Masukan nama pengguna
Sering kali hal buruk terjadi pada orang yang salah. Ambil contoh gadis ini, Mikhaila. Gadis yang sedang bersama gengnya menyusuri lorong gelap nan kumuh yang biasa di tempati orang-orang miskin dan tidak berdaya.
Sebenarnya Mikhaila dibesarkan di lingkungan Katolik yang bagus dan juga di keluarga yang harmonis, tetapi semenjak remaja harus menjadi remaja, maka gadis itu memberontak dengan cara yang tidak langsung: bergaul dengan kerumunan yang salah.
Tentu saja hal yang ia lakukan terjadi secara tidak sadar. Lagi pula gadis itu masih ingusan dan labil. Ambil contoh lagi ketika ia bertemu dengan pengemis yang berada di pinggir lorong gelap tadi. Gadis itu memandang pengemis itu sebentar, lalu lanjut berjalan bersama kerumunannya. Setelah mereka melintasi jalan cukup jauh, baru Mikhaila memalingkan kepalanya untuk sekali lagi memandang pengemis tadi. Ia sering diajarkan oleh orang tuanya untuk selalu bersedekah bila ada kesempatan.
“Tapi bagaimana jika pengemis itu kaya?” tanya Mikhaila sebelum terjerumus kerumunan yang salah.
“Tidak apa-apa, yang penting kita Ikhlas memberi dan tidak tahu kalau orang tersebut memang menipu kita. Jangan dipikirkan, nanti pahalanya tidak dapat,” kata sang ibu.
Begitulah percakapan tadi berdering deras di kuping Mikhaila sebelum salah satu dari gerombolannya melihat Mikhaila memandangi pengemis itu.
“O, lihat pengemis itu.”
“Aku dengar belakangan ini sering sekali orang-orang biasa pura-pura jadi pengemis.”
Gerombolan itu, yang terdiri dari tiga cowok dan tiga cewek termasuk Mikhaila, memandang pengemis itu lekat-lekat. Pengemis itu tidak merasakan kehadiran gerombolan itu sebelum mereka mendekatinya, dan memang mereka mendekatinya dengan gaya yang sok macho dan sok keren. Pengemis itu tidak tahu apa yang akan terjadi padanya saat anak-anak SMA tersebut mengepung dirinya.
“Bapak pengemis?”
“Maaf dek, saya tidak punya uang.”
“Ngaco!”
“Pengemis seperti kau pasti pura-pura. Lagi pula, sudah ada peraturan di negara ini tidak boleh memberi ke pengemis, karena mereka semua penipu!”
Yang cowok-cowok mulai menendangi sang pengemis selagi yang cewek-cewek mulai memotret dan merekam. Mikhaila tentu saja tidak merekam dan memotret seperti “teman-teman” ceweknya, tetapi ia juga tidak melakukan apa-apa selagi perundungan berlangsung. Mikhaila menatap dengan ekspresi kaku dan badan membatu seakan-akan tidak berani bergerak, seakan-akan tidak mau dianggap ada.
“Mikhaila, coba lihat, mirip kau bukan?” kata teman cewek sambil menunjuk ke arah pengemis yang sudah babak belur.
“Gak lucu anjing,” kata teman cewek yang lain sambil cekikikan.
Salah satu teman cowok memberi perintah dan aba-aba untuk membentuk dua barisan. Barisan di belakang berjumlah tiga orang berdiri sedangkan di depan berjumlah empat orang jongkok. Barisan di belakang berisi tiga cewek sedangkan di barisan depan berisi tiga cowok dan sang pengemis; darah menetes dari hidungnya, bercak biru terpampang di mukanya, dan badannya sudah tidak memiliki tenaga lagi. Mikhaila baru menyadari betapa tuanya sang pengemis.
“Kasi aba-aba!”
Tangan Mikhaila bergetar sambil mengarahkan ponselnya ke arah mereka.
“Oke, satu, dua, ti—”
Ceklik.
Kilauan cahaya melintas seketika.
“Satu, dua.”
Ceklik.
“Oke sudah.”
“Eh Mikhaila belum foto.”
“Iya ya, kita tidak boleh meninggalkan teman dong.”
Kedua teman ceweknya mengajak—memaksa—Mikhaila berjalan ke arah pengemis. Mikhaila diajak—dipaksa—juga berdekatan dengan sang pengemis. Kulit mereka bersentuhan satu sama lain—hidung Mikhaila di colok bau busuk.
“Satu, dua, ti… ti… ti…”
Setiap detik rasanya seperti satu jam.
“tiga!”
Ceklik.
