Masukan nama pengguna
Malam itu begitu gelap, seisi rumah sudah terlelap, Maru, kucing hitam maine coon berusia 2 tahun masih terjaga, kucing tersebut berkeliling rumah untuk berpatroli mencari tikus, terkadang di pagi hari kucing yang hitam warnanya agak keabuan tersebut memamerkannya pada Dani (9 tahun), pemiliknya.
Bukan tanpa alasan Maru memamerkan hasil buruannya, ia ingin Dani melihat perjuangannya dan kemudian makin menyayanginya sehingga tidak jadi membuangnya, sebab sudah 3 bulan ini, Santo, kakek dari Dani menyarankan pada Dani untuk membuang Maru, alasannya cukup manusiawi, Yanti, sang putri bungsu yang merupakan ibu dari Dani sedang sakit yang menurut rekan dari Santo diakibatkan bulu kucing Maru.
Apalagi ditambah cerita-cerita bahwa kucing hitam pembawa sial, Santo pun akhirnya makin membenci Maru, setiap melihat Maru kakek berusia 64 tahun yang telah memiliki delapan cucu tersebut sering mengusir dan mengintimidasi makhluk tak berdosa tersebut, bulu Maru yang berwarna keabuan pun sebetulnya karena terlalu stress sebab selalu diperlakukan tidak menyenangkan oleh pria kurus pendek yang janggutnya dibiarkan memanjang tersebut.
Sebelumnya Santo tidak seperti itu, ia mulanya adalah pecinta kucing, bahkan Maru adalah salah satu turunan dari kucing-kucing peliharaan Santo yang kini semua sudah dibuang, kecuali Maru dan satu ekor anaknya yang masih berusia satu bulan lebih. Satu-satunya hal yang masih membuat Maru dan anaknya dipertahankan dan dipelihara adalah, Dani amat sayang pada kucing tersebut dan merengek bahkan menangis keras setiap kali Maru akan dibuang.
Tapi pagi itu semua berubah menjadi seperti yang tidak diharapkan oleh Maru dan Dani, keadaan Yanti memburuk, ia dilarikan ke rumah sakit, penyebabnya sebetulnya makanan yang Yanti konsumsi, tetapi Santo menganalisa berbeda, ia percaya Maru yang merupakan kucing hitam adalah penyebabnya, selain penyebab ilmiah menurut Santo pasti ada penyebab ghaib.
Dengan kondisi emosi, siangnya, saat Dani sedang tidur siang, Santo pergi ke kota sebelah dengan membawa Maru untuk membuangnya, sekitar 12 kilometer dari rumah, di sebuah lapangan kosong, Santo meninggalkan sendiri kucing betina tersebut yang mengeong-eong dan mengejar dirinya, Santo sebetulnya merasa tidak tega, tapi bagaimana lagi ketimbang Maru, ia lebih sayang pada putri bungsunya meski tadi sepanjang perjalanan dan saat membuang Maru hatinya agak tidak tega.
Bagaimana cara kucing rumahan seperti Maru untuk bertahan di alam liar? Bagaimana caranya bertahan dari kucing-kucing lainnya atau manusia atau makhluk-makhluk lainnya? Santo menangis di sepanjang perjalanan pulangnya di atas motor, ia merasa Maru tidak akan bisa bertahan dan akan mati di jalanan paling tidak dua tiga minggu ke depan, tapi lagi-lagi ia tak bisa kembali karena percaya takhayul yang mengaitkan Maru dengan sakit ibunda dari Dani, Yanti.
***
Dani menangis, merengek sejadinya, ia tidak memedulikan orang ramai yang kala itu sedang menengok sang ibu yang terbaring lemah, penyebabnya adalah Maru yang belum jua menunjukkan batang hidungnya meskipun sudah satu jam lebih dari pukul tiga sore dimana biasanya itu adalah waktu Maru untuk makan sore.
Sayangnya Santo belum berani jujur pada cucunya tersebut,
“Sudahlah, Dan. Mungkin dia ingin hidup bebas.”
“Gak mau! Gak mau! Maru itu anggap kita kayak induknya! Masa dia ninggalin kita!” Rengek Dani.
