dan Johan segera menghampirinya.

“Lisa! Kamu hebat!” seru Rina dengan penuh semangat.

“Kami bangga padamu,” tambah Johan dengan senyum lebar.

Lisa tersenyum bahagia. Untuk pertama kalinya, ia merasa sepenuhnya diterima.

Namun, perjalanan ini belum berakhir. Masih ada tantangan besar di depannya, tetapi kini ia tahu bahwa ia tidak perlu menghadapinya sendirian.

Ia telah menemukan tempatnya, dan tidak ada yang bisa mengambil itu darinya.

***

Lisa tidak menyangka bahwa dirinya akan berdiri di panggung besar Olimpiade Sains Nasional, mewakili sekolah yang dulunya membuatnya merasa terasing. Tapi kini, semua berbeda. Ia merasa diterima dan didukung oleh teman-temannya.

Beberapa minggu sebelum kompetisi, ia berlatih dengan keras. Bu Sarah dan beberapa guru lainnya membimbingnya setiap hari sepulang sekolah. Bahkan Rina dan Johan sering menemani, memastikan ia tidak merasa sendirian.

“Aku yakin kamu bisa, Lisa,” kata Rina suatu hari saat mereka belajar di perpustakaan.

“Kamu sudah membuktikan kalau kamu kuat,” tambah Johan.

Lisa tersenyum, merasa bersyukur memiliki mereka di sisinya.

Hari kompetisi pun tiba.

Lisa berdiri di depan meja ujian, melihat soal-soal yang ada di hadapannya. Ini bukan hanya tentang menang atau kalah, tetapi tentang membuktikan bahwa ia pantas berada di sini.

Dengan napas dalam, ia mulai mengerjakan soal dengan penuh konsentrasi.

Waktu berlalu begitu cepat. Beberapa soal terasa mudah, tetapi ada juga yang sangat sulit. Namun, Lisa tidak membiarkan rasa takut menguasainya.

Saat waktu habis, ia meletakkan pensilnya dan menghela napas lega.

Kini, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu hasilnya.

***

Seminggu kemudian, pengumuman pemenang disiarkan di aula sekolah.

Lisa berdiri di antara siswa lain, jantungnya berdebar kencang.

“Juara ketiga… dari SMA Harapan Jaya.”

Tepuk tangan bergema di aula.

“Juara kedua… dari SMA Bina Bangsa.”

Lisa menggenggam tangannya erat.

“Dan juara pertama… dari SMA St. Maria, Lisa Rahman!”

Aula meledak dengan tepuk tangan.

Lisa terdiam sejenak, tidak percaya. Ia benar-benar menang.

Saat ia naik ke panggung untuk menerima piala, ia melihat ke arah Rina dan Johan yang bersorak gembira di barisan depan.

Di antara kerumunan, bahkan beberapa siswa yang dulu meragukannya kini ikut bertepuk tangan untuknya.

Lisa tersenyum.

Hari ini, ia bukan hanya seorang gadis Muslim di sekolah Kristen.

Ia adalah seorang juara.

***

Sejak memenangkan Olimpiade Sains Nasional, hidup Lisa berubah drastis. Kini, ia bukan lagi gadis yang dipandang sebelah mata oleh teman-temannya. Sebaliknya, ia dihormati dan dikagumi sebagai siswa berprestasi di SMA St. Maria. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang mengganggunya.

Suatu sore, Lisa duduk di taman sekolah bersama Rina dan Johan. Mereka berbicara tentang masa depan, universitas yang ingin mereka tuju, dan impian mereka.

“Aku ingin kuliah di luar negeri,” kata Johan. “Mungkin di Jerman atau Jepang, aku ingin belajar teknik.”

“Aku tetap di Indonesia saja,” kata Rina. “Aku ingin jadi dokter.”

Mereka berdua lalu menoleh ke Lisa. “Kalau kamu, Lisa?”

Lisa terdiam sejenak. “Aku belum tahu,” katanya jujur.