“Ah… gambarnya kurang bagus. Satu, dua, ti… ti… ti…”
Begitulah kejadian di lorong gelap nan kumuh berlangsung untuk beberapa saat sampai Mikhaila hampir muntah. Para cowok dan para cewek “teman” Mikhaila merundung sekali lagi sang pengemis yang sudah tidak lagi memiliki kekuatan dan merampas semua yang di milikinya: dompet, rokok, dan kunci-kunci yang akan mereka buang ke sungai. Mereka melanjutkan perjalanan mereka ke arah karaoke, di mana Mikhaila tidak bernyanyi satu lagu pun dan dalam minumannya sering terdapat abu rokok. Malamnya setelah pulang ke rumahnya dengan kecapian yang mendaging menemani teman-temannya sampai tengah malam, Mikhaila mandi, dan merobohkan badannya ke ranjangnya. Meskipun Mikhaila tinggal di keluarga Katolik yang bagus dan harmonis, sering kali orang tuanya tidak menyambutnya ketika pulang ke rumah.
***
“Halo Mikhaila, apa kabar?”
Suara itu berasal dari hadapannya. Mikhaila masih tetap berada di kamarnya yang gelap dan sepi itu, tetapi sekarang ia berdiri di hadapan seorang pria yang tidak ia ketahui. Wajahnya tampan, sungguh tampan hingga-hingga ia menjadi cantik. Ia juga mengenakan sebuah jas berwarna putih, kemeja berlengan panjang berwarna hitam, dan dasi berwarna putih. Ia tampak seperti bintang film Hollywood berambut pirang.
“Jangan takut, aku di sini untuk menemanimu,” katanya.
“Anda siapa?”
“Perkenalkan, aku Kushiel, seorang malaikat.”
Mikhaila memandang malaikat tersebut dengan sukma. Ia tahu telah berbuat salah.
“Apakah engkau akan membawa saya ke tempat yang jauh?”
“Tidak, saya akan membawamu jalan-jalan.”
Kushiel mengulurkan tangannya, mengundang Mikhaila untuk pergi bersamanya. Mikhaila menerima undangannya, dan seketika sayap Kushiel tumbuh. Mereka terbang ke atas dengan sekejap menembus atap rumah dan menghadap cakrawala yang ditaburi bintang.
“Indah sekali,” Mikhaila keceplosan.
“Aku akan tunjukan padamu pemandangan yang kurang indah,” kata malaikat.
Dan terbanglah mereka dengan sangat cepat ke sebuah pemukiman yang gelap dan kumuh. Di sana Mikhaila melihat sebuah rumah yang berbaur dengan pemukiman tersebut. Di sana juga ia dan Kushiel mengapung perlahan ke arah rumah itu dan menembus temboknya.
“Lihatlah Mikhaila, apakah ini rumah yang pantas dibilang rumah kumuh?”
Mikhaila memandang di sekitar ruangan tersebut dan mendapati berbagai barang mahal seperti perabotan kayu jati dan komputer yang menghiasi rumah buruk itu.
“Rumah beserta ruangannya memang buruk, tetapi isinya terdapat barang-barang yang mahal dan berharga,” kata malaikat.
“Kenapa kita di sini?” tanya Mikhaila.
“Ke sini.” Kushiel mengajak Mikhaila menembus tembok sebuah kamar.
Kamar yang mereka tembusi ternyata berisi dua orang. Terlihat seorang pak tua yang memiliki banyak luka dan biru, merangkul seorang anak kecil di pangkuannya. Mereka terlihat seperti ayah dan anak.
“Engkau kenal orang ini?” tanya malaikat.
“Aku kenal,” jawab Mikhaila.
“Kamu percaya orang ini sebenarnya berkecukupan?” tanya malaikat.
“Iya,” jawab Mikhaila.
“Engkau percaya bahwa orang ini sebenarnya adalah orang yang peduli pada anaknya dan mau menjadi ayah yang baik?” tanya malaikat.
“Iya,” jawab Mikhaila.
“Engkau percaya bahwa ia adalah orang yang baik, ramah, sopan, dan taat dengan agamanya meskipun ia mendandani bau badannya dengan bau busuk?” tanya malaikat.
“Iya,” jawab Mikhaila.
“Kalau begitu engkau percaya bahwa yang dilakukan kelompokmu padanya malam ini salah?” tanya malaikat.
“Iya,” jawab Mikhaila.
“Kalau begitu mengapa engkau tidak bertindak mengenai kejadian tadi?” tanya malaikat.
“Aku takut,” jawab Mikhaila.
“Bahkan sekali pun engkau bisa melapor polisi setelahnya?” tanya malaikat.
Mikhaila tidak bisa menjawab.
“Menurutmu apa yang akan dikenangnya akan kamu?” tanya malaikat.
Orang jahat, tetapi Mikhaila menjawab dalam hati.
“Menurutmu ia salah?” tanya malaikat.
Bahkan dalam hati pun ia tidak bisa menjawab.
“Ia adalah pria yang sehat meskipun usianya sudah merosot, tetapi anaknya tidak seberuntung ayahnya.”
“Apa yang bisa saya lakukan untuk menolong pak tua itu?”
“Menurutmu kau bisa apa?”
“Pasti ada yang bisa saya lakukan.”
“Menurutmu kau bisa apa?”
