Masukan nama pengguna
Benar kata Ali bin Abi Thalib. Jangan terlalu besar dalam menaruh kepercayaan pada manusia. Karena pada akhirnya yang didapat adalah kekecewaan.
Asha termenung memikirkan segala kekacauan yang tiba-tiba muncul. Semua orang menyudutkannya, berkata bahwa Asha adalah akar dari masalah. Komplotan anjing berwujud manusia itu melontarkan kata-kata yang lebih pantas untuk diri mereka sendiri. Namun, bak lempar batu sembunyi tangan, mereka malah melempar segalanya kepada Asha.
Gadis luar biasa sabar itu menunduk. Bukan penyesalan, tetapi lebih kepada rasa di mana mengapa semua ini terjadi.
“Gue bakal balikin duit lo, kok, Sha! Tenang aja! Gue juga punya uang! Gue gak kere-kere amat!” maki Raya, kakak tingkat Asha.
Asha memejamkan mata sejenak, berusaha menahan hewan buas dalam dirinya yang meronta untuk dikeluarkan. Raya ini sungguh perempuan tidak tahu malu. Dulu dia meminjam masing-masing seratus ribu kepada Asha dan Maya. Katanya, akan dia pakai untuk membayar jurnal atau apalah itu namanya.
Akan tetapi, setelah sekian purnama, perempuan berengsek itu malah membuat sandiwara busuk. Dia bersandiwara, seolah-olah menjadi korban atas kekejaman Asha. Sialan memang bajingan satu ini.
Asha tidak melakukan apa pun—ya, meskipun pernah menyindir Raya lewat status WhatsApp-nya—selebihnya tidak pernah. Hanya sindiran, tidak lebih. Walaupun jengkel, Asha masih merasa takut.
Asha bukan takut kepada Raya, tetapi dia takut pada amarahnya sendiri. Asha tahu bahwa ketika amarah telah melingkupi kewarasannya, maka, setan pun akan menyingkir.
Semakin didiamkan, Raya semakin menjadi-jadi. Rubah betina itu mereka-reka kejadian, berkata kepada semua orang bahwa Asha telah menjelekkan nama baiknya, hanya karena Raya belum membayar utang kepada Asha dan Maya.
Tentu saja semua orang dalam rumah reyot yang katanya berisi keluarga, tetapi nyatanya tidak lebih dari senioritas berkedok keluarga, percaya pada bualan Raya.
Teater bernama Sangga Langit, terlihat begitu erat kekeluargaannya bahkan sampai membuat presiden BEM dan orang lain iri, nyatanya tidak lebih dari kumpulan orang-orang berotak licik. Terbagi menjadi dua kubu, yaitu, kubu Raya dan kubu Vina. Tentu saja kedua kubu ini punya pendukung masing-masing. Raya dengan pendukung dari para alumni. Vina dengan pendukung para alumni, tetapi lebih kuat Raya—katanya.
Asha dan Maya tahu kebusukan Vina. Mereka memilih diam karena berpikir bahwa para alumni akan lebih percaya kepada Vina, daripada percaya kepada mereka. Tentu saja karena Vina lebih senior daripada Asha dan Maya. Keduanya berusaha bersikap netral, masuk organisasi karena murni keinginan sendiri, tetapi kudu menanggung drama sialan yang dibuat oleh orang-orang haus akan nama baik.
Bangsat, memang.
“Mbak, Asha gak nyebar hoax itu. Apa faedahnya buat Asha coba?” Maya berusaha membela Asha, sahabatnya.
“Ya siapa yang tahu?” Raya tersenyum miring, merendahkan Asha dan Maya.
Demi Allah, Asha ingin merobek mulut sialan itu. Namun, genggaman tangan Maya mencegahnya untuk tidak berbuat liar.
“Sekarang Mbak maunya bagaimana?” Asha berusaha tersenyum, bertanya dengan nada yang begitu halus.
Siapa pun tahu kalau Asha tengah menahan emosi. Semua orang yang ada dalam ruangan ini sangat tahu. Dilihat dari wajah Asha yang memerah dengan sorot setajam silet, mereka tahu kalau Asha tengah menahan diri untuk tidak menerjang Raya.
“Y—ya lo minta maaf sama gue!” ujar Raya dengan angkuh, walaupun tidak bisa menutupi kegugupannya. Aura Asha benar-benar mengintimidasi semua orang termasuk Raya.
“Maaf.”
“Yang ikhlas,” sambar Yoga, si paling alumni.
Tanpa dicari tahu pun, Asha tahu bahwa akar dari semua ini adalah ego Raya dan manusia bernama Yoga tersebut. Bangsat! Setan dalam diri Asha meronta ingin menghancurkan dua manusia egois itu. Karena keegoisan mereka, kerukunan antara pengurus inti periode 2019-2020 Sangga Langit, diambang kehancuran.
Ego Raya ditambah Yoga yang ingin terus dilihat sebagai Maha senior, bercampur padu menjadi sebuah badai kehancuran bagi Sangga Langit.
Seperti yang terjadi sekarang. Semua pengurus dan beberapa alumni termasuk Yoga, berkumpul di dalam sanggar yang luasnya tidak seberapa. Untuk apa? Tentu saja untuk membahas masalah yang sebenarnya tidak pernah ada. Ini semua hanya akal-akalan Raya, tentu saja.
“Maafin gue, Mbak. Gue salah karena udah fitnah sampean.”
Asha berucap setengah hati dan langsung melihat sorot puas dari Raya.
Setelahnya, rapat selesai begitu saja. Untuk sekarang Asha membiarkan dua bajingan itu. Lain kali, minimal wajah mereka harus penuh dengan cakaran.