Santo hanya bisa terdiam, ia menunduk, kemudian beberapa sepupu Dani mendekati bocah yang bertubuh sedang dan giginya ompong tersebut untuk bermain, tapi ditolak, Dani lebih memilih menyendiri, ia pergi ke kamarnya.
***
Maru melihat dunia yang baginya begitu asing, pertama kali itu pula ia ada di alam liar, sialnya saat itu sedang musim kawin, beberapa kucing jantan mulai mengincarnya dari jauh, mereka mencoba mencuri kesempatan. Apalagi Maru adalah kucing maine coon yang bulunya indah, meski kucing tidak paham apa itu penampilan tapi Maru yang mencolok tentu membuatnya jadi perhatian para kucing liar.
Suara ribut kucing-kucing mulai terdengar, suara tersebut amat bising, membuat orang-orang merasa risih dan mencoba mengusir kucing-kucing tersebut, sebagian kucing-kucing lari tunggang langgang, tapi masih ada yang mengincar Maru dan akhirnya berhasil menindih kucing hitam dengan perpaduan warna abu-abu tersebut, Maru tidak bisa apa-apa, hanya bisa pasrah, ia yang tidak tahu soal seks itu mengira dirinya akan mati.
Hingga akhirnya ada yang menyiram aksi perkawinan mereka dengan air, kucing jantan yang menindih Maru lari tunggang langgang, tapi itu belum selesai, musim kawin masih panjang, akan banyak kucing jantan lain yang akan mengincar Maru demi melestarikan keturunannya.
Maru mengibas-ngibaskan bulunya yang basah karena siraman air, ia merasa kedinginan dan mencoba ke tempat yang ada sinar matahari supaya ia cukup kering. Ya, Maru cukup mengerti akan hal itu karena dia memang kucing yang cerdas.
***
Maru terus berjalan, ia berjalan cukup ke pinggir, saat itu sudah cukup gelap tetapi jalanan masih ramai, Maru sedang melewati jalan perkampungan yang di kanan-kirinya dipenuhi pertokoan sembako. Maru merasa amat lapar, ia yang cerdas teringat-ingat kata-kata Dani supaya Maru tidak mengambil makan tanpa seizin dirinya atau seizin orang lain, ia yang sangat lapar pun mendekati sebuah warung kemudian mengeong.
Mulanya Maru hendak disiram air oleh pemilik warung, tetapi setelah pemilik warung, Bu Feni, melihat Maru yang baginya nampak seperti kucing mewah, niat itu pun ia batalkan,ibu-ibu dengan perawakan langsing tersebut menangkap Maru, kemudian menyimpan kucing malang tersebut di gudang warungnya.
Maru yang ketakutan meringkuk, ia sebetulnya sangat mengantuk, efek lelah dari berjalan jauh berjam-jam, tapi karena ketakutan berada di ruang yang asing ia jadi cemas dan pada akhirnya tidak bisa tidur. Maru mencoba mengeong, sebagai tanda minta diberi belas kasih dari Feni, tapi ibu-ibu tersebut sepertinya sibuk mengurusi pelanggan warungnya, Maru diacuhkan oleh ibu-ibu tersebut.
“Rokok?”
“Berapa?”
“Panadol satu?”
“Rinso, ya? Berapa sachet?”
Maru sejak tadi mendengar suara Feni yang bertransaksi, dengan rasa cemas ditambah lapar Maru tidak bisa diam, ia bergerak kesana-kemari dan terus mengeong-eong, namun Feni tetap tidak menghiraukannya meskipun suara eongannya cukup keras.
Beberapa pelanggan warung Feni pun menyatakan mereka mendengar suara kucing, namun Bu Feni selalu berkilah bahwa itu adalah suara kucing belakang rumah yang kebetulan memang memiliki kucing. Salah satu pelanggan yang mencoba berargumen bahwa tetangga belakang rumah Feni sedang pulang kampung pun dipatahkan oleh kebohongan ibu-ibu tersebut bahwa tetangga belakang rumah tidak ikut membawa kucingnya karena dianggap merepotkan.
Maru sudah merasa lemah, sudah berjalan jauh, belum makan dan sekarang dikurung di sebuah ruangan membuat mental kucing itu melemah, ia terkulai lemas tergeletak di lantai.