Mikhaila tertegun, menurutnya ia tidak bisa melakukan apa-apa selain melaporkan polisi atau menyumbangkan uang sambil meminta maaf—itu semua tidak cukup.
“Saya mohon, ampunilah saya.”
Malaikat tidak menjawab. Kini tatapannya mulai memunculkan amarah.
“Tolong ampunilah saya.”
Mata malaikat mulai berwarna kuning dan berbentuk seram. Ekspresinya mulai kelihatan marah. Mukanya mulai memerah.
“Tolong ampunilah saya!”
Sayap merpatinya sudah berubah menjadi sayap kelelawar. Keningnya mulai memunculkan tanduk, gigi taringnya memanjang, dan mukanya mulai berubah drastis.
Mikhaila memandang Kushiel seperti memandang iblis. Ia mulai melangkah ke belakang sambil tergopoh-gopoh dengan air mata yang berlinang. Ia menyaksikan mimpi indahnya berubah menjadi mimpi buruk. Kushiel yang ia tahu beberapa saat lalu sekarang telah berubah menjadi semacam monster bersayap kelelawar dan bertanduk dua. Mikhaila mulai merasakan kehangatan tertentu dari selangkangannya, banyak air berwarna kekuningan keluar dari sana.
Mikhaila memandang ke belakang dan berusaha berlari, tetapi ia sekarang tidak bisa menembus tembok lagi seperti saat pertama ia masuk rumah. Wajahnya pucat—terdengar teriakan dan tangisan histeris yang menghujani ruangan tempat pak tua memangku anaknya sambil menyanyikan nina bobo.
***
Bunyi bel alarm terdengar olehnya. Ia mematikan bel tersebut seperti biasanya, bangun seperti biasanya, mandi seperti biasanya, dan berseragam sekolah seperti biasanya. Hanya saja bedanya kali ini ia pergi ke suatu tempat yang jauh daripada pergi ke sekolah. Ia memandang kiri kanan mencari tempat yang tadi malam pernah ia temui, dan dapatlah ia tempat tersebut. Tempat di mana ia menjadi salah satu perundung dari sang pengemis. Tempat itu sama sekali berbeda di siang hari, suasananya bahkan berbeda jauh. Ia bisa melihat dengan jelas semua hal yang ada di tempat itu, tapi ia tidak bisa menemukan sang pengemis, ditambah lagi ia lupa di mana sang pengemis tinggal.
Ia mulai memunculkan foto-foto ponselnya dan bertanya kepada orang-orang sekitar mengenai pengemis yang dicarinya. Ia bahkan sampai menjelaskan apa yang terjadi kepada orang-orang sekitar pada malam itu dan mengakui bahwa ia adalah salah satu perundungnya. Yang lain tidak percaya padanya, tetapi seorang orang kakek tua mengenali pria tua yang ada di foto tersebut.
“Bagaimana sampean mendapatkan foto ini?”
“Tolonglah pak, saya telah berbuat salah padanya, saya ingin menyumbangkan tabungan jajan saya.”
“Halah pasti bohong ini, mau tipu orang!”
“Tidak pak, saya sungguh-sungguh ingin bertobat, saya hanya minta tolong diantarkan ke rumahnya itu saja, saya bahkan akan memberi sedekah juga kepada bapak.”
Dengan mata licik dan serakah, kakek tua itu setuju dan membawanya ke rumah yang hangus terbakar.
“Ini tempatnya tinggal dua tahun yang lalu sebelum kebakaran melahap rumah ini.”
“Terbakar, dua tahun lalu?”
“Iya, katanya sih anaknya meninggal dalam kebakaran, perempuan lagi. Saya tidak ada di kota ini waktu kejadian itu, tapi saya kenal orangnya. Sekarang mana sedekah yang kau janjikan!”
Ia ragu-ragu mulanya, tetapi karena ia sudah berjanji, maka ia harus memberinya sedekah. Kakek itu kabur cepat-cepat dengan tenaga yang masih ada, ia tidak menghiraukannya. Ia sudah tahu kakek tua tersebut menipunya, tetapi setelah memandang langsung rumah hangus tersebut, ia menjadi berubah pikiran. Rumah tersebut benar-benar mirip dengan yang telah ia lihat. Ingat-ingatan akan rumah tersebut, bahkan jalan-jalan dan rumah-rumah di sampingnya kembali ke otaknya dengan cepat dan memang tidak salah lagi ini adalah rumahnya. Ia merenungkan kejadian yang menuntunnya sampai ke tempat ini. Apakah perundungan malam kemarin juga merupakan bagian dari mimpinya atau ia sedang berhalusinasi. Meskipun pencariannya sudah membawanya ke sini dan cahaya matahari sudah menampilkan sinarnya yang jingga, ia tetap berada di depan rumah yang hangus terbakar itu. Ia memandangnya lekat-lekat, lekat-lekat hingga malaikat itu muncul lagi dari ingatannya.