***
“Bangsat!” umpat Asha.
Semalam dia benar-benar dipermalukan. Asha tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan oleh Raya.
“Udahlah, Sha. Udah lewat juga,” ujar Tyo tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
“Iya, itu menurut Lo, Bang!” ketus Asha, “lo gak tahu rasanya jadi gue semalem, Bang! Lo gak tahu!”
“Sha, Asha, udah. Jangan emosi. Abang tahu kalau lo—”
“Lo tahu apa, Bang?” Asha memotong ucapan Satrio. “Baik gue, elo bahkan semua pengurus inti tahu! Gue gak bersalah, tetapi kalian memilih untuk bungkam!”
“Kenapa? KENAPA?!”
“ASHA, STOP!” sentak Denta. “Gak usah teriak begitu. Bener kata Tyo, semua udah terjadi. Percuma Lo ngoceh atau umpat sana umpat sini. Percuma!”
“Lagian kalau kita melawan pun, kita bakal kalah. Mereka alumni, kita masih membutuhkan mereka,” sahut Nara.
“Heh, Anjing! Lo bisa bicara begitu karena posisi lo aman.” Asha menyeka air matanya yang tiba-tiba menetes. Ah, hati Asha terlalu lembut. “Lo mengamankan posisi lo sendiri. Gue gak heran, kok, Nar. Kelicikan lo udah gue duga.”
“Apa sih, Sha!? Lo kok malah ngatain gue!” Nara tidak terima dengan ucapan Asha, meskipun dalam hati dia membenarkan hal tersebut.
Dengan bermodalkan wajah polosnya, Nara berhasil mengambil tempat di hati komplotan Raya dan Yoga. Setan kecil itu berhasil mengamankan posisinya sendiri. Baginya tidak ada yang lebih penting dibanding dengan keselamatan sendiri. Sungguh, manusia egois.
“Loh, kenyataan, ‘kan? Setelah gue cerita soal utang Mbak Raya ke gue sama Maya, masalah ini tiba-tiba mencuat! Siapa lagi kalau bukan lo?!” sentak Asha dengan emosi meletup-letup, siap memukul siapa saja yang menghalanginya. “Kalaupun bukan elo, pasti salah satu di antara kita bertujuh! Sebegitunya, ya, kalian ingin menyingkirkan gue.”
“May, tolong bawa Asha, tenangkan dia,” ujar Satrio.
“Baik, Bang—”
“Enggak, May, tunggu bentar.” Asha menolak uluran tangan Maya. “Gua hanya ingin bilang, lo semua egois. Ini organisasi kita, keluarga kita. Alumni tidak lebih dari bagian kecil dari masa lalu. Kita lebih berhak untuk mengarahkan Sangga Langit, bukan mereka.”
“Namun, karena kalian sudah termakan sama omongan Raya, mau bagaimana lagi?” imbuh Asha. “Ayo, May, gak ada gunanya kita di sini.”
Maya mengulurkan tangan, membantu Asha berdiri. Mereka beranjak pergi, tetapi terhenti ketika mendengar ucapan Nara.
“Ya, itu salah kalian sendiri, kenapa memihak sama Mbak Vina yang jelas-jelas salah.”
Asha tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Nara yang secara tidak langsung, mengakui bahwa dia yang mengadu kepada Raya.
“Ternyata ini sumbu dari segalanya? Raya sama Yoga mikir kalau gue bagian dari kubu Vina?”
“Siapa pun tahu kalau kalian memihak Mbak Vina kali, Sha,” ujar Tyo yang sudah selesai dengan gim daringnya.
“Ternyata selama ini akting kita berhasil, Ca. Mereka semua termakan akting kita,” ujar Maya yang sudah tidak tahu hendak berkata apa lagi.
“Entah gue kudu senang apa sedih. Senang karena ketrampilan akting gue bagus, dan sedih karena kalian terlalu dangkal dalam memahami segalanya,” ujar Asha.
“Maksud lo apa?” Denta mengerutkan keningnya.
“Asal kalian tahu. Selama ini gue dan Asha Cuma pura-pura berpihak kepada Vina. Baik gue maupun Asha, enggak berpihak pada siapa pun, termasuk Vina. Kita hanya berusaha buat netral, tidak memihak siapa pun. Namun, semua malah berbalik menyerang kita sendiri. Cuih! Miris.” Maya tersenyum miring.
“Ya pikirlah, Anjing! Kalau Ayu, si anak baru, berkata buruk tentang Bang Satrio, siapa yang bakal kalian percaya? Bang Satrio, ‘kan?”
Asha bertolak pinggang dengan gaya luar biasa angkuh, ketika melihat wajah lesu Denta dan yang lain.
“Sama halnya kasus gue sama Maya! Kita berdua takut kalau malah kita yang disalahkan. Namun, tidak! Kalian malah—ah, sudahlah. Percuma juga bicara sama penganut sekte Raya and The Genk kek kalian.”
Selepas berkata demikian, Asha menggeret Maya keluar dari sanggar. Biarkan Tuhan yang membalas rasa sakit mereka.
Awal masuk teater ini, baik Asha maupun Maya, keduanya sama-sama ingin melanjutkan kesenangan mereka. Di SMA mereka ikut teater, jadi, saat kuliah pun mereka ingin ikut teater. Walaupun berakhir buruk, setidaknya mereka semua sudah mengukir kebersamaan. Entah itu hanya kebersamaan semu, intinya Asha dan Maya senang karena sudah dikenalkan dengan anjing berwujud manusia yang begitu lucu-lucu.