Hingga akhirnya Feni masuk membawa semangkuk whiskas, naluri Maru sebagai kucing membuatnya refleks terbangun dan mendekat, Maru pun menikmati whiskas yang diberi oleh Feni. Kali ini whiskas premium yang cukup mahal, sebab biasanya Dani hanya diberi uang secukupnya oleh Santo untuk membeli empan kucing.
Santo sebetulnya tak berniat jahat pada Maru, memang ia berusaha mempengaruhi Dani dengan pemikiran jika Maru masih dipelihara Dani, Maru akan menderita karena gizi yang ia dapatkan pas-pasan supaya Maru dipelihara oleh orang lain dan akhirnya mendapat makanan yang penuh gizi, tapi itu semua demi Yanti, putrinya, yang ia percaya sakit karena pengaruh Maru dikarenakan seluruh bulunya hitam. Meski dalam beberapa bulan terakhir bulunya menjadi keabuan, Santo masih saja percaya mitos sesat yang merugikan kucing hitam.
Maru memakan lahap whiskas premium dari Feni, baru kali ini ia memakan makanan selezat itu, pikirnya. Sambil dielus-elus bulunya oleh Feni kucing tersebut menikmati makanan yang disediakan untuknya tersebut, tapi batin Maru tetap masih memikirkan majikan lamanya yaitu Dani.
Seusai makan Maru merasa kenyang, ia pun terlelap tidur, hal tersebut dimanfaatkan oleh Feni untuk memotret Maru.
“Ini kucing guwe si Unyil. Harga 4.5 juta rupiah aja bisa nego.”
Ketik Feni di grup Facebook jual beli kucing, yang membuat banyak anggota grup yang terheran-heran karena harga maine coon biasanya bisa 5 kali lipat dari harga yang diminta oleh Feni.
“Bu, maine coon biasanya 18 sampe 20 bahkan ada yang 25 loh, bu.”
“Murah banget. Jadi curiga.”
“Kemurahan ini, bu.”
“ibunya butuh uang banget, ya?”
“Ya’awloh gini banget saking butuh uangnya si ibu.”
Feni yang tahu harga Maru yang ia tawarkan terlalu murah pun mencoba mengedit harga jualnya, tetapi settingan grup membuat ia tak bisa mengedit harga Maru agar ia bisa menjual Maru dengan harga lebih tinggi. Ia pun mencari grup jual-beli kucing lainnya tapi ia sudah dikeluarkan dari grup lainnya karena terlalu sering spam. Feni merasa kesal ia berteriak keras yang membuat Maru terbangun,. Kebetulan pintu terbuka, kesempatan itu pun dimanfaatkan Maru untuk lari, lari menjauh sekencang-kencangnya, Feni sendiri tidak berani mengejar kucing eksotis tersebut, ia takut akan ketahuan tetangga mencuri kucing mahal walau faktanya Maru sendiri yang datang di depan warungnya.
***
Sudah sejak siang Dani hanya mau berbaring di kamar, Santo khawatir sebab kini Dani secara mental tak ada bedanya dengan Yanti yang secara fisik sakit, bocah tersebut sudah diminta untuk bangun oleh kakek tersebut, mulai dari cara yang halus sampai ke cara yang bisa dibilang kasar, ancaman uang jajan akan dikurangi jika tak bangun tak digubris, iming-iming akan dibelikan sate taichan kesukaan pun tak dihiraukan.
Santo kembali mengetuk pintu kamar Dani, kali ini tak terkunci, seketika itu juga Santo takut cucunya tersebut kabur, tapi jendela ruang tengah yang biasanya dijadikan Dani untuk kabur ketika dipaksa tidur siang oleh Santo terlihat masih terkunci, tapi Dani yang tidak ada membuat kakek yang punya kebiasaan mengipasi dirinya saat menonton televisi itu khawatir berat. Tiba-tiba terdengar suara orang menaiki tangga, Santo melongok, melihat ke arah tangga, Dani nampak sedang mengkonsumsi jajanan ringan sambil menuruni tangga. Rupanya Dani merasa lapar tapi enggan mengakui pada Santo dan Yanti, jadi dia curi-curi kesempatan untuk makan.