Selama ini, ia terlalu fokus membuktikan dirinya kepada orang lain, hingga ia lupa bertanya kepada dirinya sendiri: Apa yang benar-benar aku inginkan?

“Aku suka sains, tapi aku juga suka menulis. Aku ingin melakukan sesuatu yang bisa membantu orang lain. Namun, aku belum tahu bagaimana.”

Rina tersenyum. “Kamu punya banyak waktu untuk mencari tahu. Yang penting, jangan takut mengikuti apa yang kamu cintai.”

Lisa mengangguk. Perjalanan yang ia lalui selama ini telah mengajarkannya bahwa meskipun dunia bisa menjadi tempat yang sulit, ia selalu bisa menemukan jalannya.

Hari-hari berlalu, dan Lisa mulai menemukan jawabannya. Ia mulai menulis tentang pengalamannya, membagikan kisahnya kepada duni dan suatu hari, ia menerima surel yang mengubah segalanya.

Kami tertarik dengan tulisan Anda tentang perjuangan dan keberagaman. Apakah Anda bersedia berbicara di sebuah seminar nasional?

Lisa membaca pesan itu berulang kali.

Dulu, ia adalah gadis yang merasa sendirian.

Kini, ia adalah seseorang yang suaranya ingin didengar oleh banyak orang.

Lisa tersenyum. Masa depannya masih penuh dengan misteri, tetapi satu hal yang ia tahu pasti:

Ia tidak akan pernah lagi merasa tidak memiliki tempat di dunia ini.

***

Beberapa bulan setelah kemenangan di Olimpiade Sains Nasional, Lisa berdiri di atas panggung sebuah auditorium besar. Di hadapannya, ratusan orang duduk dengan penuh perhatian, siap mendengarkan kisahnya.

Ia masih ingat bagaimana dulu dirinya merasa sendirian di sekolah, bagaimana ia harus menghadapi prasangka, dan bagaimana ia hampir menyerah. Tapi ia juga ingat orang-orang yang berdiri di sisinya—Rina, Johan, Bu Sarah, dan bahkan mereka yang dulu membencinya tetapi akhirnya berubah.

Lisa mengambil napas dalam.

“Hari ini, saya ingin berbicara tentang sesuatu yang lebih dari sekadar perbedaan agama atau budaya,” katanya. “Saya ingin berbicara tentang bagaimana kita bisa memilih untuk memahami daripada menghakimi, untuk mendukung daripada menjatuhkan.”

Auditorium hening, menyerap setiap kata yang ia ucapkan.

“Saya dulu percaya bahwa saya tidak akan pernah diterima di sekolah saya hanya karena saya berbeda. Tapi saya salah. Yang membuat kita diterima bukanlah kesamaan kita, melainkan bagaimana kita membangun jembatan antara perbedaan itu.”

Tepuk tangan bergema di seluruh ruangan. Lisa tersenyum. Ia telah melalui perjalanan panjang—dari gadis yang dipandang sebelah mata, menjadi seseorang yang kini suaranya didengar. Setelah acara selesai, banyak orang datang kepadanya, mengucapkan selamat, bahkan berbagi kisah mereka sendiri. Di antara kerumunan, ia melihat Rina dan Johan, tersenyum bangga padanya.

“Kamu luar biasa, Lisa,” kata Rina sambil memeluknya.

“Aku bilang kan, suatu hari orang-orang akan mendengarkanmu,” tambah Johan.

Lisa mengangguk. “Aku tidak akan sampai di sini tanpa kalian.”

Mereka bertiga tertawa, menyadari betapa jauh perjalanan ini telah membawa mereka. Di dalam hatinya, Lisa tahu bahwa ini bukan akhir dari segalanya—ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Ia tidak lagi sekadar seorang gadis Muslim di sekolah Kristen. Ia adalah seseorang yang suaranya memiliki arti dan dunia kini mendengarkannya.

TAMAT

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)