Santo memperhatikan cucunya itu makan dari kejauhan, ia tak mau mendekat karena tentu ia paham akan emosi cucunya tersebut, Santo yang sejak cucunya pundung mencoba menghubungi jasa pencarian hewan untuk mencari Maru mencoba menghubungi perusahaan jasa itu kembali, pegawai bernama Asep ia hubungi, namun Asep bilang hasilnya masih nihil.
“Gimana, sih? Maru kan khas banget kucingnya. Masa gak ketemu!?”
Demikianlah isi chat Santo pada Asep, yang dibalas,
“Maaf, pak. Akan kami terus usahakan.”
***
Waktu menujukkan pukul 10 malam, Maru beristirahat di sebuah halte bus, sebagai kucing cerdas Maru menyadari jika ia tidur di kursi halte akan ada manusia yang risih atau coba mengganggu tidurnya hanya sekedar untuk duduk, jadi ia tidur di kolong halte. Selain itu ia coba bersembunyi dari kucing-kucing jantan yang mengincarnya, karena sejak ia diserang Maru sadar bahwa saat itu adalah musim kawin.
Tiba-tiba Maru mendengar eraman, dari suaranya Maru hafal itu adalah kucing jantan, kebetulan muncul seorang ibu-ibu yang ia lihat membawa makanan kucing. Maru pun perlahan-lahan mendekat, lalu seolah-olah berperilaku bahwa wanita tersebut adalah majikannya. Kebetulan sekali wanita tersebut suka dengan Maru, mengelus-elus bulunya, kucing jantan yang mengincarnya pun mundur perlahan karena mengira kucing betina incarannya ada di dekat majikannya.
Demi supaya aman maru pun mengikuti wanita itu dari belakang, kucing-kucing jantan yang mengincarnya pun hanya bisa diam, mengira kucing betina yang mereka incar sedang bersama dengan majikannya. Tapi Maru sedikit menjaga jarak dari wanita tersebut supaya wanita tersebut tidak sadar diikuti olehnya.
***
Maru terus berjalan, perutnya sebetulnya lapar, kemudian ia melihat sesuatu, sebuah poster pencarian dirinya, Maru mengendus-endus poster tersebut kemudian mengikuti sumber bau poster tersebut. Ia hapal jika bau tersebut adalah bau dari Santo. Tapi saat itu Maru sedang sangat lelah, ia sudah berjalan begitu jauh, mungkin sudah berkilo-kilo sejak ia dibuang Santo hingga ke lokasi ia berjalan saat ini.
Tetapi ada keceriaan sedikit di hati kucing maine coon hitam agak keabuan tersebut, ia kini tahu Santo sudah memperbolehkannya kembali bersama Dani, karena itu meski lelah dan berjalan perlahan Maru pun mengikuti bau Santo yang melekat di poster tersebut.
Maru sedikit beruntung poster yang ia temui adalah poster yang pernah dipegang langsung oleh Santo saat Santo ikut membantu petugas pencari hewan yang hilang untuk menempelkan poster Maru di berbagai titik jalan.
Maru berusaha menaiki papan kayu yang jadi tempat ditempelnya poster, setelah sampai di dekat poster, ia pun mengendus-endus poster tersebut kemudian lompat dari papan kayu yang cukup tinggi itu. Meski mendarat dengan tidak sempurna dan terkilir Maru dengan semangat mengikuti bau dari kakek pemiliknya tersebut, bayangan whiskas yang biasa ia makan kini ada di pikirannya.
Hari itu seolah Tuhan memberi keberuntungan besar pada Maru, Santo berjalan dari rumah sampai ke tempat Maru memasang poster dengan berjalan kaki, sehingga ia sama sekali tidak kehilangan jejak kakek yang sempat membuangnya dan kini sedang mencari-cari dirinya karena desakan cucunya itu.
Maru terus berlari mengikuti jejak kaki dan bau Santo yang masih tersisa, beruntungnya lagi di sepanjang jalan terpampang poster kucing tersebut sehingga Maru merasa rumahnya untuk kembali bermain-main dengan Dani akan kembali ia jejaki.
Maru terus berlari dan berlari.
Seratus meter,
Sembilan puluh sembilan meter,
Sembilan puluh delapan meter,
Sembilan puluh tujuh meter,
Sembilan puluh enam meter,
Maru terus berlari, ia menerjang jalan, dan...
Maru tertabrak sebuah mobil pick up.
Maru tergeletak, supir mobil pick up merasa kaget. Supir bernama Firman tersebut keluar dari mobil. Kebetulan di sekitar situ ada Nenek Wati seorang nenek yang ditakuti di daerah tersebut, Firman yang istrinya bekerja pada Nenek Wati pun berulang kali meminta maaf. Wajar saja sebab Nenek Wati dikenal sebagai pecinta kucing.
“Wah, sekitaran 8 kucing udah mati ketabrak aja minggu ini. “
“Emang rame bener sih kendaraan disini.”
Keluh nenek-nenek gemuk tersebut.
“Wawan! Wawan!”
Wawan yang sejak tadi sedang mengatur lalu lintas mendekat, sambil mendekat ia memerintahkan kawannya untuk menggantikan tugas parkir dirinya.
Lalu ia bertanya pada Nenek Wati,
“Ada apa, nek?”
Tanpa basa-basi Nenek Wati meminta agar untuk sementara Maru yang sudah terbujur kaku tersebut untuk diletakkan di tong sampah belakang jalan supaya nanti petugas hewan dan lingkungan bisa mengambil jasad Maru lalu menguburnya dengan layak.
“Lu ikut juga. Lu kan yang nabrak!” Bentak Nenek Wati pada Firman.
“I... Iya, nek.” Firman ketakutan, ia langsung mengiyakan perintah Nenek Wati.
Firman dan Wawan pun berjalan ke ujung sebuah jalan buntu untuk meletakkan Maru di atas tong sampah sebelum petugas hewan dan lingkungan mengambilnya.
Di sepanjang jalan menuju tempat yang dituju kedua pria berusia 30an itu saling diam. Mereka pun kemudian meletakkan Maru diatas sebuah tong sampah. Baru setelah itu terdengar Firman membuka obrolan dan dua bapak yang sama-sama memiliki putri yang cantik tersebut terdengar cukup akrab, mereka membicarakan biaya sekolah yang semakin mahal.
Sedang Maru tergeletak, ia terbujur kaku, lalu bagai sebuah scene di sebuah film yang seolah-olah memperluas sudut pandang kamera, terlihat di samping kiri atas tong sampah ada balkon rumah dan sebuah jendela kamar, seseorang membuka jendela tersebut, nampak Dani, ia menatap keluar dari jendela sambil mengelus-elus Jeannie, putri Maru yang baru berusia 1 bulan lebih, di tangannya.
Dani masih merindukan Maru, Dani tidak sadar bahwa Maru yang kini tinggal jasad berada hanya beberapa meter di bawah dirinya. Sambil mengelus Jeannie mata Dani terlihat sayu, ia mengharapkan Maru kembali dan bisa bermain-main dengannya kembali seperti biasanya.
Dani sedang memandang langit, langit yang ia sering minta Maru untuk memandangnya dan seringnya berkata lantang untuk menyemangati Maru. Kata-kata lantang itu adalah,
"Pandanglah langit di atas sana, Maru!"
Bagai sebuah adegan dalam film, Dani yang sedang mengelus-elus Jeannie terlihat dalam satu frame dengan Maru yang tergeletak kaku di sebuah tong sampah di bawahnya.
Tanpa tahu apa yang menimpa Maru, Dani terus berharap dan berharap sambil menatap langit, saat itu ia teringat Maru yang sering juga ikut menatap langit ketika Dani memintanya, Dani pun juga teringat, kadang Jeannie dan anak-anak Maru yang lainnya yang telah tiada juga ikut serta memandangi langit, bersama induk dan majikannya.
Dani mengharapkan hal tersebut kembali, tetapi harapan hanya tinggal harapan.
Jasad Maru tergeletak kala itu, tepat di bawah seseorang yang amat menyayanginya, yang masih percaya bahwa Maru akan kembali dan kembali lagi menatap langit dan bermain bersama, bahkan untuk seumur hidupnya.
Ya, harapan hanya tinggal harapan.